BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan
gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah
proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum.
Penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul
pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.
Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital
dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di
kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya
peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat
berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian
dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan
akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan
dilatasi usus proksimal.
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah
pengetahuan kepada para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu keperawatan
mengenai penyakit hisprung. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi syarat dalam
proses pembelajaran pada mata kuliah keperawatan anak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar
1.Defenisi
Penyakit
hisprung disebut juga congenital aganglionosis atau megacolon ( aganglionic
megacolon ) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada
dalam colon ( Suriadi, 2001 ). Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan
bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus dimana hal ini terjadi karena
kelainan inervasi usu, mulai pada spingter ani interna dan meluas ke proksimal,
melibatkan panjang usus yang bervariasi, Selain itu, penyakit hisprung adalah
penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada neonatus.
2.Etiologi
Penyakit hisprung tidak memiliki plexus myenteric sehingga bagian usus
yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Biasanya terjadi pada bayi aterm dan
jarang pada bayi prematur. Dimana insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup.
Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan ( 4: 1 ).
Penyakit ini sering terjadi pada anak dengan down syndrom. kelainan
kardiovaskuler dan kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus,
gagal eksistensi kraniokaudal pada myenterik dan submukosa dinding plexus.
3.Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon
menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada
dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam
rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi
usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan
distensi pada saluran cerna.
Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak
pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).Semua ganglion pada
intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi
peristaltik secara normal.Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang
proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian
Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).
4.Komplikasi
- Obstruksi usus
- Ketidakseimbangan cairan dan elektolit
- Konstipasi
5.Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit hisprung dapat
dibedakan bardasarkan usia gejala klinis:
A.
Periode Neonatal
gejala klinis yang sering dijumpai, yaitu
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat ( lebih dari 24 jam pertama ) merupakan
tanda klinis yang paling khas. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang bila mekonium dapat dikeluarkan segera. Ancaman komplikasi yang
serius bagi penderita hisprung yaitu enterokolitis yang dapat menyerang pada
usia kapan saja, namun yang paling tinggi saat usia 2-4 minggu.
B. Anak
gejala klinis yang paling menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus
di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feses biasanya
keluar menyemprot, konsistensi semiliquid dan berbau tidak sedap. Penderita
biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya
sulit untuk defekasi.
6.Penatalaksanaan
Pemeriksaan diagnostik
v Pemeriksaan rektum
v Pemeriksaan rektal biopsi, fungsinya untuk
mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
v Pemeriksaan manometri anorektal, fungsinya
untuk mencatat respon refluks spingter internal dan eksternal.
v Pemeriksaan radiologis : dengan barium enema.
Penatalaksanaan teraupetik
· pengguaan pelembek tinja dan irigasi rectal
· dengan pembedahan, colostromi
7. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakn
bedah penyakit hisprung dapat digolongkan atas :
1) Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat
disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi
yang inadekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar
anastomose serta trauma colok dubur businasi pasca operasi yang dikerjakan
terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terljadi akibat
kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvic, abses intra
abdomen, peritonisis, sepsis dan kematian.
2) Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik
terobos dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka daerah anastomose,
serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan
komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval
akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat
prosedur Soave. Manifestasi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga vistula perianal.
3) Enterokolitis
Merupakn komplikasi yang paling berbahaya dan
dapat mengakibatkan kematian. Tindakan yang dapat dilakukan dengan penderita
dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan
elektrolit, pemasangan pipa rectal untuk decompresi, melakukan wash out dengan
cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotic yang tepat.
4) gangguan fungsi spingter
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan
lingkungan. Adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-28 jam
setelah lahir, muntah berwarna hijau, dan konstipasi. Bila diperkusi adanya
kembung, apabila dilakukan colok anus feses akan menyemprot. Pada pemeriksaan
radiologis didapatkan adanya segmen aganglionis diantaranya apabila segmen
aganglionis mulai dari anus sampai sigmoid, termasuk tipe hisprung segmen
pendek. Dan apabila aganglionis melebihi sigmoid sampai seluruh kolon, termasuk
tipe hisprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsy rectal digunakan untuk
mendeteksi ada tidaknya sel ganglionik. Pemeriksaan manometri anorektal
digunakan untuk mencatat respon refluks spingter internal dan eksternal.
2. Diagnosa Keperawatan
Pra Pembedahan
- Konstipasi berhubungan dengan obstruksi
karena aganglion pada usus.
- Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan
pembedahan, intak yang kurang, mual dan muntah.
- Gangguan kebutuhan nutrisi
- Resiko cedera
Pasca operasi
- Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan
perbaikan pembedahan
- Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan dan
adanya insisi
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b/d pembedahan gastro intestinal
- Nyeri b/d insisi pembedahan
- Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi,
pembedahan dan perawatan kolostomi.
- Resiko komplikasi pasca pembedahan.
3. Kriteria hasil
- Pengeluaran tinja lembek tanpa retensi
- Anak tidak menunjukkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai dengan membran mukosa lembab, gravitasi urin atau berat jenis urun normal, sodium, potasium dan bikarbonat dalam batas normal
4. Intervensi
Prapembedahan
1. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi
karena aganglion pada usus.
Konstipasi dapat disebabkan oleh obstruksi,
tidak adanya ganglion pada usus. Rencana tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan adalah mencegah atau mengatasi konstipasi dengan mempertahankan
status hidrasi, dengan harapan feses yang keluar menjadi lembek tanpa adanya
retensi.
Tindakan
v Monitor terhadap fungsi usus dan
karakteristik feses.
v Berikan spoling dengan air garam fisiologis
bila tidak ada kontra indikasi
v Kolaborasi dengan dokter tentang rencana
pembedahan
Ada dua tahap pembadahan pertama yaitu dengan
kolostomi loop atau double barrel dimana diharapkan tonus dan ukuran usus yang
dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal selama 3-4 bulan. Ada 3 prosedur
dalam pembedalan antara lain :
· Procedur duhamel yaitu dengan cara penarikan
kolon normal kearah bawah dan menganastomosisnya di belakang usus aganglionik,
membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon
normal yang telah ditarik.
· Prosedur Swenson yaitu membuang bagian
aganglionik kemudian menganastomoskan end to end pada kolon yang berganglion
dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter dilakukan pada bagian
posterior.
· Procedu soave yaitu dengan cara membiarkan
dinding otot dari segmen tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik
sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan
otot rectosigmoid yang tersisa.
2. Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan
pembedahan, intake yang kurang, mual dan muntah.
Kekurangan volume cairan dapat disebabkan oleh
asupan yang tudak memadai sehingga dapat menimbulkan ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit , perubahan membram mukosa, produksi dan berat jenis urin.
Tujuan tindakan yang dilakukan adalah untuk mempertahankan status cairan tubuh.
Tindakan
v Monitor status hidrasi dengan cara mengukur
asupan dan keluaran cairan tubuh
v Observasi membram mukosa, turgor kulit,
produksi urin, dan status cairan.
v Kolaborasi dalam pemberian cairan sesuai
indikasi.
3. Gangguan kebutuhan nutrisi
gangguan perubahan nutrisi disebabkan adanya
perubahan status nutrisi seperti penurunan BB, turgor kulit menurun, serta
asupan kurang. Maka tujuan tindakan yang dilakukan adalah mempertahankan status
nutrisi.
Tindakan
v Monitor perubahan status nutrisi antara lain
turgor kulit dan asupan.
v Lakukan pemberian nutrisi parenteral apabila
secara oral tidak memungkinkan.
v Timbang BB setiap hari.
v Lakukan pemberian nutrisi dengan tinggi
kalori, tinggi protein.
4. Resiko cedera
Masalah ini timbul akibat adanya komplikasi
penyakit hirsprung seperti gawat pernafasan dan enterokolitis. Tujuan tindakan
yang dilakukan adalah untuk mempertahankan status kesehatan.
Tindakan
v Pantau TTV setiap 2 jam (jika perlu).
v Observasi tanda adanya perforasi usus
seperti, muntah, menigkatnya nyeri tekan, distensi abdomen, iritabilitas, gawat
pernafasan, tanda adanya enterokolitis.
v Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam untuk
mengetahui adanya distensi abdomen.
Pascapembedahan
1. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan
perbaikan pembedahan
- kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.
- Berikan perawatan kulit untuk mencegah
kerusakan kulit.
- Oleskan krim jika perlu.
2. Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan dan
adanya insisi.
Resiko infeksi disebabkan oleh adanya
mikroorganisme yang masuk melalui insisi daerah pembedahan.
Tindakan
v Monitor tempat insisi
v Ganti popok yang kering unutk menghindari
kontaminasi feses.
v Lakukan perawatan pada kolostomi atau
perianal.
v Kolaborasi pemberian antibiotic dalam
penatalaksanaan pengobatan terhadap mokroorganisme.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b/d pembedahan gastro intestinal
Tindakan :
- Puasakan anak hingga bisisng usus positif dan
ada buang gas.
- Pemberian cairan melalui intravena sesuai
program sampai anal toleran dengan intake secara oral.
4. Nyeri b/d insisi pembedahan
Masalah ini dapat disebabkan oleh efek dari
insisi yang bias dilihat melalui ekspresi perasaan nyeri, dan perubahan tanda
vital.
Tindakan
v Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.
v Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti
teknik pijat punggung dansentuhan.
v Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila
dimungkinkan.
5. Kurang pengetahuan
Tindakan :
- Kaji tingkat pengerahuan tentang kondisi yang
dialami perawatan di rumah dan pengobatan.
- Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan
perasaan, kecemasan dan perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.
- Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses
kesembuhan.
- Ajarkan pada anak dengan membuat
gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya bagaimana dilakukan irigasi dan
kolostomi.
- Ajarkan perawatan ostomi segera setelah
pembedahan dan lakukan supervisi saat orang tua melakukan perawatan ostomi.
6. Resiko komplikasi pascapembedahan
Resiko komplikasi hirsprung misalnya, adanya
striktur ani, adanya perforasi, obstruksi usus, dan kebocoran. Tujuan tindakan
yang dilakukan adalah mempertahankan status pascapembedahan agar lebih baik dan
tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.
Tindakan
v Monitor adanya tanda komplikasi seperti
obstruksi usus karena perlengketan, kebocoran pada anastomosis, volvulus,
sepis, fistula, entero colitis, frekuensi defekasi, konstipasi, perdarahan.
v Monitor peristaltic usus.
v Monitor TTV dan adanya distensi abdomen untuk
mempertahankan kepatenan pemasangan nasogastrik.
Tindakan dalam perawatan kolostomi
v Siapkan alat untuk pelaksanaan kolostomi
v Cuci tangan
v Jelaskan pada anak prosedur yang akan
dilakukan
v Lepaskan kantong kolostomi dan bersihkan area
kolostomi
v Periksa adanya kemerahan dan iritasi
v Pasang kantong kolostomi di daerah stoma
v Tutup atau lakukan vikasasi dengan plester
v Cuci tangan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi
hisprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit hisprung.
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup,
laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya,
penyakit hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur.
Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down,
sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya
kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah
berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat
terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.
B.
Saran
- Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa keperawatan
- Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.
- semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Markum, H. 1991. Ilmu
Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.
Pritchard, J.A. 1997. Obstetric Williams. Edisi xvii. Airlangga University Press: Surabaya.
Pritchard, J.A. 1997. Obstetric Williams. Edisi xvii. Airlangga University Press: Surabaya.
2.
Saifudin, AB, dkk.
2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. YBPSP,
Jakarta.
3.
Schwart, M.W. 2005.
Pedoman Klilik Pediatrik. Jakarta : EGC.
5.
Surasmi, A.,
Handayani, S. & Kusuma, H.N. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Cetakan I.
Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar