BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perawat adalah suatu profesi yang
dalam menjalankan tugas dan perannya harus sesuai dengan kode etik profesi. Perawat
juga mempunyai payung hukum yang melindunginya dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya yaitu UU Nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan. Dalam
praktiknya, jika kita membahas hukum keperawatan maka tidak dapat dipisahkan
dari hukum kesehatan termasuk hukum medis dan rumah sakit. Sebagai warga
negara, perawat juga terikat oleh aturan hukum perdata, pidana, dan
administratif.
Perawat mempunyai fungsi independen,
interdependen, dan dependen. Fungsi independen adalah fungsi autonomi perawat
untuk menjalankan asuhan keperawatan mandiri. Sedangkan fungsi dependen adalah
bagian dari fungsi kolaborasi perawat dengan profesi kesehatan lain yang
biasanya berupa pendelegasian atau mandat dari profesi medis. Dalam menjalankan
fungsi independen dan dependen, perawat harus memenuhi standar pelayanan dan
peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan
perawat dari masalah hukum yang ada kemungkinan untuk masuk ke dalam masalah
hukum pidana.
Dalam praktiknya, dikarenakan
beberapa faktor, perawat seringkali menjalankan fungsi independen yaitu
memberikan asuhan keperawatan mandiri dan fungsi dependen kepada pasien yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan atau peraturan perundangan yang berlaku. Hal
ini bisa berdampak merugikan atau bahkan mengancam keselamatan pasien. Tindakan
ini disebut sebagai kelalaian (negligence) dan karena dilakukan oleh
profesional yaitu perawat maka disebut dengan malpraktik. Pasien dan keluarga
pasien dapat menuntut perawat atas tindakan yang merugikan pasien ini ke dalam
ranah hukum dengan tuntutan dugaan malpraktik.
Contoh dugaan malpraktik perawat
yang pernah terjadi adalah kasus dugaan malpraktik perawat poli mata di
Puskesmas Pasar Kota Singkawang. Kasus ini terpublikasi di Pontianakpost.co.id
pada Rabu, 30 Maret 2016 pukul 09.36 WITA. Kasus ini terjadi pada awal Agustus
2015. Perawat ST yang bekerja di poli mata Puskesmas Pasar Kota Singkawang
diduga melakukan tindakan malpraktik kepada pasien YH sehingga menyebabkan
kebutaan permanen pada mata kirinya. Menurut keterangan pasien, perawat ST
melakukan tindakan medis dengan mengorek-ngorek matanya menggunakan jarum yang
lembut.Suami pasien YH membawa pasien ke dokter spesialis mata di RS Serukam
dan dokter spesialis mata mengatakan bahwa ada tindakan medis yang telah
dilakukan di mata pasien yang sepertinya tidak sesuai dengan prosedur. Kemudian
suami pasien YH membawa pasien ke RS di Bandung dan dokter menyatakan bahwa
pasien YH mengalami cacat permanen di mata kirinya. Atas kejadian itu, pihak
keluarga pasien YH melaporkan perawat ST ke Polres Singkawang pada Desember
2015 tentang dugaan tindak pidana malpraktik. Pihak Polres Singkawang
menyatakan bahwa kasus ini tengah dalam proses penyelidikan. Sebanyak 35 orang
diambil keterangan, saksi ahli dari IDI Kota Singkawang, dan rencananya saksi
ahli dari PPNI.
Kasus dugaan malpraktik perawat ini
dapat dianalisis berdasarkan aspek hukum dalam keperawatan, undang-undang
keperawatan, dan peraturan perundangan terkait keperawatan. Dengan analisis
yang dilihat dari aspek hukum keperawatan diharapkan dapat memberikan bahan
pertimbangan kepada ranah hukum untuk membuat putusan apakah perawat ST
bersalah secara hukum atau tidak.
1.2
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk mengetahui:
1.2.1 Menjelaskan tentang aspek
hukum dalam keperawatan
1.2.2 Menjelaskan tentang
undang-undang keperawatan
1.2.3 Menjelaskan tentang peraturan
perundangan terkait keperawatan
1.2.4 Menjelaskan tentang kelalaian
dan malpraktik
1.2.5 Menganalisis kasus malpraktik dilihat dari aspek hukum
keperawatan, undang-undang keperawatan, peraturan perundangan terkait
keperawatan, prinsip dan kode etik keperawatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Hukum Dalam Keperawatan
Tenaga
kesehatan diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014. Bab
dan pasal yang perlu dicermati yang berkaitan dengan kasus malpraktik perawat
di antaranya adalah bab I terutama pasal 1, bab III terutama pasal 8, pasal 9,
dan pasal 11, bab IX tentang hak dan kewajiban tenaga kesehatan, bab X terutama
pada bagian kedua yaitu kewenangan, bagian keempat tentang Standar Profesi,
Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional, dan bagian kelima
tentang persetujuan tindakan tenaga kesehatan, bab XI tentang penyelesaian
perselisihan, serta bab XIV tentang ketentuan pidana.
Bab
I pasal 1 di antaranya menjelaskan tentang definisi dari tenaga kesehatan,
upaya kesehatan, kompetensi, standar profesi, standar pelayanan profesi,
organisasi profesi, dan penerima pelayanan kesehatan. Definisi tenaga kesehatan
dijelaskan dalam ayat 1 yang berbunyi tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Ayat 4 menjelaskan
definisi upaya kesehatan, yaitu setiap kegiatan dan/ atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat. Ayat 8 menjelaskan definisi
kompetensi, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang tenaga kesehatan
berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat
menjalankan praktik. Standar profesi dijelaskan dalam ayat 12 yang berbunyi
standar profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seseorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang kesehatan. Standar pelayanan
profesi, dalam ayat 13 didefinisikan sebagai pedoman yang diikuti oleh Tenaga
Kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan. Organisasi profesi, dalam ayat
16 didefinisikan sebagai wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang seprofesi.
Sedangkan definisi penerima pelayanan kesehatan dalam ayat 18 adalah setiap
orang yang melakukan konsultasi tentang kesehatan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
tenaga kesehatan.
Bab
III mengatur kualifikasi dan pengelompokan tenaga kesehatan. Pada pasal 8
dijelaskan bahwa tenaga di bidang kesehatan terdiri atas tenaga kesehatan dan
asisten tenaga kesehatan. Dalam pasal 9 dikatakan bahwa tenaga kesehatan harus
memiliki kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis. Pengelompokan
tenaga kesehatan tertuang dalam pasal 11 ayat 1 yang mengelompokkan tenaga
kesehatan menjadi tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan,
tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga
kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian
medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga
kesehatan lain. Dalam ayat 4 dijelaskan bahwa jenis tenaga kesehatan yang
termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan terdiri atas berbagai jenis perawat.
Bab
IX mengatur tentang hak dan kewajiban tenaga kesehatan. Pasal 58 menjelaskan
bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar
prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan penerima
pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik juga wajib
memperoleh persetujuan dari penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya atas
tindakan yang diberikan serta merujuk penerima pelayanan kesehatan ke tenaga
kesehatan lain yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai. Pasal 59
menjelaskan bahwa Tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima
pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/ atau pada bencana untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan, serta Tenaga kesehatan dilarang
menolak penerima pelayanan kesehatan dan/ atau dilarang meminta uang muka
terlebih dahulu.
Bab
X mengatur tentang penyelenggaraan keprofesian. Pada bagian kedua dijelaskan
tentang kewenangan. Pasal 62 menjelaskan bahwa Tenaga kesehatan dalam
menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan
pada kompetensi yang dimilikinya. Pasal 63 menjelaskan bahwa dalam keadaan
tertentu Tenaga kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.
Pada bagian keempat dijelaskan tentang standar profesi, standar pelayanan
profesi, dan standar prosedur operasional. Pasal 66 menjelaskan bahwa setiap
Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional. Pada
bagian kelima diatur tentang persetujuan tindakan tenaga kesehatan. Pasal 68
ayat 1 mengatur bahwa setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan harus mendapat persetujuan, dan ayat 5 mengatur
bahwa setiap tindakan tenaga kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
Bab
XI mengatur tentang penyelesaian perselisihan. Pasal 77 mengatur bahwa setiap penerima
pelayanan kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan
dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal
78 menjelaskan dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan,
perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bab
XIV mengatur tentang ketentuan pidana. Pasal 84 mengatur setiap tenaga kesehatan
yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan penerima pelayanan kesehatan
luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Selain
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2014, juga terdapat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana terdapat
pasal-pasal yang berhubungan dengan kelalaian, yaitu Rumusan perbuatan
yang melawan hukum terdapat pada Pasal
1365 KUHPerdata yang berbunyi:“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Menurut Pasal 1365
KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang
melawan hukum yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi
orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori
perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :
a. Perbuatan
melawan hukum karena kesengajaan.
b. Perbuatan melawan hukum tanpa
kesengajaan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).
c. Perbuatan melawan hukum karena
kelalaian.
Jika ditilik dari model pengaturan
KUH Perdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainnya, sebagaimana juga
KUH perdata di negara-negara lain dalam sistem hukum Eropa Kontinental, maka
model tanggung jawab hukum sebagai berikut :
a.Tanggung jawab dengan unsur kesalahan,
(kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH perdata.
b.Tanggung jawab dengan unsur kesalahan,
khususnya unsur kelalaian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUH perdata.
c.Tanggung jawab mutlak (tanpa
kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas ditemukan dalam Pasal 1367 KUH
perdata.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur – unsur sebagai berikut :
1. Adanya suatu perbuatan.
2. Perbuatan tersebut melawan
hukum.
3. Adanya kesalahan dari pihak
pelaku.
4. Adanya kerugian bagi korban.
5. Adanya hubungan kausal antara
perbuatan dengan kerugian.
Pasal 359 KUHP menyatakan:
“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.
Pasal
360 ayat 1 KUHP menyatakan, barang siapa karena kealpaan menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun.
Jelas
ini menunjukkan barangsiapa adalah seseorang yang mana dalam hal ini melakukan
sebuah kelalaian yang orang lain terluka akan mendapat sanksi pidana berupa
ancaman 5 tahun penjara atau kurungan 1 tahun terhadap apa yang semestinya dia
lakukan terhadap tanggung jawabnya tersebut. Pasal ini membuka peluang bagi
korban untuk menuntut haknya sebagai pihak yang dirugikan
Selain
itu pasal yang menyebutkan tentang kelalaian adalah pasal 1233 KUH perdata yang
berbunyi perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu. Selain itu pasal yang menyebutkan kelalaian
yaitu pasal 1234 KUH Perdata yang berbunyi perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang.
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan
bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut. Selain itu pasal 1366 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang
bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan
perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian
atau kesembronoannya. Pasal 1367 KUH perdata menyebutkan bahwa seseorang tidak
hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.
2.2
Undang-Undang Keperawatan
Undang-undang keperawatan yang saat
ini berlaku adalah UU Nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan. Bagian dari UU
ini yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kasus dugaan
malpraktik perawat yaitu bab V tentang praktik keperawatan : bagian kesatu umum
meliputi pasal 28 ayat 2; bagian kedua tugas dan wewenang meliputi pasal 29
ayat 1, pasal 32 ayat 1,4,5,6, pasal 33 ayat 1, dan pasal 33 ayat 4a, 4b.
Pasal 28 ayat 2 berbunyi praktik
keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a) praktik
keperawatan mandiri; dan b) praktik keperawatan di fasilitas kesehatan. Pasal
29 ayat 1 menjelaskan tentang tugas perawat dimana pasal ini berbunyi dalam
menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai: a) pemberi
asuhan keperawatan, b) penyuluh dan konselor bagi klien, c) pengelola pelayanan
keperawatan, d) peneliti keperawatan, e) pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan
wewenang dan atau, f) pelaksana tugas dalam keterbatasan tertentu.
Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa
pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 29 ayat 1 huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis
kepada perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi
pelaksanaannya. Pasal 32 ayat 4 menyatakan bahwa pelimpahan wewenang secara
delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada
perawat profesi atau perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan. Pasal 32 ayat 5 menyatakan bahwa pelimpahan wewenang secara mandat
diberikan oleh tenaga medis kepada perawat untuk melakukan sesuatu tindakan
medis di bawah pengawasan. Pasal 32 ayat 6 menyatakan bahwa tanggung jawab atas
tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) berada pada pemberi pelimpahan wewenang.
Pasal 33 menjelaskan tentang
pelaksanaan tugas perawat pada keadaan keterbatasan tertentu. Pasal 33 ayat 1
berbunyi pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) huruf f merupakan penugasan pemerintah yang
dilaksanakan pada keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian
di suatu wilayah tempat perawat bertugas. Pasal 33 ayat 4 huruf a menyatakan
bahwa perawat berwenang melakukan pengobatan untuk penyakit umum dalam hal
tidak terdapat tenaga medis dan pasal 33 ayat 4 huruf b menyatakan bahwa
perawat berwenang merujuk pasien sesuai dengan ketentuan sistem rujukan.
2.3 Peraturan Perundangan Terkait Keperawatan
Ada 3 jenis Peraturan perundangan
yang akan diuraikan terkait dengan praktik keperawatan diantaranya yaitu Permenkes RI
Nomor 148 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan praktik perawat, Perpres
Nomor 90 tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan dan Permenkes Nomor 75
tentang Puskesmas.
2.3.1
Permenkes RI Nomor 148 Tahun 2010 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat
Peraturan terkait tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat diatur
dalam Permenkes RI nomor 148 tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat.
Bab dan Pasal yang perlu diketahui dan dibahas yang berkaitan dengan kasus
malpraktik perawat antara lain Bab III tentang Penyelenggaraan praktik
keperawatan terutama pasal 8,9,10 dan 12.
Pasal 8 ayat 1 menyebutkan bahwa praktik keperawatan dilaksanakan pada fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga. Adapun sasaran
dalam praktik keperawatan tertulis dalam pasal 2 yaitu praktik keperawatan sebagaimana
ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Ayat 3
menjelaskan kegiatan pelaksanaan asuhan keperawatan yang meliputi pelaksanaan
upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat, dan pelaksanaan
tindakan keperawatan komplementer. Pasal 9 menyebutkan bahwa perawat dalam
melakukan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Pasal 10 ayat 1 menjelaskan
bahwa dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak
ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangan. Ayat 2 dan 3 menyebutkan bagi perawat yang menjalankan praktik di
daerah yang tidak memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah,
dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan dan harus
mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan untuk dirujuk.
Hal yang
berkaitan dengan ketidakwenangan oleh perawat tertulis dalam ayat 5 yang
menjelaskan bahwa dalam hal daerah telah terdapat dokter, kewenangan perawat
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak berlaku. Pada pasal 12 dijelaskan tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh
perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan diantaranya meminta persetujuan
meminta persetujuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan, melakukan
pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis, dan mematuhi standar.
2.3.2
Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 Tentang
Puskesmas
Tugas, fungsi dan wewenang serta
prinsip penyelenggaraan puskesmas diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014. Bab dan pasal yang perlu dicermati
terkait kasus malpraktik keperawatan dapat kita temukan dalam pasal 17 ayat 1
dan ayat 2. Pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan di Puskesmas
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar
prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan
kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan
dirinya dalam bekerja. Pasal 17 ayat 2 menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan
yang bekerja di puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan
perundang-undangan.
2.3.3
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2052 Tahun 2011 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Izin
praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 2052 Tahun 2011. Pasal yang terkait dengan masalah malpraktik keperawatan
dapat dilihat pada pasal 23. Pada pasal 23 ayat 1 menjelaskan bahwa Dokter atau
dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan tertentu lainnya
secara tertulis dalam melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi. Ayat
2 menyebutkan bahwa tindakan kedokteran atau kedokteran gigi hanya dapat
dilakukan dalam keadaan dimana terdapat kebutuhan pelayanan yang melebihi
ketersediaan dokter atau dokter gigi di fasilitas pelayanan tersebut. Sedangkan
kriteria pelimpahan tindakan dijelaskan pada ayat 3 yaitu bahwa pelimpahan
tindakan dilakukan dengan ketentuan : a. tindakan yang dilimpahkan termasuk
dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi
pelimpahan; c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang
dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang
diberikan; d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk mengambil keputusan
klinis sebagai dasar pelaksanaan tindakan; dan e. tindakan yang dilimpahkan
tidak bersifat terus menerus.
2.3.4
Peraturan Presiden Nomor 90 tahun 2017 Tentang Konsil Tenaga
Kesehatan
Kedudukan, fungsi, tugas dan
wewenang konsil keperawatan diatur dalam Peraturan Presiden No 90 tahun 2017 tentang Konsil Tenaga
Kesehatan.
Pada pasal 1 ayat 2 berbunyi: Tenaga kesehatan
adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dan
sesuai dengan pasal 8 yaitu konsil masing-masing tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 mempunyai fungsi pengaturan, penetapan dan
pembinaan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik tenaga kesehatan
untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
Selain pasal-pasal di atas, pasal yang perlu dicermati terkait malpraktik
keperawatan ditemukan pada pasal 28, 29, 31 dan 34. Pada Pasal 28 mengatur
penegakan disiplin tenaga kesehatan. Pasal 28 ayat 1 bahwa
setiap orang atau badan hukum yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan
atas tindakan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik keprofesiannya dapat
melakukan pengaduan. Pasal 28 ayat 3 menyebutkan kembali bahwa pelanggaran
profesi sebagaimana disebutkan dalam ayat 2 adalah dapat berupa pelanggaran
terhadap penerapan keilmuan dalam penyelenggaraan keprofesian meliputi
penerapan pengetahuan, keterampilan dan perilaku. Ayat 3 pada pasal ini menjelaskan
bahwa pelanggaran disiplin profesi tenaga kesehatan dapat berupa pelanggaran
terhadap penerapan keilmuan dalam penyelenggaraan keprofesian meliputi
penerapan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Pasal 29 menjelaskan bahwa
bila ada pengaduan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
disampaikan kepada Konsil Keperawatan.
Selanjutnya yang berkenaan dengan
masalah tenaga kesehatan adalah pasal 31 ayat 1 yaitu menyusun pedoman
pelaksanaan tugas penegakkan disiplin profesi. Ayat 2 menerima pengaduan
penerima pelayanan kesehatan yang mengetahui adanya dugaan pelanggaran disiplin
profesi tenaga kesehatan. Ayat 3 menolak pengaduan yang bukan kewenangan konsil
masing-masing tenaga kesehatan. Ayat 4 Menangani kasus dugaan pelanggaran
disiplin profesi tenaga kesehatan dengan
melakukan klarifikasi, investigasi, dan pemeriksaan disiplin termasuk meminta
dan memeriksa rekam medis dan dokumen lainnya dari semua pihak yang terkait
pada tingkat pertama dan tingkat banding. Ayat 5 memanggil teradu, pengadu,
saksi-saksi, dan ahli yang terkait dengan pengaduan untuk didengarkan
keterangannnya. Ayat 6 memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi
tenaga kesehatan pada tingkat pertama. Ayat 7 menentukan dan memberikan sanksi
disiplin profesi terhadap pelanggaran disiplin profesi tenaga kesehatan pada tingkat pertama dan ayat 8 membuat laporan
tentang monitoring dan evaluasi serta laporan pelaksanaan penegakan disiplin
profesi tenaga kesehatan. Pasal
31 juga menjelaskan tugas dari konsil keperawatan diantaranya : a.menangani
kasus dugaan pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan dengan melakukan
klarifikasi, investigasi, dan pemeriksaan disiplin, termasuk meminta dan
memeriksa rekam medis dan dokumen lainnya dari semua pihak yang terkait pada
tingkat pertama dan tingkat banding, b. memanggil teradu, pengadu, saksi-saksi,
dan ahli yang terkait dengan pengaduan untuk didengar keterangannya, c. memutuskan
ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan pada tingkat pertama,
d. menentukan dan memberikan sanksi
disiplin profesi terhadap pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan pada
tingkat pertama dan membuat laporan tentang monitoring dan evaluasi serta
laporan pelaksanaan penegakan disiplin profesi Tenaga Kesehatan.
Sanksi yang diperoleh oleh
perawat bila melakukan pelanggaran dijelaskan
pada pasal 34 yang menyebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan terbukti
meiakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi disiplin profesi berupa: a.
pemberian peringatan tertulis, b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi
atau surat izin praktik; dan/atau c. kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan di institusi pendidikan kesehatan.
2.4
Kelalaian dan Malpraktik
Kelalaian (negligence) adalah dugaan
gugatan yang tidak disengaja ketika seseorang berperilaku atau gagal melakukan
tindakan dimana orang yang berpikir rasional akan atau tidak akan melakukannya
pada situasi yang sama (Judson & Harisson, 2013). Negligence juga bisa
dikatakan sebagai perilaku yang acuh, masa bodoh, sembarangan, tidak
memerhatikan atau memedulikan orang lain. Malpraktik adalah tindakan kelalaian
yang dilakukan oleh profesional. Ketika praktisi kesehatan diduga melakukan
tindakan malpraktik, itu artinya telah melakukan praktik yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan sehingga menyebabkan injuri pada pasien (Judson &
Harisson, 2013). Malpraktik keperawatan
adalah akibat dari pelayanan keperawatan yang dilakukan di bawah standar.
Pelanggaran terhadap standar pelayanan keperawatan merupakan salah satu elemen
yang harus dibuktikan dalam kasus malpraktik keperawatan. Masalah hukum dalam
praktik keperawatan yang sering ditemukan di antaranya: kegagalan mengikuti
enam benar pemberian obat, kegagalan mengikuti perintah, kegagalan
mengkaji/memonitor, kegagalan menjamin keamanan pasien, dan kegagalan mengikuti
prosedur/kebijakan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 360 mengatur tentang
kelalaian yang menyebabkan luka berat.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Analisis
Kasus Dugaan Malpraktik Dilihat Dari Aspek Hukum Dalam Keperawatan
Berdasarkan Bab I Pasal I Ayat 8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014 menjelaskan definisi
kompetensi, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan
berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat
menjalankan praktik. Dalam kasus di atas
perbuatan oknum perawat ST melakukan kelalaian dan pelanggaran hukum, karena
tidak melakukan tugas sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai seorang perawat
dan melanggar pasal 359 KUH perdata tentang kelalaian yang menyebabkan kematian
dan pasal 360 KUHperdata tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat, dimana
pembuktiannya menyimpang dari standar yang mengakibatkan luka berat/ meninggal
dunia. Selain itu perbuatan ST terhadap pasien ny.Y melanggar pasal 1233 KUH
perdata dimana adanya hubungan antara perawat dan klien yang sifatnya bukan
gawat darurat yang menyebabkan kecacatan permanen pada Ny.Y. Perbuatan yang
dilakukan oleh perawat ST terhadap mata Ny.Y yaitu dengan mengorek-ngorek mata dengan jarum lembut
sehingga menyebabkan buta permanen itu bertentangan dengan pasal 1365 KUH
Perdata yang berisi tentang perbuatan melanggar hukum dimana perbuatan tersebut
melanggar hukum, menyebabkan kerugian dan menyebabkan perbuatan ganti rugi.
Selain itu juga melanggar pasal 1234 KUHperdata tentang wanprestasi, dimana ada
perbuatan yang menyimpang dari standar dan dari tindakan tersebut menyebabkan
kerugian.
Selain perawat ST yang harus
bertanggung jawab terhadap kasus tersebut pihak Puskesmas Pasar Kota Singkawang
harus ikut bertanggung jawab, dimana sesuai dengan pasal 1367 KUHPerdata bahwa
seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang yang disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Perawat ST selain melanggar
pasal-pasal yang tersebut diatas juga melanggar pasal 351 KUHPerdata ayat 3,
dimana tindakan harus dilakukan sesuai standar keilmuan, sedangkan perbuatan
perawat ST terhadap pasien NY.Y tidak sesuai dengan keilmuannya dengan dasar seorang
perawat
Kasus Perawat ST dapat ditinjau
dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Pertama-tama perlu dipastikan apakah
Perawat ST melakukan tindakan kepada Pasien YH dalam keadaan gawat darurat,
misalnya pasien YH menjerit-jerit kesakitan. Jika ya, maka dalam kondisi
tersebut Perawat ST memang harus memberikan pertolongan kepada Pasien YH. Pasal
59 menjelaskan bahwa Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada Penerima
Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/ atau pada bencana untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan, serta Tenaga Kesehatan dilarang
menolak Penerima Pelayanan Kesehatan dan/ atau dilarang meminta uang muka
terlebih dahulu. Pasal 63 menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu Tenaga
Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.
Apabila
Pasien YH tidak dalam keadaan gawat darurat, misalnya pasien YH hanya mengeluh
kelilipan, maka Perawat ST bersalah karena melakukan tindakan yang tidak sesuai
Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi. Pasal 58 menjelaskan bahwa
tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur
Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan
Kesehatan. Standar profesi dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 12 yang berbunyi
standar profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seseorang
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang kesehatan. Standar pelayanan
profesi, dalam Pasal 1 ayat 13 didefinisikan sebagai pedoman yang diikuti oleh
Tenaga Kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan.
Perawat
ST juga bersalah karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kompetensi
dan kewenangannya. Pasal 62 menjelaskan bahwa Tenaga Kesehatan dalam
menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan
pada kompetensi yang dimilikinya. Pasal 1 Ayat 8 menjelaskan kompetensi adalah
kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan sikap professional untuk dapat menjalankan
praktik.
Atas
kelalaiannya, Perawat ST dapat dijerat pidana penjara, seperti yang diatur
dalam pasal 84 yang berbunyi Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian
berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
3.2
Analisis Kasus Dugaan Malpraktik Berdasarkan Undang-Undang Keperawatan
Perawat dalam praktiknya
berpedoman pada Undang-Undang Keperawatan nomor 38 tahun 2014 yang sampai saat
ini masih berlaku. Perawat ST bekerja di poli mata Puskesmas Singkawang sesuai
dengan isi yang tertuang di dalam bab V pasal 28 ayat 2, yaitu praktik
keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Idealnya di poli mata suatu
puskesmas harus ada dokter yang memberikan pelayanan medis dan perawat yang
memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar pelayanan.
Pasal 29 ayat 1
menyebutkan bahwa perawat dalam praktiknya bertugas sebagai: a) pemberi asuhan
keperawatan, b) penyuluh dan konselor bagi klien, c) pengelola pelayanan
keperawatan, d) peneliti keperawatan, e) pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan
wewenang dan atau, f) pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
Berdasarkan pengakuan pasien YH, perawat ST telah ‘mengorek-ngorek’ matanya
sehingga berakibat cacat permanen pada mata kirinya. Berdasarkan keterangan
dokter spesialis mata di daerah Serukam, cacat permanen ini disebabkan oleh
tindakan medis yang tidak sesuai dengan prosedur. Poin pertama dari analisis
ini adalah apakah tindakan medis yang dimaksud dilakukan oleh perawat ST atau
mungkin dilakukan oleh dokter pada hari kontrol yang sebelumnya. Jika perawat
ST ‘mengorek-ngorek’ mata pasien sesuai dengan pengakuan pasien apakah tindakan
ini adalah bagian dari tindakan mandiri perawat dan apakah tindakan ini sudah
sesuai dengan SOP.
Jika tindakan ini adalah
tugas pelimpahan wewenang dari dokter untuk melakukan tindakan medis,
pelimpahan wewenang ini harus tertulis (pasal 32 ayat 1), diberikan kepada
perawat profesi atau perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan (pasal 32 ayat 4), harus di bawah pengawasan (pasal 32 ayat 5),
serta tanggung jawab berada di bawah pemberi pelimpahan wewenang (pasal 32 ayat
6). Poin-poin di atas yang harus dilihat apakah sudah ada pada kasus perawat
ST. Jika pasal 32 ayat 1, 4, dan 5 sudah dilakukan maka dokter sebagai pemberi
pelimpahan wewenang tidak dapat lepas tanggung jawab terhadap kasus ini, sesuai
dengan pasal 32 ayat 6. Poin penting selanjutnya adalah saksi ahli dalam kasus
kesehatan harus berprinsip pada average
jika yang bermasalah hukum adalah perawat umum maka saksi ahli juga harus dari
perawat umum dan situasi dan kondisi yang sama digunakan sebagai pembanding.
Hal lain yang juga perlu dianalisis
adalah apakah Puskesmas Pasar Kota Singkawang sudah ada dokter spesialis mata
dan apakah perawat ST berdinas di poli mata ini sendiri tanpa adanya dokter.
Jika puskesmas belum ada dokter spesialis mata atau dokter umum dan hanya
perawat yang dinas di poli mata karena mungkin ada keterbatasan medis (pasal 29
ayat 1 f), harus memenuhi aturan di pasal 33 ayat 1, yaitu harus ada bukti
penugasan dari pemerintah. Jika poin ini tidak terpenuhi maka sesuai dengan
pasal 1367 KUH Perdata, puskesmas tidak dapat lepas tanggung jawab atas kasus
hukum SDM nya yaitu perawat ST.
Sesuai dengan pasal 33 ayat 4 UU no
38 tahun 2014 disebutkan bahwa wewenang perawat pada keadaan keterbatasan
tertentu adalah melakukan pengobatan untuk penyakit umum (poin a). Jika perawat
ST melakukan tindakan medis yang menjadi ranah spesialis mata maka perawat
bersalah menurut pasal ini. Jika hal ini terjadi, seharusnya perawat merujuk
pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan (pasal 33 ayat 4 (b)).
3.3
Analisis Kasus Dugaan Malpraktik Berdasarkan Peraturan Perundangan Terkait
Keperawatan
Izin
dan penyelenggaraan praktik perawat diatur dalam Permenkes RI nomor 148 tahun
2010. Pada pasal 8 dikatakan bahwa bahwa praktik keperawatan dilaksanakan
pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat
ketiga (ayat 1), kegiatan pelaksanaan asuhan keperawatan meliputi pelaksanaan
upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat, dan pelaksanaan
tindakan keperawatan komplementer (ayat 2). Artinya adalah perawat sebagai
tenaga kesehatan memiliki fokus dalam tindakan preventif, promotif dan
pemulihan. Berdasarkan kasus yang ditemukan, perawat ST yang bekerja di
Puskesmas Singkawang melakukan intervensi medis yaitu mengorek-orek mata pasien
dengan jarum lembut. Hal ini tidak sesuai dengan sifat keilmuan dan kompetensi yang ia miliki (pasal
9 ayat 1). Perawat hanya dapat melakukan tindakan diluar kewenangan bila dalam
keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien, tidak ada dokter di
tempat kejadian namun harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan
kemungkinan untuk dirujuk (pasal 10).
Adapun kewajiban yang harus dilakukan oleh perawat dalam melaksanakan
praktik keperawatan diantaranya meminta persetujuan tindakan keperawatan
yang akan dilakukan, melakukan pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis,
dan mematuhi standar (pasal 12). Tidakan pemeriksaan mata pada kasus ini
merupakan jenis tindakan yang dikategorikan tidak dalam kondisi gawat darurat,
dimana perawat puskesmas harusnya bisa mengambil tindakan atau langkah-langkah
lain seperti memberi surat rujukan tanpa harus melakukan intervensi yang diluar
batas kewenangan perawat. Dalam hal ini adapun poin yang perlu ditegaskan
adalah yang pertama apakah Puskesmas Singkawang memiliki dokter spesialis mata,
bila dokter spesialis tidak ada apakah ada pelimpahan tugas yang resmi oleh
dokter kepada perawat secara lisan maupun tulisan. Dalam hal wewenang perawat
dan dokter yang ada di puskesmas, apakah puskesmas memiliki sop tentang batasan
tugas perawat yang bisa dilakukan oleh seorang perawat puskesmas dan
justifikasinya.
Permenkes Nomor
75 tahun 2014 telah menguraikan dengan sangat jelas tentang tugas, fungsi dan
wewenang serta prinsip penyelenggaraan puskesmas. Berdasarkan kasus ini perawat
ST tidak dijelaskan secara rinci bagaimana prosedur yang ia lakukan dalam
melakukan intervensi tersebut. Namun menurut pengakuan korban, kondisi mata
korban semakin parah setelah dilakukan intervensi tersebut. Pasal 17 ayat 1
Permenkes nomor 75 tahun 2014 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan di puskesmas
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar
prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan
kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan dan
kesehatan dirinya dalam bekerja. Dimana permenkes no 90 tahun 2017 pasal 1 ayat 2 berbunyi
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Perawat ST dalam hal ini
melakukan upaya kesehatan terhadap Ny Y (kliennya) namun perlu ditegaskan
kembali apakah prosedur yang dilakukan oleh perawat ST sudah benar dan sesuai
dengan standar yang berlaku. Apakah perawat ST merasa cukup yakin dengan
kompetensi yang ia miliki dalam menangani masalah tersebut. Apakah Perawat ST melakukan intervensi dengan
memperhatikan prinsip dan kode etik profesi perawat atau tidak. Berdasarkan
informasi dari media, suami pasien sudah berusaha untuk melakukan mediasi
dengan perawat ST, namun perawat ST menolak sehingga keluarga korban menempuh
jalur hukum. Dalam hal ini perawat ST tidak menunjukkan sikap yang assertif
terhadap keluarga pasien.
Perawat
merupakan profesi yang tidak dapat dipisahkan dari profesi lain khususnya
dokter. Dimana dalam melakukan asuhan keperawatan secara mandiri maupun
kolaborasi perawat harus selalu berkomunikasi dengan dokter. Bahkan ada beberapa
intervensi kedokteran yang dilakukan oleh perawat dan sudah dianggap menjadi
kompetensi perawat itu sendiri seperti memasang infus, pemasangan kateter, NGT,
dan sebagainya. Izin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No 2052 Tahun 2011. Pada pasal 23 ayat 1
menjelaskan bahwa dokter atau dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu
tindakan kedokteran kepada perawat secara tertulis dalam melaksanakan tindakan
kedokteran.
Perawat
ST melakukan intervensi pada Ny Y (kliennya) secara mandiri, tidak didampingi
oleh dokter spesialis mata di Puskesmas Singkawang. Dalam kasus ini tidak
dijelaskan secara detail apakah ada pelimpahan tugas antara dokter dan perawat
ST secara tertulis maupun tidak tertulis. Apakah perawat ST sudah memiliki
kompetensi yang cukup dalam melakukan intervensi tersebut (ayat 3a). Bagaimana dengan pengawasan terhadap proses
asuhan keperawatan di Puskesmas Singkawang, apakah ada alur dan standar yang
ditetapkan oleh manajemen puskesmas (ayat 3b).
Berdasarkan pasal 23 ayat 3 bila ada pelimpahan tugas oleh dokter kepada
perawat, dokter tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan
sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan (ayat
3c) asalkan tindakan yang dilimpahkan
tidak termasuk mengambil keputusan klinis (ayat 3d) dan tindakan yang
dilimpahkan tidak bersifat terus menerus (ayat 3e).
Konsil
keperawatan merupakan lembaga penting dalam organisasi keperawatan yang
memiliki peran yang sangat efektif dalam mengontrol dan melakukan pembinaan dan
evaluasi terhadap proses praktik keperawatan yang terjadi di lapangan.
Kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang konsil keperawatan diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 90 tahun 2017 tentang
Konsil Tenaga Kesehatan. Berdasarkan pasal 1 ayat 2 perawat ST telah melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan pengetahuan dan keterampilannya serta melakukan tindakan yang bukan
kewenangannya. Dengan adanya kasus yang menimpa
perawat ST tentunya harus diselesaikan. Dalam Hal ini
Konsil Tenaga Kesehatan berfungsi sebagai pengaturan, penetapan dan pembinaan Tenaga
Kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan sesuai
dengan bidang tugasnya.
Sesuai dengan pasal 28 ayat 1 bahwa
setiap orang atau badan hukum yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan
atas tindakan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik keprofesiannya dapat
melakukan pengaduan. Pasal 28 ayat 3 menyebutkan kembali bahwa pelanggaran
profesi sebagaimana disebutkan dalam ayat 2 adalah dapat berupa pelanggaran
terhadap penerapan keilmuan dalam penyelenggaraan keprofesian meliputi
penerapan pengetahuan, keterampilan dan perilaku. Selanjutnya yang berkenaan
dengan kasus perawat ST maka konsil tenaga kesehatan berwenang untuk menangani kasus dugaan pelanggaran disiplin
profesi tenaga kesehatan dengan
melakukan klarifikasi, investigasi, dan pemeriksaan disiplin termasuk meminta
dan memeriksa rekam medis dan dokumen lainnya dari semua pihak yang terkait
pada tingkat pertama dan tingkat banding. Dan berdasarkan ayat 5 memanggil
teradu, pengadu, saksi-saksi, dan ahli yang terkait dengan pengaduan untuk
didengarkan keterangannnya dan menurut ayat 6 memutuskan ada tidaknya
pelanggaran disiplin profesi tenaga kesehatan pada tingkat pertama serta ayat 7
menentukan dan memberikan sanksi disiplin profesi terhadap pelanggaran disiplin
profesi tenaga kesehatan pada tingkat
pertama dan ayat 8 membuat laporan tentang monitoring dan evaluasi serta
laporan pelaksanaan penegakan disiplin profesi tenaga kesehatan.
Pasal 29 menjelaskan bahwa bila
ada pengaduan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan
disampaikan kepada Konsil Keperawatan.
Konsil keperawatan bertanggung
jawab dalam memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi Tenaga
Kesehatan pada tingkat pertama (pasal 31f), menentukan dan memberikan sanksi disiplin profesi terhadap
pelanggaran disiplin profesi Tenaga Kesehatan pada tingkat pertama (pasal 31g)
dan membuat laporan tentang monitoring dan evaluasi serta laporan pelaksanaan
penegakan disiplin profesi Tenaga Kesehatan (pasal 31h). Sanksi yang diperoleh
oleh perawat bila melakukan pelanggaran dijelaskan pada pasal 34 yang menyebutkan bahwa dalam
hal Tenaga Kesehatan terbukti melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi
disiplin profesi berupa: a) pemberian peringatan tertulis, b) rekomendasi
pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau c)
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kesehatan.
3.4
Analisis Kasus Kelalaian dan Dugaan Malpraktik Berdasarkan Prinsip dan Kode
Etik
Kelalaian
(Negligence) adalah suatu sikap batin ketika melakukan suatu perbuatan yang
berbentuk sifat kekuranghati-hatian yang bersangkutan baik akibat tidak memikirkan akan
timbulnya resiko padahal seharusnya hal itu dipikirkan
(kelalaian tidak disadari ), atau
mampu memikirkan tentang tidak akan timbulnya suatu risiko, yang pada kejadian tersebut risiko timbul (kelalaian yang disadari ).
Malpraktik adalah jenis kelalaian khusus , atau kelalaian oleh
seorang (Butler & Lostritto,
2015). Malpraktik
adalah hal yang terkait hukum berupa kegagalan seorang profesional sebagai
dokter atau pengacara untuk memberikan layanan yang benar karena ketidaktahuan.
Malpraktik
merupakan kelalaian yang patut di cela atau melalui nilai kriminal terutama
saat terjadi cidera atau disertai dengan
kehilangan. Malpraktik terjadi jika seorang dokter atau petugas kesehatan karena kurangnya keterampilan atau kelalaiannya menyebabkan cedera pada pasien
yang dapat memutuskan untuk menuntut ganti rugi yang di derita dengan menuntut
fasilitas atau petugas kesehatan.
Terkadang terdapat
perselisihan tentang apakah sebuah tindakan biasa versus kelalaian medis.
Faktor yang menentukan adalah apakah tindakan atau kelalaian yang dikeluhkan terlibat dalam ilmu kedokteran atau seni yang membutuhkan
keterampilan khusus yang biasanya tidak dimiliki oleh orang awam atau apakah
tindakan yang dikeluhkan bisa dinilai
berdasarkan dari pengalaman sehari-hari.
Yang menjadi dasar lain malpraktik dalam kedokteran bisa jadi bahwa
tugas tersebut diduga dilanggar timbul dari atau secara substansial berhubungan
dengan hubungan dokter pasien. Terkadang sangat penting untuk menentukan
apakah sebuah tindakan adalah suatu
kelalaian biasa atau malpraktik. Status pembatasan mungkin berbeda, dan kerusakan yang tersedia mungkin terbatas.
Dalam kasus malpraktik penggugat harus memperlihatkan suatu bukti ahli tentang standar perawatan
yang berlaku dan adanya pelanggaran atau
penyimpangan dari standar (Butler & Lostritto,
2015).
Kasus perawat ST
terhadap Ny Y
dapat kita pandang awalnya sebagai suatu kelalaian , tetapi karena peristiwa
ini dilakukan oleh seorang perawat yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan kasus ini merupakan suatu
bentuk malpraktik yaitu seorang tenaga profesi dalam hal ini perawat yang
melakukan layanan kesehatan tidak sesuai atau menyimpang dari standar prosedur, bukan dalam kewenangannya
dan mengakibatkan cedera pada pasien. Dalam melaksanakan tugasnya perawat harus menerapkan kode
etik keperawatan. Kode etik keperawatan meliputi tanggung jawab perawat
terhadap individu, keluarga
dan masyarakat, tanggung jawab perawat terhadap tugas, tanggung jawab perawat
terhadap teman sejawat dan profesi kesehatan yang lain, tanggung jawab perawat
terhadap profesi keperawatan, dan tanggung jawab perawat terhadap pemerintah.
Selain itu perawat juga memiliki tanggung gugat terhadap asuhan keperawatan
yang diberikannya. Tanggung gugat adalah dapat memberikan alasan atas
tindakannya terhadap diri sendiri, klien, profesi, atasan, dan masyarakat. (Safithri, 2009)
Dalam kode etik
keperawatan disebutkan tentang hubungan perawat dan klien dimana dalam
memberikan pelayanan keperawatan perawat
menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak
terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. Perawat senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati
nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien.
Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan
keperawatan dan perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan
oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Perawat dalam praktik keperawatan memiliki tanggung jawab memelihara dan
meningkatkan kompetisi dibidang keperawatan melalui belajar terus menerus,
memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan klien. Perawat
dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain, dan senantiasa
menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan
perilaku profesional. Standar profesi perawat Indonesia ditetapkan untuk
memastikan masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperawatan yang kompeten
dan aman.
Kasus perawat ST
menyimpang dari kode etik keperawatan karena apa yang telah dilakukan perawat
ST tidak melakukan pemeliharaan terhadap pelayanan keperawatan dan tidak
mempertimbangkan apakah tindakan yang dilakukan dalam batas kewenangannya. Jika hal ini merupakan suatu pendelegasian seharusnya
perawat ST mempertimbangkan kemampuan
dan kualifikasinya dalam menerima delegasi. Penyimpangan kode etik lainnya adalah perawat
ST tidak memberikan asuhan keperawatan yang kompeten dan aman pada masyarakat.
Dalam melakukan
tindakan seorang perawat harus mempertimbangkan prinsip- prinsip etik. Perawat
sebagai salah satu profesi penting untuk
memahami tentang etik dan
menghargai nilai etika dalam pekerjaan mereka. Beberapa
prisip etik yang dapat kita hubungkan dengan kasus perawat ST antara lain (Summers, 2007) :
1. Respect for autonomy prinsip dimana
kita menghormati terhadap
kapasitas sesorang dalam pengambilan keputusan ( otonom), pada kasus ini prisip
pengambilan keputusan oleh pasien tidak terjadi. Hal ini mungkin dikarenakan perawat ST atau pihak
pemberi layanan tidak memberikan pilihan
atau menawarkan beberapa alternatif tindakan dan risiko yang mungkin terjadi atas tindakan yang akan di lakukan
2. Non
malficience yaitu kewajiban
untuk tidak atau menyebabkan sesuatu yang merugikan atau membahayakan untuk
individu lain. Pada kasus perawat ST prinsip etik ini tidak di
pertimbangkan karena perawat ST
melakukan tindakan yang bukan kewenangannya,
tidak berkonsultasi atau berkolaborasi kepada profesi lain yang lebih
memiliki
kompetensi yang akhirnya menimbulkan hal yang merugikan pasien.
3. Beneficence yaitu perawat wajib untuk malakukan sesuatu yang baik
atau melakukan kebaikan, pada awalnya perawat ST sudah berbaik hati melakukan
penanganan terhadap Ny Y, namun tidak memikirkan akan timbulnya suatu resiko.
4. Justice atau keadilan. Penanganan yang dilakukan pada Ny Y tidak mempertimbangkan prinsip keadilan karena perawat
ST telah melakukan prosedur yang tidak sesuai dengan standar dan tidak sesuai
dengan kompetensinya.
5. Veracity atau jujur yaitu mengatakan segala sesuai dengan
kebenaran yang ada. Perawat ST tidak menerapkan prinsip ini. seharusnya pada
kasus ini perawat menginformasikan tentang fasilitas layanan untuk kasus Ny Y harus dirujuk atau dikonsultasikan kepada yang lebih
kompeten.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perawat dalam praktiknya harus berpedoman pada kode etik keperawatan.
Perawat harus menjalankan fungsi independen dan dependennya sesuai dengan
standar pelayanan dan peraturan perundangan yang berlaku. Jika perawat dalam
menjalankan fungsi mandirinya yaitu memberikan asuhan keperawatan dan
melaksanakan fungsi dependennya misalnya pendelegasian wewenang dari profesi
medis tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundangan yang berlaku,
perawat dapat dijerat masalah hukum yaitu dugaan malpraktik.
Dalam menganalisis kasus hukum yang menimpa perawat dalam menjalankan
tugas dan fungsinya dapat berpedoman pada undang-undang keperawatan, peraturan
perundangan terkait keperawatan, dan aspek hukum lain dalam keperawatan.
Peraturan hukum tersebut di antaranya adalah UU Nomor 38 tahun 2014 tentang
keperawatan, UU Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, Peraturan
Presiden Nomor 90 tahun 2017 tentang
konsil tenaga kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052 Tahun 2011
tentang izin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran, Permenkes RI Nomor 148 Tahun 2010 tentang
izin dan penyelenggaraan praktik perawat, Permenkes Nomor 75 Tahun 2014
tentang puskesmas, KUH Perdata, dan KUH Pidana.
4.2 Saran
Sebagai perawat yang profesional harus menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan kode etik, standar pelayanan, dan memperhatikan
peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk menjamin kualitas
asuhan keperawatan dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Selain
itu untuk menghindarkan perawat dari jeratan kasus hukum malpraktik.
DAFTAR PUSTAKA
Butler, K. A., & Lostritto, M. D.
(2015). Malpractice 101: Strategies for defending your practice. Journal of
Radiology Nursing, 34(1), 13–24. https://doi.org/10.1016/j.jradnu.2014.12.006
Faudy, Munir. (2013). Perbuatan melanggar Hukum: Pendekatan
kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti
Harrison,C
& Judson,K. (2013). Law & Ethics
For The Health Profession, 6th. USA: Mc Graw Hill.
Kode Etik Keperawatan dari Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
KUHPerdata Pasal 1233,1234,1365,1367
tentang kelalaian.
UU
RI Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan.
UU
RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan.
Peraturan Presiden
Nomor 90 tahun 2017 tentang konsil tenaga kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2052 Tahun 2011 tentang izin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran.
Permenkes RI Nomor 148 Tahun 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik
perawat.
Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 tentang puskesmas.
Pontianakpost.co.id.
(Maret 30, 2016). Dugaan malpraktik perawat. http://www.pontianakpost.co.id/dugaan-malpraktik-perawat.
Safithri, M. K. (2009). Penerapan Kode
Etik Keperawatan di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang.
Summers, J. (2007). Principles of Healthcare Ethics: Health care ethics critical issues for
the 21st Century, 47–64. https://doi.org/47-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar