BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perawat merupakan sumber daya manusia yang
memegang peranan penting dalam tatanan pelayanan kesehatan. Perawat merupakan
profesi yang memberikan pelayanan asuhan keperawatan kepada manusia (Tussaleha & Kadrianti, 2014).
Pemberian asuhan keperawatan dengan objek manusia tidak cukup hanya menekankan
keterampilan klinis untuk menangani aspek fisik pasien saja tanpa memperhatikan
aspek-aspek lain seperti psikologis, sosial, kultural dan spiritual seseorang. Perawat
harus mampu mengaplikasikan teori dan kiat keperawatan secara seimbang yang
didasari oleh etik dan moral dalam keperawatan.
Etik dan moral dalam keperawatan digunakan sebagai pedoman dalam memberikan
asuhan keperawatan bagi pasien. Ada beberapa fenomena yang terjadi pada profesi
keperawatan di Indonesia salah satunya adalah perilaku caring. Sukesi (2013) dalam penelitiannya di rawat inap RS Permata
Medika Semarang menyebutkan bahwa
perawat yang berperilaku kurang caring
sebanyak 55,8%. Hasil penelitian lain yang dilakukan di Ruang Rawat Inap RSU
dr. H. Koesnadi Bondowoso juga menyebutkan bahwa perawat dengan perilaku caring kurang sebanyak 50% (Prabowo, Ardiana,
& Wijaya, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa separuh perawat yang
dijadikan responden penelitian terkait variabel perilaku caring menunjukkan hasil yang kurang.
Prabowo, Ardiana,
& Wijaya (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
kognitif perawat tentang caring
dengan aplikasi praktek caring di
ruang rawat inap RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan perawat terkait dengan etika kepedulian perlu ditingkatkan untuk
membentuk perilaku caring yang lebih
baik. Selain itu, kualitas lulusan pendidikan ners masih rendah karena fokus
pendidikan keperawatan hanya berorientasi menyediakan lulusan untuk bekerja
memberikan layanan, kurang menciptakan soft
skill/membangun karakter yang diperlukan stakeholder (Nursalam, 2014).
Apabila aplikasi softskill dalam pendidikan kurang baik, hal ini akan berdampak
pada kualitas layanan dan perilaku mahasiswa keperawatan setelah ia lulus dan
menjadi seorang perawat.
Berdasarkan 2 fenomena tersebut, penulis ingin melakukan penelusuran,
telaah dan analisa sumber kepustakaan terkait dengan etik dan moral, etika
kepedulian, keperawatan sebagai profesi, etik dalam keperawatan, keputusan etik
serta standar keperawatan.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1.2.1
Menelaah dan
menganalisis dasar pembentukan etik dan moral
1.2.2
Menelaah dan
menganalisis etika kepedulian
1.2.3
Menelaah dan
menganalisis keperawatan sebagai profesi
1.2.4
Menelaah dan
menganalisis etik dalam keperawatan
1.2.5
Menelaah dan
menganalisis keputusan etik dan standar keperawatan
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk:
1.3.1
Profesi
keperawatan
Sebagai sumber telaah pustaka pengembangan etik
dan moral dalam keperawatan sehingga dapat diaplikasikan dalam praktik
keperawatan.
1.3.2
Institusi
pendidikan keperawatan
Sebagai bahan telaah pustaka pengembangan etik dan
moral dalam keperawatan sehingga dapat dijadikan pertimbangan penyusunan
kurikulum pendidikan keperawatan.
1.3.3
Mahasiswa
keperawatan
Sebagai referensi pengembangan etik dan moral
dalam keperawatan sehingga mampu mengasah softskill
dalam praktik keperawatan setelah menyelesaikan pendidikan keperawatan.
BAB 2
TELAAH PUSTAKA
2.1
Dasar Pembentukan Etik Dan Moral
2.1.1
Konsep Etik
1) Pengertian Etik
Etik berasal dari
kata Yunani kuno ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam
bentuk jamak (ta etha) artinya adat
kebiasaan. Arti kata etika (ta etha)
menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM)
sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral (Bertens, 2002).
Menurut Bertens (2013) etika adalah:
a.
Nilai-nilai (sistem nilai) dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Yunani, etika agama Budha. Jadi
etika Yunani yang berarti sistem nilai yang berlaku di Yunani dimana sistem
nilai yang berlaku tiap individu maupun kelompok.
b.
Kumpulan asas atau nilai moral
(yang dimaksud adalah kode etik), misalnya kode etik keperawatan.
c.
Ilmu tentang yang baik buruk,
filsafat moral.
Ada beberapa alasan mengapa etika perlu menurut Franz
Magnis-Suseno :
a.
Etika diperlukan untuk mencapai
suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral.
b.
Etika membantu agar tidak
kehilangan orientasi di tengah gelombang modernisasi
c.
Etika membuat kita sanggup
untuk menghadapi ideologi-ideologi baru dengan kritis dan objektif agar tidak
mudah terpengaruh
d.
Etika diperlukan oleh kaum
agama menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka.
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
etika adalah sutu nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi setiap
kelompok maupun perorangan dalam mengatur tingkah lakunya baik atau buruk.
2) Teori etika
Teori etika terbagi menjadi
dua kategori utama yaitu teori normatif dan teori metaetika. Teori normatif merupakan kategori
yang lebih besar dan lebih substantif. Ini melibatkan perumusan standar perilaku moral dan mengartikulasikan
prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Teori meta etika, di sisi
lain, adalah kategori yang lebih kompleks yang menyelidiki makna istilah dan
kritik etika bagaimana pernyataan etis telah diverifikasi ini adalah kategori
sekunder dimana teori normatif ditinjau dan dikomentari. Dalam kapasitas ini, methaetika
berfungsi sebagai kekuatan intelektual di balik layar yang menawarkan kritik
ketika normatif etis terlalu jauh, atau ketika mereka gagal untuk menjelaskan
prinsip-prinsip moral. Mengingat hubungan ini, etika normatif dapat
dibandingkan dengan pengadilan yurisdiksi primer, sedangkan methaethics dapat
dibandingkan dengan pengadilan banding. Setiap tingkat
memberikan manfaat dari kontribusi pada yang lainnya.
a) Teori Metaetika
Istilah meta
berarti "setelah" atau 'di luar' dan umum di antara filsuf ilustratif
yang terbiasa membuat komentari filosofis tentang semua aspek
pengetahuan.metaetik dapat didefinisikan sebagai studi tentang metode, bahasa,
logika, struktur, dan penalaran yang digunakan dalam tiba di, atau dalam
membenarkan penilaian moral.
Perannya
adalah untuk mengevaluasi komentar tentang bagaimana sebuah prinsip
dibenarkan.Metaetik lebih langsung berkaitan dengan menganalisis arti istilah
seperti baik dan buruk dibandingkan dengan menilai tingkah laku itu sendiri.
Metaetik menghindari usaha untuk mendefinisikan standar perilaku moral,
perhatian utama mereka adalah mengevaluasi kualitas dan validitas klaim oleh
teori normatif dan memeriksa cara klaim semacam itu dipertimbangkan. Dalam kontras dengan tingkat pertama, menilai teoretikus normatif,
methaetik masuk dalam tingkat kedua. Dengan demikian, hubungan antara etika normatif
dan metaetika mirip dengan antara pengadilan negeri dan pengadilan banding
dalam sistem peradilan.
Teori metaetika pada gilirannya dibagi dalam
dua subkategori, berdasarkanPada apakah seseorang percaya bahwa penilaian moral
dilakukan atau tidak ada sebagai kenyataan. Akhirnya, perlu ditekankan bahwa
bidang etika normatif dan methaethic saling terkait erat karena masing-masing
berkontribusi terhadap perkembangan yang lain. Akibatnya, kebanyakan filsuf
filsuf saat ini tampaknya mengejar filsafat jalur ganda, menggabungkan kedua
pendekatan dengan berbagai cara, dengan penekanan, pada satu pendekatan atau
pendekatan lainnya (Souryal, 2011).
Dari teori metaetik, penulis menyimpulkan
bahwa filsafat dalam teori ini lebih dianggap sebagai komentator, pemerhati,
pengamat, dan evaluator.Teori ini berperan dalam mengkritisi dan menilai suatu
prinsip yang dipercayai dan dibenarkan terutama oleh teori normatif. Para
filsuf dalam teori ini akan melakukan penalaran pada standar ataupun istilah
yang diakui baik dan benar oleh teori normatif. Secara tidak langsung teori ini
membantu dalam perbaikan dan pembenahan kembali tentang prinsip-prinsip yang
diakui tersebut.
b) Normatif
Bidang
etika normatif terbagi menjadi dua sub kategori yang cukup dapat dibedakan.
Pembagian ini didasarkan pada apakah penekanan moral diletakan diujung depan tindakan
itu sendiri atau bagian belakang konsekuensi aksi. Yang pertama di kenal teori
deontologis dan yang terakhir sebagai teori teleologis.
·
Teori Deontologi
Teori
deontologi dikenal juga dengan teori kewajiban. Karena bahasa deontologi
berasal dar bahasa yunani ‘duty’ yang berarti
kewajiban. Teori deontologi menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari
suatu tindakan sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah. Suatu tindakan
dinyatakan benar apabila tidak ada maksud di belakangnya atau ada konsekuensi
lain, maka itu adalah benar. Contohnya membantu orang lain dianggap etika yang
benar. Fakta bahwa lebih baik melakukan kebaikan daripada melakukan kesalahan.Kenyataan bahwa bantuan nantinya
bisa terbukti berbahaya tidak membuat perbedaan dalam persamaan moral. Tindakan yang benar, tetap benar
bahkan jika hasilnya buruk atau jika dilakukan karena alasan yang salah.Dengan
tepat, mengatakan yang sebenarnya adalah mengutuk dengan baik tanpa
mempertimbangkan konsekuensi buruk yang mungkin ditimbulkannya. Selanjutnya,
tindakan yang dianggap benar harus bersifat universal di mana saja dan
kapanpun.Teori deontologis dibagi dalam dua kategori: monistik atau multipel.
Dalam kategori pertama, pertimbangan moralitas didasarkan pada nilai tunggal
kebaikan. Contoh kategori ini mencakup teori hedonisme, yang menganggap bahwa
kesenangan adalah satu-satunya yang baik dan total kebaikan, dan teori kant
berkewajiban sebagai satu-satunya kewajiban dalam kehidupan. Pada subkategori
kedua, teori deontologis dapat berupa dualistik atau pluralistik, dalam kasus
mana mereka didasarkan pada dua atau lebih nilai kebaikan. Seperti pasangan
yang menikah terdiri dari tampan/cantik dan kaya,atau pluralisme yaitu kaya,
cantik, dan bependidikan. Oleh karena itu disimpulkan
bahwa teori deontologi menilai nilai moral secara ketat atas dasar tindakan itu
sendiri, terlepas dari apa konsekuensi dari tindakan itu yang mungkin terjadi.
Dengan demikian, mereka merupakan sanksi yang tegas, material, universal atau
setidaknya memiliki efek yang menentukan pilihan manusia (Souryal, 2011).
Dari
teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa teori deontologi menilai sesuatu yang
dikatakan bermoral atau tidak adalah dari tindakan itu sendiri. Tindakan
tersebut harus secara umum diakui bermoral dimanapun atau kapanpun.Apabila
secara universal atau umum sebuah tindakan yang sudah diwajibkan untuk
dilakukan, meskipun hasil dari tinadakn tersebut tidak baik dan berbahaya,
tidak diperhitungkan oleh teori ini.Tindakan tersebut tetap dikatakan bermoral
oleh teori ini.
·
Teori teleologikal
Kata teleologikal berasal
dari bahasa yunani ‘teleois’ yang
berarti konsekuensi
atau membawa masalah sampai akhir tujuan. Teori teleologis menentukan nilai moral dari
hasil suatu tindakan. Di sana, konsekuensi tindakan tersebut ditentukan
tindakan benar. Jika hasilnya bagus maka tindakannya benar jika hasilnya buruk
dari tindakan yang salah. Dengan demikian, dalam contoh sebelumnya, kebenaran
memukul pantat seorang anak adalah dalam mereformasi tingkah lakunya, hak untuk
berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan, memenjarakan seorang
penjahat adalah menghalangi orang lain melakukan kejahatan.Di antara dua
teoretik teleologis yang paling dikenal adalah utilitarianisme dan keadilan
sosial. Menurut teori utilitarian, sebuah tindakan atau kebijakan mungkin
bersifat moral atau tidak bermoral hanya dalam hal kapasitasnya untuk mencapai
kebaikan terbesar bagi banyak orang. Oleh karena itu, kebijakan yang menaikkan upah
minimum atau meningkatkan manfaat jaminan sosial sangat bermanfaat, karena
dapat menguntungkan segmen populasi yang lebih besar. Dengan cara yang sama,
teori keadilan sosial menegaskan bahwa moralitas utama ada pada masyarakat mana
saja yang mampu memaksimalkan kebebasan bagi semua warga tanpa mengorbankan
kebutuhan orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu.Teori teleologi juga dibagi menjadi
dua subkategori kualitas kebaikan dan kedudukan/tempat kebaikan. Pada subkategori pertama, teleologi
memberi peringkat pada tingkat kebaikan dalam hal hirarki berdasarkan
kualitasnya. Sebagai contoh,
seperti kebaikan keadilan lebih tinggi daripada kebaikan kesenangan. Dengan
cara yang sama, kebaikan intrinsik kesenangan adalah kualitas yang lebih tinggi
daripada kekayaan non-intrinsik kekayaan. Dengan demikian, tindakan yang
meningkatkan nilai keadilan dan kebahagiaan secara moral lebih unggul daripada
yang memaksimalkan keuntungan ekonomi.
Pada subkategori kedua,
kedudukan kebaikan, teleologi menentukan kebaikan suatu tindakan dalam hal
lokasinya. Di mana ia paling diuntungkan. Misalnya, sementara teori egoisme dan
utilitarianisme bersifat teleologis, keduanya berbeda dalam hal jumlah penerima
manfaat. Seorang egois akan menghargai tindakan dalam hal jumlah kebahagiaan
yang akan menimpanya. Sebaliknya, seorang utilitiranists akan menghargai
tindakan yang sama dalam hal jumlah orang yang akan mendapatkan keuntungan
darinya.Secara ringkas teori teleologis berpendapat bahwa moralitas suatu
tindakan didasarkan pada moralitas konsekuensinya. Oleh karena itu, sebuah
salam yang menghasilkan konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah 'tidak
bermoral' dan perbuatan biasa-biasa saja yang menghasilkan konsekuensi bahagia
adalah 'moral'. Selanjutnya, teori teleologis menekankan bahwa pertimbangan
moral harus ditafsirkan dalam hal kepentingan masyarakat secara keseluruhan,
karena moralitas adalah agen kebahagiaan universal (Souryal, 2011).
Penulis
menyimpulkan bahwa teori telologika lebih menekankan pada tujuan dan akhir dari
sutu tindakan.Apapun jenis tindakan yang dilakukan, tidak diperhatikan ataupun
dinilai. Tetapi tujuan maupun hasil dari tindakan itulah yang akan diniliai.
Suatu tindakan yang dianggap mempunyai sebuah tujuan/maksud yang baik, walaupun
tindakan itu berupa suatu tindakan kekerasan dan tidak bermoral, akan tetap
dianggap baik apabila tujuan dari tindakan itu adalah untuk kebaikan. Teori ini
juga menekankan pada hasil dari tindakan yang baik adalah untuk kepentingan dan
kebaikan secara universal atau untuk kepentingan masyarakat luas.
Menurut Bertens (2013), etika dibagi menjadi
3 yaitu:
a)
Etika deskriptif
Etika deskriptif mempelajari moralitas yang
terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultural
tertentu, dalam suatu periode sejarah karena etika deskriptif hanya melukiskan,
ia tidak memberikan penilaian.
b)
Etika normatif
Etika
normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya terhadap
norma etika. Etika normatif dibagi menjadi:
·
Etika umum: memandang tema-tema
umum
·
Etika khusus:berusahamenerapkan
prinsip-prinsip etis yang umum ataswilayah perilaku manusia yang khusus.
c)
Meta etika
Mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Setelah mempelajari tig acara untuk mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan pedekatan non
filosofis dan pendekatan filosofis. Pendekatan non filosofis adalah etika deskriptif,
sedangkan pendekatan filosofis bias sebagai etika formatif dan sebagai metaetika atau etika analitis. Dari sudut pandang lain etika dapat dibagi kan juga kedalam pendekatan normatif dan pendekatan non
normatif.
Dalam pendekatan normatif peneliti mengambil mengambil suatu posisi atau standpoint moral: hal itu terjadi dalam etika normatif.
2.1.2
Konsep Moral
1)
Pengertian Moral
Kata moral berasal dari
bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan,
adat. Menurut Bertens (2013), moralitas adalah ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan
pada makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada
kesadaran tentang baik dan buruk, tentang
yang boleh dilakukan dan tidak pantas dilakukan.
Etik dan moral tampil dalam
tindakan manusia.Manusia itu dinilai oleh manusia lainnya dalam
tindakannya.Tindakan manusia dapat dinilai dari berbagai aspek, misalnya
penilaian sehat atau sakit, penilaian indah atau tidak indah, penilaian baik
atau buruk. Tindakan manusia dilakukan secara sengaja dimana adanya pilihan dan
tidak sengaja dimana situasinya tidak
memungkinkan untuk memilih, misalnya seseorang yang tidur mendengkur merupakan
tindakan yang tidak sengaja. Sasaran pandangan etik khusus pada
tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja (Poedjawiyatna, 2003).
2)
Hal
yang Mempengaruhi Nilai Moral
a) Nilai moral dengan agama
b) Nilai moral dengan hukum
2.1.3
Sejarah
Pembentukan Etik dan Moral
Terbentuknya etika dan moral di masyarkat, tidak
terlepas dari perjalanan sejarah dari tokoh-tokoh filsafat mulai dari abad
Yunani purba sampai pada abad moderen.oleh karena itu, untuk mengetahui dasar
pembentukannya, perlu diikuti riwayat dan perjalanan dari tokoh-tokoh filsafat
tersebut.
1) Abad Yunani
Secara historis Etika
sebagai usaha Filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan
kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu.Karena pandangan-pandangan lama tentang baik
dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma
dasar bagi kelakuan manusia (Franz Magnis Suseno, 1987).
Pergaulan yang sering
dilakukan di luar yunani dengan para pedagang dan para koloni membuat mereka
mengenal banyak budaya di luar yunani seperti, tentang hukum, tata kehidupan
dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah miliknya, hasil pembudayaan
Negara tersebut benar- benar lebih tinggi? Karena tiada seorang pun dari Yunani
yang akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian diajukanlah pertanyaan, “Mengapa
begitu?” kemudian diselidikinya semua perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang
baru dari filsafat, yakni filsafat moral (filsafat kesusilaan) atau etik (W.
Poespoproddjo, 1999).
·
Socrates
Socrates adalah ahli
pikir pertama pada zaman keemasan dunia filsafat (470-399 SM). Socrates tidak meninggalkan ajaran tertulis, sedang alam
pikirannya terutama diketahui melalui karya muridnya Plato. Sokrates tidak menjelaskan secara langsung tentang etika.
Tetapi ajarnnya menjadi tonggak utama bagi
ahli filsafat berikunya untuk menengembagkan ajaran filsafat terutama
etika dan moral.Socrates hidup pada masa dimana sedang berkembangnya paham
sofisme, yaitu paham yang merelativkan segala sesuaitu.Mereka berpendapat bahwa
hukum alam adalah hukum yang kuat.Mereka juga tidak mengakui adanya
pengetahuan.Bagi kaum saofis, manusia menjadi ukuran segalanya, kebenaran
mutlak tidak ada, kebenaran hanya berlaku sementara. Hal ini bertentangan
dengan pemikiran socrates. Socrates melihat bahwa kebenaran itu bersifat
obiektf dan bisa bersifat mutlak serta bersumber pada manusia itu sendrii (Kurtines & Gerwitz, 1992). Dari
situlah, Socrates mulai menerapkan metoda dialektik-kritis yaitu dialog antar dua pandangan yang saling
bertentangan dan tidak mau menerima suatu pengertian begitu saja tanpa
mengujinya terlebih dahulu. Bagi Socrates sebuah hidup yang tanpa diuji/dicaritahu adalah
hidup yang tidak bernilai. Dalam ajaran filsafatnya Socrates mendiskusikanpertanyaan secara umum tentang
pengetahuan, karakter, dan diskusi khusus tentang sifat alami seperti
kebaikan, keberanian dan kesederhanaan. Tujuan dari Socrates adalah supaya
masyarakat bisa hidup kembali pada sifat
alami atau kebajikan (Souryal, 2011).
·
Plato
Plato adalah tokoh
filsuf besar kedua di zaman filsafat yunani. Plato tidak secara gamblang menulis tentang etika. Plato menciptakan istilah ide. Tetapi di dalam ajaranya, tersirat uraian-uraian tetang
etika. Salah satu pernyataan Plato yang paling jelas
berkaitan dengan etika dan moral adalah seorang individu akan melaksanakan
hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal budi)
terorganisasi secara terpadu dan laras. Menurut Plato hidup
yang baik itu memperliatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk
didalamnya kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan.
·
Aristoteles
Aristoteles adalah tokoh
ketiga dari deretan filsuf-filsuf besar dari zaman keemasan filsafat Yunani. Karya Aristoteles mulai terkenal pada abad XII dan XIII. Aristoteles dikenal sebagai salah
seorang ahli pikir yang terkenal pada masa itu dan yang mnnyebutkan istilah
etika yang tertuang di dalam bukunya, yaitu The
Nochomachean ethic. Dalam buku itu Aristoteles
menyebutkan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui
berbagai kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang kepentingannya
bertahap-tahap (Kurtines &
Gerwitz, 1992). Pada zaman ini, konsep etika dan moral didasarkan pada sifat
naturalistik dan rasional sepanjang abad. Bagi alam pikiran klasik stadar moral
dan etika itu bersifat objektif, akan tetapi keberadaanya merupakan pula bagian
dari dunia alami yang dapat diketahui melalui proses penalaran akal budi.
2) Abad pertengahan
Pada abad pertengahan
ini disebut sebagai abad kepercayaan atau abad keselarasan rohaniah. Pada abad
ini etika dipadukan oleh suatu kepercayaan yang kokoh, suatu penerimaan akan
kebenaran yang hampir universal dari wahyu kristiani. Dua filsuf pada zaman ini yaitu Agustinus dan
Aquinas menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad pertengahan yang
berorientasi rohaniah dan objektifistik. Menurut Agustinus pengetahuan tetntang kebenaran yang
mutlak dan objektif dapat dicapai melalui pengalaman mistik tentang kebenaran
Ilahi yang diterima secara langsung. Menurut Thomas, tiada suatu hal atau
peristiwa manapun dari yang paling kerdil hingga paling besar dan dahsyat, yang
bertiada makna atau tujuan, sebab setiap hal dan peristwa itu merupakan bagian
dari rencana agung Tuhan dalam menciptakan segalanya. Manusia dan alam, moralitas
dan keselamatan, iman dan penalaran itu semua berada dalam kesatuan ilahi. Pada
masa ini, konsep etika dan moral dibentuk berdasarkan pandangan yang bersifat
spiritual dan terpusat pada dunia kelak (Kurtines & Gerwitz, 1992).
3) Abad modern
Pada abad moderen,
merupakan awal jatuhnya abad pertengahan. Pada abad ini menegaskan bahwa akal budi mengungguli iman. Pada masa ini lahirlah ilmu pengetahuan moderen dan sains
moderen yang memantapakn dirinya sebagai pemeran utma dalam alur pemikiran
barat. Pada masa ini, segala sesuatu dikecam dan
diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan
mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru.Jadi sains moderen memberikan
kepada akal budi suatu peranan yang terbatas dalam rangka pengetahuan tentang
dunia yang natural. Segala sesuatu di duniaselalu
dilakukan penalaran dan uji secara empiris. Pada masa ini, mereka menempatkan kebenaran rasional
dibawah kebenaran empiris. Status
kebenaran yang relatif dari setiap hipotesa saintifik selalu tergantung pada
data empiris yang ditemukan. Dalam kasus sains psikologi moderen, bagi seorang
sains mungkin saja untuk mengkaji setiap variabel hasil yang dependen (seperti
moral dan etika) dengan berpegang pada penalaran dan asumsinya sendiri tanpa menggunakan asumsi yang menyangkut eksistensi standar
moral yang obyektif. Jadi disimpulkan
bahwa, etika dan moral pada masa ini didasari pada suatu pembuktian yang
bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif, sehingga bisa
dikatakan bahwa pada masa ini menjadi masa yang sangat sulit bagi keberadaan
etika dan moral (Kurtines & Gerwitz, 1992).
2.1.4
Tahap
Perkembangan Etik dan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat,
yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat
tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
1)
Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap
aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau
benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau
untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10
tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 1): Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya
semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa
mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan
karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh
hukuman dan otoritas.
Tahap 2): Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat
untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat
elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata,
tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal
”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”,
dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
2)
Tingkat Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran
moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang
individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga,
masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika
menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu, kecenderungan
individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada
tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini
perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun.
Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 3): Orientasi kesepakatan antara
pribadi/orientasi ”Anak Manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain
serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran
stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering
dinilai menurut niatnya, ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama kalinya
menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti
kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal.Individu mulai
mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar
jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan
sosial.
Tahap 4): Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara
keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk,
melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah
hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman
atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus
dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang
baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan
menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya
sendiri.
3)
Tingkat Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled
morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan
nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip
itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok
tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan
pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini
sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada
tingkat ini.
Tahap 5): Orientasi kontrak sosial
legalistis
Pada umumnya tahap ini amat bermakna semangat utilitarian. Perbuatan yang
baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang
telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat
kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi
bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai
kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan
demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah
penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan
untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial
(dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4).
Tahap 6): Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan
prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada
komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis (Kohlberg, 1995).
2.2 Etika Kepedulian (Caring Ethics)
2.2.1 Definisi
Menurut Joan Tronto (1993) dalam Scott, A.P. (2017) etika kepedulian
adalah tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan pertimbangan
moral. Etika kepedulian didefinisikan sebagai komitmen moral untuk merawat,
melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan sekaligus memperjuangkan tata sosial
yang adil (Held, 2007). Jadi, etika kepedulian adalah komitmen moral untuk
memperhatikan kebutuhan manusia dengan cara merawat, melindungi, menyembuhkan,
memberi dukungan secara adil pada setiap manusia.
2.2.2 Sejarah Perkembangan dan Mengapa Etika Kepedulian Muncul
Konsep etika kepedulian pertama kali digagas oleh Carol Gilligan
selama tahun 1960an. Carol melihat etik dari perspektif feminimisme. Lalu,
sejak saat itu etika kepedulian digunakan dalam berbagai bidang profesional
seperti: keperawatan, kesehatan, pendidikan, hubungan interpersonal, hukum dan
politik (Held, 2007).
Di awal karirnya, Carol Gilligan bekerja dengan psikolog Lawrence
Kohlberg saat Kohlberg meneliti tentang perkembangan moral.Gilligan mulai
meneliti teori tentang perkembangan moral perempuan sebagai respon terhadap
penelitian perkembangan moral Kohlberg yang berbasis laki-laki.Gilligan
berpendapat bahwa teori yang berkembang saat itu hanya menekankan pada
pandangan yang dimiliki oleh laki-laki. Sementara itu, menurut Gilligan
perempuan memiliki pandangan moral berbeda yang menekankan pada solidaritas,
komunitas dan kepedulian tentang orang lain atau adanya hubungan ketergantungan
satu sama lainnya. Pandangan wanita ini mengenai perkembangan moral telah
diabaikan dan diremehkan karena secara tradisional wanita berada pada posisi
terbatas akan kekuasaan dan pengaruh (Gilligan, 2003).
Gillgan membuat
tahap tahap perkembangan moral dalam hidup individu adalah sebagai berikut :
TAHAP
|
KETERANGAN
|
Tahap 1
(Prakonvensional)
|
Pada tahap
ini, ada kecenderungan berpusat pada diri sendiri, yang penting adalah
memenuhi segala keperluan sendiri. Disebut sebagai “Tindakan baik” ketika
tindakan itu menguntungkan diri sendiri.
|
Tahap 2
(Konvensional)
|
Pada tahap
ini, ada kecenderungan berpusat pada orang lain, seseorang melihat
kepentingan/kebutuhan orang lain lebih penting daripada kepentigan/kebutuhan
diri sendiri. Berbuat baik memberi makan sebagai tindakan bertanggungjawab
dan suatu“tindakan baik” adalah suatu pengorbanan diri bagi kepentingan orang
lain.
|
Tahap 3 (Pascakonvensional)
|
Pada tahap
ini, terjadi keseimbangan, seseorang memberi perhatian yang seimbang antara
kepentingan/kebutuhan diri dengan tujuan mengabadikan hubungan yang sudah
ada.
|
Moralitas akan
berpengaruh pada pembentukan bangunan keadilan seperti yang digambarkan
Kohlberg, namun justru menurut Gilligan keadilan akan menciptakan superioritas
dalam unit-unit kehidupan, sengaja atau tidak perempuan senantiasa mendapat
posisi inferior. Pentingnya kepedulian menurut Gilligan, adalah lebih personal
dan tidak menciptakan superior-inferior.
Moralitas
seseorang didominasi oleh pengaruh budaya, sehingga akan menimbulkan
konsekuensi pada standar penilaian tindakan seseorang tentang baik dan buruk
(Gilligan, 1982). Perempuan dalam berhubungan dengan yang lain menurut Gilligan
cenderung menggunakan perasaannya, sebagai suatu keutamaan untuk mengikat orang
lain dengan dirinya. Bahkan perempuan mempunyai kecenderungan sifat altruis,
sebagai moral yang berbeda dan digunakan sebagai alat mempertahankan hubungan,
dan bukan untuk membatasi diri dari yang lain lebih lagi untuk menyerang. Konsep etika kepedulian Carol Gilligan merupakan konsep baru yang penting
diteliti untuk melihat tidak hanya bagaimana seharusnya manusia saling memaknai
keterhubungan, namun juga menyadari hakikat manusia. Manusia dalam pandangan
Gilligan menekankan pentingnya kapasitas relasi, bahwa perempuan mempunyai
pengalaman dan perkembangan yang secara psikologis berbeda dengan laki-laki,
maka konsekuensinya perempuan mempunyai cara dalam menentukan pilihan dan
mengembangkan nilai-nilai juga berbeda.
Carol Gilligan
berangkat dari titik yang sama, yaitu perempuan sebagai yang lain, ia
menunjukkan tentang bagaimana pandangan androgini para tokoh psikologi menempatkan
perempuan sebagai sebuah penyimpangan, terutama dalam Freud dan Kohlberg. Carol
Gilligan justru menegaskan tak apa menjadi yang lain karena nilai-nilai yang
ada antar kedua gender memang berbeda, ia menuding tingkatan moral Kohlberg
adalah terlalu androsentris, yang berangkat dari kegagalan intrepretasi
peneliti dalam sejumlah wawancara pada pengalaman perempuan. Kesalahan
persepsi itu dapat dilihat dalam enam tahapan moralitas Kohlberg yang berpuncak
pada “Rasa Keadilan”, Gilligan memaparkan bahwa wawancara yang dilakukan oleh
Kohlberg justru menunjukkan perempuan memiliki bahasa moralitas yang berbeda,
apabila laki-laki berpikir dalam logika matematis, maka perempuan berpikir
dalam kerangka bagaimana ia dan hubungan ia dengan dunia, yang disebut oleh
Gilligan sebagai Etika Kepedulian.
Gilligan
melakukan riset dalam ranah psikologi dan etika, namun pandangan Gilligan
tentang manusia dapat ditelaah dalam perspektif Filsafat Manusia.Gilligan
dengan pengaruh pengetahuannya tentang psikologi menyatakan dengan tegas
tentang epistemologi perempuan, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki sifat
fisik yang spesifik yang menentukan gender mereka.Berbagai sifat fisik di
samping membuat laki-laki dan perempuan berbeda. Ada juga sifat bawaan
seperti ukuran badan dan kekuatan masing-masing pun berbeda antarjender. Perbedaan
faktor emosi dan psikologi, seperti daya saing, kemampuan akademik, dan
keterampilan berkomunikasi, adalah sifat yang bukan jasmaniah yang secara luas
diterima sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan (Maharani, 2005).
Pandangan moral keadilan atau etik keadilan berfokus pada sesuatu
yang benar dan harus dilakukan. Sedangkan pandangan moral kepedulian atau etik
kepedulian mengarah pada kita dapat dan harus mengutamakan kepentingan orang
yang dekat dengan kita dan harus menumbuhkan kemampuan alami kita untuk dapat
merawat orang lain dan diri kita sendiri (Gilligan, 2003). Teori etika
kepedulian Gilligan berkisar pada pegangan bahwa manusia tidak patut disakiti,
Gilligan banyak menuju tentang perasaan, tanggung jawab dan hubungan manusia
terutama dari sudut pandang wanita. Teori ini mengatakan adanya tanggung jawab
yang membantu, tidak membebankan dan menyakiti orang lain (Mukhsin, 2007).
Karya Gilligan
yang paling booming adalah “In A
Different Voice” yang diterbitkan tahun 1982.Karya Gilligan ini disebut
sebagai buku kecil yang memulai sebuah revolusi.Pemikiran Gilligan dalam buku
tersebut diwarnai kritiknya terhadap konsep Kohlberg tentang tahap-tahap
perkembangan moral anak, yang dinilai Gilligan sebagai bias jender.Gilligan
menilai partisipan dalam kajian Kohlberg ini lebih banyak laki-laki.Maka karya
Gilligan inilah yang membuatnya dijuluki sebagai Feminis Perbedaan, karena
pandangannya yang memang berbeda dengan pandangan feminis umumnya. Pemikiran
Gilligan yang dituliskan dalam karya “in
a Different Voice” kemudian menjadi bahasan tentang Etika Kepedulian yang
dibandingkan dengan Etika Keadilan.
Teori-teori lain juga muncul setelah itu seperti Joan
Tronto (1991), Virginia Held (1993), Eva Fedder Kittay (1999, 2000) dan Sara
Ruddick (1989) (Scott, A.P., 2017).
2.2.3 Perspektif Beberapa Ahli
Etika kepedulian
ditelaah oleh beberapa filsuf, yaitu:
1)
Carol Gilligan (1982)
Carol Gilligan mengemukakan etika kepedulian
sebagai aspek relasi yang erat kaitannya dengan sisi feminis. Penalaran moral
dibatasu dengan “....dua perspektif yang mengoordinasikan pikiran dengan cara
yang berbeda”. Pada laki-laki, definisi moral terkait dengan istilah
keadilan.Sedangkan perempuan, moral didefinisikan bukan dalam istilah hak namun
lebih pada tanggung jawab dan kepedulian. Hal ini kemudian memunculkan
pertanyaan dari filsuf lain terkait dengan keperawatan. Perawat secara gender
memang didominasi oleh wanita, namun bagaimana etika kepedulian perawat
laki-laki? Apakah perawat laki-laki memiliki etika kepedulian yang lebih baik
daripada laki-laki yang bukan perawat?
2)
Joan Tronto (1991)
Kepedulian dipandang sebagai aktivitas yang
dilakukan untuk mempertahankan, melanjutkan dan memperbaiki dunia sehingga kita
dapat hidup di dalamnya sebaik mungkin.Dunia yang dimaksud mencakup tubuh
manusia, diri sendiri, lingkungan yang terjalin dalam sebuah hubungan yang
kompleks untuk mendukung kehidupan. Tronto mengemukakan Tronto’s Dimension or Phases of Care dalam tabel di bawah ini
(Scott, A.P., 2017)
No
|
Dimensi/Tahap Kepedulian
|
Sikap Etis
|
1
|
Caring about: hal ini mencakup
kekhawatiran terhadap seseorang/sesuatu
|
Ketertarikan: memperhatikan kebutuhan peduli
|
2
|
Taking care of: mengambil tanggung
jawab untuk merawat seseorang
|
Tanggung
jawab: memperbaiki situasi seseorang
|
3
|
Care-giving: memberikan perawatan
langsung kepada seseorang
|
Kompetensi:
memiliki pengetahuan, keterampilan dan nilai yang diperlukan untuk tujuan
perawatan
|
4
|
Care-receiving: tahap akhir ini
berfokus pada penerima perawatan
|
Responsif:
menanggapi secara positif perawatan/kepedulian yang telah diberikan
|
3)
Christ Gastmans
Keperawatan dianggap
sebagai praktik moral dengan 3 komponen utama, yaitu: hubungan kepedulian
(kondisi praktik keperawatan), perilaku peduli (integrasi nilai kebaikan dan
aktivitas kepakaran) dan perawatan yang baik sebagai tujuan akhir praktik
keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara spesifik untuk menghubungkan diri
dengan yang lain dalam konteks relasional antara pasien dengan perawat dalam
memberikan perhatian selama aplikasi asuhan keperawatan. Perilaku peduli
melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan altruistik terhadap perawatan dengan fitur kognitif dan
afektif-motivasi) dan aktivitas kepakaran. Gastmans menjelaskan perawatan yang
baik adalah tujuan dasar praktik keperawatan. Gastmans mengadopsi perspektif
filosofis Eropa tentang “Being Human”
yang menguraikan enam dimensi pasien, yaitu: fisik, relasional, sosial,
psikologis, moral dan spiritual. Secara keseluruhan, keperawatan digambarkan
sebagai hubungan kepedulian , integrasi kebaikan dan aktivitas ahli serta
perawatan yang baik sebagai tujuan praktik keperawatan (Scott, A.P., 2017).
4)
Jean Watson
Watson menggambarkan
hubungan caring transpersonal adalah
hubungan manusia yang bersifat bersatu dengan orang lain dengan menghargai
seseorang sepenuhnya termasuk keberadaannya di dunia. Watson memberikan
penekanan pada aspek kualitas interpersonal dan transpersonal yang meliputi
empati, keselarasan dan kehangatan (Alligood, 2014).
Berdasarkan keempat perspektif para ahli tersebut, etika kepedulian
digambarkan sebagai komitmen moral yang menekankan pada aspek interpersonal
maupun transpersonal yang diwujudkan dalam bentuk memperhatikan, merawat,
melindungi, menyembuhkan dan memberi dukungan.
2.2.4 Kaitan Etika Kepedulian dengan Tanggung Jawab dan Kebebasan
Menurut Bertens (2013) bertanggung jawab berarti dapat menjawab bila
dipertanyakan terkait dengan perbuatan-perbuatan yang sudah dilakukan.Tanggung
jawa ada 2 jenis yaitu retrospektif dan prospektif.Retrospektif adalah tanggung
jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekwensinya.
Prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang.
Kebebasan menurut Bertens (2013) diartikan dalam 2 aspek yaitu aspek
positif dan apek negatif. Kebebasan diartikan sebagai “kebebasan dari.....” dan
“kebebasan untuk.....” Aspek negatif dari (bebas dari...) dapat dipahami
terlepas dari tekanan atau paksaan.Kebebasan lebih sering diartikan secara
negatif.Dalam kehidupan sehari-hari kebebasan dipahami sebagai terlepas, tidak
ada dan tanpa.Kebebasan lebih sulit diartikan dalam konteks positif.“Kebebasan
untuk....” harus diisi oleh manusia itu sendiri. Kemingkinan-kemungkinan ini
sama luasnya dengan kreatifitas manusia. Kebebasan sosial-politik pun sulit
diterangkan secara positif.Misalnya, “bebas dari penjajahan” yang berarti
terbebas dari kekuasaan yang absolut. Namun, sulit untuk mendefinisikan arti kemerdekaan
dan kebebasan rakyat “bebas untuk....” Suatu bangsa memerlukan kurun waktu
tertentu untuk mengisi kemerdekaan.
Kaitan tanggung jawab dengan etika kepedulian adalah saat seseorang
merasa bahwa ia harus dapat menjawab segala perbuatan yang dilakukannya untuk
orang lain, maka rasa untuk ingin memperhatikan dan empati itu akan tumbuh.
Salah satu prinsip perawat adalah bertanggung jawab atas keadaan pasien baik
secara biologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual.Maka dari itu,
perawat secara langsung dapat menumbuhkan etika kepedulian dalam pemberian
asuhan keperawatan. Apabila etika kepedulian dikaitkan dengan kebebasan yang
lebih mudah diartikan sebagai “bebas dari....”, maka ketika seseorang merasa
bebas dari sesuatu, etika kepedulian yang ada pada dirinya pun mengalami
penurunan karena ada perasaan terbebas dari suatu hal yang bukan merupakan
tanggung jawabnya.
2.2.5 Pelaksanaan Etika Kepedulian di Indonesia
Permasalahan yang mendasar pada profesi keperawatan Indonesia saat
ini adalah perawat masih belum melaksanakan peran caring secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada klien (Nursalam, 2014). Berdasarkan kajian Nursalam (2005) perawat Indonesia belum mampu
berperan profesional karena 4 faktor yaitu :
1)
kualitas sumber daya ners yang
masih rendah,
2)
batang tubuh ilmu pengetahuan
dan kewenangan perawat yang belum jelas,
3)
model praktik keperawatan yang
tidak tertata dengan baik,
4)
fokus pendidikan keperawatan
hanya berorientasi menyediakan lulusan untuk bekerja memberikan layanan, kurang
menciptakan soft skill/membangun
karakter yang diperlukan stakeholder.
PPNI sebagai organisasi profesi keperawatan di Indonesia sudah
membuat Kode Etik Keperawatan yang berisi standar kompetensi dan standar
praktik keperawatan.Hal ini sebagai bentuk perlindungan baik kepada perawat
maupun masyarakat terhadap layanan keperawatan yang bermutu. Darwis (2016) mengungkapkan bahwa kualitas perawat di rumah sakit masih
membutuhkan bimbingan pengawasan. Hal ini dapat dilihat dari banyak komplain pasien
terkait pelayanan keperawatan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Manurung & Hutasoit (2013) didapatkan bahwa terpenuhinya kebutuhan caring dan perbaikan perilaku caring
perawat akan menjadikan persepsi pasien menjadi positif selama rawat inap.
Hal ini menjadi dasar untuk perlu dilakukan kajian berkala tentang
perkembangan penerapan etika kepedulian di Indonesia. Rumah sakit perlu
mengoptimalkan kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik dengan
meningkatkan budaya perilaku caring,
memperhatikan prinsip etik di rumah sakit dalam pemberian asuhan keperawatan
kepada klien, perlu dibuat aturan baku pelaksanaan perilaku caring, prinsip etik bagi perawat,
pelaksanaan supervisi berkala, dan pelatihan caring.
2.3 Keperawatan
sebagai Profesi
2.3.1 Definisi Profesi
Kozier (2004) menyebutkan bahwa profesi didefinisikan sebagai sebuah
pekerjaan yang memerlukan pendidikan atau pengetahuan yang luas dan
berkelanjutan, skill, dan persiapan
khusus. Wilensky (1964) mengatakan bahwa profesi berasal dari kata profession yang berarti suatu pekerjaan
yang membutuhkan dukungan body of knowlegde sebagai dasar bagi
perkembangan teori yang sistematis menghadapi banyak tantangan baru,dan karena itu
membutuhkan pendidikan dan pelatihan yang cukup lama, serta
memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan. Daniel Bell (1973) menjelaskan bahwa profesi merupakan aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk
pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal yang
memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh kelompok/badan yang bertanggung
jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika
layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide,
kewenanangan keterampilan teknis dan moral serta mengasumsikan adanya tingkatan
dalam masyarakat.
Ada begitu banyak pengertian profesi dari para ahli namun, kelompok
medefinisikan profesiadalah suatu pekerjaan yang membutuhkan badan ilmu sebagai dasar untuk
pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan
pendidikan dan pelatihan yang luas dan berkelanjutan, didukung oleh penelitian
yang dilakukan secara terus-menerus, serta memiliki kode etik dengan fokus
utama melaksanakan peran yang bermutu dalam memeberikan pelayanan kepada
masyarakat serta melaksanakan cara-cara dari peraturan yang telah disepakati
oleh anggota profesi tersebut dalam sebuah organisasi profesi.
2.3.2 Definisi Keperawatan
Keperawatan adalah suatu kegiatan pemberian asuhan
kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat baik dalam keadaan sakit
maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no 38 tahun 2014). Berdasarkan
Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan berbentuk pelayanan
bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat
maupun sakit yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan keperawatan
profesional untuk masyarakat menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan
kukuh dari berbagai ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai dasar untuk
melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menyusun perencanaan, melaksanakan
asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, serta
mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan
selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan
teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia
menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan
yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
Melihat defenisi dari beberapa ahli diatas maka dapat disimpulkan
keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan asuhan keperawatan yang
profesional berdasarkan ilmu dan seni pada individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat baik sehat maupun sakit.
2.3.3 Kontrol Sosial
Menurut Michael Eraut (2002), konsep sebuah profesi ditemukan karena
adanya control social. Pelaku profesi perlu menyediakan pelayanan kepada
masyarakat dengan ilmu pengetahuan yang dirasa cukup ia miliki. Ketika tuntutan masyarakat terhadap suatu profesi semakin
tinggi maka itu akan memberi peluang kepada profesi tersebut untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Ketika profesi tersebut mampu
memenuhi tuntutan masyarakat maka dengan sendirinya profesi itu akan semakin
diakui.
Bagaimana
cara profesi keperawatan mempertahankan eksistensinya sebagai tenaga profesional dalam memberikan pelayanan
yang berkualitas pada individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit, sehingga pada akhirnya diakui oleh masyarakat penerima layanan? Merupakan satu tugas berat
bagi profesi perawat, dimana keperawatan dituntut untuk terus mengembangkan
riset-risetnya, meningkatkan jenjang pendidikannya, dan menerapkan hasil
risetnya dalam praktek keperawatan sehingga memberikan pelayanan yang
berkualitas karena berbasis bukti.
Keperawatan sebagai profesi berkomitmen pada
kemampuan, integritas, moral, kepentingan orang lain dan mengembangkan kebaikan
publik dalam
keberadaannya. Komitmen ini membentuk dasar kontrol sosial antara profesi dan
masyarakat. Sebaliknya, masyarakat memberikan pada profesi otonomi dalam
praktek dan hak dalam pengatturan diri. Dengan demikian, suatu profesi
memerlukan kontrol sosial untuk mengawasi dan mengontrol perilaku anggota
profesi dan memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu profesi.
Status profesional tidak merupakan hak yang
melekat hanya dengan kualifikasi, tapi juga diberikan kepercayaan oleh
masyarakat. Publik melihat bagaimana suatu profesi bekerja. Untuk dapat dipercaya, para profesional harus
memenuhi kewajiban yang diharapkan
oleh masyarakat. Kegagalan untuk memenuhi kepercayaan, tingkah laku dan standar
profesional akan mengakibatkan kehilangan pengakuan
masyarakat terhadap profesi tersebut.
2.3.4 Dimensi Profesi
1) Dimensi disiplin ilmu, penerapannya:
a. Digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan
dan melakaukan tindakan keperawatan
b. Menetapkan standar dan SPO untuk semaua tindakan
keperawatan
c. Dilakukan dengan pengujian dan validasi serta
pengembangan melalui penelitian
d. Melaksanakan evidence
based practice
2) Dimensi etik, penerapannya:
a. Menetapkan prinsip etik dalam berinteraksi dan
memberikan asuhan keperawatan
b. Ditetapkan kode etik profesi
c. Melaksanakan kdoe etik profesi
3) Dimensi hukum, penerapannya:
a. Peraturan perundang-undangan dijadikan dasar dalam
melaksanakan pelayanan dan asuhan keperawatan
b. Peraturan perundang-undangan dijadikan landasan
pelaksanaan berbagai kewajiban dan hak perawat
4) Sedangkan dimensi kualitas pelayanan profesi
keperawatan sebagai berikut :
a. Responsibility atau tanggung jawab, mencakup ketepatan dan
kecepatan pelayanan serta keakuratan dalam memberikan informasi
b. Responsiveness atau kepekaan, peka terhadap kebutuhan pasien
didiringi tindakan yang tepat sesuai kebutuhan tersebut
c. Assurance atau kepastian pelayanan
d. Empati, kemampuan memahami dan memperhatikan
kondisi psikologis pasien
Keempat dimensi profesi diatas secara rinci tersirat dalam
karakteristik profesi. Pada dasarnya dimensi profesi ini juga tertuang dalam kode etik
profesi keperawatan yang berfungsi dalam mengawasi prilaku anggota profesi.
Dimensi ini diperlukan demi adanya pengakuan dan eksistensi profesi tersebut.
2.3.5 Ciri-Ciri Profesi
Ciri-ciri profesi keperawatan (Nursalam, 2014)
a. Mempunyai body
of knowledge
b. Pendidikan berbasis keahlian pada jenjang
pendidikan tinggi
c. Memberi pelayanan kepada masyarakat melalui
praktek dalam bidang profesi melalui praktek profesional yang spesifik
d. Memiliki perhimpunan organisasi profes
e. Pemberlakuan kode etik keperawatan
f. Otonomi
g. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap
tindakan yang dilakukan
h. Merupakan karier seumur hidup
i.
Mempunyai
fungsi mandiri dan kolaborasi
Sedangkan Kriteria status professional perawat dalam Alligood (2017)
a.
Menggunakan tubuh pengetahuan
khusus yang didefenisikan dan terorganisasi baik dalam praktek dan pendidikan
yang lebih tinggi
b.
Terus-menerus memperbesar tubuh
pengetahuan dengan menggunakan dan meningkatkan teknik pendidikan dan layanan
melalui metode ilmiah
c.
Mempercayakan pendidikan
praktisi kepada lembaga pendidikan tinggi
d.
Menerapkan tubuh pengetahuan
dalam layanan praktis yang penting untuk manusia dan kesejahteraan social
e.
Fungsi-fungsi yang mandiri
dalam perumusan kebijakan professional dan dalam pengendalian kegiatan
professional
f.
Mengakui profesi sebagai
pekerjaan seumur hidup
g.
Memiliki otonomi atau kebebasan
bertindak, kesempatan untuk pertumbuhan professional berkelanjutan, dan
keamanan ekonomi.
Profesi keperawatan berbeda dari profesi yang
lain, sehingga memiliki ciri-ciri profesi yang spesifik untuk membedakan dari
profesi yang lain dalam hal pelayanan, prosedur, fokus penerima pelayanan, dan kode etik.
2.3.6 Keperawatan Sebagai Profesi
Banyak ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian profesi.
Dalam penulisan ini penulis memaparkan definisi profesi yang paling sederhana dan umum
menurut kusnanto (2004) dan defenisi yang kompleks dari Wilensky (1964).
Menurut Kusnanto
profesi merupakan pekerjaan yang pelayanannya ditujukan pada orang banyak.
Kusnanto hanya melihat pada pekerjaan dan focus layanannya, sedangkan Wilensky
dengan rinci menjelaskan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dukungan body of knowledge sebagai dasar untuk pengembangan teori yang
sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan
pelatihan yang lama serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan
(altruism).
Definisi
profesi yang dikemukakan Wilensky, walaupun sudah sangat lama, namun dari semua ahli yang
memaparkan tentang defenisi profesi hanya Wilensky yang berhasil merangkumnya
dengan baik, dimana dalam defenisi profesinya tersurat karakteristik sebuah
profesi dan focus layanannya. Sehingga kelompok lebih berpihak pada pandangan
Wilensky.
Perbedaan pengertian keperawatan dalam UU Keperawatan no.38 tahun
2014 dan hasil Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983, terletak pada sifat
pelayanan dan bentuk pelayanan keperawatan. Dalam UU Keperawatan no. 38 tahun
2014, tidak disebutkan bahwa pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang
professional dan bentuk layanannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar yakni
bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensip, sedangkan hasil Lokakarya
Nasional dijelaskan dengan rinci bahwa pelayanan keperawatan bersifat
professional dan bentuk layanan adalah memenuhi kebutuhan
bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensip. Kelompok lebih mengakui defenisi
keperawatan menurut hasil Lokakarya Nasional karena sangat rinci dan memberikan
pemaparan yang sangat jelas tentang keperawatan.
Kelompok berpendapat bahwa masyarakat penerima layanan suatu profesi
berperan penting dalam mengontrol eksistensi profesi tersebut. Karena merekalah
yang dapat memberikan penilaian terhadap pelayanan suatu profesi dan perilaku anggota profesi.
Jika perilaku
anggota profesi tidak atau kurang menyenangkan, tidak professional dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat akan
memberikan teguran dan mempertanyakan keberadaan profesi tersebut.
Untuk mengontrol perilaku anggota profesinya, keperawatan mempunyai organisasi profesi
yang berfungsi menyusun kode etik dan standar praktek bagi anggotanya. Kode
etik berisi aturan-aturan untuk menjaga sikap dan perilaku para perawat.
Sedangkan standar praktek untuk memberi arah dan acuan bagi para perawat dalam
melakukan prakteknya. Para perawat diharapkan patuh dan tunduk pada kode etik
profesi dan standar praktek yang ada demi mempertahankan kepercayaan dan pengakuan masyarakat terhadap profesionalisme perawat.
Dari hal diatas dapat dikatakan bahwa control social sangat
diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan yang
diberikan ke masyarakat. Perawat wajib memegang teguh kode etik yang berlaku
agar pelayanan yang diberikan konsisten dan terstandar, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kepuasan masyarakat yang tentunya akan meningkatkan kepuasan
batin perawat yang sangat bernilai dan tidak dapat dinilai dengan materi. Hal
tersebut akan memotivasi perawat terus memberikan yang terbaik untuk masyarakat, ibarat mata rantai
yang tidak terputus antara control sosial, peningkatan kualitas, kepuasan masyarakat dan kepuasan perawat.
Berdasarkan ciri-ciri di atas, masih terdapat
beberapa kesenjangan yang terjadi dalam profesi keperawatan di Indonesia,
antara lain:
a. Mempunyai body
of knowledge ;
Profesi
keperawatan di Indonesia memegang body of knowledege,
akan tetapi tidak semua perawat di Indonesia mendapatkan
kesempatan mengenyam ilmu pengetahuan
keperawatan yang setara.
b. Pendidikan berbasis keahlian pada jenjang
pendidikan tinggi ;
Perawat
Indonesia belum semua mengenyam jenjang pendidikan profesional yang sama. Masih banyak
ditemukan perawat yang latar belakang pendidikan diploma (vokasional).
c. Memberi pelayanan kepada masyarakat melalui
praktek dalam bidang profesi melalui praktek profesional yang spesifik, masih banyak perawat
terutama didaerah yang melaksanakan praktek medis, contohnya melakukan tindakan
khitanan, pemberian obat-obatan dan lain-lain.
d. Memiliki perhimpunan organisasi profesi
Di
Indonesia sudah memiliki organisasi profesi yaitu PPNI, namun belum semua
perawat terdaftar menjadi anggota PPNI.
e. Pemberlakuan kode etik keperawatan
Perawat
Indonesia memiliki kode etik keperawatan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak
ditemukan pelanggaran, contohnya menjaga kerahasiaan pasien seperti kondisi
pasien (upload luka pasien). Dalam menghadapi pelanggaran etik tersebut, belum
ada tindakan tegas dari organisasi profesi.
f. Otonomi
Perawat
di RS kebanyakan tidak sempat melakukan tindakan-tindakan keperawatan mandiri,
lebih banyak melaksanakan tindakan kolaboratif (delegasi dokter).
g. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap
tindakan yang dilakukan
Perawat
di Indonesia memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap tindakan yang
dilakukan
h. Merupakan karier seumur hidup
i.
Mempunyai
fungsi mandiri dan kolaborasi
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa
keperawatan di Indonesia merupakan suatu profesi dimana memiliki karakteristik sebagai suatu profesi yaitu memiliki body of knowledge, pendidikan berbasis keahlian pada jenjang
pendidikan tinggi, memberi pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam
bidang profesi melalui praktek profesional yang spesifik, memiliki perhimpunan
organisasi profesi, adanya kode etik keperawatan, bersifat otonomi, bertanggung
jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan, merupakan karier
seumur hidup, mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi, memiliki dimensi profesi, yaitu dimensi keilmuan, dimensi
etik, dimensi hukum dan dimensi kualitas pelayanan profesi keperawatan serta
adanya kontrol sosial yang mengawasi praktek profesi dilakukan secara
profesional.
2.4 Etik
dalam Keperawatan
2.4.1 Perangkat Komite Etik
Keperawatan
sebagai sutu profesi harus diikuti dengan pembentukan karakter profesi dalam
menjalankan tugas profesinya sesuai dengan standar dan kode etik yang telah
ditetapkan. Komite
etik terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu diantaranya dari professional
disiplin ilmu, hukum, pengacara, ahli etik dan lainnya. Sementara jika komite
etik tersebut berfokus pada praktik kesehatan, didalamnya terdiri dari profesi
kesehatan, ahli hukum, pengacara, ahli etik, manajer rumah sakit dan ahli agama. Rumah sakit sendiri memiliki
kode etik rumah sakit yang dibentuk atau disusun oleh persatuan rumah sakit
Indonesia (PERSI) yang keanggotaannya harus mewakili profesi yang ada di rumah
sakit.sementara komite etik keperawatan di atur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 tentang komite keperawatan rumah sakit.
Rumah sakit diwajibkan
membentuk komite keperawatan. Dalam komite keperawatan terdapat subkomite etik dan disiplin yang
didalamnya bertugas untuk
mensosialisasikan kode etik profesi keperawatan, melakukan pembinaan etik dan
disiplin profesi tenaga keperawatan, melakukan penegakan disiplin profesi,
merekomendasikan penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah-masalah etik, memberikan
pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan.
Komite etik
mengarah kepada perubahan, bergerak ke arah hal yang menjadi fokus pada tingkah
laku moral individu yang di tujukan kepada organisasi etik itu sendiri (Brent,
2001). Kompleksnya pelayanan kesehatan saat ini dapat menimbulkan kesulitan
dalam memberikan layanan kesehatan dalam hal ini keperawatan yang dapat
merugikan berbagai pihak di dalam pelayanan kesehatan. PMK 27
No. 49 bahwa komite etik keperawatan dibentuk untuk meningkatkan
profesionalisme, pembinaan etik dan disiplin tenaga keperawatan, menjamin mutu
pelayanan kesehatan serta melindungi keselamatan pasien.
Komite keperawatan
yang memiliki fungsi utama mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme
tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, dan
pemeliharaan etika dan disiplin profesi. Komite melakukan pengawasan secara
terus menerus dalam menjaga perilaku yang tidak etis. Fundamental dari prinsip
etik adalah penghargaan terhadap sesama.
Tugas komite etik bertugas :
- Melakukan sosialisasi kode etik profesi tenaga keperawatan
- Melakukan pembinaan etik dan disiplin profesi tenaga keperawatan
- Merekomendasikan penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam kehidupan profesi dan pelayanan asuhan keperawatan dan kebidanan
- Merekomendasikan pencabutan kewenangan klinis
- Memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan dan kebidanan
Menurut peraturan menteri
kesehatan republik Indonesia nomor 49 tahun 2013 Persyaratan yang harus dipenuhi oleh
personel komite keperawatan yaitu memiliki kompetensi yang tinggi sesuai jenis
pelayanan atau area praktik, mempunyai semangat profesionalisme serta reputasi
baik.
Hal-hal yang perlu
dimiliki oleh seorang
komite etik keperawatan antara lain :
- pengetahuan dasar mengenai etik seperti konsep moral, model, isu dan hukum kesehatan.
- kemampuan berkomunikasi dengan baik, mampu mendengarkan, berbciara dan menulis.
- Sikap sangat menghormati dan terbuka antar anggota komite dan situasi pasien
- Kemampuan mengenal isu yang sedang terjadi dilingkungan perawat maupun pasien
- Kemampuan mengedukasi tentang etik dan moral kepada anggotanya.
2.4.2 Perangkat Komite Menurut PPNI
Kode etik keperawatan berfungsi sebagai pedoman perilaku bagi perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan
dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit (Praptianingsih, 2006). Kode
etik keperawatan indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan
Perawat Indonesia (DPP PPNI) melalui Munas PPNI. Kode etik keperawatan menjadi pedoman dasar
bagi perawat dalam menunaikan kewajiban dan pengambilan keputusan sebagai suatu
bentuk pertanggung jawaban profesi dengan penuh tanggung jawab dan berlandaskan
pada UUD 1945. Kode etik keperawatan Indonesia ada 5, diantaranya:
1. Perawat dan
Klien
a.
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai
harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh
pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna
kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta
kedudukan social.
b.
Perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang
menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama
dari klien
c.
Tanggung jawab
utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan
d.
Perawat wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang
dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2.
Perawat dan
Praktik
a.
Perawat
memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang keperawatan melalui belajar
terus menerus
b.
Perawat
senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
c.
Perawat dalam
membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan mempertimbangkan
kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima
delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
d.
Perawat
senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu
menunjukkan perilaku professional
3.
Perawat dan
Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai
dan mendukung
berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
4.
Perawat dan Teman
Sejawat
a.
Perawat
senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga
kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja
maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
b.
Perawat bertindak
melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
5.
Perawat dan
Profesi
a.
Perawat mempunyai
peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta
menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
b.
Perawat berperan
aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
c.
Perawat berpartisipasi
aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang
kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.
Kode etik menurut ICN (ICN, 2012)
International council of nursing
memiliki empat prinsip kode etik keperawatan, diantaranya :
- Perawat dengan individu
Tanggung jawab seorang
perawat adalah kepada individu yang menuntut pelayanan keperawatan.dalam
memberikan perawatan, perawat menyediakan lingkungan yang menjaga hak asasi
manusia, nilai, dan kepercayaan individu, keluarga dan komunitas
- Perawat dan praktik keperawatan
Perawat mempunyai tanggung
jawab dan akuntabilitas terhdap praktik keperawatan, dan untuk menignkatkkan
kompetensi dengan cara pembelajaran yang kkontinue
- Perawat dan profesi
Perawat memikul peran utama
dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik klinik keperawatan,
manajemen, penelitian dan edukasi
- Perawat dengan tenaga kesehatan lain
Perawat memungkinkan untuk
kolaborasi dan menghargai hubungan dengan tenaga perawat lain dan dengan bidang
lainnya yang ada dalam tatanan pelayanan kesehatan.
Kode etik menurut ANA (Martha, D.M. Fowler, 2010):
Ketentuan 1
Perawat dalam memberikan pelayanan penuh dengan rasa menghormati
martabat yang melekat pada setiap individu, harga diri dan keunikan setiap individu
Ketentuan 2
Perawat bertanggung jawab kepada pasien baik individu, keluarga,
kelompok, komunitas maupun populasi
Ketentuan 3
Perawat mempromosikan, menganjurkan,
dan melindungi hak, kesehatan, dan keamanan pasien
Ketentuan 4
Perawat memiliki wewenang,
akuntabilitas dan tanggung jawab dalam tugasnya; membuat keputusan; dan
mengambil tindakan yang konsisten dengan kewajibannya untuk memberikan
perawatan kepada pasien secara optimal
Ketentuan 5
Perawat bertanggung jawab untuk
mempromosikan kesehatan dan keselamatan, tidak membeda-bedakan
individu, meningkatkan kompetensi personal
dan profesional
Ketentuan 6
Perawat baik secara individu maupun
bersama - sama, menetapkan, mempertahankan, dan memperbaiki lingkungan guna
menciptakan kondisi kerja yang kondusif untuk memberikan perawatan kesehatan
yang aman dan berkualitas.
Ketentuan 7
Perawat dalam tatanan apapu memajukan profesi
keperawatan baik melalui penelitian, mengumpulkan bukti ilmiah, pengembangan
standar profesi baik keperawatan maupun kesehatan
Ketentuan 8
Perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya
dan masyarakat umum untuk
melindungi hak asasi manusia, mempromosikan kesehatan,
dan mengurangi perbedaan pelayanan kesehatan
Ketentuan 9
Profesi keperawatan baik secara
kolektif melalui organisasi profesi
harus mengartikulasikan nilai keperawatan, menjaga integritas profesi,
dan mengintegrasikan prinsip keadilan sosial ke dalam keperawatan dan kebijakan
kesehatan.
2.4.3 Prinsip Etik
Prinsip etik adalah ajaran secara langsung untuk menentukan suatu
tindakan (DeLaune, S.C. & Patricia, K.L, (2011). Dalam menentukan keputusan etik, perlu melihat prinsip bahwa apa yang
diputuskan merupakan pilihan terbaik untuk pasien dan lingkungan. Prinsip etik
dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menganalisa dilema etik.Prinsip etik bertujuan untuk mencegah masalah munculnya masalah yang
dapat merugikan berbagai ihak baik pasien maupun perawat dalam layanan
kesehatan.Prinsip etik tidak absolute atau mutlak,
prinsip etik dapat dikecualikan sesuai dengan situasi. Terdapat delapan prinsip
etik:
1)
Otonomi
Prinsip autonomi ini merujuk
pada hak individu untuk memilih dan menentukan kemampuan tindakan yang mereka
pilih.Perawat harus menghormati keputusan yang dibuat oleh pasien dan
melindungi pasien yang tidak dapat membuat keputusan sendiri. Prinsip autonomi
dalam etik ini merujuk pada kepercayaan setiap indvidu yang memiliki kemampuan
mempunyai hak untuk menentukan tindakan yang akan dilakukannya. Pada
pelaksanaan prinsip ini dibutuhkan inform consent sebagai bukti bahwa klien
berhak untuk mengambil keputusan.
2)
Nonmaleficience
Nonmaleficience adalah kewajiban untuk tidak atau
menyebabkan sesuatu yang merugikan atau membahayakan untuk individu lain.
Bahaya yang dimaksud adalah baik sesuatu yang membahayakan atau merugikan
secara fisik, psikologi, sosial dan spiritual.Prinsip ini digunakan sebagai
pedoman dalam membuat keputusan suatu tindakan. Apakah tindakan yang akan
dilakukan dapat merugikan atau mebahayakan pasien atau tidak. Prinsip non malficience mengharuskan perawat
melakukan tindakan dengan penuh pertimbangkan dan hati-hati.Perawat perlu menimbang
potensial resiko dan manfaat dari tindakan yang dilakukan.
3)
Beneficence
Prinsip etik ini menerangkan
bahwa perawat wajib untuk malakukan sesuatu yang baik dan mencegah kerugian.
4)
Justice
Prinsip etik ini berdasarkan
konsep kejujuran dan keadilan.Konsep ini menyediakan kesamaan, berdasarkan
kebutuhan, kebutuhan, usaha dan kontribusi untuk sosial. Berdasarkan ANA (2008)
terdapat tiga tipe tindakan yang dapat merujuk kepada ketidakadilan yaitu deskriminasi atau semena – mena,
mengeksploitasi (memanfaatkan) dan secara tidak wajar menghina seseorang.
5)
Veracity
Veracity adalah keadaan yang
sebenarnya. Prinsip veracity memang sulit untuk diterima, namun mengatakan yang
sebanarnya jauh lebih mudah tetapi tidak selalu mudah untuk membuat keputusan
dalam menyampaikan sesuatu yang benar
6)
Fidelity
Fidelity adalah kesetiaan dan
menjaga privasi klien.Konsep fidelity
merupakan pondasi etik dalam hubungan perawat dengan klien.
7)
Confidencially
Perawat harus
menjaga privasi klien tentang keadaan klien.
8)
Accountability
Ada standar yang pasti untuk menilai tindakan
seorang profesional dalam situasi yang tidak jelas.
2.5 Keputusan Etik dan
Standar Keperawatan
Dilema
diartikan sebagai sebuah persoalan yang menghadapkan seseorang kepada pilihan
yang tidak menyenangkan dalam hal ini dapat terjadi konfrontasi antara dokter,
orang tua dan keluarga pasien, bagaimanapu hal ini harus menjadi perhatian para
perawat (para spesialis) karena keluarga seringkali meminta bantuan dan rasa
nyaman kepada perawat (Lachman, 2005). Saat menghadapi dilema etik, kita dapat menanggapi dengan cara yang
berbeda menurut (2000), tahapannya sebagai
berikut:
1)
menunjukan maksud baik,
2)
mengidentifikasi semua orang
penting,
3)
mengumpulkan informasi yang
relevan,
4)
mengidentifikasi prinsif etis
yang penting,
5)
mengusulkan tindakan alternatif,
6)
melakukan tindakan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembuatan keputusan, yaitu:
1)
agama,
2)
sosial,
3)
ilmu pengetahuan dan teknologi,
4)
legislasi dan keputusan yuridis,
5)
dana atau keuangan,
6)
pekerjaan,
7)
kode etik keperawatan,
8)
hak-hak pasien.
Komponen
yang masuk dalam proses pengambilan keputusan:
1)
fakta situasi,
2)
teori dan prinsip etik,
3)
kode etik keperawatan,
4)
hak-hak klien,
5)
nilai personal,
6)
faktor yang menggangu seseorang
untuk membuat suatu keputusan.
Suatu keputusan yang baik adalah keputusan yang berpihak
pada kepentingan klien dan pada waktu yang sama juga melindungi integritas
semua pihak yang terlibat.
Langkah pertama dalam pengambilan keputusanetik adalah memastikan bahwa masalah memiliki muatan etik
atau moral. Kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah terdapat situasi
moral (Fry, 1989) :
1)
Terdapat kebutuhan untuk
memilih antara tindakan alternatif yang menimbulkan konflik dengan kebutuhan
manusiadalahkesejahteraan orang lain.
2)
Pilihan apa yang akan dibuat
dipandu oleh prinsip/teori moral universal, yang dapat digunakan untuk
memberikan beberapa pembenaran tindakan.
3)
Pilihan dipandu oleh suatu
proses penimbangan alasan
4)
Pilihan dipengaruhi oleh
perasaan personal dan oleh konteks tertentu dari situasi.
Dalam beberapa kasus, pertanyaan yang paling penting adalah siapa
yang seharusnya mengambil keputusan.
Pertanyaan di bawah ini dapat membantu perawat menentukan siapa yang
memiliki masalah:
1)
Untuk siapa keputusan dibuat?
2)
Siapa yang akan terlibat dalam
pengambilan keputusan dan mengapa?
3)
Kriteria apa (sosial, ekonomi,
psikologi, fisiologi atau legal) yang seharusnya digunakan dalam memutuskan
siapa yang akan mengambil keputusan.
4)
Persetujuan semacam apa yang
diperlukan oleh subyek.
Standar praktik keperawatan Indonesia (PPNI, 2005):
1)
Standar praktik merupakan salah
satu perangkat yang diperlukan oleh setiap tenaga profesional. Standar praktik
keperawatan adalah harapan – harapan minimal dalam memberikan asuhan keperawatn
yang aman, efektif dan etis
2)
Standar praktik keperawatan
merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap
praktik yang dilakukan oleh anggota profesi.
Lingkup standar praktik keperawatan
Indonesia meliputi :
a)
Standar praktik Profesional,
yang terdiri dari :
·
Standar I : Pengkajian
·
Standar II : Diagnosa keperawatan
·
Standar III : Perencanaan
·
Standar IV : Pelaksanaan Tindakan / implementasi
·
Standar V : Evaluasi
b)
Standar kinerja Profesional
·
Standar I : Jaminan mutu
·
Standar II : Pendidikan
·
Standar III : Penilaian kinerja
·
Standar IV : Kesejawatan ( collegial )
·
Standar V : Etik
·
Tandar VI : Kolaborasi
·
Standar VII : Riset
·
Standar VIII : Pemanfaatan sumber - sumber
Standar Profesional
(ANA, 2010) American Nurses Association
Lingkup standar
profesional menurut ANA, 2010 meliputi :
a)
Standar praktik keperawatan, meliputi :
·
Standar I : Pengkajian
·
Standar II : Diagnosa keperawatan
·
Standar III : Identifikasi hasil
·
Standar IV : Planning
·
Standar V : Implementasi
VA : Koordinasi dalam pelayanan kesehatan
VB : Bimbingan dan promosi kesehatan
VC : Konsultasi
VD
: Prescriptive Authority and Treatment
·
Standar VI : Evaluasi
Standar profesional performance, meliputi :
·
Standar 7 : Etik
·
Standar 8 : Pendidikan
·
Standar 9 : Evidence-
Based practice dan riset
·
Standar 10 : Quality
nursing practice
·
Standar 11 : Komunikasi
·
Standar 12 : Kepemimpinan
·
Standar 13 : Kolaborasi
·
Standar 14 : Profesional practice evaluation
·
Standar 15 : Resource
utilization
·
Standar 16 : Kesehatan lingkungan
Menurut kelompok standar praktik keperawatan yang saat ini dilakukan
di rumah sakit sudah perpaduan antara menurut PPNI dan ANA yaitu pada standar
praktik profesional yang standar Implementasi yaitu perawat yang sudah
spesialis atau teregistrasi atau advance
dapat melakukan implementasi keperawatan antara lain: bekerjasama dengan tim kesehatan
lain,melakukan bimbingan dan promosi kesehatan, berkonsultasi dan menerima
konsultasi terkait pelayanan keperawatan serta dapat melakukan praktik secara
mandiri sesuai peraturan perundangan–undangan
BAB 3
PEMBAHASAN
Pengertian konsep etika dan
moral tidak terlepas dari dasar perkembangannya yang tidak hanya dapat dilihat
dari segi sejarah perkembangan, tetapi bisa dilihat juga dari teori yang
menjelaskan mengenai etika dari beberapa referensi yang dijelaskan dengan latar
belakang dan pemikiran yang berbeda-beda. Dari segi sejarah bisa
dikuti perkembangan etik dan moral mulai dari zaman Yunani purba sampai di
zaman moderen. Hal ini berbeda dengan konsep etika maupun moral dari beberapa
refrensi yang akan dijelaskan oleh penulis mengenai teori perkembangan Kohlberg yang melihatnya
dari segi perkembangan usia dan didasarkan pada keadilan. Selain itu, beberapa
teori juga dijelaskan sebagai pengembangan dari konsep-konsep etika maupun
moral dari beberapa refrensi.
Menurut Souryal (2011),
teori etika dibedakan menjadi dua teori utama yaitu teori metaetika dan
normatif. Teoti normatif dibedakan lagi menjadi dua sub teori yaitu deontologi
dan teleologi. Teori metaetika lebih sebagai evaluator, penilai dari prinsip
etik dan moral yang dianut atau dipercayai oleh teori normative. Hal ini sangat berbeda dengan teori normatif yang menekankan
tentang dapat dinilai dari tindakan itu sendiri maupun hasil dari tindakan. Pada teori deontologis, menekankan tentang
tindakan yang baik menjadi suatu penekanan moral tanpa meihat hasil dari
tindakan tersebut baik atau tidak. Berbeda dengan teori teleologi yang melihat
hasil tindakan sebagai dasar penilaian moral. Jadi dapat disimpulkan bahwa
teori metaetika menjadi subyek penilai dan teori normatif menjadi objek yang
dinilai oleh teori etika. Menurut Bertens (2013), teori etika dibagi dalam tiga
kelompok yaitu teori deskriptif, normatif dan metaetika.
Dasar perkembangan etika
dan moral dari sisi sejarah, dimulai dari zaman Yunani kemudian zaman
pertengahan dan terakhir adalah zaman moderen. Pada zaman Yunani dimulai dengan
ajaran Socrates yang menekankan tentang nilai kebajikan. Seseorang dikatakan bijak
jika dia mengetahui bahwa dirinya bijak. Socrates juga menekankan bahwa, suatu
hidup dikatakan bernilai apabila melalui suatu ujian, diskusi dan
perbedaan-perbedaan pendapat. Berbeda dengan Plato sang murid yang menekankan
tentang hidup yang baik diukur dari keselarasan unsur kejiwaan yang
terorganisasi secara terpadu. Aristoteles mempunyai pemahaman yang hampir sama
dengan Socrates yaitu kebenaran adalah suatu tujuan dalam hidup yang harus
diraih melalui berbagai kegiatan/tindakan-tindakan kita (Kurtines & Gerwitz, 1992). Disimpulkan
bahwa pada zaman ini etika lebih didasarkan pada sifat naturalistik dan akal
budi.
Perkembangan
etika masuk di dalam zaman pertengahan. Berbeda dengan zaman yunani, pada
zaman pertengahan ini etika lebih didasarkan pada kepercayaan dan keselarasan rohaniah. Menurut
filsuf besar keagamaan yaitu Agustinus dan Thomas Aquinas, semua sumber
kebenaran itu bermuara kepada Tuhan dan merupakan pengalaman mistik yang
diterima secara langsung serta rencana agung Tuhan sendiri. Jadi pada zaman ini
dapat dikatakan etika didasarkan pada konsep spritualistik. Berbeda pula konsep
etik dan moral di zaman moderen. Zaman moderen melihat etik, lebih didasarkan
pada pengujian ilmiah. Kebenaran rasional berada di bawah kebenaran empiris.
Dari semua penjelasan perkembangan sejarah bisa disimpulkan bahwa dasar
pembentukan etika dan moral berbeda di setiap zamannya, tergantung pada situasi
dan fenomena yang berkembang dan terjadi pada zaman tersebut yang bisa
mempengaruhi dan merubah pemahaman manusia tentang etik dan moral.
Berbeda dengan dasar
perkembangan dari segi sejarah, Kohlberg menjelaskan perkembangan moral
berdasarkan prinsip keadilan dan perkembangan berlanjut selama kehidupan. Tahap perkembangan moral Kohlberg terdiri
dari 3 tingkat dan 6 tahap. Terdapat perbedaan perkembangan moral pada setiap
tingkat. Pada tingkat pertama, penjelasannya lebih diorientasikan dengan rasa
takut akan hukuman dan mendapat hadiah. Anak-anak pada tingkat ini, sudah
tanggap terhadap apa yang dikatakan baik atau buruk, benar atau salah didalam
masyarakt. Pada tingkat ini, perasaan yang mendominasi adalah perasaan takut
dan berbeda dengan perkembangan pada tingkat kedua. Pada tingkat ini anak-anak
sudah mengerti dengan perannya di dalam masyarakat dan peraturan-peraturan yang
ada di dalam masyarakat. Anak-anak sudah
mengerti bahwa suatu perbuatan yang dianggap salah akan dihukum atau dikucilkan
dari lingkungan sosial, atau peraturan dan ketertiban itu adalah suatu
kewajiban yang harus diikuti untuk mencegah orang lain melakukan kesalahan.
Perasaan yang mendominasi di dalam
tingkat ini adalah rasa malu. Pada tingkat terakhir, tahap perkembangan
dianggap sebagai tingkat berprinsip. Secara umum dalam tingkat menjelaskan
bahwa prespektif seseorang lebih dilihat darpida prespktif masyarakt. Jika pada
tahap 5 ditekankan mengenai penghargaan terhadap perbedaan pendapat, pandangan
dan lebih mengutamakan kontrak sosial, berbeda di tahap 6 yang lebih kepada
mendengarkan suara batin sendiri yang didasarkan kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsistensi logis. Hukum
hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen tlerhadap keadilan juga
menyertakan komitmen untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.
Penerapan moral menurut penulis terkait dengan kohlberg, bisa
diterapkan dan bisa juga tidak diterapakn. Menurut penulis perkembangan etika
dan moral pada perkembangan anak mulai dari kecil sampai dewasa, tergantung
dari situasi dan lingkungan dimana dibesarkan. Banyak faktor yang akan mempengaruhi seperti dia
antaranya adalah pola asuh keluarga, lingkungan dimana anak itu tumbuh dan
berkembang serta pendidikan tentang nilai-nilai agama yang diajarkan baik di
sekolah maupun di dalam keluarga. Pemikiran ini sejalan dengan konsep filsafat
etika yang diterapkan pada abad pertengahan, dimana etika dan moral lebih
ditekankan pada konsep spiritual sebagai jalan untuk mencari kebenaran dan
kebaikan melalui keyakinan bahwa, sumber kebenaran dan kebaikan itu berasal
dari Tuhan sendiri.
Teori perkembangan moral Kohlberg mendapat banyak
kritikan dan salah satu kritik terhadap teori Kohlberg berasal dari teman
sejawatnya Carol Gilligan. Gilligan mengkritik tentang bias gender pada penelitian Kohlberg. Dia
percaya bahwa kohlberg membangun teorinya berdasarkan prespektif keadilan yang
berfokus pada hak individu. Sebaliknya penelitian Gilligan melihat perkembangan
moral dari sudut pandang pelayanan yang memandang individu dalam komunikasi interpersonal
mereka, hubungan, dan perhatian terhadap orang lain (Santrock, 2007).
Menurutnya, wanita bisa bersifat penuh kasih sayang, sehingga sulit mengambil
keputusan berdasarkan keadilan saja. Gilligan mengatakan bahwa Kohlberg sama
sekali mengabaikan prespektif kepedulian dalam perkembangan moral. Menurut
penulis, perbedaan pendapat mengenai perkembangan teori merupakan sesuatu yang
akan terus terjadi sepanjang abad kehidupan manusia. Tetapi, yang diperhatikan
dari sudut pandang keperawatan adalah bahwa teori perkembangan moral ini, bisa
membantu perawat untuk menggunakan ketrampilan cara berpikir kritis saat
menanyakan bagaimana dan mengapa individu merespons apa yang mereka
kerjakan.
Munculnya teori etik menurut
Carol Gilligan mampu mengubah pandangan profesi keperawatan dalam memahami etik
sebagai panduan dalam bertindak. Etika kepedulian dalam keperawatan menurut
Gilligan adalah memandang profesi keperawatan itu dari sudut feminisme,
yang menekankan pada kepedulian terhadap hubungan interpersonal (Gilligan,
1982). Salah satu contoh hubungan interpersonal adalah hubungan antara perawat
dan klien.
Dalam Penyelesaian konflik tidak berdasar pada ethics of justice, tetapi lebih
menggunakan ethics of care yang
melihat berbagai faktor penyebab. Dipandang dari segi
keperawatan, perawat dengan sifat feminisnya berkomitmen untuk peduli.
Keperawatan diharapkan dalam menyelesaikan konflik dengan menggunakan
komunikasi, untuk menghindari kekerasan
dan memulihkan kepedulian. Berdasarkan tahap perkembangan
moral yang dikemukakan oleh Gilligan bahwa perawat seharusnya berada pada tahap
pascakonvensional atau principled
morality dimana perawat memberikan perhatian yang seimbang antara
kepentingan atau kebutuhan diri sendiri dengan orang lain.
Perawat seharusnya mempunyai
hak untuk mengemukakan pendapat sesuai dengan ilmu dan keterampilannya. Perawat dapat menggunakan
ilmu dan ketrampilanya dalam memberikan asuhan keperawatan yang bermutu dan
professional. Perbedaan pendapat antara perawat dan multidisiplin lainya dalam
melakukan kolaborasi seharusnya dapat dipandang sebagai pertimbangan dalam
memutuskan tindakan keperawatan dan kolaborasi
Banyak ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian profesi. Dalam
penulisan ini penulis memaparkan definisi profesi yang paling sederhana dan umum menurut Kusnanto (2004) dan
defenisi yang kompleks dari Wilensky (1964). Menurut Kusnanto profesi merupakan
pekerjaan yang pelayanannya ditujukan pada orang banyak. Kusnanto hanya melihat
pada pekerjaan dan fokus layanannya, sedangkan Wilensky dengan rinci menjelaskan bahwa
profesi adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan dukungan body of knowledge
sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi banyak
tantangan baru, memerlukan pendidikan pelatihan yang lama serta memiliki kode
etik dengan fokus utama pada pelayanan (altruism).
Perbedaan pengertian keperawatan dalam UU Keperawatan no.38 tahun
2014 dan hasil Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983, terletak pada sifat
pelayanan dan bentuk pelayanan keperawatan. Dalam UU Keperawatan no. 38 tahun
2014, tidak disebutkan bahwa pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang
profesional dan bentuk layanannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar yakni
bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif. Hal ini, berbedadengan hasil Lokakarya Nasional
dijelaskan dengan rinci bahwa pelayanan keperawatan bersifat profesional dan
bentuk layanan adalah memenuhi kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensip.
Penulis berpendapat bahwa
masyarakat penerima layanan suatu profesi berperan penting dalam mengontrol
eksistensi profesi tersebut. Karena merekalah yang dapat memberikan penilaian
terhadap pelayanan suatu profesi dan perilaku anggota profesi. Jika perilaku anggota profesi
tidak atau kurang menyenangkan, tidak profesional dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat akan memberikan teguran
dan mempertanyakan keberadaan profesi tersebut.
Untuk mengontrol perilaku anggota profesinya, keperawatan mempunyai organisasi profesi
yang berfungsi menyusun kode etik dan standar praktek bagi anggotanya. Kode etik
berisi aturan-aturan untuk menjaga sikap dan perilaku para perawat. Sedangkan standar praktek
untuk memberi arah dan acuan bagi para perawat dalam melakukan prakteknya. Para perawat
diharapkan patuh dan tunduk pada kode etik profesi dan standar praktek yang ada
demi mempertahankan kepercayaan dan pengakuan masyarakat
terhadap profesionalisme perawat.
Kontrol sosial sangat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan yang
diberikan ke masyarakat. Perawat wajib memegang teguh kode etik yang berlaku agar pelayanan yang diberikan konsisten yang pada akhirnya mampu meningkatkan status
kesehatan pasien dan masyarakat yang mendapat pelayanan keperawatan. Hal tersebut akan memotivasi perawat terus memberikan yang terbaik untuk masyarakat, ibarat mata rantai yang tidak terputus antara kontrol sosial,
peningkatan kualitas, kepuasan masyarakat dan kepuasan
perawat. Kenyataanya masih ada kesenjangan yang terjadi
dalam profesi keperawatan di Indonesia, antara lain :
·
Mempunyai body of knowledge
Body of knowledege, akan tetapi tidak semua perawat di Indonesia mendapatkan kesempatan mengenyam ilmu pengetahuan keperawatan yang setara.
·
Pendidikan
berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
Perawat Indonesia belum
semua mengenyam jenjang pendidikan profesional yang sama. Masih banyak ditemukan perawat yang latar
belakang pendidikan diploma (vokasional)
·
Memberi
pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui
praktek profesional yang spesifik, Masih banyak perawat terutama didaerah yang
melaksanakan praktek medis, contohnya melakukan tindakan khitanan, pemberian
obat-obatan dll
·
Memiliki
perhimpunan organisasi profesi
Di Indonesia sudah memiliki
organisasi profesi yaitu PPNI, namun belum semua perawat terdaftar menjadi
anggota PPNI.
·
Pemberlakuan
kode etik keperawatan
Perawat
Indonesia memiliki kode etik keperawatan, namun dalam pelaksanaannya masih
banyak ditemukan pelanggaran, contohnya menjaga kerahasiaan pasien seperti
kondisi pasien (upload luka pasien).
Dalam menghadapi pelanggaran etik tersebut, belum ada tindakan tegas dari
organisasi profesi.
·
Otonomi
Perawat di RS kebanyakan
tidak sempat melakukan tindakan-tindakan keperawatan mandiri, lebih banyak
melaksanakan tindakan kolaboratif (delegasi dokter).
·
Bertanggung
jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
Perawat di Indonesia
memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
·
Merupakan
karier seumur hidup
·
Mempunyai
fungsi mandiri dan kolaborasi
Etika keperawatan adalah bentuk
ekspresi bagaimana perawat dalam mengatur pribadinya dan etika keperawatan
telah diatur dalam kode etik keperawatan. Jika dibandingkan antara kode etik
keperawatan Indonesia dan kode etik ICN ada kesenjangan. Kode etik Indonesia
tidak mengatur tanggung jawab terhadap profesi lainnya (dokter, ahli gizi,
radiologi, fisioterapi, dll). Hal ini penting, mengingat bahwa profesi
keperawatan banyak terpapar dengan berbagai bidang profesi lainnya sehingga
mengatur kita dalam melalukan tugas profesi kita untuk menghindari munculnya
masalah dengan bidang profesi lain yang sama-sama memberikan pelayanan
kesehatan. Keperawatan disebut sebagai profesi karena semua syarat atau
unsur-unsur untuk disebut sebagai sebuah profesi dapat dipenuhi oleh
keperawatan Indonesia. Dalam hal ini, seyogianya perawat indonesia mampu
meningkatkan skill maupun softskill nya untuk kemajuan keperawatan Indonesia
sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal dan sebagai bentuk pertanggung
jawaban terhadap profesi sesuai dengan kode etik yang telah ditetapkan.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Etika adalah ilmu tentang
kesusilaan yang mengatur bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat
yang melibatkan aturan atau prinsip yang menentukan tingkah laku yang baik dan
buruk atau kewajiban dan tanggung jawab. Sedangkan moral adalah sebagai adat
atau kebiasaan yang berdasarkan pada norma-norma dan berkaitan dengan hukum.
Moral dan etik adalah salah satu landasan kita sebagai perawat dalam
melaksanakan tugas sebagai seorang perawat yang profesional dan bertanggung
jawab dan bertanggung gugat. Sebagai perawat kita juga
harus menghormati setiap individu sebagai makhluk yang unik, menghormati
pilihan yang dibuat oleh klien untuk kesehatannya.
Keperawatan sebagai profesi sangatlah sesuai dengan pekerjaan yang memberikan pelayanan dalam bidang kesehatan untuk menjamin pemberian layanan keperawatan yang
bermutu dan melindungi masyarakat dari pemberi layanan yang tidak kompeten. Oleh karena itu, penerapan etika profesi keperawatan dan peraturan hukum yang berlaku tidak hanya sekedar diterima dan diketahui
oleh setiap anggota profesi sebagai aspek pengetahuan saja, tetapi harus dapat
diaplikasikan dalam kehidupan praktik keperawatan dan digunakan dalam pemecahan
masalah terkait etik dan hukum dalam profesi keperawatan.
4.2 Saran
Tenaga kesehatan dan
perawat khususnya perlu memahami tanggung jawabnya sebagai profesi sesuai
dengan kode etik serta memahami hak klien agar bisa memberikan pelayanan yang
bermutu sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan klien dan menghargai klien.
Seorang perawat diharapkan mampu menjaga nama baik profesinya dengan menerapkan
prinsip-prinsip dan kode etik di dalam keprofesiannya sebagai bentuk
pertanggung jawaban terhadap klien, praktek, masyarakat, teman sejawat serta
profesinya.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M. R. (2014). Nursing theorist
and their work (8th Edition). Missouri: Elsevier.
American Nurses Association (2010). Nursing: Scope and standards of practice
(2nd Edition). Silver Spring, MD: Nursesbooks.org
Bell, D. (1978). The cultural contradiction of capitalism. New York: Basic Book,
Inc.
Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Brent, Nancy.J.(2001). Nurses and the Low: A guide to principles
and applications (2ndEd). Philadelphia:Saunder.
Darwis. (2016).
Nursing behavior towards our satisfaction patients in hospital general city of
makassar, indonesia. International Journal of Emerging Trends in Science and
Technology, 3(12), 4902–4909. https://doi.org/DOI: https://dx.doi.org/10.18535/ijetst/v3i12.16.
Eraut,
M. (2002). Developing professional knowledge and competence. London: Routledge
Falmer.
Gilligan, C. (2003). In a different voice: Phsycological theory and women’s development
(Vol 53). Cambridge: Harvard University Press.
Held, V. (2007). The ethics of core. Oxford: Oxford University Press.
Huber, D.L. (2000).
Leadership and nursing care management. Philadelphia: Pennsylvania.
International
Council of Nurses. (2012). The ICN code of ethics for nurses. Diakses melalui www.icn.ch
Jena, Y. (2014). Etika kepedulian: Welas asih dalam tindakan moral. Kanz
Philosophia, 1-14.
Kohlberg, L.
(1995). Tahap-tahap perkembangan
moral
(A. Santod, John de dan
Cremers, Ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
Kozier.
(2004). Fundamental og nursing: Concept,
process and practice. New Jersey: Person Prectice Hall.
Kurtines, W.M. &
Gerwitz, J.L. (1992). Moralitas, perilaku, moral dan perkembangan
moral (edisi pertama), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Kusnanto. (2004). Pengantar profesi dan praktik
keperawatan profesional. Jakarta: EGC.
Lachman, V.D. (2005). Applied ethics in nursing. Berlin: Springer Publishing Company
Makhsin, M. (2007). Sains Pemikira & Etika. Kuala
Lumpur: PTS Proffesional.
Manurung, S.,
& Hutasoit, M. L. C. (2013). Persepsi pasien terhadap perilaku caring
perawat di ruang rawat inap rumah sakit. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 8(3), 104–108. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v8i3.351.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan meneteri
kersehatan republik Indonesia nomor 49 tahun 2013 tentang komite keperawatan rumah sakit. Diakses melalui www.bprs.kemenkes.go.id
Nursalam.
(2014). Caring sebagai dasar peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan
keselamatan pasien. Disampaikan, Pidato Jabatan, Pengukuhan Besar, Guru
Keperawatan, Bidang Ilmu Keperawatan, Fakultas Airlangga, Universitas Sabtu,
Hari. Retrieved from http://ners.unair.ac.id/materikuliah/Nursalam-Orasi-18
Januari-2014.pdf.
Nodding,
N. (1984). Caring a feminine approach to
ethics and moral educator. Berkeley: University of California Press.
Poedjawiyatna.
(2003). Etika, filsafat, tingkah
laku (edisi ke-9). Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Poespoprodjo,W.(1999). Filsafat moral. Bandung: Pustika Grafika.
Potter, P. A. & Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing (6th edn). St Louis: Mosby.
Potter, P. A. & Perry, A.G. (2007). Basic nursing essensial for practice (6th
edn). St Louis: Mosby.
PPNI. (2016). Kode etik keperawatan lambang
panji PPNI dan ikrar keperawatan. Jakarta: Sekretariat DPP PPNI.
Prabowo, B. S., Ardiana, A., & Wijaya,
D. (2014). Hubungan tingkat kognitif perawat tentang caring dengan aplikasi
praktek caring di Ruang Rawat Inap RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso. Jurnal
Pustaka Kesehatan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember, 2(1),
148–153.
Praptianingnisih,S. (2006). Kedudukan hukum perawat dalam upaya
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Jakarta: PT. Raja Cerafindo Persada.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak (Edisi 11). Jakarta: Airlangga.
Scott, A.P. (2017). Key concept and issues in nursing ethics.
Switzerland: Springer International Publishing.
Souryal,
S.S. (2011). Ethic in criminal justice in
search of the truth. USA:Anderson Publishing.
Suseno, F.M. 1987.
Etika Belajar: Masalah-masalah pokok
filsafat moral. Yogyakarta: Kanisius
|
Tussaleha, M.,
& Kadrianti, E. (2014). Hubungan penerapan metode tim dengan kinerja
perawat pelaksana di ruang rawat inap interna di RSUD Daya Kota Makassar. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 5(3), 278–284.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Wilensky,
H. L. (1956). Intellectuals in labor
unions: organizational pressures on professional roles. New York: Free
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar