BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ikterus
terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan
bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80%
bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini
pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan
yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus
harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam
pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam
24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih
dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan
yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk
ikterus dapat dihindarkan.
B. TUJUAN
PENULISAN
1.
Tujuan
Umum
Untuk mendapat gambaran umum tentang asuhan keperawatan
pada anak dengan Hiperbilirubin.
2.
Tujuan
Khusus.
Dengan pembuatan
makalah mahasiswa mampu :
v Mengerti dan memahami konsep dasar hiperbilirubin.
v Melakukan pengkajian pada pasien dengan hiperbilirubin.
v Menentukan diagnosa keperawatan dan merumuskan diagnosa
prioritas hiperbilirubin.
v Menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
KONSEP DASAR
1. Defenisi
Hiperbilirubin
adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas
nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi bilirubin dalam darah berlebihan sehingga menimbulkan
joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana
terjadi akumulasi bilirubin dalam darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat
menimbulkan efek patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata,
kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G, 1988).
Hiperbilirubin adalah peningkatan
kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan
bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
Hiperbilirubinemia adalah kadar
bilirubin yang dapat menimbulkan efek pathologis. (Markum, 1991:314)
2.
Etiologi
·
Pembentukan
bilirubin yang berlebihan.
·
Gangguan pengambilan (uptake) dan
transportasi bilirubin dalam hati.
·
Gangguan
konjugasi bilirubin.
·
Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya
kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis
dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup.
·
Gangguan transportasi akibat penurunan
kapasitas pengangkutan, misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh
obat-obatan tertentu.
·
Gangguan fungsi hati yang disebabkan
oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati
dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
3. Patofisiologi
Peningkatan
kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat beban bilirubin pada sel hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia.Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein
berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran
empedu.
Pada derajat
tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis
pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan
yang terjadi di otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kadar
bilirubin indirek lebih dari 20mg/dl.Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati
sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.
Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan hipoglikemia. (Markum, 1991)
4. Manifestasi klinis
·
Kulit
berwarna kuning sampe jingga
·
Pasien tampak lemah
·
Nafsu
makan berkurang
·
Reflek
hisap kurang
·
Urine
pekat
·
Perut
buncit
·
Pembesaran
lien dan hati
·
Gangguan
neurologic
·
Feses
seperti dempul
·
Kadar bilirubin total mencapai 29
mg/dl.
·
Terdapat ikterus pada sklera,
kuku/kulit dan membran mukosa.
o
Jaundice yang tampak 24 jam pertama
disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan
diabetk atau infeksi.
o
Jaundice yang tampak pada hari ke 2
atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang
biasanya merupakan jaundice fisiologi.
5. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan bilirubin serum
·
Pada bayi cukup bulan, bilirubin
mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl
tidak fisiologis.
·
Pada bayi premature, kadar bilirubin
mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari
14mg/dl tidak fisiologis.
b) Pemeriksaan
radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
c) Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
d) Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
e) Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
f) Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini
6. Penatalaksanaan
a) Tindakan umum
·
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO)
pada waktu hamilü
·
Mencegah truma lahir, pemberian obat
pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi
dan dehidrasi.
·
Pemberian makanan dini dengan jumlah
cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.ü
·
Imunisasi
yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
b) Tindakan khusus
·
Fototerapiü
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto.
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto.
·
Pemberian fenobarbitalü
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
·
Memberi substrat yang kurang untuk
transportasi/ konjugasiü
misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar.
misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar.
·
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan
fototerapiü
untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.
untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.
·
Terapi transfuse
digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
·
Terapi obat-obatan
misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
·
Menyusui
bayi dengan ASI
·
Terapi
sinar matahari
c) Tindak lanjut
Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan evaluasi berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi dengan rehabilitasi terhadap gejala sisa.
Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan evaluasi berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi dengan rehabilitasi terhadap gejala sisa.
7. Komplikasi
ü
Retardasi
mental - Kerusakan neurologis
ü
Gangguan
pendengaran dan penglihatan
ü
Kematian.
ü
Kernikterus.
B.
Asuhan keperawatan hiperbilirubin
1. Pengkajian
v Keadaan umum lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh
(hipertermi). Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot
(kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan
mengelupas (skin resh), sclera mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan
pada retina) perubahan warna urine dan feses. Pemeriksaan
fisik
v Riwayat
penyakit
Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM
v
Pemeriksaan
bilirubin menunjukkan adanya peningkatan.
v Pengkajian
psikososial
Dampak
sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah,
perpisahan dengan anak.
v Hasil
Laboratorium :
v
Kadar
bilirubin 12mg/dl pada cukup bulan.
v
Pada
bayi premature, kadar bilirubin mencapai 15mg/dl.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a)
Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan jaundice atau radiasi.
b)
Gangguan temperature tubuh
(Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
c)
Resiko terjadi cidera berhubungan
dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
d)
Cemas berhubungan dengan perubahan
status kesehatan.
3.
RENCANA
KEPERAWATAN
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
o Tidak ada luka / lesi pada kulit
o Perfusi jaringan baik
o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang
o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Pressure Management
Intervensi :
o Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
o Hindari kerutan pada tempat tidur
o Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
o Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
o Monitor kulit akan adanya kemerahan.
o Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
o Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat
DX II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan suhu dalam rentang normal.
NOC : Termoregulation
Kriteria hasil :
o Suhu tubuh dalam rentang normal
o Nadi dan respirasi dalam batas normal
o Tidak ada perubahan warna kulit
o Pusing berkurang/hilang.
Indicator skala :
1. Selalu terjadi
2. Sering terjadi
3. Kadang terjadi
4. Jarang terjadi
5. Tidak pernah terjadi
NIC : Fever treatment
o Monitor suhu sesering mingkin
o Monitor warna dan suhu kulit
o Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi
o Monitor intake dan output
DX III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan tidak ada resiko cidera.
NOC : risk control
Kriteria hasil :
o Klien terbebas dari cidera
o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera
o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri.
Indicator Skala :
1. tidak pernah menujukan
2. jarang menunjukan
3. kadang menunjukan
4. sering menunjukan
5.selalu menunjukan
NIC : Pencegahan jatuh
o Kaji status neurologis
o Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari metode pengamanan
o Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien
o Libatkan keluiarga untuk mencegah bahaya jatuh
o Observasi tingkat kesadaran dan TTV
o Dampingi pasien
Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepeerawatan selama proses keperawatan diharapkan keluarga dan pasien tidak cemas.
NOC I : Control Cemas
Kriteria Hasil :
o Monitor intensitas kecemasan.
o Menyingkirkan tanda kecemasan.
o Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
o Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya.
o Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah.
o Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan.
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Penurunan Kecemasan
Intervensi :
o Tenangkan klien.
o Jelaskan seluruh prosedur pada klien/keluarga dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan.
o Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
o Sediakan aktivitas untuk mengurangi kecemasan.
NIC II : Peningkatan Koping.
o Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit.
o Sediakan informasi actual tentang diagnosa, penanganan.
o Dukung keterlibatan keluarga dengan cara tepat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata, kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G, 1988).
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.
DAFTAR
PUSTAKA ( REFERENSI )
v Doenges, Marilynn, E. dkk. Rencana
Asuhan Keperawatan, Edisi 3, 2000. EGC, Jakarta.
v Bare Brenda G,
Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC, Jakarta.
v Price Anderson Sylvia, Milson
McCarty Covraine, Patofisiologi, buku-2, Edisi 4, EGC, Jakarta.
v Tim Penyusun.
Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Volume
II, 2001, FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar