PENGERTIAN
Cidera kepala
adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.
PATOFISIOLOGI
Cidera kepala TIK - oedem
-
hematom
Respon
biologi Hypoxemia
Kelainan
metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan
Sel otak
Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis Stress
Aliran darah keotak ¯ tahanan vaskuler katekolamin
Sistemik
& TD sekresi asam lambung
O2 ¯ Ã ggan metabolisme ¯ tek. Pemb.darah Mual,
muntah
Pulmonal
Asam laktat tek. Hidrostatik
Asupan nutrisi kurang
Oedem otak kebocoran
cairan kapiler
Ggan perfusi jaringan oedema paru à cardiac out put ¯
Cerebral
Difusi O2
terhambat Ggan perfusi
jaringan
Gangguan pola napas Ã
hipoksemia, hiperkapnea
Cidera otak
primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul
segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar
otak, laserasi.
Cidera otak
sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan
kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Proses-proses
fisiologi yang abnormal:
-
Kejang-kejang
-
Gangguan saluran nafas
-
Tekanan intrakranial meningkat
yang dapat disebabkan oleh karena:
·
edema fokal atau difusi
·
hematoma epidural
·
hematoma subdural
·
hematoma intraserebral
·
over hidrasi
-
Sepsis/septik syok
-
Anemia
-
Shock
Proses fisiologis
yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Perdarahan
yang sering ditemukan:
·
Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang
tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal
media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup
sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1
– 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala,
muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat
kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
·
Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan
jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu
dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik
diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
·
Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala,
penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi
pupil, perubahan tanda-tanda vital.
·
Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid
akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada
cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala,
penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
Penatalaksanaan:
Konservatif
- Bedrest total
- Pemberian obat-obatan
- Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
Pengkajian
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan
mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola
napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan
napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial
terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang
diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu
bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat
terjadi :
- Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
- Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
- Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
- Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
- Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan
berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising
usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam
keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur
karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan
antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan
antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula
terjadi penurunan tonus otot.
Pemeriksaan Diagnostik:
- CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
- Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
- X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
- Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
- Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Prioritas
perawatan:
- memaksimalkan perfusi/fungsi otak
- mencegah komplikasi
- pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
- mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
- pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1)
Perubahan perfusi jaringan
serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral;
penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2)
Resiko tinggi pola napas tidak
efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3)
Perubahan persepsi sensori b. d
perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4)
Perubahan proses pikir b. d
perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5)
Kerusakan mobilitas fisik b. d
kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan
/kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
6)
Resiko tinggi terhadap infeksi
b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia,
stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7)
Resiko tinggi terhadap
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk
mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan
untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8)
Perubahan proses keluarga b. d
transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
9)
Kurang pengetahuan mengenai
kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1)
Perubahan perfusi jaringan
serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma);
edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
- Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
- Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi
|
Rasional
|
Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan
otak dan potensial peningkatan TIK.
Pantau /catat
status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
Evaluasi
keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap
cahaya.
Pantau
tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Pantau intake
dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Turunkan
stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Bantu pasien
untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan
kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Batasi
pemberian cairan sesuai indikasi.
Berikan oksigen
tambahan sesuai indikasi.
Berikan obat
sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif,
antipiretik.
|
Penurunan
tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan
awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
Mengkaji
tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
Reaksi pupil
diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah
batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara
persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan
fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor
(III).
Peningkatan TD
sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar)
merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan
kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia
cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan
kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan
menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Bermanfaat
sebagai ndikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi
jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus.
Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran
pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.
Memberikan efek
ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat
untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Aktivitas ini
akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat
meningkatkan TIK.
Meningkatkan
aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema
atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
Pembatasan
cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi
aliran vaskuler TD dan TIK.
Menurunkan
hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah
serebral yang meningkatkan TIK.
Diuretik
digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema
otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan
edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya
aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan
untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau
mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral
atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
|
2)
Resiko tinggi pola napas tidak
efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
·
mempertahankan pola pernapasan
efektif.
Kriteria evaluasi:
·
bebas sianosis, GDA dalam batas
normal
Intervensi
|
Rasional
|
Pantau
frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Pantau dan
catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi
jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Angkat kepala
tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Anjurkan pasien
untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Lakukan
penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat
karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Auskultasi
suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang
tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Pantau analisa
gas darah, tekanan oksimetri
Lakukan ronsen
thoraks ulang.
Berikan oksigen.
Lakukan
fisioterapi dada jika ada indikasi.
|
Perubahan dapat
menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya
keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanis.
Kemampuan
memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan
napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas
buatan atau intubasi.
Untuk
memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan
lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
Mencegah/menurunkan
atelektasis.
Penghisapan
biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak
dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang
lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang
pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
Untuk
mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau
obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
menandakan terjadinya infeksi paru.
Menentukan
kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Melihat kembali
keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi
atau bronkopneumoni.
Memaksimalkan
oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Walaupun
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi
tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.
|
3)
Resiko tinggi terhadap infeksi
b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia,
stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda
infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi
|
Rasional
|
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik,
pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Observasi
daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi,
catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Pantau suhu
tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan kesadaran).
Anjurkan untuk
melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus.
Observasi karakteristik sputum.
Berikan
antibiotik sesuai indikasi
|
Cara pertama untuk menghindari terjadinya
infeksi nosokomial.
Deteksi dini
perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
Dapat
mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
tindakan dengan segera.
Peningkatan
mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya
pneumonia, atelektasis.
Terapi
profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS
atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.
|
Daftar pustaka
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak.
PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar