Abstrak.
Sindrom gawat nafas merupakan
penyebab utama kematian bayi- bayi yang lahir prematur. Kondisi ini disebabkan
olek kegagalan paru-paru mengembangka kapasitas residu fungsional dan
kecendrungan pterkena atelektasis akibat tegangan permukaan yang tinggi dan
tidak adnya surfakatan. Pemberian terapi surfaktan telah memberikan konstribusi
yang besar untuk menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh sindrom gawat
nafas. Surfaktan jaga menunjukkan keefektifan untuk penyakit paru-paru lain,
termasuk aspirasi mekonium, perdarahan pulmonal dan hipertensi pulmonal
persisten. Tapi tidak semua bayi memberikan respon yang baik terhadap
surfaktan. Ini terbukti dari penelitian pada 41 bayi yang meninggal setelah
mendapat surfaktan, dengan cara melakukan otopsi.
Surfaktan paru-paru sangat diperlukan
untuk fungsi normal paru setelah bayi lahir. Surfaktan terdiri dari gabungan
protein dan lemak dalam sel alveolar tipe II. Surfaktan phospholipids berbentuk
satu lapis pada ruang interfase alveolar yang menurunkan tegangan permukaan,
dan memfasilitasi ekspansi alveolar. Surfaktan protein diperlukan untuk
pembentukan lapisan phospholipid dan
berperan penting sebagai mekanisme pertahanan diri.
Kekurangan surfaktan primer pada bayi preterm akan menghambat pengisian
udara ke paru-paru, dan menyebabkan terjadinya sindrom gawat nafasan. Sedangkan
kekurangan surfaktan sekunder terjadi
pada saat surfaktan pulmonal tidak aktif oleh karena kekurangan protein,
infeksi atau karena aspirasi mekonium.
Terapi surfaktan digunakan untuk mencegah risiko sindrom gawat pernafasan
pada bayi preterm, atau untuk mengobati sindrom tersebut. Penelitian klinik
terapi surfaktan ini, baik untuk pencegahan ataupun untuk mengobati
menghasilkan peningkatan fisiologis dari fungsi paru, penurunan komplikasi dari
sindrom gawat nafas dan penurunan angka kematian bayi.
Terapi
surfaktan juga bermanfaat untuk bayi aterm dengan aspirasi mekonium atau
pnemonia.(1)
Namun, tidak semua bayi mempunyai
respon yang baik terhadap terapi surfaktan. Ini ditunjukkan oleh penelitian
Shima.Y dkk, dari Department of Premature and Neonatal Medicine, Japanese Red
Cross Medical Center, yang melakukan otopsi terhadap 41 janin yang mendapat
terapi surfaktan, kemudian meninggal.(2)
II. Sindrom
gawat nafas.
Keadaan ini merupakan penyebab utama kematian bayi baru lahir.
Diperkirakan 30% dari semua kematian neonatus disebabkan oleh penyakit membran
hialin atau komplikasinya. Penyakit ini terutama terjadi pada bayi prematur,
dan insidennya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya.
Pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, insidennya 60-80%,
antara 32-36 minggu, sekitar 15-30%, dan pada bayi yang lebih dari 37 minggu
sekitar 5%. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari diabetes,
persalinan preterm, gemelli, persalinan seksiosesaria, persalinan cepat,
asfiksia, stres dingin dan adanya riwayat bayi sebelumnya terkena. Insiden
tertinggi pada bayi preterm laki-laki dan kulit putih. Kegagalan mengembangkan
kapasitas residu fungsional dan kecendrungan paru-paru terkena atelektasis
mempunyai korelasi dengan tegangan permukaan yang tingg dan tidak adanya
surfaktan.
Atelektasis
alveolar, formasi membran hialin, dan edema intersisial membuat paru-paru
kurang lentur, memrlukan tekanan yang lebih besar untuk mengembangkan alveolus
kecil dan jalan nafas. Pada bayi ini dada bawah tertarik ke dalam ketika
diafragma turun dan tekanan intra thorak menjadi negatif, dengan demikian
membatasi jumlah tekanan intra thorak yang dihasilkan. Dinding dada bayi
preterm yang sangat lemah memberikan lebih sedikit tekanan daripada dinding
bayi yang matur. Dengan demikian pada akhir ekspirasi, volume thorak dan paru
cenderung mendekati volume residu. Akibat dari semua itu akan menyebabkan
atelektasis.
Pemberian deksametason atau
betametason pada wanita 48-72 jam sebelum persalinan janin dengan umer
kehamilan 32 minggu atau kurang sangat mengurangi insiden dan mortalitas serta
morbiditas penyakit membran hialin. Adalah tepat memberikan kortikosteroid
secara intramuskuler pada wanita hamil yang lesitin dalam cairan amnionnya menunjukkan
immaturitas paru janin, dan yang mempunyai kemungkinan bersalin dalam satu
minggu, atau yang kelahirannya terunda 48 jam atau lebih. Terapi kortikosteroid
mengurangi insiden dan komplikasi prematuritas lainnya seperti perdarahan
intraventrikuler, duktus arteriosus paten, pneomothorak, dan enterokolitis
nekrotik tanpa mempengaruhi pertumbuhan, perkembngan, dan kerja atau
pertumbuhan paru neonatus atau insiden infeksi. Glukokortikoid pranatal dapat bekerja
sinergis dengan terapi surfaktan eksogen pascalahir.(3)
III. Terapi
surfaktan
Unsur utama surfaktan adalah dipalmitilfosfatidilkolin (lesitin),
fosfatidilgliserol, apoprotein (protein surfaktan = PS-A, B, C, D), dan
kolesterol (Gambar 1).
Dengan semakin bertambahnya umur
kehamilan, terjadi penambahan jumlah fosfolipid yang disintesis, dan disimpan
di dalam sel alveolar tipe II. Agen aktif ini dilepaskan kedalam alveoli untuk
mengurangi tegangan permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolar
dengan jalan mencegah kollapsnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi. Namun
karena adanya immaturitas, jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak
cukup memenuhi kebutuhan pascalahir. Kadar tertinggi surfaktan terdapat dalam
paru janin pada umur kehamilan 20 minggu, tetapi belum mencapai permukaan
sampai tiba saatnya. Surfaktan tampak dalam cairan amnion antara 28-32 minggu
berupa sel-sel tipe II, tapi baru tampak jelas pada umur kehamilan 34-36
minggu. Kadar surfactan paru matur biasanya muncul sesudah 35 minggu.(1) Sel-sel yang sangat metabolik aktif ini
mengandung badan-badan lamelar sitoplasmik yang merupakan sumber surfaktan
pulmonal. Sistem dan mediator-madiator syaraf tampaknya mempengaruhi kecepatan
sekresi atau pembongkaran surfaktan. Terutama bahan-bahn adrenergis- b2,
yang digunakan di klinik untuk menekan persalinan, tampakanya meningkatkan
jumlag fosfolipid yang terkumpaul pada lavase paru-paru. Sintesis surfaktan
adalah suatu proses kompleks yang membutuhkan bahan-bahan prekursor yang
melimpah, seperti glukosa, asam lemak, dan kolin saertas serangkaian
langkah-langkah enzimatis penting yang diatur oleh berbagai hormon termasuk
kortikosteroid. Sintesis surfaktan sebagian tergantung pada pH, suhu dan
perfusi normal. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam
hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stres dingin dapat menekan
sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena jejas akibat kadar
oksigen yang tinggi, dan pengaruh manajemen oleh operator respirasi,
mengakibatkan pengurangan surfaktan lebih lanjut.(3)
Terapi surfaktan telah memberikan kontribusi yang besar untuk dalam
penurunan angka kematian bayi yang disebabkan oleh sindrom gawat nafas akibat
lahir prematur. (4,5)
Beberapa laporan juga telah mencatat bahwa surfaktan
menunjukkan keefektifan terhadap penyakit paru-paru yang lain, termasuk
aspirasi mekonium, perdarahan pulmonal, dan hipertensi pulmonal.(6)
III.1.
Keuntungan terapi surfaktan
Percobaan klinik pada bayi prematur yang telah didiagnosis dengan sindrom
gawat nafas menunjukkan peningkatan konsisten dalam:
·
Oksigenasi dan ventilasi
·
Penurunan kejadian pnemotorak dan empisema paru
·
Penurunan kematian dini
·
Penurunan efek bronchopulmonary dysplasia
III.2.
Komplikasi terapi surfaktan.
Ada beberapa efek merugikan dari terapi surfaktan ini, antara lain:
·
Hipoksemia/ bradikardi, yang terjadi selama
pemberian surfaktan.
·
Perdarahan paru, merupakan komplikasi pada bayi
dengan berat badan lahir ekstrem rendah.
III.3.
Indikasi pemberian.
III.3.1. Bayi dengan
sindrom gawat nafas.
o
Merupakan indikasi yang paling banyak (
surfactant rescue therapy)
o
Diberikan pada usia kehamilan < 34 minggu,
tapi pada bayi yang lebih matur akan berkembang menjadi sindrom gawat nafas.
o
Bayi
harus memenuhi kriteria diagnosis sindrom gawat nafas berdasarkan klinis dan
radiografi, dan dipassang intubasi trakea
dan ventilasi untuk pemberian surfaktan.
o
Indikasi terapi berdasarkan kriteria oksigenasi,
yaitu:
1.
FiO2>0,35 dan PaO2 60-80mmHg atauSpO2
88-93%
2.
Arterial/alveolar oxygen tension ratio, PaO2/PaO2 (a/A
ratio)<0,22
Perhitungan tekanan oksigen alveolar:
PAO2 = ( FiO2 x 713 )- paCO2
PaO2
dan PaCO2 ditentukan berdasarkan pemeriksaan
analisa gas
darah.
III.3.2. Bayi prematur dengan risiko sindrom gawat nafas
Untuk bayi dengan risiko sindrom gawat nafas disebabkan oleh
masa kehamilan yang singkat atau berat badan lahir rendah, diberikan terapi
surfaktan profilaksis. Pada BC’s Children’s Hospital, terapi surfaktan
profilaksis diberikan secara rutin pada bayi yang lahir kurang dari 26 minggu.
III.3.3. Aspirasi mekonium.
Karena
data yang terbatas, belum ada ketentuan kriteria terapi spesifik
pemberian terapi surfaktan untuk kasus ini, tapi dikatakan terapi
surfaktan memberikan manfaat untuk
aspirasi mekonium.
III.3.4. Indikasi lain
Indikasi lain dihubungkan dengan keadaan kekurangan surfaktan
baik primer atau sekunder seperti pnemonia, perdarahan pulmonal, dan hernia
diapragma kongenital. Belum ada penelitian klinik terapi surfaktan untuk
kondisi ini, tapi beberapa bayi dengan pnemonia akibat kekurangan surfaktan
baik primer atau sekunder yang mendapat terapi surfaktan sepertinya memberikan manfaat.
III.4. Prosedur pemberian
1.Umum.
Selama
pemberian, harus tersedia alat monitor dan obat-obat yang diperlukan. Bayi
harus dimonitor secara kontinyu, yaitu:
·
Denyut jantung
·
Pulse oxymeter
·
Monitor PCO2 transkutanius
·
Monitor tekanan jalan nafas
·
Monitor volume tidal
·
Analisa gas darah
2. Sediaan
terapi surfaktan.
Sebagian besar terapi surfaktan
merupakan produk alami, yang berasal dari paru-paru binatang. Surfaktan
sintetik yang berisi phospolipid dan kombinasi surfaktan protein sedang dalam
pengembangan.
Dua buah
sediaan surfaktan yang tersedia saat ini di kananda adalah:
1.
BLESTM (Bovine
Lipid Surfactant), BLESS Biochemical Inc.,London,ON.
2.
Survanta (Beractant), Abbot Laboratries, Saint
Laurent, QC.
Kedua produk
ini mengandung surfaktan alami dari paru-paru sapi, berisi surfaktan protein B
dan C.
III.5. Dosis pemberian
1.
BLES: 135 mg phospholipids/kg/dosis ( 5 mL/kg )
Diulang sampai 3 kali dalam 5
hari pertama postpartum, bila
oksigenasi belum membaik.
2.
Survanta: 100 mg phospholipid/kg/dosis ( 4 mL/kg )
Diulang setelah 6 jam dari
pemberian pertama, bila saturasi
oksigen < 30 %.
Kriteria
pemberian terapi menggunakan BLES.
Usia
kehamilan
|
Terapi
awal
|
Terapi
ulangan
|
26 minggu
atu kurang
|
Surfaktan
propfilaksis:
-
Intubasi
- Berikan
pada SEMUA
bayi
dalam 30 menit pertama kelahiran.
|
-
Ventilasi
- >25
% O2
- 8 jam
atau lebih dari
pemberian teakhir
|
27 minggu
atau lebih
|
Surfaktan
terapi
-
ventilasi
- FiO2
> 0,35 (SpO2
88-93%) atau
a/A <
0,35
|
-
ventilasi
- >35%
O2
- 8 jam
atau lebih dari pemberian terakhir.
|
Catatan:
·
Pemberian surfaktan diberikan sesegera mungkin setelah
diagnosis ditegakkan dan kriteria oksigenasi diketahui.
·
Surfaktan profilaksis lebih efektif diberikan setelah
dilakukan resusitasi awal saat lahir.
·
Tidak dianjurkan bayi menerima lebih dari 3 dosis
pemberian surfaktan.
·
Dosis yang direkomendasikan tidak tepat, bisa naik
atau turun 10%.
·
Dosis yang lebih kecil dan frekuensi pemberian yang
lebih diindikasikan untuk bayi yang tidak stabil, terutama dengan hipertensi
pulmonal.
III.6. Cara
pemberian:
·
Masukkan endotrakeal tube pada posisi yang
tepat.
·
Suction untuk membersihkan jalan nafas.
·
Hangatkan surfaktan sesuai suhu kamar.
·
Masukkan surfaktan intratrakeal melalui
kateter pada endotrakeal tube.
·
Pemberian sesuai petunjuk dari pabrik obat.
·
Nilai apakah ventilasi adekuat dengan observasi
pengembangan dada dan abdominal dan monitoring volume tidal.
·
Atur tekanan/volume tidal menurut kebutuhan
selama dan sesudah pemberian.
·
Menjaga SpO2/PaO2 dengan mengatur kebutuhan
FiO2. Oksigenasi bisa ditingkatkan secara cepat setelah pemberian dan FiO2
harus diturunkan sesuai hasil oksimetri/analisa gas darah.
·
Posisi bayi selama dan sesudah pemberian sesuai
petunjuk pabrik obat.
III.7.
Penatalaksanaan komplikasi
·
Desaturasi oksigen, biasanya sementara dan
memerlukan peningkatan FiO2 sementara, peningkatan tekanan/volume tidal atau
sesuai petunjuk pemberian.
·
Bradikardi, mungkin disebabkan oleh desaturasi oksigen
atau stimulasi vagal.
·
Peningkatan PCO2/penurunan volume tidal,
disebabkan oleh obstruksi surfaktan sementara.
·
Terrjadi kebocoran surfaktan sekitar ETT dan
masuk ke pharing, ETT mungkin terlalu kecil.
·
Surfaktan hanya masuk ke satu paru, posisi ETT yang
tidak tepat, atau posisi tidur bayi yang tidak tepat.(1)
IV. Analisa
bayi prematur yang dapat terapi surfaktan
Analisa bayi prematur yang dapat terapi surfaktan ini dilakukan oleh
Shima.Y. dkk,.dari depatmen of Premature and Neonatal Medicine, Japanese Red
Cross Center terhadap 41 bayi yang telah meninggal dengan melakukan otopsi.
Usia kehamilan bayi ini berkisar antara 21 dan 30 minggu, dengan berat badan
lahir antara 316 sampai dengan 1480 gram. Diagnosis klinik ditetapkan dengan
fhoto thorak dan test busa. Semua bayi terpasang ventilasi dan mendapat terapi
surfaktanTA: 120 mg/kg melalui trakea. Bayi ini kemudian dibagi dua kelompok
berdasarkan respon klinik terhadap terapi surfaktan yang diberikan. Bila dalam
6 jam setelah pemberian surfaktan konsentrasi suplai oksigen menurun lebih dari
20% atau tekanan udara rata-rata (MAP) kurang dari 20% dibandingkan dengan
sebelum mendapat terapi, maka bayi tersebut masuk kelompok responder (n=18),
sedangkan bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut masuk kelompok
non-responder.
Terhadap kedua
kelompok ini dilakukan analisa yang mencakup latar belakang klinik ( usia
kehamilan, berat badan lahir, perode bertahan hidup, histori perinatal, lama
pemberian terapi, kesweimbangan asam basa sebelum terapi, dan suhu tubuh) dan
penemuan otopsi pada organ vital. Parameter histopatologi ysang dievaluasi
adalah membran hialin, perdarahan pulmonal, empisema intersisial pulmonal,
pnemonia, displasia bronkopulmonal dan kerusakan paremkim organ- organ vital
selain paru-paru, (hepar, ginjal dan adrenal).
Hasil penelitian didapatkan, usia
kehamilan dan berat badan lahir sama pada kedua kelompok, dan 94% (17/18) pada
kelompok responder dan 78% (18/23) didiagnosis sindrom gawat nafas. Angka
bertahan hidup secara bermakna lebih lama pada kelompok responder (tabel 1).
Bayi yang meninggal pada kelompok responder akibat komplikasi yang terjadi
belakangan, setelah adaptasi paru-paru tercapai. Fetal distres, infeksi
intrauterin, ditemukan lebih banyak pada kelompok non-responder, meskipun perbedaan
ini tidak bermakna. Oligohidramnion juga ditemukan pada kelompok non-responder.
(tabel 2). Lama pemberian terapi surfaktan hampir sama pada kedua kelompok,
tetapi hipotermi asidosis berat labih banyak pada non-responder (tabel 3).
Komplikasi klinik, yaitu insiden paten duktus arteriosus, perforasi intestinal,
dan sepsis yang dibuktikan dengan hasil kultur darah secara bermakna lebih
tinggi pada kelompok responder(tabel 4).Tabel 5 dan 6 menunjukkan
penemuan-penemuan histopatologi yang dadapatkan. Penyakit membran hialin dan
empisema intersisial pulmonal lebih banyak pada non-responder. Insiden pnemonia
secara bermakna lebih banyak pada responder. Tidak ada perbedaan antara kedua
kelompok dalam insiden perdarahan atau degenerasi parenkim hepar dan ginjal,
walaupun ditemukan perubahan histopatologi yang lebih banyak pada kelompok
non-responder (tabel 6).(2)
Table 1.
Patient Profiles
|
responders
|
non-responders
|
Number of
patients
|
18
|
23
|
Gestational
aeg (weeks)
|
25.8 ±
2.1
|
25.3 ±
2.4
|
Birth Weight
(g)
|
864.4 ±
242.2
|
761.0 ±
249.1
|
Survival
Period (days) **
|
28.7 ±
34.4
|
1.7 ±
3.6
|
Clinical RDS
|
17 (94%)
|
18 (78%)
|
RDS :
Respiratory Distress Syndrome ** p
< 0.01
Table 2.
Perinatal Factors
|
responders
|
non-responders
|
Number of
patients
|
18
|
23
|
Fetal
distress
|
6 (33%)
|
11 (48%)
|
Intrauterine
infection
|
5 (28%)
|
7 (30%)
|
Oligohydramnios
|
0 (0%)
|
7 (30%)
|
Table 3.
Clinical Data
|
responders
(18)
|
non-responders
(23)
|
Time at
treatment (postmaltal hours)
|
|
|
-30 min
|
5 (28%)
|
8 (35%)
|
30 min – 4
hours
|
8 (44%)
|
11 (48%)
|
4 hours -
|
5 (28%)
|
4 (17%)
|
Pre-treatment
|
|
|
Body temperature (0C) *
|
35.8 ±
0.9
|
35.1 ±
1.2
|
PH **
|
7.253 ±
0.07
|
7.089 ±
0.148
|
Base exess **
|
7.2 ±
3.4
|
12.7 ±
6.4
|
** p <
0.01 * p < 0.05
Table 4.
Clinical Complications
|
responders
(18)
|
non-responders
(23)
|
IVH (Grade ³
II)
|
9 (50%)
|
11 (48%)
|
s-PDA **
|
11 (61%)
|
3 (13%)
|
Sepsis **
|
7 (39%)
|
0 (0%)
|
Intestinal
perforation *
|
6 (33%
|
1 (4%)
|
IVH :
Intraventricular Hemorrhage. s-PDA : symptomatic Patent Ductus Arteriosus
** p <
0.01 * p < 0.05
Table 5.
Pulmonary pathology
|
responders
(18)
|
non-responders
(23)
|
Hyaline
membarene **
|
5 (28%)
|
16 (70%)
|
Interstitial
emphysema
|
5 (28%)
|
12 (52%)
|
Pulmonary
hemorrhage
|
11 (61%)
|
9 (39%)
|
Pneumonia **
|
9 (50%)
|
2 (9%)
|
BPD *
|
4 (22%)
|
0 (0%)
|
BPD :
Bronchopulmonary Dysplasia ** p
< 0.01 * p < 0.05
Table 6.
Pathology of other organs
|
responders
(18)
|
non-responders
(23)
|
Liver
|
8 (44%)
|
9 (39%)
|
Hemorhagic necrosis
|
3
|
5
|
Parenchymal degeneration
|
5
|
4
|
Kidney Corticomedullary necrosis
|
|
|
|
4 (22%)
|
10 (43%)
|
Adrenal Bilateral
hemorrhage
|
|
|
|
3 (17%)
|
3 (13%)
|
V. Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada
keraguan tentang manfaat pemberian terapi surfaktan pada kasus-kasus dimana
masalah pernafasan pada bayi prematur disebabkan oleh kekurangan surfaktan.
Surfaktan juga menunjukkan manfaat pada penyakit par-paru lain, yaitu aspirai
mekonium perdarahan pulmonal dan hipertensi pulmonal Walaupun tidak semua bayi
memberikan respon yang baik terhadap terapi surfaktan ini, itu lebih disebabkan
karena ikut campurnya kondisi patofisiologi seperti asfiksia, pnemonia
kongenital, perdarahan dan pulmonal. Analisa retrospektif menunjukkan, bayi
dengan asfiksia atau gawat nafas berat sering menunjukkan respon yang buruk
terhadap pemberian surfaktan. Respon klinik dari surfaktan juga dipengaruhi
oleh terapi lain, yaitu pemberian kortosteroid sebelum lahir. Pemberian
kortikosteroid sebelum terapi surfaktan memberikan manfaat, tidak hanya untuk
pematangan paru tetapi juga bisa mencegah enterokolitis nekrosis, perdarahan
intraventrikular dan menurunkan kematian bayi.
Sedangkan
kerusakan organ-organ vital selain paru sudah terjadi pada masa awal kelahiran
akibat berat badan lahir sangat rendah, bukan disebabkan ada atau tidak
mendapat terapi surfaktan.
VI. Daftar pustaka
1.
British Columbia Reproduktive Care Program. Surfactant replacement therapy in neonatus. July
2003
2.
Shima.Y, Takemura.T, Akamatsu.H, Kawakami.T, Yoda.H. Clinicopathological
Analysis of premature infants treated with artifisial surfactant. May 2000
3.
Fakhoury G, Daikoku NH, Benser J, et al: Lamellar
body consentrations and the prediction of fetal pulmonary maturity. Am.J
Obstet Gynecol 170:72 1994
4.
Fujiwara T, Maeta H, Chida s, Morita T, Watanabe Y,
Abe T: Artificial surfactant therapy in hyalin membrane disease. Lancet
1980
5.
Shapiro DL, Notter Rh, Morin Fc, Deluga KS, Golub LM,
sinkin RA, Weiss KI, Cox C: Double blind randommized trial of a calf lung
surfactant extract administration at birth to very premature infant for
prevention of respiratory distress syndrome. Pediatrics 1985.
6.
Brown Dl, Pattishall EN: Other uses of surfactant
. Clin Pernatol 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar