1.
GENETIK
Interaksi antara sel-sel imun dipengaruhi oleh
variabilitas genetik. Secara genetik respon imun manusia dapat dibagi atas baik,
cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respon rendah terhadap antigen tertentu tapi
terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi
yang 100%
Faktor genetik dalam respon imun dapat berperan
melalui gen yang berada pada kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex)
dan non MHC.
a.
Gen Kompleks MHC
Berperan
dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan
molekul MHC I dan sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul
MHC II. Jadi respon sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti
bahwa akan terdapat potensi variasi imun.
Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas I
polimorfik, yaitu HLA-A, HLA-B, dan HLA-C. Molekul HLA kelas I terdiri dari
rantai berat a polimorfik yang berpasangan nonkovalen dengan rantai
nonpolimorfik b2-mikroglobulin yang bukan dikode oleh gen MHC. Rantai a yang
mengandung 338 asam amino terdiri dari 3 bagian, yaitu regio hidrofilik
ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik
intraselular. Regio ekstraselular membentuk tiga domain al, a2, dan a3 (lihat
Gambar 8-2). Domain a3 dan b2-mikroglobulin membentuk struktur yang mirip
dengan imunoglobulin tetapi kemampuannya untuk mengikat antigen sangat
terbatas.
Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan
sel berinti mamalia, yang berfungsi untuk presentasi antigen pada sel T CD8
(pada umumnya Tc). Oleh karena itu perlu terdapat ekspresi MHC kelas I di timus
untuk maturasi CD8.
Pada manusia terdapat 3 macam molekulα MHC kelas II
polimorfik, yaitu HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP. Molekul HLA kelas II terdiri dari
2 rantai polimorfik a dan b yang terikat secara nonkovalen, dan masing- masing
terdiri dari 229 dan 237 asam amino yang membentuk 2 domain. Seperti halnya
rantai a HLA kelas I, maka rantai a dan b kelas II terdiri dari regio
hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik
intraselular. Selain itu terdapat pula rantai nonpolimorfik yang disebut rantai
invarian, berfungsi untuk pembentukan dan transport molekul MHC kelas II dengan
antigen.
Molekul MHC kelas II terdapat pada sel makrofag dan
monosit, sel B, sel T aktif, sel dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel epitel,
yang umumnya timbul setelah rangsangan sitokin. Fungsi molekul MHC kelas II
adalah untuk presentasi antigen pada sel CD4 (umumnya Th) yang merupakan
sentral respons imun, karena itu sel yang mempunyai molekul MHC kelas II
umumnya disebut sel APC (antigen presenting cells). Molekul MHC kelas II
perlu terdapat dalam timus untuk maturasi sel T CD4
Terdapat beberapa molekul lain yang dikode pula dan
daerah MHC tetapi mempunyai fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas I dan
II. Suatu daerah dalam MHC yang dikenal sebagai regio MHC kelas III mengkode
sejumlah protein komplemen (C2, B, C4A, C4) dan enzim sitokrom p450
2l-hidroksilase. Selain itu terdapat pula gen sitokin TNF a dan b, atau gen
lain yang mengkode molekul yang berfungsi untuk pembentukan dan transport
molekul MHC dalam sel. βα
Gen respons imun (Ir) semula diterangkan pada hewan
percobaan sebagai gen yang menentukan respons imun individu terhadap antigen
asing tertentu. Dengan pemetaan genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip
dengan gen MHC kelas II, sehingga diangap bahwa molekul MHC keIas II adalah
produk gen Ir. Studi tentang struktur molekul kelas I dan II, serta tempat
ikatan antigen pada molekul kelas II, memperkuat anggapan bahwa molekul kelas
II merupakan mediator gen Ir.
Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul
kelas II, serta perbedaan kemampuan molekul kelas II tertentu untuk mengikat
antigen spesifik, menimbulkan dugaan bahwa hanya molekul keIas II tertentu saja
yang dapat mempresentasikan suatu antigen tertentu pula. Hal ini terlihat pada
pemetaan bahwa hanya individu yang mempunyai gen kelas II tertentu saja yang
dapat bereaksi terhadap suatu antigen khusus.
Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons
antibodi IgE terhadap antigen ragweed Ra5 yang sangat berhubungan
dengan HLA-DR2, serta respons IgE terhadap antigen ragweed Ra6 yang
sangat berhubungan dengan HLA-DR5. Walaupun belum jelas terbukti, antigen ragweed dipercaya
terikat pada molekul MHC kelas II.
b.
Gen non MHC
Terdapat pada penyakit defisiensi imun yang berkaitan dengan gen
tertentu seperti agama globulinemia tipe brutan yang terangkai dengan kromosom
X yang banyak terdapat pada anak laki-laki. Selain itu juga penyakit alergi
yang menunjukkan perbedaan respon imun terhadap antigen tertentu yang merupakan
penyakit yang diturunkan. Faktor ini menyokong adanya peta genetik dalam respon
imun namun mekanisme sebenarnya belum diketahui.
2.
UMUR
Sistem
imunitas berbeda-beda pada tiap jenjang usia. Pada bayi misalnya, sistem
imunitas pada bayi telah ada sejak lahir, namun baru sebagian yang berkembang.
Hal ini berarti lebih rentan terhadap infeksi pada tahun-tahun pertama
kehidupannya. Dengan demikian mereka memerlukan tindakan khusus sebagai
perlindungan dan dukungan. Penelitian membuktikan bahwa ASI berperan penting
untuk membentuk sistem imunitas pada bayi. Dengan kata lain, pemberian ASI
secara eksklusif dapat memperkuat daya tahan tubuh bayi. Lalu zat apakah pada
ASI yang dapat memberikan kekebalan tubuh alami tersebut?
Pembentukan
daya tahan tubuh sejak dini perlu dilakukan karena hal ini sama dengan
meletakkan fondasi sistem imunitas tubuh. Fondasi yang baik mendukung
perkembangan sistem imunitas utuh yang baik pula di masa dewasa. Tentunya upaya
ini perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Fungsi sistem imunitas tubuh
(immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan
infeksi menurun termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal
ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat
menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi,
kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh
perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya
tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian.
Di samping itu, produksi imunoglobulin
yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga
vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit.
Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk
membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian
dari dalam tubuhnya sendiri.
Salah satu perubahan besar yang
terjadi seiring pertambahan usia adalah proses
thymic involution 3 Thymus yang terletak di atas jantung di belakang
tulang dada adalah organ tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat penting
sebagai limfosit untuk membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem
imun.
Seiring perjalanan usia, maka banyak
sel T atau limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan penyakit.
Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat itu tubuh
mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya (saat usia
muda), dan juga tubuh kurang mampu
mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika hal ini
terjadi, maka dapat mengarah pada penyakit autoimun yaitu sistem imun tidak
dapat mengidentifikasi dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah alasan
mengapa resiko penyakit kanker meningkat sejalan dengan usia.
Salah satu komponen utama sistem
kekebalan tubuh adalah sel T, suatu bentuk sel darah putih (limfosit) yang
berfungsi mencari jenis penyakit pathogen lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan
oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan antibodi melawan
infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah banyak pada usia tua, tetapi
konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki
jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka
jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap
serangan penyakit. Sehingga dapat kita lihat bahwa lansia sangat rentan dengan
autoimunitas dan kanker.
Kelompok lansia kurang mampu
menghasilkan limfosit untuk sistem imun. Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan
kurang cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan pada
kelompok dewasa muda. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons kelompok
lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun
kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan
cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua.
Di samping itu, kelompok dewasa tua
khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung menghasilkan autoantibodi yaitu
antibodi yang melawan antigennya sendiri dan mengarah pada penyakit autoimmune.
Autoantibodi adalah faktor penyebab
rheumatoid arthritis dan atherosklerosis. Hilangnya efektivitas sistem imun
pada orang tua biasanya disebabkan oleh perubahan kompartemen sel T yang
terjadi sebagai hasil involusi timus untuk menghasilkan interleukin 10 (IL-10).
Perubahan substansial pada fungsional dan fenotip profil sel T dilaporkan
sesuai dengan peningkatan usia.
3. METABOLIK
Asupan
makanan dan nutsisi yang cukup memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan
daya tahan tubuh seseorang. Kelebihan atau kekurangan nutrisi akan memberikan
dampak buruk pada kesehatan, selain itu juga akan menspuresi sistem imun itu
sendiri. Beberapa zat nutrisi yang diperlukan dalam meningkatkan kekuatan
imunitas antara lain :
a. Protein: arginin dan glutamin.
Lebih efektif dalam memelihara fungsi imun
tubuh dan penurunan infeksi pasca-pembedahan. Arginin mempengaruhi fungsi sel T,
penyembuhan luka, pertumbuhan tumor, dans ekresi hormon prolaktin, insulin, growth
hormon. Glutamin, asam amino semi esensial berfungsi sebagai bahan bakar
dalam merangsang limfosit dan makrofag, meningkatkan fungsi sel T dan
neutrofil.
b. Lemak
Defisiensi asam linoleat (asam lemak omega 6)
menekan respons antibodi, dan kelebihan intake asam linoleat menghilangkan
fungsi sel T. Konsumsi tinggi asam lemak omega 3 dapat menurunkan sel T helper,
produksi cytokine.
c. Beta-glucan
Adalah sejenis gula kompleks
(polisakarida) yang diperoleh dari dinding sel ragi roti, gandum, jamur
(maitake). Hasil beberapa studi menunjukkan bahwa beta glucan dapat
mengaktifkan sel darah putih (makrofag dan neutrofil).
d. Hormon DHEA
Studi menggambarkan hubungan signifikan antara
DHEA dengan aktivasi fungsi imun pada kelompok orang tua yang diberikan DHEA
level tinggi dan rendah. Juga wanita menopause mengalami peningkatan fungsi
imun dalam waktu 3 minggu setelah diberikan DHEA.
e. Yoghurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan probiotik lain.
Meningkatkan aktivitas sel darah putih
sehingga menurunkan penyakit kanker, infeksi usus dan lambung, dan beberapa
reaksi alergi.
f.
Mikronutrien
(vitamin dan mineral)
Vitamin yang berperan penting dalam
memelihara sistem imun tubuh orang tua adalah vitamin A, C, D, E, B6, dan B12.
Mineral yang mempengaruhi kekebalan
tubuh adalah Zn, Fe, Cu, asam folat, dan Se.
• Vitamin A
Berperan penting dalam imunitas non- spesifik
melalui proses pematangan sel-sel T dan merangsang fungsi sel T untuk melawan
antigen asing, menolong mukosa membran termasuk paru- paru dari invasi
mikroorganisme, menghasilkan mukus sebagai antibodi tertentu seperti: leukosit,
air, epitel, dan garam organik, serta menurunkan mortalitas campak dan diare.
Beta karoten (prekursor vitamin A) meningkatkan jumlah monosit, dan mungkin
berkontribusi terhadap sitotoksik sel T, sel B, monosit, dan makrofag.
Gabungan/kombinasi vitamin A, C, dan E secara signifikan memperbaiki jumlah dan
aktivitas sel imun pada orang tua. Hal itu didukung oleh studi yang dilakukan
di Perancis terhadap penghuni panti wreda tahun 1997. Mereka yang diberikan
suplementasi multivitamin (A, C, dan E) memiliki infeksi pernapasan dan
urogenital lebih rendah daripada kelompok yang hanya diberikan plasebo.
•
Kelompok Vitamin B.
Terlibat
dengan enzim yang membuat konstituen sistem imun. Pada penderita anemia
defisiensi vitamin B12 mengalami penurunan sel darah putih dikaitkan dengan
fungsi imun. Setelah diberikan suplementasi vitamin B12, terdapat peningkatan
jumlah sel darah putih. Defisiensi vitamin B12 pada orang tua disebabkan oleh
menurunnya produksi sel parietal yang penting bagi absorpsi vitamin B12.
Pemberian vitamin B6 (koenzim)
pada orang tua dapat memperbaiki respons limfosit yang menyerang sistem imun,
berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat. Defisiensi vitamin B6
menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid sehingga merusak fungsi limfoid dan
merusak sintesis asam nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan
imunitas sellular.
• Vitamin
C.
Meningkatkan
level interferon dan aktivitas sel imun pada orang tua, meningkatkan aktivitas
limfosit dan makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit dari
serangan infeksi virus, contohnya virus influenzae.
• Vitamin
D.
Menghambat
respons limfosit Th-1.
• Vitamin
E
Melindungi
sel dari degenerasi yang terjadi pada proses penuaan. Studi yang dilakukan oleh
Simin Meydani, PhD. di Boston menyimpulkan bahwa vitamin E dapat membantu
peningkatan respons imun pada penduduk lanjut usia. Vitamin E adalah
antioksidan yang melindungi sel dan jaringan dari kerusakan secara bertahap
akibat oksidasi yang berlebihan. Akibat penuaan pada respons imun adalah
oksidatif secara alamiah sehingga harus dimodulasi oleh vitamin E.
• Asam
Folat
Meningkatkan
sistem imun pada kelompok lansia. Studi di Canada pada sekelompok hewan tikus
melalui pemberian asam folate dapat meningkatkan distribusi sel T dan respons
mitogen (pembelahan sel untuk meningkatkan respons imun). Studi terbaru
menunjukkan intake asam folat yang tinggi mungkin meningkatkan memori populasi
lansia.
• Fe
(Iron).
Mempengaruhi imunitas humoral dan
sellular dan menurunkan produksi IL-1.
• Zinc.
Menurunkan
gejala dan lama penyakit influenza. Secara tidak langsung mempengaruhi fungsi
imun melalui peran sebagai kofaktor dalam pembentukan DNA, RNA, dan protein
sehingga meningkatkan pembelahan sellular. Defisiensi Zn secara langsung
menurunkan produksi limfosit T, respons limfosit T untuk stimulasi/rangsangan,
dan produksi IL-2.
• Lycopene.
Meningkatkan
konsentrasi sel Natural Killer (NK)
4.
LINGKUNGAN
Tubuh sangat rentan dengan perubahan cuaca yang diiringi perubahan temperatur
secara mendadak. Harusnya tubuh membutuhkan energi lebih untuk beradaptasi. Itulah
yang menyebabkan sistem imun dalam tubuh berkurang. Akibatnya serangan virus
atau bakteri patogen tidak dapat dilawan oleh kekebalan tubuh yang tidak
maksimal.
Tidak hanya itu saja,
polusi yang semakin hari semakin banyak juga memperburuk kondisi lingkungan di
sekitar. Penelitian telah menunjukkan bahwa dua kelas polutan yang umum,
hidrokarbon aromatik dan phthalates, mengganggu edukasi sel B. Hidrokarbon di
mana-mana dan diproduksi setiap kali sesuatu organik terbakar - dari bahan
bakar fosil di mobil dan batubara di pembangkit listrik , untuk steak panggang
arang. Phthalates, yang leach dari ratusan produk umum yang mengandung peliat
(tubing medis misalnya, kantong plastik, kosmetik), juga dapat ditemukan di
seluruh lingkungan.
5.
ANATOMIS
Pertahanan tubuh
terhadap invasi mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh
keadaan anatomis tubuh manusia,
seperti kulit, mukosa dan sebagainya. Keadaan seperti luka bakar
atau bentuk cedera lain, infeksi, kanker turut merubah sistem imun. Luka bakar
yang luas atau faktor yang menyebabkan gangguan integritas kulit akan
mengganggu garis pertama tubuh. Hilangnya seru dalam jumlah besar akan
menyebabkan defisit protein esensial, termasuk immunoglobulin.
6.
FISIOLOGIS
Pertahanan tubuh sangat dipengaruhi oleh eungsi sisitem dan organ. Dalam hal ini bisa dicontohkan
dengan cairan lambung, silia trakt.resp, aliran urin, sekresi kulit bersifat bakterisid, enzim, antibody, dan lain-lain.
Stresor fisiologik dan psikologik yang disertai stres karena cedera atau
pembedahan akan menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal,
peningkatan kortisol serum juga turut menyebabkan supresi respon imun yang
normal. Keadaan sakit kronis akan mengganggu fisiologis beberapa organ dan
mensupresi sistem imun melalui sejumlah cara :
1. Kegagalan
ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar, fungsi pertahanan
tubuh akan terganggu akibat akumulasi toksin di dalam darah
2. Pasien
DM juga mengalami penurunan pertahanan diri karena insufisiensi vaskuler,
neuropati dan ketidakstabilan kadar glukosa darah
3. Infeksi
saluran nafas yang rekuren berkaitan dengan penyakit paru obstruktif menahun
sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi serta ekspirasi dan tidak
efektifnya pembersihan jalan nafas
4. Dan lain-lain
7. MIKROBIAL
Lingkungan yang mengandung mikroba
patogen di sekelilingnya tidak mungkin
dihindari olehh manusia. Mikroba
tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen
yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respons
imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga
berbeda. Umumnya gambaran biologik spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana
yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri
khususnya bakteri ekstraselular atau bakteri intraselular mempunyai
karakteristik tertentu pula
.
Pada
beberapa kasus, infeksi microbial menyebabkan system imun memproduksi antibody
yang bereaksi silang dengan antigen sendiri. Sebagai contoh,streptococcus piognesis mengandung
antigen tertentu yang serupa dengan antigen dalam miokardium normal. Jadi,
antibodi yang timbul untuk pertahanan melawan infeksi streptokokus dapat
mengadakan reaksi silang dengan miokardium sehingga terjadi demam reumatik.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman,Kleigman,Alvin.2000.Ilmu Kesehatan Anak Nelsonvol.1 E/15.
Penerbit Buku Kedokteran EGC , Jakarta.
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Suzanne c smeltzer, Brenda g.
bare.2002. buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth ,edisi 8,
volume 3. EGC: Jakarta
Underwood.1999. Patologi Umum dan Sistematik. Penerbit
Buku Kedokteran EGC , Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar