manajement resiko kecelakaaan dan kesehatan kerja budidaya kepiting bakau



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Kepiting bakau (Scylla sp) merupakan salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai, khususnya di hutan-hutan bakau (mangrove), dengan sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan pantai nusantara, maka tidak heran jika Indonesia di kenal sebagai pengekspor kepiting yang cukup besar di bandingkan dengan Negara-negara produsen kepiting lainnya (Kanna, 2008).
Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik di pasar domestik (dalam negeri maupun pasar mancanegara luar negeri), terutama kepiting yang sudah matang gonad dan sudah dewasa serta gemuk (Kanna, 2008). Berkembangnya pasar kepiting bakau menjadi suatu tantangan untuk meningkatkan produksi secara berkesinambungan. Dengan mengandalkan produksi semata dari alam/tangkapan jelas sepenuhnya dapat di harapkan kesinambungan produksinya. Usaha budidaya kepiting bakau harus di dukung oleh tersedianya lahan yang bebas polusi, benih dan kemampuan pengelolaan secara teknis maupun menajeman. Lahan pemeliharaan dapat menggunakan tambak tradisional sebagaimana di pakai untuk udang dan bandeng (Ikannapoleon, 2012).
Pada mulanya kepiting bakau hanya di anggap hama oleh petani tambak, karena sering membuat kebocoran pada pematang tambak. Ternyata kepiting bakau mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, maka keberadaannya banyak di buru dan di tangkap oleh nelayan untuk penghasilan tambahan dan bahkan telah mulai di budidayakan secara tradisional di tambak. Mengingat permintaan pasar eksporakan kepiting bakau yang semakin meningkat dari tahun ketahun maka usaha ekstensifikasi budidaya kepiting bakau mulai di rintis di beberapa daerah. Sebagai komoditas ekspor kepiting memiliki harga jual cukup tinggi baik di pasaran luar negeri maupun dalam negeri, namun tergantung pada kualitas kepiting (ukuran tingkat kegemukan). Untuk dapat menghasilakan kepiting yang gemuk di perlukan waktu yang cukup pendek yaitu 10-20 hari. Harga jual kepiting gemuk menjadi lebih tinggi dengan demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani. Sekarang budidaya kepiting bakau di kalangan nelayan yang berada dekat dengan bakau sangat banyak karena dapat sebagai tambahan ekonominya. Kendala yang di hadapi para nelayan yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia nelayan untuk membudidayakan (Ikanna poleon, 2012).

B.     Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk manajement resiko kecelakaaan dan kesehatan kerja pada budidya kepiting bakau.
2.      Tujuan Khusus
a.       Untuk mengtahui manjemen resiko pada tahap persiapan tempat budidaya
b.      Untuk mengetahui manajemen resiko pada tahap pembuatan wadah budidaya
c.       Untuk mengetahui manajemen resiko pada tahap penebaran bibit
d.      Untuk mengetahui manajemen resiko pada tahap pengolahan pakan
e.       Untuk mengetahui manajemen resiko pada tahap pemanenan

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Pengertian
Budidaya Perikanan didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik secara terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Definisi lain mengatakan bahwa budidaya adalah upaya-upaya manusia untuk meningkatkan produktifitas perairan. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan dan petani ikan dalam arti luas di seluruh Indonesia,dan meningkatkan eksport, Menteri Perikanan dan Kelautan (2010) telah memaklumkan bahwa produksi perikanan dari penangkapan dilaut dan perairan umum telah mencapai tahap maksimum.
Kepiting Bakau (Scyla serrata) adalah salah satu jenis biota yang sumberdaya
alamiahnya sebenarnya sangat luas mengingat habitatnya meliputi seluruh wilayah
hutan bakau dan daerah estuaria. Kepiting banyak di temukan di daerah hutan bakau sehingga di indonesi lebih di kenal dengan sebutan hutan bakau (mangrove crab). Jenis ini yang paling populer sebagai bahan makanan dan memiliki harga jual yang sangat tinggi. Jenis lain yang juga banyak di jumpai adalah rajungan.
Kepiting di klsifikasikan sebagai berikut:
Filum   : Arthropoda
Klas     : Crustacea
Ordo    : Decapoda
Famili  : a) Kanthidae
b) Cancridae
c) Potamonidae
d) Portunidae
Genus  : Scylla
Spesies : Scilla serrata, S. Oceania, S. Transquebarica
Jumlah jenis dalam marga (genus) Scylla masih di perdebatkan Estampador, seorang peneliti berpendapat bahwa marga Scylla mempunyai tiga jenis (S.serrata, S. Oceania dan S.transquebarica). namun sebagian besar peneliti menganggap marga Scylla hanya beranggotakan satu jenis saja, yaitu Scylla serrata. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini dr. Kasim Moosa yang banyak menggeluti taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo- Pasifik Barat saja di perkirakan ada 234 jenis dan di Indonesia ada 124 jenis.
Gambar 1: bentuk marfologi kepiting bakau
Bila kita hendak mengembangkan budidaya kepiting secara lebih intensif, tentu diperlukan ketersediaan benih. Sementara ini , kepiting berukuran kecil yang dijadikan benih, berasal dari penangkapan di alam sehingga jumlah dan mutunya tidak dapat diandalkan. Mempertimbangkan kenyataan yang diuraikan diatas, maka perlu kiranya disiapkan Materi Penyuluhan untuk sebagai bahan bimbingan kepada para pelaku budidaya yaitu para nelayan , petani tambak dan para pengusaha bidang budidaya perikanan agar mereka dapat mempunyai keahlian dan keterampilan untuk membudidayakan kepiting bakau . Budidaya kepiting itu haruslah dimulai dari
a.         Melakukan produksi benih dengan mendirikan Panti Pembenihan
(Hatchery) khusus Kepiting Bakau. Dan
b.        Mempraktekkan tehnik budidaya kepiting bakau, walaupun sementara ini
menggunakan benih berupa hasil tangkapan kepiting dari alam yang ukurannya masih kecil-kecil, dengan menerapkan tehnik pemeliharaan kepiting yang sudah dikenal masyarakat waktu ini,ialah
1)      Pembesaran benih menjadi kepiting ukuran konsumsi.
2)      Penggemukan ,
3)      Produksi kepiting cangkang lunak
4)       Produksi kepiting bertelur ,
c.       Mengenal Kepiting Bakau
Di Indonesia dikenal ada 2 macam kepiting sebagai komoditi perikanan yang diperdagangkan/komersial ialah kepiting bakau atau kepiting lumpur; dalam perdagangan internasional dikenal sebagai “Mud Crab” dan bahasa Latinnya Scyla serrata dan ada juga kepiting laut atau rajungan yang nama internasionalnya “Swimming Crab” dengan nama Latin: Portunus pelagicus. Kedua macam kepiting tsb nilai ekonominya sama , dan keduanya diperoleh dari penangkapan dialam. Buku ini khusus di uraikan dan dibahas tentang spesies Kepiting Bakau (Scylla serrata ) saja. Kepiting bakau ditangkap dari perairan estuaria yaitu muara sungai , saluran dan petak2 tambak , diwilayah hutan bakau dimana binatang ini hidup danberkembangbiak secara liar. Kepiting bakau lebih suka hidup diperairan yang relativedangkal dengan dasar berlumpur, karena itu disebut juga Kepiting Lumpur (Mud Crab). Sedangkan rajungan , ditangkap oleh nelayan dilaut dekat pantai sampai sejauh 1-2 mil dari pantai, karena rajungan hidup pelagis (di badan air laut). Namun demikian Kepiting Bakau juga dapat tertangkap di laut dekat pantai, karena kepitngbakau yang hendak kawin dan bertelur, juga berpindah di wilayah laut dekat pantai. Bentuk (habitus) kepiting bakau disajikan pada gambar:1 dibawah ini. Terlihat bentuk badannya yang didominasi oleh tutup punggung (karapas ) yang berkulit chitin yang tebal. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi dibawah karapas itu. Anggota badannya berpangkal pada bagian dada (cephalus) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 pasang kaki jalan. Kaki jalan terdepan (nomer 1) berbentuk capit yang besar ; kaki jalan nomer 2,3 dan 4 berujung runcing yang berfungsi untuk berjalan ; kaki jalan nomer 5 berbentu pipih berfungsi sebagai dayung bila ia berenang. Pada cephalus (dada) terdapat organ2 pencernaan, organ reproduksi (gonad pada betina dan testis pada jantan). Sedangkan bagian tubuh (abdomen) melipat rapat dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung abdomen itu bermuara saluran cerna (dubur). Pada kepiting jantan , bentuk abdomen itu segitiga meruncing, terbentuk dari deretan beberapa ruas  Sedangkan kepiting betina bentuk abdomen seperti segitiga juga tetapi lebar, dibawahnya terdapat bulu-bulu (umbai-umbai) dimana telur-telurnya melekat ketika dierami.




B.     Habitat dan penyebaran
Kepiting Bakau terdapat di wilayah perairan pantai estuaria dengan kadar garam 0 sampai 35 ppt. Menyukai perairan yang berdasar lumpur dan lapisan air yang tidak terlalu dalam sekitar 10- 80 cm dan terlindung,seperti di wilayah hutan bakau. Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang biak. Dilaut dekat pantai, seringkali nelayan dapat menangkap kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur. Agaknya kepiting bakau menyukai laut sebagai tempat melakukan perkawinan , namun kepiting bakau banyak dijumpai berkembangbiak didaerah pertambakan dan hutan bakau yang berair tak terlalu dangkal ( lebih dari 0,5 m). Habitat hutan bakau itulah habitat utama bagi kepiting untuk tumbuh dan berkembang, karena memang subur dihuni oleh organisme kecil yang menjadi makanan dari kepiting bakau itu. Jadi cocok sebagai “ breeding gound” ( tempat memijah) dan “nursery ground”(tempat anak-anak kepiting berkembang/tumbuh) . Kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran geografis yang sangat luas , yaitu pantai wilayah Indo Pasific barat, dari pantai barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia Tenggara sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah utara : dari Jepang bagian selatan sampai pantai utara Australia. Dan di pantai barat Amerika bagian selatan. (Moosa et al., 1985 dalam Mardjono et al., 1994).

C.    Daur hidup dan perkembangbiakan.
Kepiting bakau ialah binatang Kelas Krustasea sama halnya dengan Udang. Badannya beruas-ruas yang tertutup oleh kulit tebal dari zat khitin. Karena itu secara periodik berganti kulit (moulting) yang memungkinkan binatang ini tumbuh pesat setelah ganti kulit . Binatang yang masih muda berganti kulit lebih sering dibanding dengan yang tua. Sehingga yang muda tumbuh lebih cepat dari pada yang telah tua. Mekanisme ganti kulit itu sejalan pula dengan periodisitas dari saat perkawinannya. Bila Kepiting (juga Udang) sedang tumbuh kembang gonadnya terjadi ketika kulitnya sedang keras (intermoult) . sedangkan menjelang perkawinan, pasti terjadi proses ganti kulit (mating moult) sehingga kulit yang betina lunak memudahkan bagi pejantannya melakukan proses perkawinan, memasukkan sperma kedalam thelycum alat kelamin) betinanya.S
.           1. Daur Hidup
Kepiting betina yang sudah kawin dan memijah (melepaskan telur-telurnya), telur lalu dibuahi (fertilisasi oleh sperma yang sudah disimpan ketika perkawinan terjadi. Telur yang sudah terfertilisasi tidak dilepaskan kedalam air melainkan segera menempel pada rambut-rambut yang terdapat pada umbai-umbai di bagian bawah abdomen. Di Indonesia yang beriklim tropika telur itu “dierami” selama 20 - 23 hari sampai menetas tergantung tingginya suhu air. Seekor induk betina kepiting bakau yang beratnya 100 gram (lebar karapas 11 cm menghasilkan telur 1 – 1,5 juta butir. Semakin besar /berat induk kepiting, semakin banyak telur yang dihasilkan. Telur yang baru difertilisasi ( dibuahi) berwarna kuning –oranje . Semakin berkembang embrio dalam telur, warna telur akan berubah menjadi semakin gelap yaitu kelabu akhirnya coklat kehitaman ketika hampir menetas. Induk yang mengerami telur biasa sedikit atau tidak makan sama sekali. Induk itu selalu menggerakkan kaki-kaki renangnya dan sering tampak berdiri tegak pada kaki dayungnya , agar telur-telur mendapat aliran air segar yang cukup oksigen. Bila waktunya telur menetas, induk kepiting itu menggarukkan kaki-kaki jalan dan kaki dayungnya terus menerus dengan cepat , untuk memudahkan pelepasan larva yang segera menyebar kesekelilingnya. . Disini fungsi kaki-kaki jalan itu penting, jika jumlahnya tidak lengkap atau cacat, akan mengganggu proses penetasan tsb. Hanya sebagian kecil saja telur yang tidak menetas dan akhirnya rontok tidak menetas. Proses penetasan telur lamanya 3-5 jam.
Telur yang baru menetas disebut stadia pre-zoea hanya dalam waktu 30 menit berubah menjadi stadia Zoea 1 . Ada 5 sub stadia Zoea yaitu Zoea-1, Zoea-2, Zoea-3, Zoea -4 dan Zoea-5. Semakin lanjut sub –stadia, terjadi penambahan organ tubuhsehingga semakin sempurna untuk pergerakan, menangkap makanan dan metabolisme tubuhnya. Setiap sub-stadia memerlukan waktu 3-4 hari untuk berubah menjadi sub-stadia selanjutnya. Sehingga tingkat Zoea seluruhnya memerlukan waktu 18-20 hari untuk menjadi stadia selanjutnya yaitu megalopa. Ukuran tubuhnya semakin besar, sehingga tidak lagi diberi pakan nauplii artemia melainkan dapat memakan artemia instar-5 . Panjang karapas 2,18 mm (termasuk duri rostral), lebar karapas 1,52 mm ; panjang abdomen 1,87 mm panjang tubuh total (termasuk duri rostral) 4,1 mm. Mempunyai pereopoda 5 pasang Abdomen terdiri 7 segmen memanjang kebelakang. Stadia berikutnya ialah Stadium Crab (kepiting muda). Bentuk dan anggota tubuhnya sudah seperti pada kepiting dewasa. Kebiasaannya cenderung di dasar perairan. Memakan makanan yang ada didasar atau yang tenggelam. Makanan yang diberikan berupa cacahan cumi-cumi, udang kecil dsb. Tetapi juga dapat memakan nauplii artemia yang planktonis. Biasanya juga diberi pakan buatan berupa mikro pellet yang kaya nutrisi, seperti yang biasa untuk larva udang. Pada kondisi normal di Panti Pembenihan (Hatchery) , lama waktu perubahan dari menetas sampai menjadi stadium Megalopa 21-23 hari. Dari Megalopa menjadi Stadium Crab-5 ialah 10-12 hari . Sehingga lama waktu pemeliharaan larva sejak telur menetas sampai menjadi benih kepiting (crab-5) siap jual hanyalah 30 –35 hari.

BAB III
PROSES PELAKSANAAN

A.    Pemilihan Lokasi Budidaya
Pemilihan lokasi budidaya harus tepat secara teknis operasional dengan mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut :
1.      Mutu air cukup baik
a.       Salinitas 15 - 30 ppt
b.      pH air 7 – 8
c.       Suhu 25 - 30 C
d.      Kandungan O >3 ppm
2.      Mudah diawasi
3.      Substrat dasar tambak adalah lumpur berpasir
4.      Untuk sistem karamba harus terhindar dari pengaruh banjir dan mudah terjangkau oleh pasang surut.
5.      Merupakan wilayah penangkapan kepiting

B.     Konstruksi Wadah Budidaya
Wadah budidaya kepiting bakau di tambak merupakan modifikasi dari pemeliharaan kepiting dengan metode pagar tancap. Wadah ini merupakan alih lahan tambak udang yang tidak produktif lagi, sehingga dimanfaatkan untuk budidaya kepiting bakau. Kelebihan kontruksi wadah budidaya ini selain padat tebar yang tinggi, wadah ini dibatasi dengan waring atas dan bawah sehingga bagian dari kontruksi ini lebih tahan lama dibandingkan dengan pagar tancap yang menggunakan bambu untuk pembatasnya. Ukuran wadah budidaya tersebut merupakan petakan-petakan yang didesain tidak terlalu besar sehingga memudahkan dalam pemberian pakan dan saat pengontrolan. Adapun panjang petakan kisaran 16 - 22 m, dengan lebar 8 – 14 m, sedangkan tinggi petakan 0.83 m dan tinggi air antara 0.25 sampai 0.60 m, sehingga petakan tersebut menampung air ± 34 sampai 438 m3 (Tabel 1).

Kontruksi tambak penggemukan kepiting tersebut dilengkapi dengan saluran inlet 8,5cm dan outlet 16cm (Gambar 8.a) terpisah sehingga memudahkan untuk pergantian atau penambahan air budidaya. Ciri-ciri khas dari sifat fisiologi piting bakau adalah membuat lubang sehingga sering membuat petakan menjadi bocor dan bila tidak ditanggulangi maka akan berdampak jebolnya pematang. Untuk mengantisipasi dari sifat kepiting yang kita budidayakan tersebut maka dipasang waring bawah (Gambar 8.b) dengan ukuran 5x5 mm.
Waring tersebut ditanam didasar tambak dengan kedalaman ±30 cm, hal ini dimaksudkan agar waring tersebut tidak mudah bergeser dan tidak ada celah untuk kepiting tersebut keluar dari wadah yang kita gunakan. Selain itu, kepiting mempunyai karakter peka terhadap polutan, sehingga seringkali kepiting naik ke pematang untuk menghindari dari kondisi perairan yang buruk. Oleh karena itu, waring dengan ukuran 20 x 20 mm dengan tinggi 80 cm dipasang dengan menggunakan tiang, berfungsi untuk menghadang kepiting agar tidak masuk kepetakan lainnya atau keluar ke sungai (Gambar 8.c).
C.    Seleksi bibit dan Jenis Kepiting Yang Dibudidayakan
Keberhasilan suatu budidaya perikanan disamping ditunjang teknik budidaya yang handal, tersedianya bibit juga sangat menentukan. Ukuran bibit kepiting yang digunakan bervariasi antara 300 - 900 gram untuk kepiting jantan dan 250 – 600 gram untuk kepiting telur (betina).
Adapun ciri-ciri dan tehnik seleksi bibit kepiting yang akan digemukan adalah sebagai berikut :
1.      Sehat memiliki warna cerah dan menarik serta tidak cacat pada organ tubuhnya.
2.      Gerakannya lincah dan gesit serta melawan pada saat akan dipegang.
3.      Untuk kepiting betina TKG 1 ditandai dengan telur yang sebesar garis.
4.      Bebas dari gangguan dan penempelan penyakit dan parasit.
Sifat kanibalisme ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena itu budidaya monosex pada produksi penggemukan kepiting (fattening crab) akan memberikan kelangsungan hidup lebih baik, sedangkan untuk melepas bibit kepiting sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar kepiting dapat beradaptasi dengan lingkungan budidaya. Ciri-ciri bibit kepiting bakau dan cara melepas kepiting dapat dilihat pada Gambar 9.

Adapun jenis kepiting bakau yang dibudidayakan (penggemukan) dapat dilihat pada gambar berikut :

Identifikasi kepiting bakau ini mengacu pada artikel ‘’A Guide to Mangroves of Singapore", dengan penulis Peter and Sivasothi (2001). Jenis kepiting bakau yang dominan dibudidayakan yaitu jenis dari scylla serrata (Gambar 10.a) walaupun ada beberapa bagian kepiting dari jenis scylla olivacea (Gambar 10.b), scylla paramamosain (Gambar 10.c) dan scylla transquebarica (Gambar 10.d). Berdasarkan warnanya, kepiting bakau dapat dibedakan yaitu S. serrata berwarna keabu-abuan hingga hijau tua seperti lumpur dan hampir sama dengan varietas S. serrata paramamossain sehingga keduanya sulit dibedakan; S. oceanica berwarna orange dan terdapat garis-garis berwarna coklat pada hampir seluruh-bagian tubuhnya kecuali bagian perut; S. transquebarica berwarna ungu sampai kehitam-hitaman dengan sedikit garis-garis berwarna coklat pada kaki jalan terakhir dan kaki renangnya. Secara umum S. oceanica dan S. transquebarica memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan S. serrata dan varietasnya paramamossain pada umur yang sama.

D.    Manajemen Pakan
Kegiatan pemberian pakan pada penggemukan kepiting (fattening crab) meliputi:
1.      Memilih jenis pakan yang sesuai.
Dalam hal ini jenis pakan yang diberikan pada penggemukan kepiting adalah ikan rucah (berbagai jenis ikan yang dipotong kecil-kecil) yang terdiri dari berbagai macam jenis ikan antara lain ; Puput, ekor kuning, gulama, sebelah atau lidah, ikan mujair, ikan putih ukuran kecil, ikan bulan-bulan, ikan bandeng, ikan bawal ukuran kecil, ikan julung-julung dan sebagainya (Gambar 11). Ikan rucah tersebut diperoleh dari pos penampungan hasil tangkapan kelong yang ada di Jl. Perikanan Jembatan Bongkok, Kota Tarakan (Gambar 12). Harga untuk perkilogramnya Rp.2000 rupiah dan biasanya kebutuhan pakan perharinya mencapai 25-35 kg untuk 6 petak budidaya tersebut, sehingga cost pakan yang diperlukan untuk sekali produksi ± Rp 300.000 rupiah/petak.
2.      Cara pemberian pakan.
Pakan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi dan diperhatikan kualitasnya dalam budidaya penggemukan kepiting. Selain itu, kebiasaan makan kepiting harus dipelajari, Sebelum pemberian pakan ikan rucah tersebut di potong-potong sampai ukuran kecil (Gambar 13), kemudian pemberian pakan dilakukan sore hari mengingat dari fisiologi atau tingkah laku kepiting yang lebih aktif mencari pakan dalam suasana gelap (nocturnal). Dan kepiting merupakan pemakan di dasar perairan sehingga menu pakan yang tenggelam merupakan syarat utama untuk membudidayakan kepiting. Pemberian pakan tersebut dapat dilakukan dengan cara ditebar merata keseluruh petakan tambak.
3.      Dosis pakan.
Untuk penggemukan kepiting tersebut dosis pakan sebanyak 10 – 15 % dari total biomassa dengan frekuensi pemberian pakan 1 x sehari, pada sore hari dan biasa berat pakan yang diberikan antara 5-7 kg per petaknya. Jumlah pakan diberikan disesuaikan dengan kebutuhan, dapat dilihat dari sisa pakan yang tidak termakan. Jika pakan dimakan seluruhnya, maka pemberian pakan selanjutnya sebaiknya ditambah. Dan sebaliknya apabila faktor lingkungan tidak bersahabat hal itu membuat selera nafsu makan kepiting munurun dan mengakibatkan sisa pakan yang berdampak pembusukan yang menimbulkan bau tak sedap (H2S).


E.     Parameter Kualitas Air
Salah satu parameter kualitas air yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan kepiting adalah kandungan Ammonik dan nitrit yang dapat menyebabkan kematian kepiting. Kandungan nitrit sebesar 1 ppm dam amoniak sebesar 5 ppm, penyebab kematian kepiting. Timbulnya nitrit secara berlebihan di dalam tambak merupakan hasil perombakan bahan organik yang tidak sempurna sehingga menimbulkan senyawa beracun, kondisi seperti ini bisa ditimbulkan oleh sisa pakan yang mengendap di dasar tambak. Bakteri anaerob sangat membantu proses penguraian nitrit menjadi nitrat sebagai senyawa yang tidak lagi beracun yang disebut proses nitrifikasi.
Tabel Kualitas Air
No
Variabel
Satuan
Kisaran
1.
Suhu
oC
27 – 30
2.
Salinitas
Ppt
18 – 25
3.
Oxygen
Ppm
4.0 – 5
4.
Kecerahan
Cm
50 – 70
5.
Ph
6,5 – 7,5
6.
Ammoniak
Pm
< 0,5
7.
Nitrit
Ppm
< 0,05


F.     Metode Panen
Metode panen yang digunakan dalam budidaya penggemukan kepiting ini terbagi menjai 2 kelompok yaitu:
1.      Panen Total
Panen Total dilakukan dengan cara mengeringkan kolam secara total sehingga produksi total dapat segera diketahui. Kerugian sistem ini adalah kepiting yang belum gemuk dan belum memenuhi syarat konsumsi ikut terpanen. Selain itu juga pada proses penangkapan yang lamban menyebabkan kepiting kepanasan sehingga mengakibatkan dehidrasi yang menurunkan kondisi fisik dan dapat pula menyebabkan kematian.
2.      Panen selektif
Panen Selektif dilakukan dengan menggunakan ambau tancap, tanpa harus mengeringkan kolam dan yang tertangkap dapat diseleksi. Kerugian sistem ini adalah banyak membutuhkan tenaga dan waktu, tetapi kondisi fisik dari kepiting tersebut masih dalam keadaan stabil.

G.    Pasca Panen
Dalam rangkaian usaha budidaya kepiting, proses panen, penanganan hasil panen, distribusi dan pemasaran merupakan serangkaian kegiatan yang menunjang keberhasilan budidaya. Untuk mempertahankan mutu produk segar maupun olahan, maka kegiatan panen, penanganan hasil panen dan pendistribusiannya harus dipertimbangkan langkah-langkah yang tepat untuk memelihara kesehatan/kesegaran dan menghindari kerusakan fisik.
Beberapa prinsip penanganan kepiting hasil panen perlu memperhatikan faktor-faktor waktu, suhu, higienis sejak kepiting itu dipanen hingga diserahkan kepada pembeli atau diolah. Panen perlu dilakukan secara cepat dan hati-hati untuk menghindari stres yang berlebihan. Faktor suhu dapat mempengaruhi laju metabolisme, kesehatan, kesegaran dan laju dehidrasi. Kehilangan berat sekitar 3 - 4% akibat dehidrasi pada proses penyimpanan kepiting tanpa air dapat menyebabkan kematian. Penyimpanan kepiting tanpa air pada suhu kurang dari 12oC atau lebih besar dari 32oC dapat menyebabkan kematian kepiting.
Kepiting yang baru saja dipanen harus segera diikat supaya tidak lepas dan saling menyerang, memudahkan seleksi dan penanganan selanjutnya. Pengikatan dapat dilakukan dengan dua cara yakni:
1.      Pengikatan seluruh kaki dan capit sehingga kepiting tidak mampu bergerak, Pengikatan ini mempunyai kelemahan bila dibiarkan dalam beberapa hari, ketika akan dilepas, kepiting menjadi lumpuh, tidak lincah sehingga dinilai lemah/sakit yang dapat menurunkan mutu.
2.      Pengikatan pada capit saja sehingga kepiting masih mampu berjalan tetapi tidak dapat menyerang sedangkan pengikat cara kedua kepiting masih bisa lari kecuali yang lemah sehingga peluang lepas bila tempat penyimpanan tidak tertutup.
Kepiting yang telah diikat, disortir, disusun rapi di dalam keranjang atau semacamnya bersusun 3 - 5 lapis dengan kondisi keranjang cukup memiliki ventilasi/lubang untuk sirkulasi udara. Dalam keadaan ini dapat disimpan dalam ruangan lembab bersuhu rendah. Ditingkat petani sering ditutup dengan karung bersih dan basah dan segera dikirim kepada konsumen. Oleh karenanya, jumlah panen perlu diperhitungkan supaya cukup dan secara ekonomi menguntungkan dengan mempertimbangkan biaya transport. Bila karena sesuatu hal kepiting yang telah diikat tadak dapat segera dikirim kepada konsumen/pembeli, maka setiap 12 jam dapat dicelup dalam air asin selama beberapa menit untuk menghindari dehidrasi. Bila ada yang lemah sekali atau mati harus segera dipisahkan untuk menghindari kematian kepiting lainya. Kepiting yang lemah, kurang sehat ditandai dengan gerakan tangkai mata dan kaki renang yang lamban, serta keluar busa dari mulutnya. Meskipun telah diketahui kepiting tahan hidup tanpa air selama beberapa hari, namun untuk mempertahankan mutu perlu penanganan serius, misalnya bila terjadi satu ekor saja yang mati dan membusuk di antara kepiting yang banyak akan segera menular dan terjadi kematian yang lain, sehingga sering terdengar kasus kerugian karena tiba di tempat konsumen/tujuan kepiting banyak yang mati, padahal pada saat dikirim masih hidup.

H.    Mengikat Kepiting
Kepiting   mempunyai  capit  yang  kuat,  dan  anggota  badannya  mudah  putus, sedangkan bila anggota badan tidak lengkap, harga jualnya akan menurun. Karena itu keterampilan cara mengikat kepiting haruslah dipelajari dengan cermat. Dibawah ini  disajikan  langkah-langkah  yang  harus  dilakukan  untuk  mengikat  kepiting  hidup dengan cara yang baik dan benar, agar kepiting tidak putus angota badan dan orang yang  mengikatnya  tidak  terluka  seperti  di  lukiskankan  oleh   Rattanachote  dan Dangwatanakul ( 1991).

BAB V
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Indonesia terdiri dari sekitar 17.000 pulau dan mempunyai panjang pantai sekitar 81.000 km. Dengan kondisi alam dan ikilm yang hampir tidak banyak mengalami perubahan sepanjang tahun, maka memungkinkan banyaknya jenis biota ekonomis penting yang hidup di perairan pantai, Salah satu di antaranya adalah kepiting bakau
Kepiting Bakau (Scyla serrata) adalah salah satu jenis biota yang sumberdaya alamiahnya sebenarnya sangat luas mengingat habitatnya meliputi seluruh wilayah hutan bakau dan daerah estuaria. Kepiting banyak di temukan di daerah hutan bakau sehingga di indonesi lebih di kenal dengan sebutan hutan bakau (mangrove crab). Jenis ini yang paling populer sebagai bahan makanan dan memiliki harga jual yang sangat tinggi. Jenis lain yang juga banyak di jumpai adalah rajungan
Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik di pasar domestik (dalamnegeri) maupun pasar mancanegara luar negeri), terutama kepiting yang sudahmatang gonad dan sudah dewasa serta gemuk (Kanna, 2008). Berkembangnya pasar kepiting bakau menjadi suatu  tantangan untuk meningkat kan produksi secara berkesinambungan. Dengan mengandalkan produksi semata dari alam/tangkapan jelas sepenuhnya dapat di harapkan kesinambungan produksinya. Usaha budidaya kepiting bakau harus di dukung oleh tersedianya lahan yang bebas polusi, benih dan kemampuan pengelolaan secara teknis maupun menajeman. Lahan pemeliharaan dapat menggunakan tambak tradisional sebagaimana di pakai untuk udang dan bandeng (Ikannapoleon, 2012).
B.     Saran
1.        Kepada tenaga kesehatan diharapkan dapat memahami tentang bahaya penyakit yang terjadi pada budidaya kepiting bakau dan penanganan yang tepat terhadap bahaya tersebut
2.        Bagi petani kepiting di harapkan dapat memahami bagaimana cara yang dalam pengolahan kepiting bakau agar bahaya yang di timbulkan bisa di atasi.
 

DAFTAR PUSTAKA

Napoleon, I. (2012). Budidaya kepiting bakau (scylla serrata) untuk meningkatkan potensi hasil perikanan. Didapat tanggal 1 November 2013 dari http://ikannapoleon.wordpress.com
Pusluh. (2011). Materi penyuluhan kepiting bakau. Didapat tanggal 1 November 2013 dari www.pusluh.kkp.go.id/index.php/arsip/.../kepiting.pdf.
Kanna.I.(2008). Budi daya kepiting bakau.Yogyakarta: Kanisius









Tidak ada komentar: