BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap makhluk hidup, termasuk
manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan,
kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri
dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan
salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum
berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu
diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan
hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk
mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna
menghentikan penderitaannya.
Hak pasien untuk mati, yang
seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para
ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika
terjadi kasus-kasus menarik.
Untuk itulah masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia
sangat menarik untuk dibahas.
B. Tujuan
1. Untuk
mengetahui konsep dasar mengenai Brain Death, Euthanasia dan aspek etika dan
hukum dalam kasus tersebut.
2. Untuk
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga dan tenaga kesehatan
baik dokter maupun perawat terhadap kasus Euthanasia.
3. Untuk
mengetahui bagaimana peran masing- masing profesi yaitu perawat dan tenaga
kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan dengan
etika dan hukum keperawatan.
4. Untuk
mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan
untuk kasus Euthanasia.
5. Untuk
mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia.
C. Manfaat
Mampu menerapkan dan
melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang seharusnya dilakukan oleh
seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam pengambilan keputusan
mengenai masalah Euthanasia.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BRAIN DEATH
Tahun 1950
kematian otak didefinisikan sebagai terhentinya sirkulasi darah secara total,
dan terhentinya fungsi vital seperti pernapasan, pulsasi. Dengan berkembangnya
ilmu dan teknologi Cardiopulmonary resuscitation (CPR), fungsi vital dapat
dipertahankan meskipun ada gangguan sistem saraf pusat irrevesible. Definisi
kematian otak mengalami perubahan dari segi medis dan hukum. Kematian otak
tanpa kematian organ tubuh yang lain memungkinkan transplantasi organ bila
penderita tidak mungkin pulih.
Tahun 1967
American Electroencephalographic Society meneliti 1665 penderita dengan
electrocerebral silence. Aktivitas listrik otak tidak lebih dari 2 μV antara
pasangan elektrode yang berjarak 10 cm atau lebih. Penderita mengalami koma
dengan berbagai stadium. Hanya 3 penderita yang pulih fungsi cerebralnya.
Penderita ini koma akibat obat, 2 penderita koma akibat barbiturat dan 1
penderita akibat meprobamat. Electrocerebral silence dengan tanda apnea, tidak
ada respons, tidak ada refleks cephalic, dan tidak bisa mempertahankan
sirkulasi tanpa bantuan alat, didiagnosis koma irreversible (cerebral death),
yang disebut electrocerebral inactivity.
Tahun 1968
konsensus Ad Hoc Committee dari Harvard Medical School mendefinisikan koma
ireversibel sebagai tiadanya respons dari rangsangan luar, tidak ada
pergerakan, tidak ada napas, tidak ada refleks, dan EEG datar. Tahun 1975
American Neurological Association memperbarui definisi koma Harvard karena
tidak sesuai untuk anak usia di bawah 5 tahun. Sistem saraf immature dapat
bertahan pada periode electrocerebral silence.
Definisi
kematian otak dibahas oleh beberapa organisasi seperti American Bar
Association, American Medical Association, dan National Conference of
Commissioners on Uniform State Laws. Pada tahun 1981 kematian otak
didefinisikan sebagai tidak berfungsinya sirkulasi dan pernapasan ireversibel,
atau tidak berfungsinya semua fungsi otak ireversibel termasuk batang otak.
Definisi ini berdasarkan fakta bahwa fungsi otak tidak bisa kembali sesudah 6
jam tidak berfungsi, berdasarkan pemeriksaan fisik dan EEG. Bila tidak ada
tes-tes konfirmasi, observasi dilakukan sedikitnya selama 12 jam. Pada kasus
jejas anoksia, observasi dilakukan sampai 24 jam. Pedoman ini tidak melibatkan
kriteria usia penderita.
Definisi tersebut
yaitu:
Seseorang dengan otak
tidak berfungsi ireversibel dinyatakan meninggal dunia bila:
- Diketahui semua fungsi otak tidak berfungsi.
- Tidak ada fungsi serebral, misal tidak ada
respons
- Tidak berfungsi batang otak, seperti refleks
cahaya pupil, refleks kornea, refleks okulosefalik/okulovestibuler,
refleks orofaringeal, pernapasan seperti apnea.
- Diketahui tidak berfungsinya otak bersifat
ireversibel
- Penyebab koma diketahui dan bermakna sebagai
penyebab kehilangan fungsi otak, faktor peluang pemulihan fungsi otak
disingkirkan.
- Kegagalan fungsi otak menetap selama masa
observasi atau percobaan terapi.
- Komplikasi disingkirkan, seperti keracunan obat
dan metabolik
- Hipotermia
- Usia di bawah 5 tahun
- Syok sirkulasi
- Observasi sudah dilakukan dengan waktu yang
cukup, tanpa tes-tes konfirmasi 12 jam sejak penyebab kondisi ireversibel
diketahui
- Jejas anoksia otak
- Dengan tes-tes konfirmasi (mempersingkat waktu
observasi), diagnosis kematian otak ditentukan dengan Electroencephalography
(EEG): tidak ada fungsi korteks, bersifat ireversibel, dengan ditandai
electrocerebral silence, dan klinis tidak ada fungsi batang otak. Cerebral
Blood Flow (CBF): tidak ada aliran§ darah otak yang ditunjukkan dengan pemindai radionuklida
(radionuclide scanning) atau angiografi serebral 4 pembuluh darah intrakranial,
dan klinis tidak ada fungsi otak selama minimal 6 jam.
BRAINDEATH
(Kematian otak)
Kematian otak didefinisikan sebagai terhentinya sirkulasi darah
secara total dan terhentinya fungsi vital seperti, pernapasan, pulsasi.
Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi Cardiopulmonary
Resuscitation (CPR), fungsi vital dapat dipertahankan meskipun ada
gangguansistem saraf pusat irrevesibel.
Definisi kematian otak mengalami
perubahan dari segi medis dan hukum, kematian otak tanpa kematian organ tubuh
yang lain kemungkinan transplantasi organ bila penderita tidak mungkin pulih.
Tanda-tanda kematian otak menurut Harvard
Medical School antara lain adalah:
·
Koma serta tiada memberikan responpada apapun.
·
Tidak ada pergerakan.
·
Tidak ada pernapasan (ketika diberhentikan alat
bantuan).
·
Tidak ada tindakan refleksi dari pangkal otak.
·
Grafik uji aktiviti otak akan menunjukkan tiada
aktiviti (flat E.E.G).
·
Tidak ada pergerakan darah ketika digoyangkan
kepala.
B.
EUTHANASIA
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani,
yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity,
& Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan
dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas
adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk
melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan
kejahatan.
Di beberapa Negara seperti Amerika
Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana. Juga di
Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang &
diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi
Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh
diri sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya
‘hak untuk mati’.
Dilihat dari segi agama Samawi,
euthanasia & bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah
kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan.
Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal
dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh
karenanya tidak dibenarkan.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran
Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke
alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan
nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan
penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup
seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara
sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup
pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu
nafas, atau menunda operasi.
C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas
dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi
euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:
- Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena,
misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian
segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak
menunjang.
- Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
- Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
- Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam
keadaan & alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh
diri.
- Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
- Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
Aspek hukum:
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP
hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan
sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat
latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup,
& tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Aspek Hak Azazi:
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan
dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas
adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan
pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya
hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya
terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari
segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang
hebat.
Aspek Ilmu
pengetahuan:
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan
penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak
boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam habisnya keuangan.
Aspek Agama:
Kelahiran & kematian merupakan hak
prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia
ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa
seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh
atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita
imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
KELALAIAN
kelalaian adalah petindak/pelaku tidak
menduga terhadap timbulnya akibat dari tindakannya. Akibat yang terjadi adalah
diluar kehendak dari petindak dan tidak ada motif dari petindak untuk
menimbulkan akibat tersebut.
MALPRAKTIK
Malpraktik adalah tindakan yang dilakukan
secara sadar, dengan tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan
atau petindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah
diketahuinya melanggar UU.
Menurut kepustakaan hukum pidana yang
dimaksud Medical Malpractice yang mengandung unsur-unsur:
1. Neglegent
Medical Care, dalam arti kealpaan besar.
2. Standard
of care / standard profession yang menjadi ukuran sebagai petunjuk menurut ilmu
pengetahuan dalam menjalankan profesi.
3. Tidak
ada accident, risk in treatment, error in judgement sebagai resiko medik.
4. Adanya
informed consent yang terkait dengan medical record.
5. Medical
liability baik yang bersifat strict liability, vicarious liability, corporate
liability.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk:
1. Malfeasance
Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau
tidak tepat (improper unawful) atau tidak layak. Mis: melakukan tindakan medis
tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper.
2. Misfeasance
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance). Mis: melakukan
tindakan medis dengan menyalahi prosuder.
3. Nonfeasance
Tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk
dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang sering
terjadi.
Berkaitan dengan malpraktikketentuan pidana
baik berupa ketidaksengajaan (professional misconducts ataupu akibat lupa /
kelalaian) sebagai berikut:
1. Menyebabkan
mati atau luka karena kelalaian (pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP, pasal 361
KUHP).
2. Penganiayaan
(pasal 351 KUHP) untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien (Informed
Consent).
3. Aborsi
(pasal 341 KUHP, pasal 342 KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347 KUHP, pasal 348
KUHP, pasal 349 KUHP).
4. Euthanasia
(pasal 344 KUHP, pasal 345 KUHP).
5. Keterangan
palsu (pasal 267-268 KUHP).
TINDAKAN PROFESIONAL
YANG DAPAT DILAKUKAN
Euthanasia adlah tindakan yang dilakukan
dengan persetujuan dan dilakukan dengan tujuan utama adalah menghentikan
penderitaan pasien.
Euthanasia pasif juga bisa dikategorikan
sebagai tindakan euthanasia negatif dimana tidak dipergunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan sii sakit. Permintaan terhadap
dilakukannya euthanasia pasif ini biasa terjadi pada keluarga yang mengalami
kesulitan dalam biaya pengobatan.
Braindeath (kematian otak) adalah
terhentinya sirkulasi darah secara total dan terhentinya fungsi vital seperti
pernapasan, pulsasi.
Sebagai klien / pasien mempunyai otonomi
terhadap tubuhnya. Dalam kasus ini, perawat mempunyai peran dalam memberikan
asuhan keperawatan, peran advocad (pembela) serta sebagai konselor kematian bagi pasien tersebut untuk hidup dan
menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian, perawat diharapkan mampu
memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga pasien bahwa pasien berhak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak melakukan tindakan
euthanasia, perawat menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternatif
bantuan biaya pengobatan, perawat memberikan informasi mengenai kondisi pasien
agar keluarga dapat mengambil sikap untuk memutuskan tindakan yang terbaik
untuk pasien.
TANGGUNG JAWAB PERAWAT
Bab 5 dalam kode etik keperawatan terdiri
dari 2 pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap pemerintah,
bangsa, dan tanah air. Dengan penjabarannya sebagai berikut:
1. Tanggung
jawab perawat terhadap klien
a. Perawat
dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada tanggung jawab
yang bersumber pada adanya kebutuhan terhadap keperawatan individu, keluarga
dan masyarakat.
b. Perawat
dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan, memelihara suasana
lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan
hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
c. Perawat
dalam melaksanakan kewajibannyaterhadap individu, keluarga dan masyarakat,
senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur
keperawatan.
d. Perawat
menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat, khususnya
dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta upaya
kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi
kepentingan masyarakat.
2. Tanggung
jawab perawat terhadap tugas
a. Perawat
memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
profesional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat.
b. Perawat
wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas
yang dipercayakan kepadanya, kecuali diperlukan oleh pihak yang berwenangsesuai
dengan ketentuan yang belaku.
c. Perawat
tidak akan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan keperawatan yang dimilikinya
dengan tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
d. Perawat
dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, senantiasa berusaha dengan penuh
kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna
kulit, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, dan kedudukan sosial.
e. Perawat
mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien/klien dalam melaksanakan tugas
keperawatannya, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima
atau mengalihtugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.
3. Tanggung
jawab perawat terhadap sejawat
a. Perawat
memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan tenaga kesehatan lainnya,
baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai
tujuan pelayanan kesehatan secaramenyeluruh.
b. Perawat
menyebarluaskan pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya kepada sesama
perawat, serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi dalam rangka
meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.
4. Tanggung
jawab perawat terhadap profesi
a. Perawat
berupaya meningkatkan kemampuan profesionalnya secara sendiri-sendiri dan atau
bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman
yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan.
b. Perawat
menjungjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku
dan sifat-sifat pribadi yang luhur.
c. Perawat
berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta
menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.
d. Perawat
secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan
sebagai sarana pengabdiannya.
5. Tanggung
jawab perawat terhadap negara
a. Perawat
melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang telah digariskan
oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
b. Perawat
berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN
SKENARIO
I
Seorang ibu Ny.T,
umur 36 tahun, diantar oleh tenaga kesehatan ke RS. C, klien melahirkan anak
pertama, ibu dilakukan tindakan operasi ceaser oleh dokter. Pada saat operasi
tiba-tiba TD menurun, dokter memberikan obat untuk meningkatkan TD, tapi
kondisi klien malah sebaliknya, kesadaran menurun, keadaan umum memburuk dan
akhirnya klien dirawat di ruangan ICU, bayi klien selamat. Saat ini sudah lebih
1 bulan klien di ICU dengan diagnosa Braindeath. Keluarga tidak sanggup
membayar biaya perawatan dan keluarga meminta tindakan euthanasia saja.
PERTANYAAN:
1. Apa yang
seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan dokter dalam kasus
ini?
2. Bagaimana
peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan hukum dalam kasus
tersebut?
3. Siapa
yang memegang peranan penting?
4. Apa
solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak mamutuskannya? Berikan alasan!
JAWABAN:
1. Hal yang
seharusnya dilakukan oleh:
·
Keluarga
Tindakan
euthanasia yang diminta oleh keluarga adalah hak pasien dan keluarga, tetapi
sebaiknya pasien atau keluarga tidak meminta tindakan euthanasia tersebut.
·
Tenaga kesehatan dan Dokter
Menolak
permintaan pasien atau keluarga terhadap tindakan euthanasia tersebut.
Ø Dari
segi agama kematian adalah semata-mata hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Ø Dari
segi hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya, di beberapa negara
euthanasia di anggap legal, sedangkan di negara lain di anggap melanggar hukum.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, Belanda di akui hak untuk mati walaupun
tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan
di Amerika S erikat, namun di Indonesia masalah euthanasia tetap di larang.
2. Peran
masing-masing profesi:
·
Peran perawat
Memberikan
asuhan keperawatan seoptimal dan semaksimal mungkin dan tidak melakukan
tindakan yang mengarah kepada tindakan euthanasia, seperti: melepas alat ventilator,
melepas selang oksigen, dll.
·
Peran dokter
Memberikan
penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan perkembangan kesehatan
pasien tersebut.
3. Yang
memegang peranan penting:
Dokter, perawat dan tenaga
kesehatn lainnya memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan, akan
tetapi keluarga adalah penentu dan pemegang peranan yang paling penting dalam
pengambilan keputusan tersebut. Dokter memberikan masukan kepada keluarga untuk
memikirkan kembali niatnya meminta tindakan euthanasia, sebabajal ada di tangan
Tuhan. Bisa jadi keadaan pasien sekarang yang berada di ruangan ICU dengan
dilakukannya perawatan secara intensif maka akan mengalami kemajuan secara
perlahan-lahan dalam pemulihan kesehatannya.
4. Solusi
yang dilakukan:
Memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa
tindakan euthanasia iti di larang di Indonesia, jika masalah pasien adalah
biaya perawatan, masalah tersebut bisa di cari solusinya. Seperti, meminta
bantuan ke Dinas Sosial untuk mendapatkan jaminan kesehatan.
Pertanyaan:
1.
Apakah ada unsur kelalaian
dalam kasus euthanasia?
2.
Apakah ada tindakan
malpraktek?
3.
Bagaimana tindakan yang
professional?
Jawab:
-
Tidak ada unsur kelalaian dan
malpraktek karena karena selama operasi
berlangsung sudah sesuai dengan standar operasional prosedur SC, tenaga
kesehatan sudah melakukan tindakan medis yang benar pada saat kondisi pasien
menurun dengan memberikan obat untuk menaikkan tekanan darah. Tetapi kondisi
pasien tidak juga membaik dan akhirnya pasien di kirim ke ICU.
-
Dalam kasus ini perawat
mempunyai peran dalam memberikan asuhan keperawatan. Peran advokat (pelindung)
serta sebagai counselor yaitu membela dan melindungi pasien tersebut untuk
hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian.
-
Perawat diharapkan mampu
memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga pasien bahwa pasien berhak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak melakukan
euthanasia.
-
Perawat hendaknya
menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar dalam hal
mencari sumber biaya yang lain seperti melalui BAZDA, DINAS SOSIAL, JAMKESDA,
JAMKESMAS dll.
- Perawat
berusaha menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga kesehatan lain dan
keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelas- jelasnya
tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa
besar biaya yang telah dan akan dikeluarkan.
- Perawat
memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga dalam hal
pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau dilakukannya
euthanasia pasif.
- Perawat
tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar pasien selama
perawatan di ICU.
- Membantu
keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah Sakit.
KONSEP PROFESIONAL DAN HAK- HAK PASIEN
DIKAITKAN DENGAN KASUS SKENARIO 1 (EUTHANASIA)
Konsep profesional perawat sebagai advokat
terhadap pasien:
1. Pemenuhan
kebutuhan dasar pasien selama perawatan
2.
Hak untuk hidup, melindungi
nyawa pasien terhadap tindakan sewenang- wenang yaitu dengan mendapatkan
perawatan dan pengobatan yang terbaik.
3.
Hak untuk memilih mati,
menjadi permasalahan jika pasien dalam keadaan tidak sadar atau koma dan tidak
mampu membuat keputusan sendiri tentang hidup dan matinya. Dalam situasi ini
pasien hanya mampu mempertahankan hidup jika dibantu dengan pemasangan
peralatan mekanik.
4.
Hak untuk didampingi anggota
keluarga dalam keadaan kritis.
5.
Hak atas keamanan dan
keselamatan selama perawatan.
Konsep
professional perawat sebagai advokat terhadap keluarga:
1.
Hak untuk mendapat informasi
yang jelas dan benar tentang penyakit pasien, prognosa, tindakan medis serta
perkembangan pasien yang dilakukan oleh perawat dan tenaga kesehatan lain.
2.
Hak memberikan persetujuan
atau penolakan tindakan medis
Keluarga berhak
menolak menyetujui ataupun menolak tindakan medis seperti CT scan ulang,dll.
3.
Hak untuk menghentikan
pengobatan
4.
Hak atas rahasia kedokteran
atau data penyakit, status, diagnose dll
5.
Hak atas isi rekaman medis/
data medis sepert hasil labor, rontgen.
6.
Hak untuk memeriksa dan
menerima penjelasan tentang biaya yang dikenakan, dokumen pembayaran, bon, dll
7.
Hak untuk mencari pendapat
kedua, pendapat dari dokter lain, rumah sakit lain.
PERAN PERAWAT DALAM KASUS
NY.T (SKENARIO 1)
1.
Care Giver (Pelaksana)
-
Memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien Ny. T
-
Memenuhi
kebutuhan dasar pasien
-
Memberikan
asuhan keperawatan
2. Counselor
Perawat sebagai tempat
konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk
diberikan. Pengambilan keputusan
tindakan medis dan mencari alternatif biaya pengobatan selama perawatan pasien.
3. Client Advocate
4. Comforter
Peran perawat sebagai
comforter yaitu berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada
klien selama perawatan.
5. Communicator
Perawat bertindak sebagai mediator antara klien,
keluarga dengan tim kesehatan
lainnya. Perawat berperan dalam memberikan penjelasan dengan
komunikasi kepada pasien dan keluarga dalam upaya meningkatkan
kesehatannya
3. Fungsi
Perawat
a.
Fungsi Independen
Membantu pasien dalam melakukan kegiatan
sehari-hari atau pemenuhan
kebutuhan dasar klien sehari- hari, memberikan rasa aman dan nyaman, cinta dan
mencintai dengan mendampingi pasien, membantu kebutuhan spiritual dengan cara
selalu mengingatkan kepada yang Maha Kuasa.
b.
Fungsi Dependen
Perawat menerima
instruksi dari dokter untuk memberikan tindakan medis misalnya pemasangan
infuse, pemberian obat, suction dan tindakan invasif lainnya.
c.
Fungsi Interdependen
Tindakan perawat berdasarkan pada kerjasama dengan tim
perawatan atau tim kesehatan. Perawat kolaborasi
dengan tim kesehatan lain (gizi) dalam pemberian diet pasien.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri. Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap-
tiap Negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma- norma
budaya. Di beberapa Negara euthanasia dianggap legal tetapi di Indonesia
tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas. Sebagaiman
tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344, pasal 355 dan pasal 359. Sehingga
pada kasus Ny. T euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar
etika, agama, moral dan legal dan juga pandangan bahwa apabila dilegalisir
euthanasia dapat disalahgunakan.
Sebagai perawat berperan dalam memberikan advokasi.
B. Saran
1. Bagi keluarga
Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan
euthanasia. Dan permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya
melalui Jamkesmas, Jamkesda dll.
2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat,
memberikan perlindungan kepada pasien sebagai advokat.
2.
Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan
persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga teap
diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai etika, social maupun moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar