|
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam
UU No 36 Tahun 2014 dinyatakan bahwa perawat merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan melaksanakan
kegiatan praktek keperawatan dengan mengunakan ilmu pengetahuan dan teori
keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi
adalah mempunyai body
of knowledge yang dapat diuji
kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat langsung.
Pada
hakikatnya keperawatan sebagai profesi senantiasa mengabdi kepada kemanusiaan,
mendahulukan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi, bentuk
pelayanannya bersifat humanistik, menggunakan pendekatan secara holistik,
dilaksanakan berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan serta menggunakan kode
etik sebagai tuntutan utama dalam melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan.
Dengan memahami konsep etik, setiap perawat akan memperoleh arahan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan yang merupakan tanggung jawab moralnya dan
tidak akan membuat keputusan secara sembarangan.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah
bentuk implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik
kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan serta
menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan berupa
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi.
1
|
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara
langsung berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada
saat interaksi inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik
disengaja maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering menimbulkan
konflik baik pada diri pelaku dan penerima praktek keperawatan. Oleh karena itu
profesi keperawatan harus mempunyai standar profesi dan aturan lainnya yang didasari oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, guna
memberi perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya standar praktek profesi
keperawatan inilah dapat dilihat apakah seorang perawat melakukan malpraktek,
kelalaian ataupun bentuk pelanggaran praktek keperawatan lainnya.
Perawat
pernah dihadapkan pada situasi yang memerlukan keputusan untuk mengambil
tindakan. Perawat memberi asuhan kepada klien, keluarga dan masyarakat,
menerima tanggung jawab untuk membuat keadaan lingkungan fisik, sosia dan
spiritual yang memungkinkan untuk penyembuhan dan menekankan pencegahan
penyakit; serta meningkatkan kesehatan dengan penyuluhan kesehatan.
Berdasarkan
fenomena-fenomena diatas sebagai seorang perawat yang profesional wajib
mengetahui fungsi dan perannya sebagai seorang perawat, dan juga mengenal
etika-etika dan konsep hukum yang berlaku dalam profesinya supaya dapat
terhindar dari tindakan-tindakan yang menyalahi etika profesinya yang akan
berujung kepada malpraktik atau kelalaian yang merugikan klien, perawat itu
sendiri dan profesinya. Latar belakang diatas mendasari kelompok dalam
menganalisa etik dan hukum dalam keperawatan diakitkan dengan kasus nyata.
1.2
Tujuan
1.2.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami dan
menganalisa ethic of empowerment dan sustainability dikaitkan dengan contoh
kasus nyata.
1.2.2 Tujuan Khusus
a.
Memahami dan menganalisa kelalaian etik dan hukum terkait dengan manajemen
pelayanan dan asuhan keperawatan dikaitkan dengan
contoh kasus nyata.
b. Memahami dan menganalisa hak dan kewajiban perawat dikaitkan dengan contoh kasus
c. Memahami dan menganalisa perlindungan hukum dikaitkan dengan contoh
kasus
d. Memahami dan menganalisaethic
empowerment dan ethic of
sustainability dikaitkan dengan contoh kasus nyata.
|
TINJAUAN
TEORI
2.1
Kelalaian etik dan hukum terkait dengan manajemen
pelayanan dan asuhan keperawatan
2.1.1.
Kelalaian Etik
Masalah etik yang sering terjadi dalam pelayanan
kesehatan/keperawatan adalah transplantasi organ,
euthanasia, perkiraan kematian klinis, kualitas dalamkehidupan, isu masalah
etik dalam tindakan keperawatan, malpraktek,
negligence, dan liability.
a.
Malpraktek dapat diartikan
sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau
mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip
transparansi atau keterbukaan dalam arti harus menceritakan secara jelas
tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan
maupun pelayanan jasa lain yang diberikan. Malpraktek terbagi ke dalam tiga
jenis yaitu:
1.
Criminal Malpractice atau malpraktek kriminal (pidana) merupakan kesalahan dalam
menjalankan praktek yang berkaitan dengan pelanggaran UU Hukum “pidana” yaitu
seperti: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien menyebabkan pasien
meninggal/luka karena kelalaian; melakukan abortus; melakukan pelanggaran
kesusilaan/kesopanan; membuka rahasia kedokteran/keperawatan; pemalsuan surat
keterangan atau sengaja tidak memberikan pertolongan pada orang yang dalam
keadaan bahaya. Pertanggungjawaban di depan hukum pada kriminal malpraktek
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada instansi yang memberikan sarana pelayanan jasa
tempatnya bernaung.
2.
4
|
3.
Malpraktek etik merupakan
tindakan keperawatan yang bertentangan dengan etika keperawatan, sebagaimana
yang diatur dalam kode etik keperawatan yang merupakan seperangkat standar
etika, prinsip, aturan, norma yang beraku untuk perawat.
b.
Kelalaian adalah melakukan
sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuan tetapi tidak dilakukan
atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan. Kelalaian (negligence)
praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan tingkat
ketrampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim dipergunakan dalam
merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.
Jenis-jenis kelalaian:
1.
Malfeasance yaitu melakukan tindakan
yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak. Contoh: melakukan tindakan
keperawatan tanpa indikasi yang memadai/tepat.
2.
Misfeasance yaitu melakukan pilihan
tindakan keperawatan yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat. Contoh:
melakukan tindakan keperawatan dengan menyalahi prosedur.
3.
Nonfeasance adalah tidak melakukan
tindakan keperawatan yang merupakan kewajibannya. Contoh: pasien seharusnya
dipasang pengaman tempat tidur tapi tidak dilakukan.
c.
Liability adalah tanggungan yang
dimiliki oleh seseorang terhadap setiap tindakan atau kegagalan melakukan
tindakan. Perawat profesional seperti halnya tenaga kesehatan lain mempunyai tanggung
jawab terhadap setiap bahaya yang timbulkan dari kesalahan tindakannya.
(Utami, 2016)
2.1.2.
Kelalaian Hukum
Hubungan
antara perawat dan pasien dapat menimbulkan aspek hukum, baik aspek hukum
perdata, administrasi, maupun pidana. Masalah etik seperti malpraktek,
kelalaian dan liability kadang dapat
menyinggung aspek hukum sehingga memiliki konsekuensi tanggung jawab dan
tanggung gugat di pengadilan.
Dalam
hukum perdata, dapat menimbulkan gugatan perdata. Tanggung gugat perdata dapat
terjadi karena: melanggar aturan hukum, tidak terpenuhinya prestasi dan
kealpaan (negligence) ataupun kecerobohan (recklessness) sehingga
berdampak pada kematian/kecacatan tubuh. Tanggung jawab perawat berarti keadaan
yang dapat dipercaya dan terpercaya yang menunjukan bahwa perawat professional
menampilkan kinerja secara hati-hati, teliti dan kegiatan perawat dilaporkan
secara jujur. Klien merasa yakin bahwa perawat bertanggung jawab dan memiliki
kemampuan, pengetahuan dan keahlian yang relevan dengan disiplin ilmunya.
Perawat diberikan ketentuan hukum dengan maksud agar pelayanan perawatan tetap
sesuai standar dan perawat memiliki rasa tanggung jawab. Tanggung jawab perawat
di tunjukan dengan cara siap menerima hukuman (punishment) secara hukum
kalau perawat terbukti bersalah atau melanggar hukum. Ada tiga jenis tindakan
yang dilakukan oleh perawat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,
yaitu tindakan secara mandiri, memberikan pendelegasian pada perawat yang lain
dan tindakan yang dilakukan berdasarkan pesanan dari profesi lain (kolaborasi).
Ketiga tindakan ini mempunyai implikasi yang berbeda. Tindakan mandiri dan
memberikan pendelegasian pada perawat yang lain sepenuhnya dapat dibebankan
kepada perawat, sedangkan tindakan kolaborasi tidak dapat sepenuhnya secara
hukum dibebankan kepada perawat.
(Utami,
2016)
2.1.3.
Manajemen Pelayanan Keperawatan
Ketika
seorang perawat memberikan pelayanan kesehatan pada klien, maka perawat
tersebut harus mengikuti prinsip-prinsip etika keperawatan yang ada. Dalam memberikan
pelayanan kesehatan pada klien, ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh
pasien. Artinya, pelayanan keperawatan sebenarnya tidak hanya mementingkan
tercapainya tujuan, tetapi juga mementingkan proses bagaimana pelayanan
tersebut diberikan kepada pasien. Hal ini sesuai dengan pengertian praktek
keperawatan yang bermakna tindakan perawat yang dilakukan melalui kolaborasi
dengan klien dan atau tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan
pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan yang dilandasi dengan substansi
keilmuan khusus, pengambilan keputusan dan keterampilan perawat berdasarkan
aplikasi prinsip-prinsip ilmu biologis, psikologis, sosial, kultural dan
spiritual.
Prinsip
dari tahapan proses keperawatan juga sesuai dengan pengertian asuhan
keperawatan yang bermakna sebagai sebuah proses atau rangkaian kegiatan pada
praktek keperawatan yang diberikan kepada klien di sarana kesehatan dan tatanan
pelayanan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan
kode etik dan standar praktik keperawatan.
Lingkup
praktik keperawatan tidak dibatasi pada tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang
spesifik, tetapi merupakan kombinasi pengetahuan, membuat keputusan, dan
ketrampilan yang mengijinkan perawat untuk memberikan perawatan secara langsung
dan mengevaluasi dampaknya, membela pasien untuk kesehatannya, mensupervisi dan
mendelegasikan pada yang lain, memimpin dan mengelola, mengajar, melakukan
penelitian dan pengembangan kebijakan kesehatan untuk sistem asuhan kesehatan. Kegiatan
dilakukan dalam upaya penyembuhan, pemulihan, serta pemeliharaan kesehatan
dengan penekanan kepada upaya pelayanan utama, sesuai dengan wewenang, tanggung
jawab dan etika keperawatan.
(Utami,
2016)
2.1.4.
Asuhan Keperawatan
Standar praktik merupakan salah satu perangkat yang
diperlukan oleh setiap tenaga professional. Standar praktik keperawatan adalah
ekpektasi/harapan-harapan minimal dalam memberikan asuhan keperawatan yang
aman, efektif dan etis. Standar praktik keperawatan merupakan komitmen profesi
keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap praktik yang dilakukan oleh
anggota profesi. Standar Praktik Profesional terdiri
dari 5 standar, yaitu:
1. Standar I Pengkajian
Perawat
mengumpulkan data tentang status kesehatan pasien secara sistematis, menyeluruh,
akurat, singkat dan berkesinambungan.
2. Standar II Diagnosa Keperawatan
Perawat
menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan.
3. Standar III Perencanaan
Perawat
membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan dan
meningkatkan kesehatan pasien.
4. Standar IV Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
(Implementasi)
Perawat
mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan
keperawatan
5. Standar V Evaluasi
Perawat
mengevaluasi perkembangan kesehatan pasien terhadap tindakan dalam pencapaian
tujuan, sesuai rencana yang telah ditetapkan dan merevisi data dasar dan
perencanaan.
(Utami,
2016)
2.2 Hak dan Kewajiban Perawat
Hak
dan kewajiban perawat tertuang didalam Undang- Undang No. 38 Tahun 2014.
Undang- Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden RI pada 17 Oktober 2014,
terdiri dari: 13 Bab dan 63 Ayat. Dalam makalah ini tidak semua ditampilkan
secara detail hanya yang berkaitan dengan kasus.
Bagian Kedua: Tugas dan
Wewenang (Pasal
29)
1) Dalam menjalankan Praktik Keperawatan, perawat bertugas sebagai;
a.
Pemberi Asuhan Keperawatan;
b.
Penyuluh dan konselor bagi
Klien;
c.
Pengelola Pelayanan
Keperawatan;
d.
Peneliti Keperawatan;
e.
Pelaksana tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang; dan/ atau
f.
Pelaksana tugas dalam keadaan
keterbatasan tertentu.
2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat dilaksanakan secara
bersama ataupun sendiri-sendiri.
3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel.
Pasal
32
1)
Pelaksanaan tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya
dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk
melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
2)
Pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat.
3)
Pelimpahan wewenang secara
delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis
kepada Perawat dengan disertai, pelimpahan tanggung jawab.
4)
Pelimpahan wewenang secara
delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada
Perawat profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan.
5)
Pelimpahan wewenang secara
mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu
tindakan medis di bawah pengawasan.
6)
Tanggung jawab atas tindakan
medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada
pada pemberi pelimpahan wewenang
7)
Dalam melaksanakan tugas
berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perawat
berwenang:
a.
melakukan tindakan medis yang
sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan wewenang delegatif tenaga medis;
b.
melakukan tindakan medis di
bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan
c.
memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan program Pemerintah.
BAB VI Hak dan Kewajiban
Bagian Kesatu: Hak dan Kewajiban Perawat (Pasal 37)
a.
Bagian b: memberikan Pelayanan
Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
b.
Bagian d: mendokumentasikan
Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
c.
Bagian f: melaksanakan tindakan
pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi
Perawat
2.3 Perlindungan Hukum
Didalam
Undang-Undang Keperawatan No. 38 tahun 2014 dalam Pasal 36 dinyatakan bahwa
Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak:
a.
Memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar
prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
b.
Menolak
keinginan klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan
perundang-undangan.
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dalam Bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa rumah
sakit diselenggarakan untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit,
meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit dan
memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia
rumah sakit. Dalam pasal ini juga termasuk perawat yang merupakan salah satu
sumber daya manusia yang berada di rumah sakit yang mempunyai jaminan
perlindungan hukum dalam menjalankan tugas.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan AnugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan hakikat dan martabat manusia. Perawat
sebagai salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan tidak diperbolehkan
melakukan pelanggaran hak asasi manusia baik disengaja maupun tidak disengaja,
baik yang bersifat kelalaian maupun malpraktik.
UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan
Publik Bab II Pasal 4 menjelaskan bahwa perawat dalam melakukan pelayanan publik harus
berasaskan kepada kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak dan
kewajiban, profesional, partisipatif, persamaan perlakuan, keterbukaan,
akuntabilitas, fasilitasi khusus dan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan
waktu dan keterjangkauan dalam pelayanan. Didalam Bab IV juga terdapat
penjelasan bahwa dalam pelayanan publik maka perawat harus menjalankan standar
pelayanan, oleh sebab itu standar prosedur operasional harus ditetapkan bersama
untuk melindungi perawat maupun pasien.
2.4 Etika pemberdayaan dan Etika Berkelanjutan
2.4.1 Etik Pemberdayaan/ Ethic Empowerment
Pemberdayaan
merupakan salah satu strategi untuk mempromosikan kesehatan pada individu dan
populasi. Pemberdayaan adalah metode kolaboratif dimana mereka difasilitasi
untuk berpartisipasi dalam proses perubahan. Manfaat pemberdayaan yaitu
menghormati hak otonomi peserta, cenderung meningkatkan kemampuan otonomi serta
meningkatkan keterampilan mengatasi masalah dan cenderung mengurangi
ketidaksetaraan.
Pemberdayaan lebih dari sekedar mengendalikan
orang lain dan lingkungansekitar. Pemberdayaan bisa
mendukungpraktik etis sebagai perawat dengan memperkuat kekuatanyang melekat
pada peran perawat sebagai advokat pasien dan jugaintegritas serta akuntabilitas profesional perawat.
Perawat sebagai individu diberdayakan oleh peran, lisensi, pengetahuan,
keahlian, hubungan dengan pasien dan petugas kesehatan lainnya. Pemberdayaan
seharusnya tidak menjadi tujuan yang kita perjuangkan melainkan suatu proses
yang berkembang saat kita dewasa dan berkembang dalam kehidupan pribadi dan
praktek professional perawat.
Konsep pemberdayaan ini
sangat menonjol dalam wacana kesehatan global.
Pemberdayaan sering dianjurkan sebagai pendekatan positif untuk menangani
kebutuhan kesehatan individu dan masyarakat. Sampai
saat ini relatif sedikit yang dikatakan
tentang konsekuensi pemberdayaan yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan
beberapa masalah etika yang mengganggu atau memang menghasilkan sesuatu
yang tidak dianggap sebagai promosi kesehatan.
Menurut
kode etik ANA perawat harus bisa mengidentifikasi, mempromosi, mengadvokasi,
berusaha melindungi kesehatan, keselamatan dan hak-hak pasien. Oleh karena itu
sebagai perawat kita harus melakukan advokasi untuk pasien dan untuk diri kita
sendiri. Untuk melakukan ini kita harus memilih untuk diberdayakan dan kemudian
mulai dengan visi kita sendiri sebagai pemberdaya.
Sebagai
perawat kita memiliki kekuatan
dasar berdasarkan lisensi dan praktek
profesional kita. Namun kita juga diberdayakan melalui kemampuan dalam membuat
keputusan, advokasi, pemerintahan bersama, partisipasi komite, mengambil
tanggung jawab dan pertanggung jawaban yang melekat pada pelayanan keperawatan.
Sebagai
profesional, perawat mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan berdasarkan
pengetahuan dan tanggung jawab kita. Namun kita tidak bisa menjadi mandiri
kecuali dalam mengambil keputusan untuk pribadi dan kehidupan profesional kita.
Kita harus bersikap tegas dan dapat dengan jelas menyatakan kemampuan kita
berdiri untuk diri kita sendiri. Kita harus yakin bahwa kita bisa membuat
perbedaan.
Aspek
lain dalam mencapai pemberdayaan adalah dimensi grup. Perlu diketahui bahwa
pemberdayaan itu tidak hanya terjadi pada individu saja tetapi ada kaitannya
dengan individu yang mempunyai hubungan dengan orang lain. Hal ini juga
berkaitan dengan fakta yang berhubungan dengan individu yang mempunyai hak.
Dengan memahami hak-hak kita, kita dapat meningkatkan perasaan kita terhadap
kekuatan dan rasa percaya diri. Saat seseorang membawa perubahan, sebenarnya dia
meningkatkan kemampuan dan kontrol. Karena individu menjadi lebih berdaya,
mereka lebih percaya diri dan lebih kompeten. Hal ini dapat menimbulkan dampak
positif bagi pribadi perawat dan citra diri professional.
Pemberdayaan adalah proses yang menantang asumsi
dasar kita
tentang kekuatan, membantu, mencapai, dan berhasil. Dibutuhkan keberanian untuk mencari dan menerima pemberdayaan, untuk membela keyakinan dan keinginan pasien, untuk menjadi advokat pasien.Sebagai perawat profesional, kita harus terus melakukan advokasi untuk pasien dan diri kita. Mencapai pemberdayaan adalah sarana untuk mencapai tujuan dan sarana untuk memastikan perawatan pasien yang etis.
tentang kekuatan, membantu, mencapai, dan berhasil. Dibutuhkan keberanian untuk mencari dan menerima pemberdayaan, untuk membela keyakinan dan keinginan pasien, untuk menjadi advokat pasien.Sebagai perawat profesional, kita harus terus melakukan advokasi untuk pasien dan diri kita. Mencapai pemberdayaan adalah sarana untuk mencapai tujuan dan sarana untuk memastikan perawatan pasien yang etis.
2.4.2 Etika Berkelanjutan/ Ethic Sustainability
Etika secara umum dapat mengacu pada kebiasaan
berpikir dan berperilaku empati memperhatikan kepentingan orang lain untuk
meraih kebaikan yang lebih besar. Secara historis (dimulai pada zaman yunani
kuno) dan secara akademis, etika terjadi bagaimana kita berhubungan dengan
manusia, karena terjadi secara tradisional dimana adanya batasan dalam
komunitas. Etika lingkungan, subdisiplin etika secara keseluruhan, berfokus
pada pemikiran dan perilaku manusia dalam kaitannya dengan alam, hewan,
tumbuhan, ekosistem, kualitas udara dan air. Sejak kemunculannya di tahun
1970an, etika lingkungan sangat membantu dalam mengubah perbincangan tentang
etika menuju pemahaman yang lebih inklusif tentang hubungan dan nilai-nilai
kemanusian mengenai hal lain (VanHorn, 2017).
Berbeda
dengan istilah etik, Sustainability
atau berkelanjutan relatif baru dipakai dalam kamus. Pada abad 20 istilah
berkelanjutan dipakai untuk tujuan pengelolaan (misalnya, kehutanan lestari dan
perikanan berkelanjutan) sebagai bagian dari upaya untuk menjaga keseimbangan
yang layak antara manusia dan ketersediaan sumber daya alam. Namun, banyak
orang menunjuk pada pertemuan Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan
Pembangunan tahun 1987 (sebuah pertemuan yang disponsori oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa) sebagai peristiwa penting untuk membawa pengakuan dan definisi
pada konsep tersebut. Meskipun definisi keberlanjutan telah berlipat ganda
dalam tiga dekade terakhir, definisi yang digunakan untuk "pembangunan
berkelanjutan" dalam laporan komite WCED Masa Depan Kita (yang dikenal
sebagai "the Brundtland Report")
tetap menjadi dasar yang populer untuk: "Pembangunan berkelanjutan adalah
pengembangan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan
generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. Bagi banyak
orang, ia menawarkan kosakata umum untuk membahas keadilan manusia, kualitas
lingkungan, dan keamanan ekonomi sebagaimana harus menjadi subyek terpadu
(Kates et al dalamVanHorn 2017). Banyak
pekerjaan telah terjadi sejak Laporan Brundtland untuk mengklarifikasi
konsensus internasional mengenai tujuan keberlanjutan; untuk tinjauan umum
mengenai pengembangan upaya global berikutnya dan sebelumnya (seperti Agenda 21, The Earth Charter, the Rio
Declaration, Millennium Development Goals)
mengenai standar berkelanjutan, target-target dan model-model (VanHorn, 2017).
Forum Etika dan Alam menginformasikan bahwa
keberlanjutan tanpa etika adalah hal yang kosong. Artinya, keberlanjutan tidak
memiliki tujuan generatif dan berhenti berfungsi sebagai panduan untuk refleksi
jika kita tidak mempertimbangkan nilai (pandangan, pandangan budaya, dan tata
cara budaya yang sering kali implisit, kadang-kadang eksplisit), dan untuk
mencapai hubungan sifat-sifat manusia yang tahan lama, adil, dan saling
meningkatkan. Keberlanjutan menawarkan daya tarik pada gagasan bahwa kita
berkewajiban untuk mempertimbangkan generasi mendatang dalam kebijakan kita,
dalam produksi dan konsumsi barang-barang material kita, dalam berbagai
interaksi kita dengan dunia alami, dan dalam pengambilan keputusan sehari-hari.
Inilah semua masalah yang memerlukan pertimbangan etis yang berkelanjutan untuk
mengklarifikasi pemikiran dan tindakan, mengingatkan kita pada distorsi
kekuasaan dan hak istimewa, dan terlibat dalam pekerjaan yang menuntut
pencapaian kesejahteraan kolektif. Untuk menyoroti bahwa pertimbangan etis
diperlukan untuk diskusi tentang keberlanjutan adalah untuk membuat titik bahwa
nilai-nilai kita menentukan jenis masyarakat yang kita bangun. Nilai-nilai ini
harus selaras, dan bekerja dalam dialog dengan, lanskap lokal kita, dan
akhirnya rumah bersama kita di bumi ini (VanHorn, 2017)
Menurut Jennings,
2010 analisis etis biasanya memiliki empat komponen utama berikut:
1.
Evaluasi karakter dan niat
agen: apa kebajikan / kejahatan yang ditunjukkan oleh agen?
2.
Evaluasi sifat inheren suatu
tindakan: hak atau kewajiban apa yang akan dilakukan atau dilanggar oleh
tindakan tersebut?
3.
Evaluasi konsekuensi (paling
sering dipahami sebagai efek kausal) sebuah tindakan: apa manfaat atau kerugian
yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut?
4.
Evaluasi konteks di mana
tindakan dilakukan: apakah tindakan mendukung atau merusak sistem atau konteks
yang membuat tindakan tersebut mungkin dan bermakna di tempat pertama?
Aspek keempat ini memiliki hubungan paling langsung
dengan makna dari konsep "keberlanjutan", yaitu tidak merusak
prasyarat dari apa yang anda lakukan, tinggal di tanah tanpa merusaknya,
menggunakan tanpa menghancurkan, membatasi berapa banyak anda menarik cadangan
sehingga anda tidak cepat-cepat menghabiskannya dari Anda mengisi kembali.
Namun, keempat aspek tersebut relevan dengan keberlanjutan, yang tidak hanya
berkaitan dengan kendala, parameter, dan batasan, namun juga mengenai pemberian
beberapa jenis tindakan yang salah atau kausal berbahaya, dan tentang
menciptakan jenis kepekaan, motivasi, dan komitmen moral yang tepat. pada
orang. Singkatnya, kebajikan, kebenaran, konsekuensi, dan konteks semuanya
penting secara etis dalam menavigasi keberlanjutan (Jennings, 2010).
Masyarakat yang berkelanjutan hidup dalam daya
dukung alam dan sosialnya sistem. Ini memiliki sistem peraturan dan insentif
yang mempromosikan penambahan dan pembatasan penipisan dan polusi. Masyarakat
yang berkelanjutan membangun komitmen anggota-anggotanya untuk menyesuaikan
diri dengan peraturan ini secara sukarela, dan hal itu memberlakukannya bila
diperlukan (Jennings, 2010).
Analisis etis sangat dipengaruhi oleh titik awal
ontologis awal atau orientasi yang diasumsikan. Secara umum, ada tiga orientasi
seperti itu, yaitu theosentris, antroposentris dan biosentris. Perspektif
biosentris berpendapat bahwa nilai di dunia tidak berada di dalam diri manusia
saja. Nilai di dunia, demi etika dan moralitas yang ada di tempat pertama berada
dalam konteks alami dan biotik dimana individu dan masyarakat manusia menjadi
bagiannya. Oleh karena itu, hak dan kewajiban etis, dan kebaikan yang harus
dilakukan oleh etis dan tindakan etis, harus dipahami dalam hal sistem saling
ketergantungan, hubungan, keberlanjutan, dan ketahanan (Jennings, 2010).
|
PEMBAHASAN
3.1 Kronologis kasus
Video seorang
perawat asyik bertelepon saat pasien yang ditangani tengah kesakitan viral di
facebook. Dalam postingan ini disebutkan peristiwa ini terjadi di RSU Grand
Medistra Lubukpakam. Diperkirakan video ini diambil keluarga pasien yang
menyaksikan langsung tindak tak terpuji di perawat. Terlihat si perawat ini
akan memasang infus pada pasien bayi yang tengah mengerang kesakitan. Sambil
bertelepon, si perawat mencari pembuluh darah vena di kaki si bayi. Entah
karena sedang asyik bertelepon, pembuluh dara vena yang akan ditusukkan jarum
infus tidak ditemukan, akhirnya rekannya yang memasangkan infus.
Manajemen rumah sakit Grand Med (dulu
Grand Medistra) Lubukpakam Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara merumahkan
sementara salah satu perawatnya lantaran melakukan tindakan tidak terpuji dimana
berteleponan ketika melayani pasien. Hal ini
dikatakan oleh Humas rumah sakit Grand Med Lubukpakam, Emra Sinaga. Ia menyebut
langkah tersebut diambil lantaran tidak memungkinkan juga EZ bekerja dengan
baik ditengah kondisinya yang shok. Untuk kedepannya, Emra menyebut belum
mengetahui sanksi apa yang akan diberikan oleh pihak managemen terhadap yang
bersangkutan.
Masalah sanksi akan dibahas di Komisi
Etika dan Hukum nantinya. Belum tau sampai kapan dia kita istirahatkan dulu di
rumah. Saat ini keluarga pasien yang mendapatkan pelayanan buruk dari perawat rumah
sakit ini disebut belum bisa memafaatkan tindakan tidak terpuji yang
dilakukan oleh perawat tersebut. Diketahui kalau EZ dan Managemen rumah sakit
sudah resmi meminta maaf kepada keluarga pasien.
18
|
3.2 Analisis kasus berdasarkan kelalaian etik dan hukum terkait dengan
manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan
Kasus perawat EZ yang melakukan tindakan keperawatan sambil
melakukan panggilan telepon merupakan tindakan yang tidak etis dan dapat
menimbulkan konsekuensi secara hukum. Pada kasus EZ melakukan upaya pemasangan
infus yaitu mencari pembuluh darah vena pada pasien bayi sambil menjawab
panggilan telepon. Tindakan ini jelas tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan
standar dan kode etik keperawatan serta standar prosedur yang ada. Tindakan ini
dapat tergolong dalam malpraktek dan kelalaian dimana perawat dengan
profesionalitas yang melekat padanya melakukan hal yang harusnya tidak
dilakukan dan dapat menimbulkan kerugian dan bahaya pada pasien.
Pada kasus perawat EZ tidak berhasil menemukan pembuluh darah vena
yang sedang dicari untuk tempat pemasangan infus sehingga dibantu oleh rekan
yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena tindakan yang dilakukan tidak sesuai
dengan standar prosedur yang ada. Perawat EZ menunjukkan tindakan keperawatan tanpa
adanya rasa tanggung jawab. Tanggung jawab perawat berarti keadaan yang dapat
dipercaya dan terpercaya yang menunjukan bahwa perawat professional menampilkan
kinerja secara hati-hati, teliti dan kegiatan perawat dilaporkan secara jujur.
Klien merasa yakin bahwa perawat bertanggung jawab dan memiliki kemampuan,
pengetahuan dan keahlian yang relevan dengan disiplin ilmunya. Perawat EZ tidak
memahami bahwa tindakan yang dilakukannya dapat menimbulkan konsekuensi hukum
pada dirinya. Pelayanan dan asuhan keperawatan harus diberikan oleh perawat
mengikuti kode etik dan standar yang ada. Hal ini membuat kualitas asuhan
keperawatan terjamin sehingga dapat melindungi pasien dan perawat itu sendiri.
3.3 Analisis Kasus berdasarkan Hak dan Kewajiban Perawat
Didalam kasus ini terdapat perawat yang asyik menelpom saat pasien
yang ditangani sedang kesakitan. Hal ini merupakan suatu hal yang bertentangan
dengan pasal 29 UU No. 38 Tahun 2014 tentang keperawatan yang menyatakan bahwa
perawat harus bertanggung jawab dan akuntabel terhadap tindakan yang dilakukan.
Dalam kasus ini perawat melakukan tindakan infus tetapi tidak bertanggung
jawab, dimana perawat tersebut tidak menyelesaikan tindakan yang dilakukannya
dan justru meminta bantuan temannya.
Perawat tersebut belum mengikuti standar prosedur operasional (SPO)
pemasangan infus dengan benar. Perlu menjadi perhatian dari manajemen rumah
sakit untuk melatih perawat agar dapat bekerja sesuai dengan SPO yang ada.
Setiap melakukan tindakan, perawat diharuskan untuk mengikuti SPO yang berlaku
di institusi pelayanan tempatnya bekerja. Keprofesionalan perawat dapat
terlihat dari kemampuan mengikuti SPO yang berlaku. Manajemen rumah sakit juga
perlu melakukan evaluasi berkala untuk mengevaluasi tindakan keperawatan
sehingga profesionalisme dapat tercipta.
3.4 Analisis kasus berdasarkan perlindungan hukum
Analisa kasus dapat dilihat dari sisi UU Keperawatan No. 38 tahun
2014 dalam Pasal 36 yang menyatakan bahwa perawat dapat memperoleh perlindungan
hukum apabila melaksanakan tindakan sesuai SPO. Dalam kasus ini perawat dapat
dikenakan sanksi dari pihak rumah sakit karena tidak melakukan tindakan sesuai
SPO pemasangan infus. Sanksi yang didapatkan tersebut bisa berupa sanksi
administratif yang dalam hal ini perawat yang bersangkutan dirumahkan oleh
pihak rumah sakit.
UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Bab II Pasal 4
menyatakan bahwa pasien berhak mendapatkan pelayanan publik yang layak dan
mendapatkan kepastian hukum. Pasien berhak mendapat perlindungan hukum
berdasarkan UU ini. Didalam UU UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
juga menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan
kewajiban negara, pemerintah, hukum dan setiap orang. Berdasarkan konteks ini
tentu saja pasien mendapat perlindungan hukum dari tindakan yang tidak sesuai
standar. Pasien dapat saja menuntut perawat tersebut karena belum memberikan
pelayanan publik yang seharusnya. Perawat tersebut bisa tersandung kasus hukum
apabila keluarga pasien mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. Perawat harus
berhati-hati melakukan tindakan karena sudah banyak undang-undang yang mengatur
perlindungan pasien.
3.5 Analisa Kasus berdasarkan Etik pemberdayaan dan Etik Berkelanjutan
3.5.1
Analisa kasus berdasarkan Etik
Pemberdayaan
Analisa kasus berdasarkan ethics empowerment dapat dilihat dari
berbagai sisi yaitu sisi tanggung jawab, advokasi pasien, menjamin keselamatan
pasien, melindungi hak-hak pasien dan melindungi diri kita sendiri. Dari sisi
tanggung jawab perawat yang melakukan tindakan pemasangan infus pada pasien
bayi yang berumur 18 bulan sangat tidak bertanggung jawab dan melakukan
pekerjaan tidak sepenuh hati karena dapat dilihat petugas tersebut melakukan
tindakan sambil menerima telepon. Hal ini juga tidak sesuai dengan standar
operasional prosedur yang seharusnya ada disetiap rumah sakit.
Dari sisi advokasi pasien, keselamatan
pasien dan melindungi hak-hak pasien petugas kesehatan tersebut juga telah
lalai dalam tugasnya. Dengan tindakan yang ia lakukan, dia tidak lagi berperan
sebagai advokasi pasien, menjaga keselamatan pasien dan melindungi hak-hak
pasien melainkan membuat pasien berada dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Sedangkan dalam hal melindungi diri sendiri petugas tersebut juga berbuat
kesalahan dengan melakukan tindakan tidak sepenuh hati sehingga keluarga pasien
atau pengunjung yang melihat petugas itu bekerja merasa tidak senang dan
mendokumentasikan tindakan yang dilakukan petugas tersebut dengan kata lain
petugas bekerja tidak sesuai dengan standar dan kode etik. Dan akhirnya dokumentasi
tersebut beredar luas di masyarakat sehingga petugas tersebut merasa malu.
Didalam ethics
empowerment kita sebagai perawat
profesionalharus terus melakukan advokasi untuk pasien
dan diri kita. Sedangkan yang dilakukan oleh perawat dalam kasus ini adalah
sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang diharapkan, sehingga apa yang
seharusnya didapatkan melalui ethics
empowerment sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan sarana untuk
memastikan perawatan pasien yang etis gagal untuk diciptakan.
3.5.2
Etik Berkelanjutan
Contoh
kasus nyata yang telah kelompok pilih berkaitan dengan berkelanjutan, tindakan
perawat yang melakukan asuhan keperawatan tetapi tidak dengan sungguh-sungguh
seperti sambil menelpon adalah tindakan pelanggaran terhadap hak dari pasien
serta kewajiban dari perawat tersebut, kerugian dari tindakan tersebut adalah
tidak berjalannya proses asuhan keperawatan sesuai standar pelayanan yang
berlaku, melanggar keselamatan pasien, tindakan ini merusak sistem
berkelanjutan asuhan keperawatan dan tidak secara etis serta pelanggaran
standar yang berlaku. Berkelanjutan dilihat antara hubungan manusia dengan
manusia, dimana tindakan tersebut berada pada rana pantas dan tidak pantas,
serta melanggar berbagai macam standar, baik standar profesi, kode etik maupun
standar prosedur tindakan maupun asuhan keperawatan. Berkelanjutan akan
berhasil jika setiap manusia memegang virtue
ethicbased theory misalnya ada 16 kebaikan yang harus dimiliki perawat yang
akan melayani kliennya. Selain memiliki karakter etik, berkelanjutan bisa
berlangsung secara harmonis jika hal ini dipahami dan di resapin sejak tenaga
perawat itu menjalani pendidikan keperawatan, yaitu perawat diajarkan bagaimana
merasakan empati terhadap klien. Berkelanjutan juga dapat berlangsung dengan
semestinya yaitu pemimpin memiliki ethic
empowerment suatu institusi dapat mengawasi secara rutin tindakan asuhan
keperawatan dari bawahannya secara berjenjang sampai ke tahap yang paling
bawah. Supaya sustainability terhadap
asuhan keperawatan ada baiknya dilakukan inhouse traning tentang good government dan diberikan reward dan punishment. Masyarakat yang berkelanjutan membangun komitmen anggota-anggotanya
untuk menyesuaikan diri dengan peraturan ini secara sukarela. Hal ini
dimaksudkan pelayanan tenaga keperawatan berkelanjutan memerlukan komitmen dari
tenaga keperawatan mulai dari perawat pelaksana hingga perawat leader.
|
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1.
Malpraktek dapat diartikan
sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan yang baik.
2.
Kelalaian adalah melakukan
sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuan tetapi tidak dilakukan
atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan.
3.
Standar praktik keperawatan adalah ekpektasi/ harapan-harapan minimal
dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan etis. Standar
praktik keperawatan merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi
masyarakat terhadap praktik yang dilakukan oleh anggota profesi.
4.
Hak dan kewajiban keperawatan diatur dalam UU keperawatan no 38 tahun
2014.
5.
Ethic empowerment adalah Pemberdayaan
adalah metode kolaboratif dimana mereka difasilitasi untuk berpartisipasi dalam
proses perubahan.
6.
Manfaat pemberdayaan yaitu
menghormati hak otonomi peserta, cenderung meningkatkan kemampuan otonomi serta
meningkatkan keterampilan mengatasi masalah dan cenderung mengurangi
ketidaksetaraan. Masyarakat yang berkelanjutan hidup dalam daya dukung alam dan
sistem sosial
24
|
|
DPR RI dan Presiden RI. (2009). UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. Jakarta: Pemerintah RI
DPR RI dan Presiden RI. (2009). UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Jakarta: Pemerintah RI
DPR RI dan Presiden RI. (2014). UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Jakarta: Pemerintah RI
Jennings, B. (2010). Ethical
Aspects of Sustainability. Minding Nature 3.1, 27–28.
Presiden RI. (1999). UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pemerintah RI
Schroeter, K. (2006). The Ethics of Empowerment, 13(4),
157–158.
Utami, Ngesti W.
(2016). Etika keperawatan dan keperawatan
profesional. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan BPPSDMK Kemenkes RI
VanHorn, G. (2017).
Ethics and Sustainability. Retrieved from https://iseethics.files.wordpress.com/2013/09/ethics_and_sustainability_primer.pdf