1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di dalam kurun waktu 10 tahun trakhir ini terjadi peningkatan yang
luar biasa dari jumlah penyandang autisme infatil. Hal ini terjadi di seluruh
belahan dunia, termasuk di Indonesia. Peningkatan jumlah penyandang autisme
diperkiralan 1 per 5000 anak dan sekarang sudah meningkat menjadi 1 per 5000
anak (Melly Budhiman, 1999). Autisme dapat terjadi pada semua kalangan bai kaya
atau miskin, kelas bawah, kelas atas, pedesaan, kota dan dapat terjadi pada
anak-anak dari semua kelompok etnik dan budaya di seluruh dunia (Rudy Sutadi,
1997; Whally dan Wong, 1999). Autisme merupakan gangguan proses perkembangan
yang terjadi dalam tiga tahun pertama kehidupan yang menyebabkan gangguan pada
bahasa, kognitif, sosial dan fungsi adaptif (Rudy Sutadi, 1999; S. Shirataki, 1998).
Dalam keadaan yang lebih normal, orang tua cenderung menganggap
anak-anak sebagai perluasan diri mereka sendiri dan melihat di dalam diri anak.
Anak mereka merupakan warisan genetik dan aspek-aspek tertentu kepribadian
mereka (Soetjiningsih, 1995). Pandangan seperti ini dapat menjadi patologis
jika anak ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan (Nelson, 1988). Orang
tua dari anak-anak yang sakit kronis yang menderita gangguan emosional
mempunyai risiko untuk mengembangkan sikap tidak sehat dan destruktif terhadap
anak mereka (Adriana, 1999; Nelson 1988). Kondisi seperti ini akan mempengaruhi
pola asuh orang tua terhadap anak penyandang autisme.
Masalah autisme masih merupakan fenomena baru yang mengalami
peningkatan di akhir dekade ini. Pengetahuan masyarakatpun masih sangat
terbatas. Sedangkan penangan anak penyandang autisma memerlukan perlakuan yang
khusus (Adriana, 1999). Sikap orang tua yang diwujudkan dalam pola asuh sangat
dominan berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya. Pola asih tersebut
adalah otoriter, serba membolehkan, anak tak acuh dan timbal balik (Rutter,
1997). Pola asuh yang sesuai sangat diperlukan untukj menangani anak penyandang
autisma secara lebih efektif. Dala pengembangan perspektif yang lebih
realistis, perlu digali kecenderungan pola asuh keluarga pada anak autisma
dalam usaha mengembangkan metode-metode yang lebih efektif dan efisien untuk
menangani anak penyandang autisma.
Keterlibatan orang tua sebagai orang yang terdekat di dalam keluarga
dan orang yang pertama-tama menerima bahwa anak mereka adalah penyandang
autisme sangat diperlukan. Hal ini perlu, karena dengan demikian diharapkan
dapat secara serius menangani tata laksana anak penyandang autisma. Salah
satunya dengan menggali kecenderungan pola asuh keluarga, sehingga bisa dikaji
hal-hal yang perlu dilakukan untuk penatalaksanaan dan pola suh yang paling
sesuai dengan yang mempunyai prinsip-prinsip tatalaksana perilaku yang berbeda
dengan pola pengasuhan umumnya.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah keluarga cenderung menggunakan pola asuh otoriter terhdapa anak
penyandang autisma ?
- Apakah keluarga cenderung
menggunakan pola asuh serba membolehkan terhadapa anak penyandang autisma
?
- Apakah keluiarga cenderung
menggunakan pola asuh acuh tak acuh terhdapa anak penyandang autisma ?
- Apakah keluarga cenderung
menggunakan pola asuh timbal balik terhdapa anak penyandang autisma ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui kecenderungan pola asuh yang
digunakan keluarga terhadap anak penyandang autisma.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Mendidentifikasi sejauh mana
kecenderungan keluarga menggunakan pola asuh otoriter terhdapa anak penyandang
autisma.
2.
Menidentifikasi seberapa jauh
kecenderungan keluarga menggunakan pola asuh serba membolehkan terhadap anak
penyandang autisma.
3.
Menidentifikasi seberapa jauh
kecenderungan keluarga menggunakan pola asuh acuh tak acuh terhadap anak penyandang autisma.
4.
Menidentifikasi seberapa jauh
kecenderungan keluarga menggunakan pola asuh timbal balik terhadap anak
penyandang autisma.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dapat digunakan sebagai panduan dalam
upaya memberikan pola asuh yang sesuai terhadap anak penyandang autisma.
1.4.2 Sebagai bahan informasi bagi peneliti
berikutnya.
1.4.3 Memberikan masukan
kepada keluarga tentang pola asuh anak penyandang autisma
yang sesuai.
2. TUNJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh
Pola asuh adalah
serangkaian pengasuhan orang tua yang meliputi psiko, sosio, spiritual yang
dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak (Kaplan dan Sadock, 1997).
2.2 Macam-Macam Pola Asuh
Menurut Rutter
(1997) menggambarkan empat macam gaya pengasuhan orang tua, antara lain :
1.
Otoriter
Adalah suatu gaya pengaasuhan yang ditandai dengan
adanya aturan yang kaku dan ketat yang dapat menyebabkan depresi pada anak.
2.
Serba membolehkan
Adalah suatu sikap atau gaya pengasuhan orang tua yang
ditandai dengan kesabaran dan tidak ada penentuan batas-batas yang dapat
menyebabkan kontrol impils yang buruk.
3.
Pola asuh acuh tak acuh
Adalah suatu sikap atau gaya mengasuh orang tua kepada
anak yang ditandai dengan penelantaran dan tidak adanya keterlibatan yang menyebakan
perilaku agresif.
4.
Pola asuh timbal balik
Adalah suatu sikap ayau gaya pengauhan orang tua kepada
anak yang ditandai dengan pengambilan keputusan secara bersama-sama dengan
perilaku yang diarahkan dengan cara yang rasional yang dapat menyebakan rasa
percaya diri.
2.3 Autisme Masa Kanak
Autisma masa
kanak adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya
abnormalitas da/atau hendaya perkembangan yang muncul sebekum usia 3 tahun, dan
dengan ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang dari interaksi sosial.
komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang. Gangguan ini dijumpai 3
sampai 4 kali lebih banyak pada anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan
(PPDGJ, 1993; N.Keltner, 1991; Maramis, WF., 1995). Istilah autisma dipinjam dari
bidang schizophrenia, dimana Bleiler memakai istilah autisma ini untuk
menggambarkan perilaku pasien schizophrenia yang menarik diri dari dunia luar
dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Kanner ingin menggambarkan bahwa
anak-anak tersebut juga hidup dalam dunianya sendiri, terpisah dari dunia luar.
Namun terdapat perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisma
pada penderita schizophrenia dan penyandang autisma masa kank. Pada
schizophrenia autisma disebabkan oleh proses regresi oleh penyakit jiwa,
sedangkan pada anak dengan autisma disebabkan karena adanya kegagalan
perkembangan (Melly Budhiman, 1998).
Menurut Ika Widyawati (1997) ada beberapa macam teori tentang
penyebab autisma, anatara lain :
2.3.1 Teori Psikososial
Dalam teori
psikososial, Kanner mempertimbangkan adanya pengaruh psikogenik sebagai
penyebab autisma: orang tua yang emosional, kaku dan obsesif yang mengasuh anak
yang kurang hangat bahkan cenderung dingin. Pendapat lain mengatakan adanya
trauma pada anak yang disebabkan oleh hostilisasi yang tak disadari dari ibu.
Teori ini ditentang oleh Rudy Sutadi (1997) ternyata terbukti bahwa cara orang
tua memperlakukan anak tidak ada hubungan dengan terjadinya autisma.
2.3.2 Teori Biologis
Teori ini
berkembangan karena beberapa fakta seprti adanya hubungan yang erat dengan
retardasi mental (75-80%), perbandingan laki-laki : Perempuan = 4:1,
meningkatnya insidens gangguan kejang (25%). Sehingga diyakini bahwa gangguan
autisma ini merupakan suatu sindrom perilaku yang dapat siebabkan oleh berbagai
kondisi yang mempengaruhi sistem saraf pusat yaitu diduga adanya disfungsi dari
batang otak, sistem limbik dan cerebellum. Gangguan fungsi cerebellum yang
sangat khas pada penyandang autisma adalah ketidakmampuannya untuk mengalihkan
perhatian dengan cepat. Gangguan sistem limbik pada umumnya kurang dapat
mengendalikan emosinya, sering agresivitas yang ditujukan pada orang lain atau
diri-sendiri.
DOWNLOAD FILE WORD LENGKAP KLIK DISINI !