BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Komunitarianisme merupakan salah satu
paham yang cukup mempengaruhi perkembangan politik dan sosial di dunia yang
dimulai dari masa sebelum masehi (SM) pada zaman tokoh besar Aristoteles sampai
abad 21. Paham ini lebih mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan dengan
kepentingan individu. Munculnya paham
ini merupakan respon dari penerapan paham liberalisme, yang lebih mengutamakan
hak individu daripada kelompok atau komunitas (Tam, 1998).
Paham Komunitarianisme di dunia tidak
dianut secara utuh sebagai sebuah ideologi negara, tetapi lebih pada panduan
atau pedoman untuk menetapkan suatu kebijakan dalam praktek sosial maupun
politik. Negara yang paling banyak menerapkan paham komunitarianisme dalam
sistem pemerintahannya adalah negara-negara di Uni Eropa. Negara-negara di unit
eropa ini menerapkan paham komunitarianisme di dalam hukum yang dikenal sabagai
acquis communautaire, yang merujuk
kepada seluruh kumpulan hukum yang diakumulasikan dalam organisasi supra
nasional. Hukum ini menerapkan pada kebutuhan-kebutuhan yang memiliki dampak
yang terasa paling mendesak seperti multikulturalisme dan kesehatan. Beberapa
negara lain seperti di negara bagian Amerika serikat juga menjadikan Paham
komuniatriansme untuk membuat kebijakan mengenai penetapan pajak (Tam, 1998).
Penerapan prinsip komunitariansme di
Indonesia tidak tertuang di dalam tulisan atau kebijakan pemerintah tetapi
tergambar dalam uraian peraturan pemerintah seperti di dalam bidang kesehatan
yaitu penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, penyelenggaraan BPJS
adalah untuk mengemban misi negara dalam memenuhi hak
konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan program
jaminan yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip komunitarianisme dalam penyelnggaraan ini adalah keadilan sosial yang
merata bagi masyarakat seuruh indonesia dari segi kesehatan. Namun, penerapan
prinsip komunitarianisme dalam program BPJS Kesehatan harus dianalisis lebih
lanjut karena pendekatan yang dilakukan selama ini hanya bersifat kuratif.
Maka dari itu, penulis tertarik untuk
menelaah paham komunitarianisme secara terperinci dan menganalisis kaitan
antara paham komunitarianisme dengan penerapan badan penyelenggara jaminan
sosial (BPJS) yang diselenggarakan oleh pemerintahan Republik Indonesia.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.2.1
Menelaah dan
menganalisis definisi dan prinsip utama
dalam communitarianism
1.2.2
Menelaah dan
menganalisis sejarah perkembangan communitarianism
1.2.3
Menelaah dan
menganalisis kritik pada pendekatan communitarianism
1.2.4
Menelaah dan
menganalisis penerapan etik dalam
keperawatan komunitas
1.2.5
Menelaah dan
menganalisis kasus dalam program BPJS
Kesehatan dengan menggunakan pendekatan communitarianism
sebagai landasan pemecahan masalah.
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk:
1.3.1
Profesi
keperawatan
Sebagai sumber telaah pustaka pengembangan etik
dan moral dalam keperawatan sehingga dapat diaplikasikan dalam praktik
keperawatan terkait dengan pendekatan secara komunitarianisme.
1.3.2
Institusi
pendidikan keperawatan
Sebagai bahan telaah pustaka terkait dengan
pendekatan komunitarianisme dalam
keperawatan sehingga dapat dijadikan pertimbangan penyusunan kurikulum
pendidikan keperawatan.
1.3.3
Mahasiswa
keperawatan
Sebagai bahan referensi pengembangan etik dan
moral dalam pendekatan komunitarianisme sehingga mampu mengasah softskill dalam praktik keperawatan
setelah menyelesaikan pendidikan keperawatan.
BAB 2
TELAAH PUSTAKA
2.1
Definisi
dan Prinsip Utama dalam Communitarianism
Komunitarianisme mengacu pada perspektif teoritis yang
berusaha mengurangi fokus pada hak individu dan meningkatkan fokus pada
tanggung jawab komunitas. Definisi komunitas bervariasi dan bisa merujuk apa
saja dari nuklear ataupun extended family
yang berpengaruh pada politik atau negara. Dalam pendekatan ini, pemikiran etis
didasarkan pada nilai-nilai komunal menetapkan standar dan tradisi sosial serta
mempertimbangkan masyarakat luas. Para komunitarian menekankan pengaruh
masyarakat pada individu dan berpendapat bahwa nilai berakar pada sejarah
bersama dan tradisi (Beauchamp & Childress, 2001). Komunitarianisme
merupakan sebuah ajaran atau gerakan yang lebih pada respon atas sistem
liberalisme yang dinilai gagal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pada
masyarakat komunitarian, kebaikan bersama diterima sebagai sebuah konsepsi
mendasar tentang kehidupan yang baik yang menentukan pandangan hidup komunitas
(Kymlicka, 2004). Secara khusus komunitarianisme menyatakan bahwa liberalisme
telah salah dalam memahami kemampuan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Individu menurut liberalisme tidak memerlukan konteks komunitas untuk
mengembangkan dan menjalankan kapasitas mereka dalam menentukan dirinya
sendiri. Menurut Turner (2002), kapasitas individu untuk menentukan dan
mengembangkan dirinya sendiri justru dapat dijalankan hanya dalam konteks
komunitas tertentu, dengan lingkungan sosial tertentu. Jadi, komunitarianisme
adalah suatu pendekatan yang merujuk pada kepentingan komunitas dan
mempertimbangkan masyarakat luas dalam mengambil keputusan.
Komunitarianisme memberikan alternatif bagi faham
individualisme dan otoritarianisme.
Komunitarianisme menetapkan cara-cara untuk praktik sosial dan politik
yang harus direformasi dalam kaitannya terhadap pengembangan kehidupan
masyarakat. Hal ini didasarkan pada tiga prinsip sentral. Berikut adalah
penjelasan yang lebih rinci (Tam, 1998)
1.
Pertanyaan Kooperatif (Co-operative Enquiry)
Prinsip komunitarian
dalam melakukan penyelidikan kooperatif mensyaratkan hal itu pada setiap klaim
atas kebenaran dan hanya berlaku jika diinformasikan oleh peserta selama
berdiskusi dalam kondisi kooperatif. Tidak ada individu yang bisa diisolasi
dari pengecekan berdasarkan bukti dan penalaran yang secara sah menyatakan
klaim apa pun benar. Objektivitas klaim terhadap kebenaran hanya bisa dilakukan
melalui komunikasi terbuka antara orang-orang terlibat dalam penyelidikan umum.
Konsensus sementara yang dicapai oleh satu kelompok individu harus terbuka
untuk memungkinkan revisi hasil dari input oleh kelompok lain. Kekuatan
tertinggi dari klaim apapun terhadap kebenaran, bukan dari individu saja atau
dengan status sosial mereka, namun dengan kemungkinan yang dapat dipertahankan
dari pertimbangan kritis dalam lingkaran pertanyaan yang terus berkembang.
Dalam praktiknya,
banyak klaim dapat diterima secara sah tanpa harus melalui proses pemeriksaan
ulang yang panjang kelompok yang berbeda. Validitas penerimaan masih tergantung
pada kemungkinan konsensus dalam mendukung klaim. Inilah sebabnya, ketika
sebuah klaim tertentu dipertanyakan kebenarannya, kemungkinan bukti atau
penalaran baru diperkenalkan sebagai faktor kunci dalam menilai apakah sebuah
penyelidikan harus dilakukan. Misalnya, ini berlaku pada keputusan yang
menyebutkan seseorang bersalah dalam tindak pidana pembunuhan. Dalam kondisi
penyelidikan kooperatif, semua orang yang berpartisipasi dalam penyelidikan
harus memiliki akses terhadap informasi yang relevan, dapat mengajukan pandangan
mereka tanpa intimidasi, diijinkan untuk mempertanyakan apa yang orang lain
sarankan, dan belajar dari pertimbangan bersama untuk merumuskan penilaian yang
disepakati mengenai validitas klaim yang dimaksud.
2.
Nilai dan Tanggung Jawab
Bersama (Common Values and Mutual
Responsibility)
Prinsip tanggung
jawab bersama membutuhkan semua anggota komunitas manapun untuk bertanggung
jawab untuk mengejar nilai-nilai umum. Komunitarian percaya bahwa beberapa
jenis nilai tertentu telah teruji waktu melintasi variasi budaya yang berbeda.
Pertama, ada pengalaman mencintai dan dicintai, peduli untuk orang lain,
gairah, kelembutan, persahabatan, simpati, kebaikan hati, belas kasihan dan
pengabdian. Ini dapat dikelompokkan bersama sebagai nilai cinta. Kedua, ada
pengalaman pemahaman, kejelasan pemikiran, mampu berpikir untuk diri sendiri,
untuk menimbang bukti, dan untuk membuat penilaian yang baik. Ini merupakan
nilai kebijaksanaan. Ketiga, ada pengalaman untuk diperlakukan secara adil oleh
orang lain mampu berhubungan dengan orang lain tanpa rasa diskriminasi atau
penaklukan, dan mengetahui bahwa hubungan timbal balik dihormati. Nilai-nilai
yang dirumuskan dalam kalimat 'lakukan seperti apa perlakukan yang ingin
didapatkan' ditemukan dalam kode moral
inti setiap budaya yang merupakan nilai keadilan. Akhirnya, seseorang mampu
menikmati diri sendiri, merasa puas, dan bangga dengan prestasi serta tindakan
orang lain yang dapat dilihat sebagai pemenuhan nilai. Nilai-nilai ini lah yang
nantinya akan membentuk tanggung jawab bersama dari komunitas.
3.
Hubungan Kekuatan Komunitarian
(Communitarian Power Relations)
Prinsip komunitarian
dalam partisipasi warga mensyaratkan semua yang terpengaruh oleh struktur
kekuasaan tertentu dapat berpartisipasi sebagai warga negara yang setara dalam
menentukan bagaimana kekuatan yang dimaksud harus dilaksanakan. Struktur
kekuatan bisa menjadi komunitas di daerah tempat tinggal, sekolah tempat
anak-anak diasramakan, otoritas lokal, departemen pemerintah, atau perusahaan
multinasional. Hubungan kekuasaan harus menjadi lebih demokratis. Untuk
mendemokratisasikan hubungan kekuasaan, warga harus terlibat dalam setiap
tindakan yang akan mengubah regulasi politik.
Kesimpulannya adalah prinsip pertama adalah setiap klaim
kebenaran divalidasi melalui penyelidikan kooperatif. Kedua, komunitas
penyelidikan kooperatif yang mewakili spektrum warga negara, harus memvalidasi
nilai-nilai bersama yang menjadi dasar tanggung jawab bagi semua anggota
masyarakat. Dan ketiga, semua warga negara harus memilikinya akses dan
partisipasi yang sama dalam struktur kekuasaan masyarakat (Tam, 1998).
Apa yang dianjurkan oleh komunitarian adalah
transformasi tentang sikap dan kondisi masyarakat dalam rangka membangun
inklusi masyarakat yang menghargai ketiga prinsip tersebut. Ini tentang apa
yang harus diambil semata-mata untuk kebaikan umum dipertimbangkan melalui
diskusi komunitas. Pertanyaan tentang nilai tidak diizinkan untuk dilakukan
secara otoriter dan memaksakan pandangan pada orang lain, atau diabaikan atas
nama liberal netralitas. Ini juga berarti bahwa kekuatan itu tidak harus
dilindungi atau diubah berdasarkan keuntungan eksklusif dari kelompok agama,
ras, gender, atau sosioekonomi tertentu, tetapi harus terus direvisi untuk
mendekati kondisi dimana semua warga negara dapat memainkan peran yang
konstruktif dalam mengejar nilai-nilai bersama (Tam, 1998).
Premis sentral komunitarianisme adalah pengakuan
masyarakat sebagai jaringan komunitas yang terdiri dari nilai dan standar moral
yang berbeda (Johnson, 2005). Kunci untuk menyelesaikan pertanyaan dan konflik
etis terletak pada rasa hormat terhadap nilai lokal yang menunjukkan
pertimbangan kepedulian dan penerimaan masyarakat setempat. Pertimbangan juga diberikan
pada keselarasan dan akuntabilitas secara umum dengan nilai-nilai masyarakat
luas. Namun, sistem aturan moral pada komunitas tertentu paling baik dipahami
dalam komunitas itu sendiri terkit historis tentang kesejahteraan sosial serta
kepentingan sosial. Sehingga, relativisme terhadap budaya tertentu sangat
mempengaruhi perspektif ini (Tam, 1998).
Kekuatan perspektif komunitarian mencakup penekanan pada
kekuatan hubungan antara sesama manusia, dorongan kolaborasi, berkurangnya
fokus pada individualisme yang melayani diri sendiri, dan pengorbanan untuk
kebaikan yang lebih besar sebagai ukuran sebuah karakter. Sisi negatifnya
adalah banyak yang mempertanyakan seberapa realistis pencapaian nilai global,
atau bahkan lokal. Kita mungkin juga khawatir dengan potensi erosi hak individu
dan tidak sistematisnya metode untuk menyelesaikan konflik etika Pikiran para
komunitarian jelas memberi kontribusi pada dialog etis dalam konteks pelayanan
kesehatan. Hal ini terutama berlaku sehubungan dengan isu-isu seperti
penggunaan sumber daya kesehatan yang terbatas, perawatan kesehatan sebagai
hak, dan konsep komunitas sehat versus penekanan pada kesehatan individu (Tam, 1998).
2.2
Sejarah Lahirnya Pendekatan Komunitarianisme: Kapan, Di mana,
Bagaimana Perjalanannya dan Siapa yang Berperan
2.2.1
Perkembangan Ide/Paham
Komunitarian
Prinsip komunitarian adalah untuk
terlibat aktif dalam membawa perubahan di dalam praktek sosial dan politik.
Arah perubahan yang dibutuhkan di sini adalah bentuk kehidupan masyarakat yang
jauh lebih inklusif daripada yang pernah ada sebelumnya. Tradisi ini berkembang
dalam empat tahapan.
a. Tahap pertama
Tahap ini dimulai pada abad keempat SM dengan Aristoteles sebagai tokoh dan pemikir pertama dari paham komunitarian. Aristoteles menganggap bahwa idividu yang hanya menggunakan tenaga tanpa mengembangkan kemampuan mereka bisa menimbulkan masalah yang serius. Aristoteles menolak klaim yang dilakukan oleh Plato yang mengatakan bahwa ada benda-benda yang lebih tinggi pengetahuan di luar jangkauan orang awam. Landasan filsafat Aristoteles adalah bahwa dalam semua diskusi tentang dunia dan tempat kita di dalamnya, kita harus mulai dengan dunia yang biasa kita jalani. Wawasan Aristoteles juga menyarankan agar tidak ada bidang pengetahuan khusus saja yang hanya dapat diakses oleh sekelompok orang tertentu, tetapi harus melampaui semua kelas masyarakat lainnya. Pengetahuan yang relevan dengan masalah politik, seperti pengetahuan pada umumnya, harus diperoleh melalui penelitian yanng dilakukan dalam bentuk kerja sama/bersama. Temuan individu tentang kasus tertentu harus ditarik bersama dalam perumusan teori umum. Temuan yang diyakini oleh individu sebagai hasi kerjanya, memiliki nilai yang kecil, tetapi apabila dilakukan secara bersama, tentunya akan diberi masukan, gagasan, pendapat sehingga penemuan tersebut dianggap lebih berharga dan semakin bisa memungkinkan untuk dikembangkan lebih luas. Ini mengikuti konsepsi Aristoteles tentang pengetahuan bahwa semua warga negara bisa belajar berperilaku moral dan membuat keputusan politik. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dan memiliki sifat alami yang kuat yang cencerung membalas kasih sayang dan rasa hormat. Di sini kita diarahkan untuk hidup bersama di dalam dunia sosial dan politik karena itu akan membuat kita diperhatikan dan tidak merusak sifat asli kita di masyarakat (Tam, 1998).
b. Tahap kedua
Tahap ini dimulai pada abad ketujuh belas dengan usulan Francis Bacon bagi komunitas penelitian. Usulan Bacon diterapkan oleh pemikir progresif abad kedelapan belas ke semua institusi yang mengaku memiliki pengetahuan di luar jangkauan orang biasa. Teori Bacon tentang pengetahuan ini menganjurkan sistem kerja sama dalam metode penelitian mulai dari pengumpulan data, eksperimen dan kritis Analisis. Bagi Bacon,Komunitas berfungsi sebagai model praktis bagi orang lain tentang cara mencari penyebab dalam menyelesaikan perselisihan, bukan dengan penegasan dogmatis atau penarikan yang skeptis, namun dengan pertukaran informasi dan gagasan, dan oleh eksperimen kritis serta diskusi terbuka. Dia membayangkan proses tersebut akan melibatkan banyak orang ke dalam suatu usaha kerja sama untuk mendaptkan suatu pengetahuan yang baru secara bersama-sama, ketimbang dilakukan secara individu. Di tangan pemikir abad kedelapan belas seperti Voltaire dan Denis Diderot, gagasan Bacon menjadi alat yang sangat berguna untuknya menantang 'pembentukan pengetahuan', dari Gereja ke penjaga negara tentang apa yang dianggap semua sebagai kebenaran (Tam, 1998).
c. Pada fase ketiga
Tahap ini berlangsung selama pertengahan abad kesembilan belas. Pada masa ini paham komunitarian mulai diperhatikan. Pada zaman ini adalah zaman transformasi masyarakat yang dianjurkan oleh Robert Owen, Charles Fourier dan Pierre Joseph Proudhon. Semua pemikir ini mengutuk konsekuensi dari sistem pasar yang dikuasai keserakahan, dan menolak anggapan bahwa masalah bisa diatasi dengan pembentukan wewenang tunggal yang absolut. Mereka percaya bahwa pendidikan yang baik harus ditujukan untuk semua warga negara, lebih banyak memberikan otonomi untuk kelompok lokal, dan memberi dorongan yang lebih besar bagi masyarakat untuk mengembangkan komunitas koperasi serta menghormati dan merawat semua orang. Anggota masyarakat mereka adalah bagian dasar untuk perbaikan sosial. Pendekatan ini didukung oleh John Stuart Millyang menambahkan untuk mengorientasikan kembali institusi politik terhadap kebutuhan pembangunan warga negara dan yang paling penting adalah bentuk pemerintahan yang bisa meperjuangkan kebajikan dan kecerdasan rakyat sendiri. Mill bersikeras bahwa poros utama perwakilan pemerintah harus dilengkapi dengan demokrasi partisipatif yang lebih luas. Melalui partisipasi dalam pemerintahan mereka sendiri, warga dapat memperoleh pemahaman dan motivasi untuk bekerja sama sebagai anggota komunitas (Tam, 1998).
d. Tahap keempat
Pada tahap ini diramalkan akan munculnya gerakan kontemporerkomunitarian. gerakan ini terjadi pada akhir abad kesembilanbelas dan awal abad ke-20. Tokoh representatif pada fase ini adalah filsuf Oxford, Thomas Hill Green dan Leonard Trelawney Hobhouse; sosiolog Prancis, Emile Durkheim; dan pendidik Amerika, John Dewey. Mereka berbagi komitmen mendalam dalam usaha untuk memajukan cita-cita liberal dan untuk melawan komunitarian dan mengubahnya menjadi slogan pasar bebas. Hobhouse mengklaim bahwa Individu dapat memiliki hak untuk sendiri dan berpisah dari hubungan dengan masyarakt di dalam komunitas. Durkheim melihat penerapan paham komunitarianism di indonesia yang dinilainya dengan memperkuat kohesi sosial. Bagi Durkheim, keserakahan yang dimaksudkan oleh komuniatiran pada paham liberal adalah bukan untuk meningkatkan kekuasaan pada penindas, tetapi berasal kepercayaan dari masyarakat yang dijaga dan diatur untuk kepentingan masyarakat. Dewey juga menganggap bahwa misi dari liberalisme itu bertujuan untuk membebaskan dan melindungi hak-hak individu dari belenggu hambatan oleh komunitasnya. Gagasan komunitarian pada dasarnya anti-liberal adalah salah paham, tapi proses pembebasan perlu digerakkan oleh harapan komunitarian jika tidak ditangguhkan semena-mena oleh orang yang berkuasa di masyarakat.Bagi komunitarian, kebebasan adalah modus hubungan kekuasaan yang harus diperluas secara progresif kepada semua warga negara jika masyarakat menginginkannya mencapai status komunitas yang benar-benar inklusif (Tam, 1998).
2.2.2
Munculnya Gerakan Komunitarian
Pada akhir abad ke-20 setelah kedua negara yang dominan
dan menganut paham liberal tidak lagi menemukan cara yang memadai untuk
memecahkan masalah di dalam masyarakat, beragam untaian ide-ide komunitarian mulai
berkumpul untuk membentuk sebuah teori terpadu tentang reformasi sosial dan
politik. Di Inggris muncul perdebatan tentang bagaimana pengertian 'demokrasi
sosial' dapat dikembangkan untuk mengatasi kekurangan bentuk otoriter
sosialisme dan mempertimbangkan kembali bagaimana negara dan masyarakat harus
berinteraksi untuk mengembangkan kehidupan masyarakat. Di Amerika kekurangan
konsepsi liberalisme individualis dalam fondasi sosial keadilan
mendorong respons komunitarian yang kuat. Kecurigaan tentang pendekatan
otoriter terhadap pemerintah,ditambah dengan kekecewaan dengan individualisme
yang menguasai pemikiran pasar bebas, membuka jalan bagi kemunculan gerakan
komunitarian (Tam, 1998).
Amitai Etzioni
mengemukakan bahwa tujuannya adalah untuk 'memberikan ikatan sosial yang
menopang suara moral, tapi sekaligus menghindari jaringan ketat yang menekan pluralisme dan perbedaan
pendapat. Untuk mencapai hal ini, Michael Walzer telah mendorong masyarakat dalam
kehidupan bersama untuk bekerja bersama secara demokratis dan atas dasar
inklusif. Dia mendesak semua warga negara untuk terlibat aktif dalam organisasi
dan proses yang mempengaruhi kesejahteraan mereka secara bersama.Tema
desentralisasi melalui jaringan masyarakat digemakan oleh Charles Taylor, yang
menganggapnya bukan sebagai masalah efisiensi mesin politik, melainkan sebagai
sarana untuk memfasilitasi pemberdayaan yang
baik bagi warga negara.Salah satu tujuan dari gerakan komunitarian
adalah membawa unsur otoriter untuk memperbaiki kelemahan praktik pasar bebas.
karena pasar bebas mencegah warga negara untuk mengakui nilai-nilai bersama dan
tanggung jawab bersama. Tujuan akhir dari semua gerakan komunitarian adalah
mengubah aspek sosial dan politik kehidupan masyarakat sehingga setiap orang
dapat berpartisipasi secara bertanggung jawab sebagai warga negara yang setara
dalam membentuk keputusan yang mempengaruhi mereka. Gerakan komunitarian
menimbulkan tantangan bagi semua struktur kekuasaan yang menolak peran nyata
warga dalam pembentukannya komunitas mereka. Hal ini tidak hanya berlaku untuk
demokrasi dangkal bagi pendukung individualis pasar bebas, tetapi juga untuk
setiap varian anti-demokrasi yang dianjurkan oleh otoriter. Faktanya, pilihan
yang ditunjukkan oleh kedua kelompok ini ditolak sebagai false dikotomi yang
telah mendominasi pemikiran politik terlalu lama. Politik komunitarian berbeda secara radikal dengan partai politik
yang berlaku di sebagian besar negara maju. Pesta Politik bergantung pada warga
yang mempercayakan kekuasaan untuk memerintah politik elit yang mengatur diri
mereka sendiri untuk bersaing di dalam mandat pemilihan (Tam, 1998).
Di Eropa dan Amerika jaringan komunitarian telah ditetapkan untuk
mempromosikan ide dan praktik lintas partai politik. Di Jerman, Rudolf
Scharping dari kalangan Sosial Demokrat, Kurt Biedenkopf dari Partai Demokrat
Kristen, dan Joschka Fischer dari Partai Hijau, semuanya telah membuat
pernyataan pro-komunitarian (Etzioni, 1995 dalam tam). Di Inggris Raya, bukan
hanya Perdana Menteri Buruh Tony Blair, dan Pemimpin Demokrat Liberal, Paddy
Ashdown, yang antusias tentang ide-ide komunitarian, tapi pendukungnya juga
dapat ditemukan di Partai Konservatif (Baxter, 1995; Walker, 1995; Etzioni,
1997 dalam tam). Di Amerika, dukungan untuk gerakan komunitarian telah
disuarakan oleh Demokrat seperti Wakil Presiden Al Gore dan Senator Daniel
Patrick Moynihan, Partai Republik seperti Senator Alan Simpson dan Jack Kemp,
yang menjabat sebagai Secretary of
Housing and Urban Development di bawah Presiden Bush (Barnes, 1991;
Responsive Community, 1991 dalam tam). Di bekas Uni Soviet, Mikhail Gorbachev
yang memimpin pembongkaran pemerintahan otoriter di negaranya dan Eropa Timur,
berpendapat bahwa dunia sekarang harus melihat lebih dari sekedar
individualisme untuk alternatif yang berkelanjutan terhadap otoritarianisme (Tam, 1998).
2.3
Komunitarianisme Militan dan Moderat
Komunitarianisme dapat berupa militan atau moderat (Beauchamp &
Childress, 1994 dalam Kerridge et al,
1998). Komunitarian ekstrim, misalnya Michael Sandel, Alasdair Maclntyre and
Charles Taylor umumnya memusuhi hak-hak individu dan bersaing, individu didefinisikan
dengan mewujudkan nilai-nilai komunal yang terbaik dinyatakan melalui
partisipasi masyarakat (Maclntyre, 1998 dalam Kerridge et al, 1998).
2.3.1 Komunitarian Militan
Militan dengan tegas mendukung
kontrol masyarakat dan menolak teori-teori liberal. Pendekatan ini telah
didukung oleh moral, sosial, dan politik pemikir kontemporer yang berpengaruh,
termasuk Alasdair MacIntyre, Charles Taylor, dan Michael Sandel (Beauchamp & Childress, 1994).
Komunitarianisme
militan memusuhi hak, melihat liberalism
sebagai "born
of antagonism to all tradition"
dan bertujuan untuk mengabadikan dan bahkan memaksakan pada individu konsepsi
kebajikan dan kehidupan baik yang membatasi hak-hak yang diberikan oleh
masyarakat liberal. Komunitarian melihat individu seperti
pada hakekatnya dibentuk oleh
nilai-nilai komunal danpaling cocok untuk mencapai kesanggupan pribadi melalui kehidupan komunal. Selain itu,
MacIntyre berpendapat bahwa kita telah mewarisi banyak fragmen yang tidak koherendari suatu skema yang koheren dari pemikiran manusia dan tindakan, dan hanya
jika kita memahami sejarah aneh dan budaya khas kita dapat kita mengenali dimensi
yang bermasalah
dari usaha
evaluasi moral dan teori moral (Beauchamp &
Childress, 1994).
2.3.2
Komunitarian Moderat
Komunitarian moderat menekankan pentingnya masyarakat
dan komunal yang berasal dari aturan-aturan moral tetapi menerima bahwa
masyarakat juga dapat mewujudkan otonomi dan menghormati hak-hak individu
sebagai sentral prinsip moral (Kerridge et
al, 1998). Menurut Beauchamp & Childress (1994) kaum moderat menekankan pentingnya berbagai bentuk
masyarakat termasuk keluarga dan negara politik ketika mencoba untuk
mengakomodasi daripada menolak strands dalam teori
liberal (Beauchamp & Childress, 1994).
Komunitarian
moderat mengambil sikap jauh lebih sedikit menentang otonomi dan hak-hak
individu. Sebuah contoh khusus adalah daya tarik J. L. Mackie untuk "intersubjective standards", artinya bahwa bentuk perjanjian masyarakat
yang luas dari dasar aturan-aturan
moral dapat diterima dan perjanjian intersubjektif tidak dapat divalidasi lebih
lanjut atau batal dengan menarik rasionalitas. Mackie memahami moralitas sepenuhnya
dalam hal praktek-praktek sosial yang mengungkapkan apa
yang dituntut, diperbolehkan,
ditegakkan, dan terkutuk di masyarakat. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa penilaian moral
tidak perlu dipandang sebagai aturan konvensional yang tidak berubah di luar
kemungkinan reformasi: "Tentu saja sudah ada dan itu
adalah moral yang sesat dan moral pembaruan. Tetapi biasanya dapat
dipahami sebagai ekstensi, cara-cara, meskipun baru dan tidak konvensional, tampaknya
mereka akan dibutuhkan untuk konsistensi aturan yang mereka siap taati sebagai yang timbul dari jalan kehidupan (Beauchamp
& Childress, 1994).
Rasa komunitarianisme termasuk tokoh
yang beragam seperti Aristoteles, Hugo Grotius, David Hume, GWF Hegel, John
Mackie, dan Michael Walzer. Bagi mereka tatanan sosial dan moralitas bersandar pada norma historis yang dikembangkan, dan aturan moral memperoleh penerimaan dan kebenaran mereka dari konvensi
bersama. Meskipun
komunitarianisme adalah istilah baru yang diciptakan secara khusus digunakan untuk bentuk militan, kita akan
menggunakannya untuk kedua bentuk. Kami akan mengkritik menggunakannya untuk
kedua bentuk. Kami akan mengkritik teori militan, sedangkan mengandalkan teori moderat untuk evaluasi
konstruktif kami(Beauchamp & Childress, 1994).
2.4
Evaluasi dan Kritik dalam Etika
Komunitarian
Menurut Beauchamp & Childress (1994)
beberapa klaim melalui komunitarian militan tergantung pada pertanyaan dan
pendapat. Bagaimanapun, berberapa tema dalam komunitarian moderat tidak ada
masalah dan bahkan diterima untuk berbagai advokat teori liberal. Kita berfokus
pada posisi tanpa masalah dalam bagian berikut:
2.4.1
Penyebab ketidakjujuran teori
liberal
Komunitarian menyatakan teoris liberal mempertahankan
sifat individual dan mempunyai keraguan tentang kebaikan masyarakat.
Karakterisasi ini tidak akurat dan tidak jujur. Mill dan Rawls, orang yang
paling menentang melalui komunitarian, tidak pernah menggambarkan kebaikan
individual atau komunal dalam termin ini, dan kedua filusuf ini mengembangkan
teori kebaikan umum, juga tanggungjawab terhadap adat istiadat social dan
politik masyarakat. Mill berpikir ia menangkap bagaimana tradisi dapat bertemu
prinsip kegunaan, yang menerangkan prinsip kesejahteraan umum. Bahkan dalam On Liberty, Mill berpendapat bahwa
masyarakat akan mengambil langkah untuk diskusi umum yang cukup meyakinkan
konstitusi kebaikan masyarakat. Fungsi kebebasan adalah untuk melindungi individu melawan
kesalahan dalam perencanaan kegiatan komunal yang baik, dan ia membela
individualitas karena mengakibatkan ke keselarasan konstan dan meningkatkan
unit sosial. Rawls membela hak dan nilai kebebasan dalam masyarakat, karena
dasar sosial dapat diperbaiki dalam masayarakat yang terbuka daripada dalam
masyarakat yang masih dikontrol tradisi.
2.4.2
Dikotomi palsu: komunitas atau
otonomi
Komunitarian memberikan dua dikotomi: (1) akun liberal tentang hak
dan keadilan mempunyai prioritas atau kebaikan komunal dan (2) otonomi dalam
pembuatan keputusan dilindungi, atau determinasi komunal dari kebaikan sosial
dilindungi melawan individual. Gambaran lebih akurat adalah bahwa kita mewarisi
berbagai peran dan tujuan sosial dari tradisi. Kemudian kami berusaha meningkatkan
kepercayaan melalui diskusi penyusunan kolektif. Individual dan grup secara
progresif untuk menginterpretasikan ,
merevisi, dan bahkan memindahkan tradisi dengan konsepsi baru yang menyesuaikan
dan mengembangkan nilai masyarakat. Pandangan liberalisme, dalam catatan Joel
Feinberg, memasuki kesesuaian dengan nilai komunal: “tidak mungkin untuk
berpikir bahwa manusia kecuali sebagai bagian masyarakat, didefiniskan melalui
hubungan timbal balik dari obligasi, tradisi umum, dan institusi idealnya (dalam
pandangan liberal) otonomi seseorang adalah indivual otentik yang menentukan
dirinya secara konsisten dengan permintaan anggota masyarakat. Komunitarian
kadang kadang berpendapat melawan hak-hak (terutama hak-hak alami) pada dasar
yang mereka tidak ada. Pada lain waktu, mereka berpendapat melawan hak-hak dengan dasar hak-hak sebagai alasan
organisasi komunal dan mengurangi perasaan pada penyatuan sosial. Kedua klaim tidak
mempunyai konsekuensi yang berharga untuk masyarakat. Kita menghargai hak
karena ketika dipaksakan, mereka menyediakan perlindungan untuk melawan
perilaku yang tidak mengindahkan moral, mendorong perubahan kelompok yang
tertib dan persatuan dalam masyarakat, dan mengijinkan perbedaan komunitas
dalam hidup berdampingan yang damai dalam satu kondisi politik (Tam, 1998).
Judith Jarvis Thomson mencatat, betapa lebih memuaskan,
hidup dalam “komunitas organik” daripada hidup terasing dalam kondisi modern!.
Idealnya dalam sarang adalah menggiurkan dan membakar semua penganut ideologi
komunitarian. Tetapi lebah dalam sarang
seperti kita dengan dunia tidaklah nyata
baik satu sama lain: masing-masing acuh tak acuh ke yang lain kecuali menjauh sebagaimana yang lain bagian dari keseluruhan. Idealnya pernyataan
sarang tidak dapat dibuat nyata: ini menakjubkan bahwa komunitarian
mengharapkan sebaliknya.
Bahkan jika kita mengakui pendapat komunitarian bahwa
kehidupan yang terbaik adalah kehidupan komunal, tidak dapat diikuti bahwa
masyarakat akan menentukan tujuan individual atau mengganggu hak-hak individu.
Alasan utama untuk menonjolkan hak-hak dalam teori politik dan moral adalah
mereka berdiri sebagai pelindung melawan gangguan komunal melalui pemerintah.
Kritik yang sama adalah munculnya pertanyaan tentang bagaimana komunitarian
berjalan baik pada beberapa kriteria untuk membangun teori.
2.5
Penerapan Etik pada Keperawatan Komunitas
Etika asuhan keperawatan tradisional cenderung
menekankan isu klien secara individual, bukan komunitas. Untuk mengubah fokus
yang sempit tersebut, isu kebijakan publik kini dimasukkan sebagai bahasan
etika asuhan keperawatan. Kesimpulan yang dapat diambil oleh para profesional
kesehatan dari dikotomi ini adalah bahwa tidak ada kepentingan etika yang
terjadi di lingkungan asuhan kesehatan yang berada antara satu sisi yang
ekstrem yaitu asuhan individu, dan formulasi kebijakan, pada sisi yang lain (Anderson &
McFarlane, 2000).
Kebanyakan orang menjalani kehidupan mereka tidak pada
kedua sisi yang ekstrem tersebut. Dengan kata lain, individu memiliki
kehidupannya sendiri, suatu situasi primer yang terdiri atas tempat, proyek,
dan mereka hidup di dalam komunitas. Asuhan keperawatan komunitas sebagai
domain etika yang berbeda belum tergali secara luas, dan mungkin saja aspek ini
lebih penting secara etik dibandingkan dengan asuhan klien secara individu atau
kebijakan publik. Pelayanan kesehatan primer melibatkan individu yang tinggal
di komunitas. Jadi, praktik komunitas merupakan praktik menjalani keintiman
dengan individu, dan keintiman ini dapat mengandung potensi merugikan dan
menguntungkan secara signifikan. Pelayanan kesehatan pada tingkat primer
memiliki kekuatan untuk memengaruhi kehidupan seseorang secara radikal,
pervasif, dan sering kali tidak terlihat (Anderson &
McFarlane, 2000).
Satu pendekatan terhadap etika keperawatan komunitas
mendefinisikan komunitas sebagai klien, tetapi memiliki dua keterbatasan.
Pertama, pendekatan ini mengabaikan perbedaan signifikan antara individu dan
komunitas. Kedua, dengan mendefinisikan komunitas sebagai klien, berpotensi
menciptakan untuk terjadinya hubungan tradisional antara klien dan profesional.
Hubungan ini dikarakteristikkan dengan adanya kebergantungan klien, kepasifan,
dan kebutuhan mendesak terkait dengan kewenangan profesional, keahlian, dan
kekebalan. Dalam model tersebut, "klien dikatakan sebagai orang yang
melakukan penyimpangan, dan ketentuan pelayanan memiliki karakter
normalisasi" (Anderson & McFarlane, 2000).
Namun ada contoh-contoh kegagalan dalam menerapkan
univesalisme dalam bidang kesehatan. Salah satunya adalah pendekatan obstetrik
saat ini terhadap kelahiran bayi terkait dengan tujuan para profesional yang
mengesampingkan aspek-aspek yang berarti secara pribadi. Penanganan medis
terkait dengan kehamilan dan kelahiran menekankan (dan kadang-kadang mengatur)
kelahiran janin normal sebagai prioritas di atas hak atau pengalaman sang ibu.
Pandangan yang berasal dan konsep universalisme adalah pandangan yang kuat dan
profesional sebagai ahli yang berwenang ini melanggar makna pribadi seorang
wanita tentang kehamilan dan kelahiran sehingga menurunkan kualitas layanan
kesehatan prenatal dan melahirkan. Analisis literatur obstetrik menyarankan
bahwa ilmu kedokteran mendefinisikan proses kelahiran sebagai suatu pabrik
metafora dan janin adalah produknya. Berdasarkm definisi tersebut, ibu hamil
merupakan rintangan kecil yang harus dihilangkan dan fokus situasi tersebut
adalah untuk melahirkan janin yang
sehat). Ibu tidak lagi menjadi sentral dari pengalaman melahirkan. Narasi medis
mengenai kelahiran anak tampak nyata dalam pelayanan yang ditawarkan ibu hamil
yang mengalami komplikasi (risiko tinggi) kehamilan. Selain itu, narasi medis tentang
kehamilan mendorong perasaan gagal dalam diri wanita tersebut dalam memperoleh
perawatan medis pribadi, mempertahankan kehamilan yang sehat dan gagal untuk
menjadi wanita yang "normal". Ibu hamil dengan risiko tinggi
mengalami suatu masalah dan tidak memiliki hak apapun untuk melibatkan diri
dalam manajemen kehamilan dan melahirkan. Dengan demikian, banyak wanita hamil
gagal untuk memperoleh atau mematuhi program asuhan prenatal yang ditawarkan
melalui program bantuan publik dan klinik risiko tinggi. Hal ini mengakibatkan
angka kematian bayi di Amerika Serikat secara signifikan lebih tinggi
dibahdingkan dengan sebagian besar negara berkembang. Di balik data statistik
tersebut, terdapat bukti bahwa jumlah kematian bayi pada keluarga Amerika-Afrika hampir tiga kali dari jumlah kematian
bayi pada keluarga kulit putih. Fakta ini membuktikan bahwa sistem pelayanan
kesehatan yang dilandasi universalisme telah gagal memenuhi kebutuhan wanita
dan bayi. Evaluasi kembali terhadap universalisme dalam konteks implikasi
pelayanan kesehatan sangat diperlukan. Para profesional dapat mendefinisikan
kembali diri dan nilai mereka dalam upaya menghubungkan komunitas dengan konsep
lain sebagai kerangka kerja dari etika yaitu advokasi. Advokasi menawarkan
alternatif selain universalisme (Anderson & McFarlane,
2000).
Advokasi adalah suatu posisi moral yang diturunkan dari
sifat etika itu sendiri, yaitu kemungkinan dari pilihan. Etika adalab
penyelidikan reflektif yang dimotivasi oleh pertanyaan, apakah keputusan yang
tepat untuk situasi ini? Jika pertanyaan tersebut memungkinkan jawaban lebih
dari satu dan ditentukan oleh kekuatan yang menuntut legitimasi lebih
dibandingkan kuesioner (contohnya tuntutan religius, legal, at au ilmiah),
kemungkinan pilihan menjadi tidak ada dan penyelidikan etis yang dilakukan
menjadi sia-sia. Dalam menjawab pertanyaan tentang nilai, penyelidikan etika
merupakan alternatif kekuatan. Dengan demikian ada dua poin yang mendasari
advokasi yaitu (Anderson &
McFarlane, 2000):
•
Keputusan kesehatan berdasarkan pada nilai.
•
Pertanyaan yang berkenaan dengan nilai dapat diajukan hanya
jika terdapat pilihan.
Advokasi secara sederhana diartikan sebagai suatu
kebebasan klien untuk memilih yang tidak boleh dilanggar. Seorang profesional,
walaupun memiliki kewajiban untuk rnelakukan sesuatu yang terbaik bagi
kepentingan klien, tidak diperkenankan untuk menginterpretasikan kepentingan
tersebut dalam konteks yang berlawanan dengan klien. Dalam konteks yang
positif, advokasi memiliki implikasi yang dan luas lebih dari sekedar
menghormati determinasi diri. Upaya meningkatkan otonomi klien meliputi sikap
menghormati dan membantu klien mengekspresikan nilai rnereka sebagai sosok yang
unik.
Dalarn etika advokasi, tidak lagi ada satu sudut pandang yang
mendominasi. Sebaliknya, moralitas menjadi produk yang kontekstual untuk
berpikir dari sudut pandang orang lain. Dasar etika keperawatan komunitas
adalah memberikan klien kesempatan yang sama dalam menyuarakan pandangannya
terhadap perkembangan dan pemberian asuhan. Ketika komunitas didefinisikah
sebagai mitra, pendekatan advokasi memberikan keleluasaan kepada praktisi untuk
terikat dengan suatu komunitas sebagai mitra tertentu, bukan sebagai kelompok
abstrak dan bertindak atas kepercayaan sebagai orang yang benat-benar ahli
dalam bidang kesehatan berada dalam komunjtas itu sendiri. Tujuan advokasi adalah meningkatkan kemampuan
komunitas dalam determinasi diri melalui pembentukan wacana kesehatan yang unik
dalam pemberian layanan kesehatan. Pondasi untuk membangun wacana kesehatan
adalah pengetahuan tentang kebutuhan dan nilai-nilai komunitas (Anderson &
McFarlane, 2000).
Etika advokasi menuntut pembentukan kemitraan antara
para profesional dan anggota komunitas dalam rangka meningkatkan kemampuan
komunitas untuk determinasi diri. Dalam kemitraan ini, para profesional dan
komunitas bekerja sarna membantu komunitas untuk melihat dengan jelas
nilai-nilai yang dimilikinya dan kebutuhannya serta meningkatkan kesehatan yang
mencakup semua sudut pandang. Meskipun bersifat unik dan tidak dapat
digeneralisasi, narasi tersebut didefinisikan dengan jelas oleh komunitas yang
mengembangkannya, karena hal tersebut mengekspresikan nilai-nilai kesehatan
tertentu yang dianut orang-orang yang terlibat di dalarnnya. Tidak seperti
model etika lain, tujuan kemitraan ini adalah meningkatkan kesehatan komunitas
sesuai dengan definisi dari anggota komunitas, bukan para profesional. Dengan
menginterpretasikan komunitas sebagai mitra dan pelayanan kesehatan primer
sebagai bagian intrinsik suatu komunitas, advokasi mengandung arti bahwa semua
orang di komunitas harus terwakili, tidak hanya mereka yang memiliki kekuasaan
politis atau profesional. WaIaupun banyak profesional menilai keterlibatannya
dari berbagai sudut pandang yang berbeda dalam pengambilan keputusan, nilai
tersebut dalam praktiknya dibatasi oleh suatu tradisi etika dari kaum
universalisme yang konsepnya mendasari pemberian pelayanan (Anderson &
McFarlane, 2000).
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1
Kasus terkait Komunitarianisme di Bidang Kesehatan
Seorang ibu bernama
Ibu M adalah
seorang peserta asuransi BPJS mandiri yang sudah 10 tahun menjadi
peserta dan secara teratur membayar iuran BPJSnya. Namun dalam 10 tahun ini,
ibu M tidak
pernah menderita sakit. Sedangkan ada tetangganya yang merupakan peserta
BPJS sering sekali menderita sakit, dalam setahun dirawat di rumah sakit 8
kali dan seluruh pengobatannya
ditanggung. Ibu M merasa dirinya sudah reguler membayar namun tidak mendapatkan kontribusi
apapun dari pemerintah penyelenggara BPJS. Suatu ketika Ibu M pernah ingin
melakukan medical check up di rumah
sakit pemerintah yang merupakan rujukan faskesnya dalam tanggungan BPJS. Namun,
pihak rumah sakit mengatakan seluruh pembiayaannya dikenakan status umum
walaupun Ibu M memiliki kartu BPJS dan menjadi anggota aktif. Hal ini membuat
Ibu M menjadi kecewa dengan kebijakan pemerintah penyelenggara BPJS yang tidak dapat memfasilitasinya untuk melakukan medical
check up. Ibu M kemudian mendatangi kantor cabang setempat dan melakukan komplain pada pegawai
bagian pelayanan kesehatan BPJS yang merupakan seorang perawat.
3.2
Analisis Kasus dengan Pendekatan Komunitarianisme
Faham
komunitarianisme merupakan faham yang lebih memfokuskan kepentingan kelompok
dari kepentingan individu. Berdasarkan kasus di atas, tampak jelas bahwa
program asuransi kesehatan lebih mengutamakan kepentingan kelompok dari pada
kepentingan individu. Semua peserta wajib membayar iuran baik yang sehat maupun yang sakit.
Walaupun ada peserta yang tidak pernah sakit, dananya tidak dikembalikan tetapi
dialokasikan secara subsidi silang untuk peserta yang sakit. Tujuan
dari program ini tentunya agar terjadi pemerataan status kesehatan di
Indonesia.
Ada 4 hak peserta BPJS yang salah satunya adalah peserta dapat menggunakan
layanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang telah bekerja sama dengan
BPJS kesehatan saat sakit yaitu berobat di faskes 1 yang telah tertera pada
kartu peserta BPJS. Peraturan BPJS
Kesehatan No. 1 Tahun 2014 merinci bahwa faskes tingkat II tidak bisa menerima
klain medical check up dan upaya
preventif lainnya. Hal ini berarti BPJS hanya melayani
peserta yang sakit walaupun semua peserta membayar secara rutin. Peserta yang sehat diabaikan
dan fokus perhatian hanya pada peserta yang sakit. Sedangkan,
peserta yang sehat juga
memerlukan pemeriksaan atau medical check
up rutin untuk mengetahui risiko penyakit yang mungkin terjadi dan menjadi sreening dini terhadap risiko penyakit yang mungkin terjadi. Selain itu, kita ketahui bahwa
mencegah akan lebih baik daripada mengobati. Oleh karena biaya untuk pengobatan
akan lebih mahal bila dibandingan dengan
biaya pencegahan.
Prinsip kedua dalam faham komunitarianisme adalah semua
anggota komunitas bertanggung jawab untuk secara bersama-sama mencapai
nilai-nilai umum tentang kebenaran, diantaranya nilai mencintai dan dicintai,
peduli terhadap sesama, kebaikan hati, dan simpati. Pelaksanaan program BPJS
secara tidak langsung mengadopsi nilai-nilai ini dalam pelaksanaannya dan secara tidak sadar
semua peserta BPJS telah melakukan nilai mencintai, peduli terhadap sesama,
kebaikan hati, dan simpati dengan merelakan dana yang dibayarkan tidak
dikembalikan namun dipakai untuk sesama peserta yang sakit, terutama bagi
peserta yang tidak pernah sakit.
Walaupun Ibu M dalam kasus di atas merasa kecewa karena upaya preventif tidak
dilakukan pihak BPJS, namun secara tidak langsung Ibu M sudah mau bergabung
menjadi peserta BPJS dan sudah mengetahui konsekwensi bahwa dana yang
dibayarkannya akan disubsidi silang kepada yang membutuhkan.
Nilai kebijaksanaan dan keadilan merupakan nilai lain
dari faham komunitarianisme. Penggunaan dana BPJS dengan metode subsidi silang
merupakan bentuk penerapan nilai kebijaksanaan dan nilai keadilan bagi anggota
kelompok peserta BPJS. Walaupun nilai keadilan dalam faham komunitarianisme
menuntut tidak adanya diskriminasi pada salah satu kelompok dalam masyarakat.
Prinsip lain dalam faham komunitarianisme adalah suatu nilai atau kebijakan harus diperoleh
melalui proses penyelidikan yang terus menerus dan dilakukan secara
bersama-sama. BPJS kesehatan merupakan program jaminan kesehatan yang dari
pemerintah untuk bisa memberikan fasilitas kesehatan kepada masyaakat yang
membutuhkan bantuan, sistem yang digunakan BPJS adalah sistem gotong royong
yang mampu membantu yang kurang mampu, yang sehat membantu yang sakit, dan yang
kuat membantu yang lemah dan seluruh warga negara Indonesia diwajibkan untuk
mendaftarkan diri dan seluruh anggota keluarganya ke dalam program BPJS.
Selain nilai positif dari prinsip komunitarianisme yang diadopsi oleh
program BPJS di atas, dalam pelaksanaannya ternyata ada dampak negatif yang ditimbulkan dari
faham tersebut. Seperti yang telah disimpulkan di atas bahwa nilai keadilan
dalam komunitarianisme menuntut tidak adanya diskriminasi pada salah satu
kelompok dalam masyarakat. Namun, dalam praktiknya ternyata ada dampak negatif yang
ditemukan yaitu ada individu yang merasa tidak adil dengan kebijakan BPJS yang hanya mengedepankan unsur kuratif daripada
upaya preventif. Sebagai individu yang sudah melakukan kewajiban merasa tidak mendapatkan
hak yang seharusnya didapatkan walaupun memang jelas disebutkan apa yang
menjadi hak dan kewajiban peserta BPJS dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014.
Kesimpulan dari kasus ini adalah pemerintah menganut
paham komunitarianisme yang mementingkan kepentingan komunitas dengan menomorduakan kepentingan
individu. Kebijakan
pemerintah sesungguhnya memiliki niat baik dengan memikirkan kepentingan komunitas. Namun, di lain sisi ada individu yang merasa tidak
mendapatkan haknya dan merasakan ketidakadilan terhadap kebijakan tersebut.
Sebaiknya pemerintah perlu memodifikasi kebijakan tersebut dengan
mempertimbangkan manfaat pemeriksaan kesehatan pada individu yang sehat sebagai
screening dini karena akan lebih
mahal biaya untuk pengobatan dibandingkan biaya pencegahan sebelum terjadinya
sakit.
Program BPJS
juga sebaiknya melakukan assesment ulang terkait apa yang dibutuhkan masyarakat dalam
bidang kesehatan di semua agregat dan tidak hanya berfokus pada upaya kuratif
saja. Peserta yang sehat seyogyanya diberikan
kesempatan melakukan medical check up minimal setahun sekali agar
kesehatan masyarakat Indonesia sebagai peserta BPJS tetap terjaga. Hal ini akan berdampak
pada efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dana karena peserta yang sakit akan berkurang apabila upaya preventif ditingkatkan.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Teori komunitarianisme menyatakan
bahwa aturan sosial dan moral tidak berdasarkan atas hak individu tapi berdasarkan
atas standar komunitas. Komunitarianisme
bertujuan untuk meminimalisasi fokus hak individual dan meningkatkan
fokus pada tanggung jawab komunitas. Komunitarianisme
menekankan pada nilai komunal,
moral yang baik dan hubungan sosial. Komunitarianisme didasarkan pada 3 prinsip yaitu prinsip pertama adalah
pengakuan dari kebenaran divalidasi melalui penyelidikan bersama, kedua komunitas
dari penyelidikan bersama, yang mewakili persebaran masyarakat, harus meyakini
nilai umum yang menjadi dasar tanggung jawab bersama dan ketiga semua
masyarakat harus berperan serta dan memiliki akses yang sama dalam struktur
kekuasaan dari masyarakat.
Salah satu contoh penerapan prinsip
komunitarianisme dalam bidang kesehatan adalah program BPJS Kesehatan. Semua peserta wajib membayar iuran baik yang sehat maupun yang sakit.
Walaupun ada peserta yang tidak pernah sakit, dananya tidak dikembalikan tetapi
dialokasikan secara subsidi silang untuk peserta yang sakit. Tujuan
dari program ini tentunya agar terjadi pemerataan status kesehatan di
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, ada kasus seseorang merasa tidak adil
karena tidak tertanggung klaim asuransi pada saat melakukan medical check up. Prinsip
komunitarianisme memang telah dilakukan dalam program BPJS, manun hak-hak
individu peserta BPJS yang sehat masih perlu dikaji ulang.
4.2
Saran
Komunitarianisme bertujuan untuk menyejahterakan
seluruh lapisan masyarakat. Penulis memotret program BPJS Kesehatan dalam
penulisan ini karena dari prinsipnya, BPJS Kesehatan termasuk menggunakan faham
komunitarian dengan analisis ketiga prinsipnya. Namun, hak individu peserta
yang sehat seharusnya diperhatikan dalam program ini. BPJS sebaiknya
melaksanakan assesment ulang terkait
apa yang dibutuhkan masyarakat untuk tetap sehat. Ketika masyarakat dapat
mempertahankan status kesehatannya, maka cost untuk klaim penyakit pun akan
berkurang.
Bagi praktisi, akademisi dan mahasiswa
keperawatan, prinsip komunitarianisme ini juga dapat dijadikan suatu bahan
kajian bagaimana menerapkan prinsip ini tanpa mengurangi hak-hak individu
pasien. Prinsip kedua dari komunitarianisme terkait juga dengan caring attitude. Hal ini dapat dijadikan
bahan ajar, penelitian ataupun pendekatan untuk studi kasus tertentu pada setting pendidikan dan praktik
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E. T., & McFarlane, J.
(2000). Communiity as partner: Theory and practice in
nursing (3th ed.). Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins.
Beauchamp, T.L.& Childress, J.F.
(1994). Principles of biomedical ethics
(4th
ed.). Oxford: Oxford University
Press.
Beauchamp,
T & Childress, J (2001). Utilitarianism,
kantianism, moral excellence, selected extracts from principles of biomedical
ethics (5thed.). Oxford: Oxford University
Press.
Kerridge, I., Lowe, M., McPhee, J.
(1998). Ethics and law for the health professions.
Katoomba: Social Science Press.
Kymlicka, W. (2004). Contemporary political
philosophy: An introduction. Oxford: Oxford University Press.
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
Tam, H. (1998). Communitarianism: A new
agenda for politics and citizenship. London: Macmillan Press LTD.
Turner, B. S & Engin, F. (2002). Handbook of
citizenship studies. London: Sage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar