I.
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Trauma thorax
adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda
paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah
tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya
perdarahan.
Pneumotorax adalah
terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
B. Anatomi
1.
Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang
terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi
oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus
intervertebralis).
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.
Isi :
ò Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru
beserta pembungkus pleuranya.
ò
Mediatinum : ruang di dalam
rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan
pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan
vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar
limfe (Pearce, E.C., 1995).
Gambar Rongga Thoraks :
Jantung Sternum
& perikardium Saraf
frenikus
Vena
Kava Superior
Trakea Left Right Oesophagus
Lung lung Saraf
vagus
Aorta Vertebra
Sal.
Torasika
Patofisiologi
Trauma Thorax
Mengenai rongga toraks sampai Terjadi robekan Pemb. Darah intercostal,
rongga pleura, udara bisa pemb.darah jaringan paru-paru.
masuk (pneumothorax)
Terjadi
perdarahan :
Karena tekanan negative intrapleura (perdarahan jaringan
intersititium, perarahan intraalveolar
Maka udara luar akan terhisap masuk diikuti kolaps kapiler kecil-kecil dan
atelektasi)
ke rongga pleura (sucking wound)
tahanan
perifer pembuluh paru naik
(aliran
darah turun)
- Open penumothorax
- Close pneumotoraks =
ringan kurang 300 cc ® di punksi
- Tension pneumotoraks =
sedang 300 - 800 cc ®
di pasang drain
=
berat lebih 800 cc ®
torakotomi
Tek. Pleura meningkat terus
Tek.
Pleura meningkat terus
mendesak
paru-paru
(kompresi
dan dekompresi)
pertukaran
gas berkurang
- sesak napas yang progresif = sesak napas yang progresif
(sukar
bernapas/bernapas berat) = nyeri bernapas / pernafsan
asimetris/adanya jejas atau trauma
- nyeri bernapas =
pekak dengan batas jelas/tak jelas.
- bising napas berkurang/hilang = bising napas tak terdengar
- bunyi napas sonor/hipersonor = nadi cepat/lemah
- poto toraks gambaran udara lebih ¼
anemis / pucat
dari rongga torak =
poto toraks 15 - 35 % tertutup bayangan
WSD/Bullow Drainage
-
terdapat luka pada WSD - Kerusakan integritas
kulit
-
nyeri pada luka bila untuk - Resiko terhadap infeksi
bergerak. -
Perubahan kenyamanan : Nyeri
perawatan WSD harus di - Ketidak efektifan pola pernapasan
perhatikan. -
Gangguan mobilitas fisik
-
Inefektif bersihan jalan napas - Potensial Kolaboratif :
Atelektasis dan
Pergeseran mediatinum
C. Pemeriksaan Penunjang :
a.
Photo toraks (pengembangan
paru-paru).
b.
Laboratorium (Darah Lengkap dan
Astrup).
D. Penatalaksanaan
1.
Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a.
Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh
dalam shock.
b.
Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"
dapat kembali seperti yang seharusnya.
c.
Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.
2.
Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a.
Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di
bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu
diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak
boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b.
Mengurangi rasa sakit
dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh
dokter.
c.
Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
-
Penetapan slang.
Slang diatur
se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan
bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat
dikurangi.
-
Pergantian posisi badan.
Usahakan agar
pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi
tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil
mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d.
Mendorong berkembangnya
paru-paru.
ò Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
ò Latihan napas dalam.
ò Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk
waktu slang diklem.
ò Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e.
Perhatikan keadaan dan
banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam
24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam
melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan
bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f.
Suction harus berjalan efektif
:
Perhatikan setiap
15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24
jam setelah operasi.
ò
Perhatikan banyaknya cairan,
keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi,
tekanan darah.
ò
Perlu sering dicek, apakah
tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah
posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi
miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat
oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup
oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g.
Perawatan "slang" dan
botol WSD/ Bullow drainage.
1)
Cairan dalam botol WSD diganti
setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2)
Setiap hendak mengganti botol
dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow
drainage.
3)
Penggantian botol harus
"tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem"
slang pada dua tempat dengan kocher.
4)
Setiap penggantian botol/slang
harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5)
Penggantian harus juga
memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6)
Cegah bahaya yang menggangu
tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh
karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila
:
a.
Paru sudah mengembang penuh
pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b.
Darah cairan tidak keluar dari
WSD / Bullow drainage.
c.
Tidak ada pus dari selang WSD.
3.
Pemeriksaan penunjang
a.
X-foto thoraks 2 arah (PA/AP
dan lateral)
b.
Diagnosis fisik :
Ø Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap
simtomatik, observasi.
Ø Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase
cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues
suction unit.
Ø Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi
Ø Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain
lebih dari 800 cc segera thorakotomi.
4.
Terapi :
a.
Antibiotika..
b.
Analgetika.
c.
Expectorant.
E.
Komplikasi
1.
tension penumototrax
2.
penumotoraks bilateral
3.
emfiema
II.
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian :
Point yang penting dalam
riwayat keperawatan :
1.
Umur : Sering terjadi usia 18 -
30 tahun.
2.
Alergi terhadap obat, makanan
tertentu.
3.
Pengobatan terakhir.
4.
Pengalaman pembedahan.
5.
Riwayat penyakit dahulu.
6.
Riwayat penyakit sekarang.
7.
Dan Keluhan.
B. Pemeriksaan Fisik :
1.
Sistem Pernapasan :
ò
Sesak napas
ò
Nyeri, batuk-batuk.
ò
Terdapat retraksi
klavikula/dada.
ò
Pengambangan paru tidak
simetris.
ò
Fremitus menurun dibandingkan
dengan sisi yang lain.
ò
Pada perkusi ditemukan Adanya
suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks (redup)
ò
Pada asukultasi suara nafas
menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
ò
Pekak dengan batas seperti
garis miring/tidak jelas.
ò
Dispnea dengan aktivitas
ataupun istirahat.
ò
Gerakan dada tidak sama waktu
bernapas.
2.
Sistem Kardiovaskuler :
ò
Nyeri dada meningkat karena
pernapasan dan batuk.
ò
Takhikardia, lemah
ò
Pucat, Hb turun /normal.
ò
Hipotensi.
3.
Sistem Persyarafan :
ò
Tidak ada kelainan.
4.
Sistem Perkemihan.
ò
Tidak ada kelainan.
- Sistem Pencernaan :
ò
Tidak ada kelainan.
- Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
ò
Kemampuan sendi terbatas.
ò
Ada luka bekas
tusukan benda tajam.
ò
Terdapat kelemahan.
ò
Kulit pucat, sianosis,
berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
- Sistem Endokrine :
ò
Terjadi peningkatan
metabolisme.
ò
Kelemahan.
- Sistem Sosial / Interaksi.
ò
Tidak ada hambatan.
- Spiritual :
ò
Ansietas, gelisah, bingung,
pingsan.
10.
Pemeriksaan Diagnostik :
ò
Sinar X dada : menyatakan
akumulasi udara/cairan pada area pleural.
ò
Pa Co2 kadang-kadang menurun.
ò
Pa O2 normal / menurun.
ò
Saturasi O2 menurun (biasanya).
ò
Hb mungkin menurun (kehilangan
darah).
ò
Toraksentesis : menyatakan
darah/cairan,
Diagnosa Keperawatan :
1.
Ketidakefektifan pola
pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi
udara/cairan.
2.
Inefektif bersihan jalan napas
berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
3.
Perubahan kenyamanan : Nyeri
akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4.
Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan
alat eksternal.
5.
Resiko Kolaboratif :
Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6.
Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7.
Resiko terhadap infeksi
berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
F. Intevensi Keperawatan :
1.
Ketidakefektifan pola
pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
ò
Memperlihatkan frekuensi
pernapasan yang efektive.
ò
Mengalami perbaikan pertukaran
gas-gas pada paru.
ò
Adaptive mengatasi
faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
a.
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala
tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan
ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
b.
Obsservasi fungsi pernapasan,
catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi
sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya
syock sehubungan dengan hipoksia.
c.
Jelaskan pada klien bahwa
tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d.
Jelaskan pada klien tentang
etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
e.
Pertahankan perilaku tenang,
bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan
dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
f.
Perhatikan alat bullow drainase
berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
1)
Periksa pengontrol penghisap
untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang
diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2)
Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada
batas yang ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah
udara atmosfir masuk ke area pleural.
3)
Observasi gelembung udara botol
penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari
penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan
ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat
menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4)
Posisikan sistem drainage slang
untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah
saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada
selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5)
Catat karakter/jumlah drainage
selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan
yang memerlukan upaya intervensi.
g.
Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain :
1)
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
ò
Pemberian antibiotika.
ò
Pemberian analgetika.
ò
Fisioterapi dada.
ò
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
2.
Inefektif bersihan jalan napas
berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
ò
Menunjukkan batuk yang efektif.
ò
Tidak ada lagi penumpukan
sekret di sal. pernapasan.
ò
Klien nyaman.
Intervensi :
a.
Jelaskan klien tentang kegunaan
batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
b.
Ajarkan klien tentang metode
yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.
1)
Napas dalam dan perlahan saat
duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2)
Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
3)
Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan,
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4)
Lakukan napas ke dua , tahan dan
batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran
sekresi sekret.
c.
Auskultasi paru sebelum dan
sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu
mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
d.
Ajarkan klien tindakan untuk
menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat;
meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan
mukus, yang mengarah pada atelektasis.
e.
Dorong atau berikan perawatan
mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah bau mulut.
f.
Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain :
Dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi.
ò
Pemberian expectoran.
ò
Pemberian antibiotika.
ò
Fisioterapi dada.
ò
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
3.
Perubahan kenyamanan : Nyeri
akut berhubungan dengan trauma jaringan
dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
ò
Nyeri berkurang/ dapat
diadaptasi.
ò
Dapat mengindentifikasi
aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
ò
Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
a.
Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1)
Ajarkan Relaksasi :
Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan
intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh
jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2)
Ajarkan metode distraksi selama
nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
b.
Berikan kesempatan waktu
istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur,
belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
c.
Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan
dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
d.
Kolaborasi denmgan dokter,
pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
e.
Observasi tingkat nyeri, dan
respon motorik klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam
setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang
obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang
tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa
Keperawatan. Jakarta
: EGC.
Depkes. RI. (1989). Perawatan
Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah. Jakarta : Pusdiknakes.
Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan
Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan. Jakarta : EGC.
Hudak, C.M. (1999) Keperawatan
Kritis. Jakarta
: EGC.
Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu
Bedah. Jakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar