ANALISA KASUS BERDASARKAN ASPEK HUKUM KEPERAWATAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Terdapat hubungan yang erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Karena itu hukum selalu harus diukur dengan norma moral. Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan legalitas dan moralitas yang sangat ditekankan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant (Bertens,2013).
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU RI No.36 2014). Perawat sebagai bagian dari suatu tim kesehatan harus menjalankan kewajibannya sesuai dengan perannya sebagai seorang perawat, perawat tidak boleh melanggar hukum yang berlaku. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat harus bertindak hati-hati karena pekerjaannya sangat berisiko agar tidak merugikan pasien seperti tindakan kelalaian dan malpraktik.
 Seorang perawat dalam melakukan praktik keperawatan sehari-hari kepada pasien harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan kode etik keperawatan. Standar prosedur operasional harus dilakukan untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Asuhan keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, evaluasi, dan dokumentasi harus dilakukan dengan baik agar terlindung dari hukum.
Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan (UU RI No.38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan). Perawat bekerja sebagai seorang perawat tidak boleh perawat bekerja sebagai seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Ada batasan-batasan tindakan keperawatan yang telah diatur oleh undang-undang kesehatan, undang-undang keperawatan, dan kode etik keperawatan yang tidak boleh dilanggar.
Perawat yang melakukan tindakan kelalaian bahkan malpraktik yang mengakibatkan kerugian cidera atau bahkan kematian pasien bisa dituntut oleh hukum pidana yang berlaku. Pasien atau masyarakat dapat menyampaikan komplain langsung atau bahkan melaporkan ke pihak berwajib bila mereka merasa dirugikan dan tidak mendapatkan asuhan keperawatan yang baik dan benar. Hak – hak dan kewajiban pasien juga ada ketentuannya di dalam undang-undang. Oleh karena itu sebagai perawat harus melakukan peran dan kewajibannya dengan baik sesuai dengan standar praktik keperawatan profesional agar kita tidak merugikan pasien (masyarakat) dan terlindungi oleh hukum. Praktik keperawatan berasaskan perikemanusiaan, nilai ilmiah, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, perlindungan kesehatan, dan keselamatan klien (UU RI No.38 Tahun 2014 Tentang keperawatan).
            Dalam melakukan pelayanan kepada pasien perawat harus berkolaborasi dengan tenaga kesehatan profesional lain yang multidisiliner. Perawat profesional tidak boleh mengambil disiplin ilmu lain karena dapat melanggar kode etik dan undang-undang yang berlaku. Dengan bekerja sebagai tim kesehatan dan bekerja sesuai dengan standar praktik keperawatan profesional maka dapat memberikan pelayanan yang terbaik untuk pasien dan akhirnya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

1.2  TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
Menelaah dan menganalisa contoh kasus dalam pelayanan kesehatan berdasarkan aspek hukum dalam keperawatan, undang-undang keperawatan, peraturan perundang-undangan terkait keperawatan, KUHP, dan kelalaian malpraktik.


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN HUKUM KEPERAWATAN
Hukum Kesehatanadalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanankesehatan. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan medik dan lain-lain. Sedangkan hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan kedokteran (medical care/service).
Hukum kesehatan menyangkut:Hukum kedokteran, Hukum keperawatan, Hukum farmasi klinik, dan Hukum rumah sakit. Tujuan hukum kesehatan adalah untuk mengatur tertib dan tentramnya pergaulan hidup.
Hukum adalah Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan.Sedangkan etik dikeluarkan oleh organisasi yang bersangkutan, etik berasal dari kata Yunani yaitu Ethos.Persamaan dan Perbedaan Hukumdan Etik, antara lain:
1.    Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertib hidupmasyarakat.
2.    Mengatur hak dan kewajiban masyarakat.
3.    Bersifat kemanusiaan.
4.    Etik berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku secara umum.
5.    Pelanggaran etik penyelesaianya oleh MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran).
6.    Pelanggaran hukum diselesaikan oleh pengadilan.
Hukum keperawatan merupakan bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut asuhan keperawatan. Pedoman legal yang dianut perawat berasal dari hukum perundang-undangan, hukum administratif/peraturan, dan hukum umum. Standar pelayanan merupakan pedoman legal bagi praktik keperawatan dan memberikan batasan minimal pelayanan keperawatan yang dapat diterima.

2.2    Fungsi Hukum Dalam Praktik Keperawatan
Fungsi hukum dalam praktik keperawatan menurut Kozier (1990), yaitu:
1.    Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yg sesuai dengan hukum.
2.    Membedakan tujuan perawat dengan tujuan profesi yang lain.
3.    Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri.
4.    Membantu dalam mempertahankan standar praktik keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hokum.

2.3    Undang-Undang dan Peraturan lainnya yang Berkaitan dengan Praktek Keperawatan
Ada banyak Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku di Indonesia, beberapa diantaranya berhubungan dengan praktik keperawatan, antara lain:
1.        UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2.        UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidik rendah dapat diberikaan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung.
UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengklarifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
3.        UU kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang wajib kerja paramedis
Pada pasal 2,ayat (3) dijelasakan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wqajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam pasal 3 dihelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksut pada pasal 2 memiliki kedudukan sebagain pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagai mana sisitem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sanksinya bila seseorang tidak menjalankaqn wajib kerja dll. Yang perlu diperhatikan dalam UU ini,lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek propesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
4.        SK Menkes No. 262/per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan para medis menjadi dua golongan yaitu paramedic keperawatan (termasuk bidan) dan paramedic non keperawata. Dari aspek hukum, sartu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk kategori tenaga keperawatan.
5.        Permenkes. No. 363/ Menkes/ per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diizinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diizinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidan dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi propesi keperawatan. Kita ketahuai Negara lain perawat diizinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggantikan atau mengisi kekujrangan tenaga dokter untuk mengobati penyakit terutam dipuskesmas- puskesmas tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan dirumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seharusnya perawat dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan untuk benar-benar melakuan nursing care.
6.        SK Mentri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986,tanggal 4 Nopember 1989, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan system kredit poin.
Dalam sistem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap 2 tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : penyenang kesehatan, yang sudah mencapai golongan II/a, Pengatur Rawat/ Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S I Keperawatan. System ini menguntungkan perawat karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/ golongan atasannya.
7.        UU kesehatan No. 23 tahun 1992
Merupakan UU yang banyak member kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan professional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.
8.        Beberapa pernyataan UU kesehatan No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU praktik keperawatan adalah:
a.       Pasal 32 ayat 4
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
b.      Pasal 53 ayat I
Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesui dengan profesinya.
c.       Pasal 53 ayat 2
Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
9.        UU RI No.38 Tahun 2014 tentang keperawatan
10.    UU RI No.36 Tahun 2009 tentang tenaga kesehatan
11.    UU RI No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan

2.4    BEBERAPA MASALAH HUKUM DAN PRAKTIK KEPERAWATAN
Berbagai masalah hukum dalam praktik keperawatan telah diidentifikasi oleh para ahli. Beberapa masalah yang dibahas secara singkat disini meliputi:
1.    Menandatangani Pernyataan Hukum
Perawat seringkali diminta menandatangi atau diminta untuk sebagai saksi. Dalam hal ini perawat hendaknya tidak membuat pernyataan yang dapat diinterprestasikan menghilangkan pengaruh. Dalam kaitan dengan kesaksian perawat disarankan mengacu pada kebijakan rumah sakit atau kebijakan dari atasan.
2.    Format Persetujuan (Consent)
Berbagai format persetujuan disediakan oleh institusi pelayanan dalam bentuk yang cukup bervariasi. Beberapa rumah sakit memberikan format persetujuan pada awal pasien masuk rumah sakit yang mengandung pernyataan kesanggupan pasien untuk dirawat dan menjalani pengobatan. Bentuk persetujuan lain adalah format persetujuan operasi. Perawat dalam proses persetujuan ini biasanya berperan sebagai saksi. Sebelum informasi dari dokter ahli bedah atau perawat tentang tindakan yang akan dilakukan beserta resikonya.
3.    Insident Report
Setiap kali perawat menemukan suatu kecelakaan baik yang mengenai pasien, pengunjung maupun petugas kesehatan, perawat harus segera membuat suatu laporan tertulis yang disebut incident report. Dalam situasi klinik, kecelakaan sering terjadi misalnya pasien jatuh dari kamar mandi, jarinya terpotong oleh alat sewaktu melakuakan pengobatan, kesalahan memberikan obat dan lain-lain. Dalam setiap kecelakaan, maka dokter harus segera diberi tahu.
Beberapa rumah sakit telah menyediakan format untuk keperluan ini. Bila format tidak ada maka kejadian dapat ditulis tanpa menggunakan format buku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencatatan incident report antara lain :
a.    Tulis kejadian sesuai apa adanya
b.    Tulis tindakan yang anda lakukan
c.    Tulis nama dan tanda tangan anda dengan jelas
d.   Sebutkan waktu kejadian ditemukan
4. Pencatatan (Dokumentasi)
Pencatatan merupakan kegiatan sehari-hari yang tidak lepas dari asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat. Pencatatan merupakan salah satu komponen yang penting yang memberikan sumber kesaksian hukum. Betapapun mahirnya keterampilan anda dalam memberikan perawatan, jika tidak dicatat atau dicatat tetapi tida lengkap, tidak dapat membantu dalam persidangan. Setiap selesai melakukan suatu tindakan maka perawat harus segera mencatat secara jelas tindkan yang dilakukan dan respon pasien terhadap tindakan serta mencantumkan waktu tindakan diberikan dan tanda tangan yang memberikan tindakan.
5.    Pengawasan Penggunaan Obat
Pemerintah Indonesia telah mengatur pengedaran dan penggunaan obat. Obat ada yang dapat dibeli secara bebas dan ada pula yang dibeli harus dengan resep dokter. Obat-obat tersebut misalnya narkotik disimpan disimpan ditempat yang aman dan terkunci dan hanya oprang-orang yang berwenang yang dapat mengeluarkannya. Untuk secara hukum hanya dapat diterima dalam pengeluaran dan penggunaan obat golongan nartkotik ini, perawat harus selalu memperhatikan prosedur dan pencatatan yang benar.
6.    Abortus Dan Kehamilan Diluar Secara Alami
Abortus merupakan pengeluaran awal fetus pada periode gestasi sehingga fetus tidak mempunya kekuatan untuk bertahan hidup. Abortus merupakan tindakan pemusnahan yang melanggar hukum, atau menyebabkan lahir prematur fetus manusia sebelum masa lahir secara alami.
Abortus telah menjadi masalah internasional dan berbagai pendapat telah diajukan baik yang menyetujui maupun yang menentang. Faktor-faktor yang mendorong abortus (KR, 1994) antara lain karena:
a.    Pemerkosaan
b.    Pria tidak bertanggung jawab
c.    Demi kesehatan mental
d.   Kesehatan tubuh
e.    Tidak mampu merawat bayi
f.     Usia remaja
g.    Masih sekolah
h.    Ekonomi
Yang dimaksud dengan kelahiran yang diluar secara alami meliputi kelahiran yang diperoleh dengan tidak melalui hubungan intim suami istri sebagai mana mestinya. Misalnya melalui fertilisasi invirto (bayi tabung).
Aborsi di Indonesia dilarang lewat undang-undang (UU) RI Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan juga untuk kalangan muslim lewat fatwa majelis ulama indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2005. (tetapi fatwa membolehkan aborsi dalam keadaan darurat di mana nyawa ibu terancam).
Kontroversi Aborsi
Aborsi di Indonesia masih merupakan perbuatan yang secara jelas dilarang, terkecuali jika ada indikasi medis tertentu yang mengakibatkan terancamnya hidup dari sang Ibu. Di dunia Internasional sendiri dikenal dua kelompok besar yaitu pro life (yang menentang aborsi) dan pro choice (yang tidak menentang aborsi) berikut dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya.Di Indonesia sendiri, meski aborsi dilarang, namun tetap banyak perempuan-perempuan yang melakukan aborsi. Baik dilakukan berdasarkan indikasi medis tertentu maupun indikasi non medis.
Dalam aborsi, kami cenderung melihatnya dari sisi non moral, karena problem moral haruslah diletakkan dalam koridor moral semata dan tentu bukan dalam koridor moral yang dimasukkan unsur-unsur hukum. Beberapa contoh bagaimana terkadang moral dan hukum, dalam pandangannya, tidak mampu untuk menjawab persoalan persoalan ini.
7.    Kematian Dan masalah Yang Terkait
Masalah hukum yang berkaitan denagn kematian antara lain meliputi pernyataan kematian, bedah mayat/otopsi dan donor organ. Kematian dinyatakan oleh dokter dan ditulis secara sah dalam surat pernyataan kematian. Surat pernyataan ini biasanya dibuat beberapa rangkap dan keluarga mendapat satu lembar untuk digunakan sebagai dasar pemberitahuan kepada kerabat serta keperluan ansuransi. Pada keadaan tertentu misalnya untuk keperluan keperluan peradilan, dapat dilakukan bedah mayat pada orang yang telah meninggal.

2.5    ASPEK HUKUM PRAKTIK KEPERAWATAN
Yang akan dibahas dalam aspek hukum praktik keperawatan ini meliputi: hubungan hukum dengan bidang keperawatan dan instrumen normatif praktik keperawatan.
1.    Hubungan Hukum Dengan Profesi Keperawatan
Masyarakat profesi dengan masyarakat umum telah mengadakan suatu kontrak (social contract) yang memberikan hak otonomi profesi untuk melakukan self regulation, self governing dan self disciplining. Dengan kewajiban memberikan jaminan profesional yang kompeten dan melaksanakan praktik sesuai etika dan standar profesinya. Profesi perawat memiliki kewajiban untuk mampu memberikan jaminan pelayanan keperawatan yang profesional kepada masyarakat umum. Kondisi demikian secara langsung akan menimbulkan adanya konsekuensi hukum dalam praktik keperawatan. Sehingga dalam praktik profesinya dalam melayani masyarakat perawat terikat oleh aturan hukum, etika dan moral.
Di Indonesia salah satu bentuk aturan yang menunjukkan adanya hubungan hukum dengan perawat adalah UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa:”Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau  keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Berdasarkan PP No. 32/1996 Pasal 2 ayat (1) jo, ayat (3) perawat dikatagorikan sebagai tenaga keperawatan.
Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, merupakan UU yang memberikan kesempatan bagi perkembangan profesi keperawatan, dimana dinyatakan standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. UU No. 23 tahun 1992 telah mengakui profesi keperawatan, namun dalam praktik profesinya, profesi keperawatan harusberjuang untuk mendapat pengakuan dari profesi kesehatan lain, dan juga dari masyarakat.
Profesi perawat dikatakan akuntabel secara hukum bila benar-benar kompeten dan melaksanakan profesinya sesuai dengan etika dan standar profesinya. Standar profesi memiliki tiga komponen utama yaitu: standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan. Tugas tenaga kesehatan yang didalamnya termasuk tugas perawat berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 23 Tahun 1992 adalah menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangannya masing-masing. Agar tugas terlaksanakan dengan baik. Pasal 3 PP No. 32 Tahun 1996 menentukan bahwa ”setiap tenaga kesehatan wajib memiliki keahlian dan keterampilan sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya yang dibuktikan dengan ijazah”. Dengan demikian, tugas dan kewenangan tenaga kesehatan/perawat akan ditentukan berdasarkan ijazah yang dimilikinya.
Ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 23 tahun 1992 jo. Pasal 21 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996 tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Standar profesi merupakan pedoman bagi tenaga kesehatan/perawat dalam menjalankan upaya pelayanan kesehatan, khususnya terkait dengan tindakan yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap pasien, sesuai dengan kebutuhan pasien, kecakapan, dan kemampuan tenaga serta ketersediaan fasilitas dalam sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu, yaitu yang berhubungan langsung dengan pasien, seperti dokter dan perawat berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996 dalam menjalankan tugas profesinya wajib untuk menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, dan membuat dan memelihara rekam medis. Pelaksanaan tugas tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan maupun pasien, sebagaimana ketentuan pada pasal 53 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 jo. Pasal 24 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996.
Perlindungan hukum bagi pasien diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992, yaitu ”Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan”, sedangkan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996 yang menentukan pemberian perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesinya. Dengan perkataan lain, pasien yang gagal untuk sembuh tidak berhak atas ganti rugi, sepanjang pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan/perawat sudah dilakukan sesuai dengan standar profesinya atau tenaga kesehatan yang sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan stadar profesinya tidak akan dapat digugat oleh pasien atas kegagalan upaya pelayanan kesehatan yang dilakukannya.

2.    Hubungan hukum antara perawat dengan pasien dan tenaga kesehatan di rumah sakit dalam upaya mencari kesembuhan, dikonstruksikan dalam hubungan perikatan dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit (Koeswadji, 1998 dalam Praptianingsih, 2006) khususnya yang menyangkut perawat yaitu:
a.    Hubungan antara rumah sakit dengan perawat diatur oleh perjanjian kerja dalam Pasal 1601 KUHPerdata bagi rumah sakit swasta, sedangkan bagi perawat yang bekerja di rumah sakit pemerintah tunduk pada ketentuan hukum kepegawaian. Berdasarkan Pasal 1601 KUHPerdata jo. 1601a hubungan perawat dengan rumah sakit termasuk dalam perjanjian perburuhan, yaitu persetujuan berdasarkan syarat tertentu pihak yang satu, dalam hal ini perawat, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahpihak lain, rumah sakit, untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Aspek keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh perawat niscaya menentukan macam dan lingkup tugas yang akan diberikan kepada perawat. Dalam melaksanakan tugasnya, perawat diikat oleh standar pelayanan keperawatan dan Kode Etik Keperawatan.
Hubungan antara dokter dengan perawat, dalam suatu tindakan medik tertentu dokter memerlukan bantuan perawat. Perawat dalam tindakan medis hanya sebatas membantu dokter, karenanya yang dilakukan sesuai order dan petunjuk dokter. Perawat tidak bertanggung jawab dan bertangung gugat atas kesalahan tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter.
Dalam melaksanakan intervensi keperawatan selain berpegang pada kode etik keperawatan, perawat harus memperhatikan hal-hal penting yang dapat melindungi perawat secara hukum. Grane (1983, dalam Kozier, Erb, 1990), mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas perawat harus mengetahui pembagian tugas mereka. Perawat harus bekerja sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan di tempat kerja. Dalam melaksanakan tugasnya perawat harus melakukan sesuai prosedur yang tepat. Dokumentasikan semua proses keperawatan yang diberikan dengan cepat dan akurat. Pencatatan harus menunjukan bahwa perawat melakukan tindakan tersebut dan melakukan supervisi pasien setiap hari.
Dalam melakukan tindakan-tindakan keperawatan perawat harus menerapkan informed consent, sebagai bagian dari pertimbangan aspek hukum. Perawat juga harus mencatat kecelakaan yang terjadi pada pasein, catatan ini segera dibuat untuk memudahkan analisa sebab kecelakaan dan mencegah pengulangan kembali. Dalam melaksanakan tugasnya perawat harus mempertahankan hubungan saling percaya yang baik dengan pasein. Pasien harus mengetahui tentang diagnosa dan rencana tindakan, serta perkembangan keadaan pasien.
Menurut Priharjo (1995), beberapa masalah hukum yang sering terjadi di keperawatan adalah: kecerobohan/Tort: yaitu kesalahan yang melangar seseorang atau kepunyaan/harta benda seseorang. Tort dapat disengaja atau tidak disengaja
1)   Tort yang disengaja: menipu, melanggar privacy pasien, membuat dokumentasi yang salah, tidak menerapkan informed consent, menyentuh pasien tanpa ijin.
2)   Tort tidak disengaja
a.    Kelalaian/Negligence adalah melakukan sesuatu yang oleh orang dengan klasifikasi yang sama dapat dilakukan dalam situasi yang sama. Kelalaian sering terjadi karena kegagalan dalam menerapkan pengetahuan dalam praktk yang lain disebabkan karena kurang pengetahuan.
b.    Malpraktik yaitu kelalaian yang dilakukan oleh tenaga profesional yang menyebabkan kerusakan, cidera atau kematian. Kegagalan ini dalam melaksanakan suatu fungsi tertentu yang berkaitan dengan peran dalam memberikan asuhan keperawatan.
Dalam perjuangan memajukan perawat di Indonesia, profesi perawat mempunyai organisasi profesi perawat yaitu Persatuan Perawat Nasional Indonesia/PPNI. Melalui PPNI profesi perawat berjuang untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan kepada masyarakat. PPNI telah berhasil memperjuangkan legislasi dalam keperawatan. Yang terdiri dari dua komponen yaitu registrasi dan lisensi keperawatan. Registrasi adalah upaya untuk menjamin tingkat kemampuan tenaga keperawatan untuk dapat memberikan pelayanan yang memenuhi standar profesi. Lisensi adalah pemberian ijin melaksanakan keperawatan sebelum diperkenankan melakukan pekerjaan yang telah ditetapkan. Aturan yang berhasil diperjuangkan oleh PPNI adalah Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/KEP/M.PAN/II/2001 tentang Jabatan Fungsional Perawat dan Angka Kreditnya; dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.
PPNI saaat ini sedang memperjuangkan adanya Undang-Undang Praktik Keperawatan, yang prosesnya masih berjalan di DPR RI. Tujuan legislasi keperawatan adalah mengembangkan peraturan atas dasar hukum yang berfungsi melindungi masyarakat dan profesi keperawatan dari pihak yang melakukan praktik yang tidak bermutu. Legislasi keperawatan juga diharapkan menjadi dasar bagi keperawatan untuk terlibat dalam penyusunan perundang-undangan yang mempunyai kaitan dengan keperawatan, seperti bidang pendidikan, kesejahteraan, ketenagakerjaan. Pada akhirnya nanti, perawat yang tidak mempunyai legislasi tidak diperkenakan untuk menjalankan praktik keperawatan ( Astuti.W, 1996 ).

3.    Instrumen Normatif Bagi Perawat Dalam Upaya Menjalankan Pelayanan Keperawatan
Perawat dalam menjalankan proses keperawatan harus berpedoman pada Lafal Sumpah Perawat, Standar Profesi Perawat, Standar Asuhan Keperawatan, dan Kode Etika Keperawatan. Keempat instrumen tersebut berisi tentang norma-norma yang berlaku bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi perawat disebut instrumen normatif, karena keempatnya meskipun tidak dituangkan dalam bentuk hukum positif/Undang-Undang, tetapi berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh perawat agar terhindar dari kesalahan yang berdampak pada pertanggungjawaban dan gugatan ganti kerugian apabila pasien tidak menerima kegagalan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
a.    Lafal Sumpah Perawat
Lulusan pendidikan keperawatan harus mengucapkan janji/sumpah sesuai dengan program pendidikannya, D3 atau S1. Lafal sumpah ada dua macam yaitu lafal Sumpah/Janji Sarjana Keperawatan dan lafal Sumpah/Janji Ahli Madya Keperawatan
     b. Standar Profesi Perawat
Pasal 24 ayat (1) PP 23/1996 tentang Tenaga Kesehatan menentukan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugas sesuai dengan Standar Profesi tenaga kesehatan. Standar profesi merupakanukuran kemampuan rata-rata tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya (Praptianingsih, 2006). Dengan memenuhi standar profesi dalam melaksanakan tugasnya, perawat terbebas dari pelanggaran kode etik.
Sebagai tolak ukur kesalahan perawat dalam melaksanakan tugasnya, dapat dipergunakan pendapat Leenen dalam Koeswadji (1996) sebagai standar pelaksanaan profesi keperawatan, yang meliputi: terapi harus dilakukan dengan teliti; harus sesuai dengan ukuran ilmu pengetahuan keperawatan; sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimilki oleh perawat dengan kategori keperawatan yang sama;dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan kongkret upaya pelayanan yang dilakukan. Dengan demikian, manakala perawat telah berupaya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya dan pengalaman rata-rata seorang perawat dengan kualifikasi yang sama, maka dia telah bekerja dengan memenuhi standar profesi.
c.    Standar Asuhan Keperawatan
Pelayanan keperawatan dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan faktor penentu citra dan mutu rumah sakit. Di samping itu, tuntutan masyarakat terhadap pelayananperawatan yang bermutu semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan keperawatan harus terus ditingkatkan sehingga upayapelayanan kesehatan dapat mencapai hasil yang optimal.
Salah satu upaya untuk menjaga mutu kualitas pelayanan keperawatan adalah dipergunakannya Standar Asuhan Keperawatan dalam setiap pelayanan keperawatan. Standar ini dipergunakan sebagai pedoman dan tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Di dalamnya berisi tentang tahapan yang harus dilakukan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Standar asuhan keperawatan yang disusun oleh Tim Departemen Kesehatan Republik Indonesia diberlakukan sebagai standar Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik No. Y.M.00.03.2.6.7637, pada tanggal 18 Agustus 1993. Keputusan ini mengacu pada Sistem Kesehatan Nasional dan UU No. 23 tahun 1992 yang pada pokoknya menentukan antara lain bahwa tenaga kesehatan mempengaruhi keberhasilan pembangunan pada umumnya dan pembangunan kesehatan khususnya, untuk itu perlu diupayakan tenaga kesehatan yang berkualitas. Standar Asuhan Keperawatan terdiri dari delapan standar yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan, khsusunya pelayanan keperawatan, yang terdiri dari : 1) Standar I berisi falsafah keperawatan, 2) Standar II berisi tujuan asuhan keperawatan, 3) Standar III menentukan pengkajian keperawatan, 4) Standar IV tentang diagnosis keperawatan, 5) Standar V tentang perencanaan keperawatan, 6) Standar VI menentukan intervensi keperawatan, 7) Standar VII menentukan evaluasi keperawatan, 8) Standar VIII tentang catatan asuhan keperawatan.
d.      Kode Etik Keperawatan
Kode Etik Keperawatan Indonesia terdapat dalam Keputusan Musyawarah Nasional Persatuan Perawat Nasional Indonesia No. 09/MUNAS IV/PPNI/1989 tentang pemberlakuan Kode Etik Keperawatan Indonesia (Kode etik dapat ditinjau dari empat segi, yaitu segi arti, fungsi, isi, dan bentuk (Koeswadji, 1996).
(1) Arti kode etik atau etika adalah pedoman perilaku bagi pengembangan profesi. Kode etik profesi merupakan sekumpulan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dalam menjalankan profesinya dan sekaligus menjamin mutu moral profesi tersebut di mata masyarakat. Berkait dengan profesi, etika erat hubungannya dengan perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan pada perasaan moral dan perilaku yang sesuai dan /atau mendukung standar profesi.
2) Fungsi kode etik adalah sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban profesi, dalam hal ini perawat, sebagai tenaga kesehatan dalam upaya pelayanan kesehatan. Kode etik merupakan norma etik yang mencerminkan nilai dan pandangan hidup yang dianut oleh kalangan profesi yang bersangkutan. Kode etik merupakan norma etik yang dapat berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Kode etik memuat hak dan kewajiban profesional anggotanya sehingga setiap anggota profesi dapat mengawasi apakah kewajiban profesi telah dipenuhi. Tentang bagaimanaanggota profesi melaksanakan kewajiban profesioanalnya, kode etik telah menentukan standarnya sehingga masayarakat dan pemerintah tidak perlu campur tangan dalam hal ini. Kode etik sekaligus mencegah kesalahpahaman dan konflik karena merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum dan berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi.
3) Isi kode etik. Kode etik bersisi prinsip-prinsip etik yang dianut oleh profesi tertentu.
Prinsip-prinsip etik yang terpenting dalam upaya pelayanan kesehatan adalah prinsip otonomi yang berkaitan dengan prinsip veracity, nonmaleficence, beneficence, confidentiality, dan justice (Sumaryono, 1995). Otonomi merupakan bentuk kebebasan seseorang untuk bertindak berdasarkan rencana yang telah ditentukannya sendiri. Di dalam prinsip ini setidaknya terkandung tiga elemen yaitu kebebasan untuk memutuskan, kebebasan untuk bertindak, kebebasan untuk mengakui dan menghargai martabat dan otonomi pihak lain. Prinsip veracity mewajibkan kedua belah pihak, perawat dan pasien, untuk menyatakan yang sebenarnya tentang kondisi pasien dan pengobatannya yang dilakukan.
Prinsip Nonmaleficence berarti bahwa perawat dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan senantiasa dengan niat untuk membantu pasien mengatasi masalah kesehatannya. Berdasarkan prinsip beneficence, perawat memberikan upaya pelayanan kesehatan dengan menghargai otonomi pasien. Hal ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Prinsip confidentiality berarti bahwa perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang telah dipercayakanpasien kepadanya, yaitu berupa informasi mengenai penyakitnya dan tindakan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, kecuali jika pasien mengijinkan atas perintah undang-undang untuk kepentingan pembuktian dalam persidangan. Prinsip justice berarti bahwa setiap orang berhak atas perlakukan yang sama dalam upaya pelayanan kesehatan tanpa mempertimbangkan suku, agama, ras, golongan, dan kedudukan sosial ekonomi. Idealnya perbedaan yang mungkin adalah dalam fasilitas, tetapi bukan dalam hal pengobatan dan atau perawatan.
Kode Etik Keperawatan Indonesia terdiri dari mukadimah dan batang tubuh. Mukadimah berisi : 1) Pedoman kehidupan profesi keperawatan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan pelayanan keperawatan; 2) sifat dan dasar pelayanan keperawatan; 3) ruang lingkup pelayanan keperawatan; 4) kesiapan perawat untuk melaksanakan pelayanan keperawatan secara profesional; 5) perawat berjiwa  Pancasila dan UUD 1945, dalam melaksanakan pekerjaan berpedoman kepada ketentuan kode etik. Sedangkan batang tubuh berisi sebagai berikut : 1) tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan masyarakat; 2) tanggung jawab perawat terhadap tugas; 3) tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain;4) tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan; 5) tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa, dan tanah air.
Bentuk Kode Etik Keperawatan Indonesia adalah Keputusan Musyawarah Nasional IV Persatuan Perawat Nasional Indonesia pada tahun 1989. Kode etik ini disusun oleh Komisi C PPNI pada tahun 1989, yang kemudian dalam keputusan MUNAS IV PPNI NO: 09/MUNAS IV/PPNI/1989 tentang pemberlakukan Kode Etik Keperawatan, kode etik ini menjadi materi/isi keputusan musyawarah tersebut yang tertuang dalam bagian lampiran. Kode etik ini hanya berlaku bagi perawat, jadi sifatnya intern. Kode etik harus mampu menjadi tolok ukur nilai dan moral perawat dalam melaksanakan pekerjaannya.

2.6    Kelalaian dan Malpraktik
Menurut Becker (Dlm Kozier, Erb 1990) empat hal yg hrs ditanyakan perawat untuk melindungi mereka secara hukum:
a.    Tanyakan pesanan yg ditanyakan pasien.
b.    Tanyakan setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah.
c.    Tanyakan dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan komunikasi.
d.   Tanyakan pesanan (Standing Order), terutama bila perawat tdk berpengalaman.

1.        Kelalaian
Kelalaian perawatan dalam menjalankan profesinya dapat disebabkan karena perawat tersebut tidak bekerja sesuai standar praktek keperawatan. 
a.    Definisi standar keperawatan.
Standar praktek keperawatan  merupakan norma/penegasan tentang mutu pekerjaan seorang perawat yang dianggap baik, tepat dan benar yang dirumuskan dan digunakan sebagai pedoman dalam pemberian pelayanan keperawatan serta tolak ukur dalam penilaian kerja seorang perawat (Depkes, 1988). Jika menurut PPNI (2005) standar praktek keperawatan adalah ekspektasi/harapan-harapan mnimal dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman,efektif dan etis. Ada tiga jenis standar praktek keperawatan yaitu standart struktur, standar proses dan standart hasil.
b.    Definisi kelalaian.
Kelalaian sering disebut  culpa, yaitu kesalahan/kelalaian (negligence). Bila kesalahan dalam menjalankan profesi kesehatan disebut malpraktek, kelalaian dalam menjalankan profesi disebut medical negligence. Kedua-duanya sama-sama berakibat merugikan pasien. Ada dua bentuk kelalaian :
a)        Kelalaian berat (culpa lata, gross negligence), dapat mencelakakan orang lain hingga sampai merenggut nyawa orang lain dan sering berhubungan dengan hukum pidana. Diklasifikasikan sebagai kelalaian berat, serius dan kriminal ( Hanafiah dan Amir, 1999).
b)        Kelalaian ringan (culpa levis), sering berhubungan dengan pelanggaran dibidang pidana dan etik.  
Secara umum kelalaian dibuktikan dengan perbandingan kerja perawat dengan standart praktek keperawatan dan dibedakan menjadi kelalaian murni atau kelalaian mencolok. Kelalaian murni terjadi saat perawat membahayakan pasien dalam keadaan dibawah pengaruh alhohol dan obat-obatan. Sedang kelalaian mencolok diduga bahwa perawat dengan sengaja dan sadar mengabaikan resiko yang diketahui membahayakan pasien.
Elemen-elemen pertanggangjawabanhukum (liability)yang harus ditetapkan bahwa malpraktek atau kelalaian yang telah terjadi (Vestal, 1995) :
a)    Kewajiban (Duty)
Pada saat terjadinya cidera terkait dengan kewajibannya mempergunakan secara ilmu dan kepandaiannya berdasarkan standar profesi à berkompeten
b)   Breach of the duty (tidak melaksanakan kewajiban)
Artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi. Contoh : gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien dengan penurunan kesadaran.
c)    Proximate caused (sebab-akibat)
Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cidera yang dialami klien. Contoh: gagal menggunakan cara pengamanan yang tepat, yang menyebabkan pasien jatuh dan mengakibatkan cidera.
d)   Injury (cidera)
Jika seseorang mengalami cidera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum . contoh : fraktur panggul saat dirawat di RS karena jatuh dari tempat tidur.
Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap bagian dari proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan melakukan suatu kelalaian. Contoh kelalaian perawat :
a)      Assesment Failure: kegagalan dalam mengkaji maupun menganalisa data mengenai pasien. misal.perawat tidak observasi sehingga pasien mengalami perburukan.
b)      Plainning Failure: kegagalan dalam menentukan perencanaan dan dianosa keperawatan.
c)      Implementation: termasuk kegagalan dalam komunikasi, kegagalan melakukan tindakan yang tepat dan lain-lain
d)     Evaluation Failure: perawat gagal dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai advocat.

2.        Malpraktek
Malpraktek sering disebut sebagai kelalaian profesional. Malpaktek keperawatan adalah akibat dari pelayanan keperawatan yang dilakukan dibawah standar. Menurut Gunadi (2004) malpraktek mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan dengan kelalaian, karena dalam malpraktek selain ada unsur kelalaian juga ada tindakan dalam kategori kesengajaan dan melanggar Undang-undang. Malpraktek yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk malpraktek murni yang termasuk dalam kriminal. Gunadi (2004) mengemukakan perbedaan malpraktek dan kelalaian berdasarkan motif/ tujuan suatu tindakan:
a.    Malpraktek (dalam arti sempit): secara sadar dilakukan dan tidak peduli akan akibat tindakan yang telah diketahuinya.
b.    Kelalaian : orang yang berbuat tidak menduga akibat yang akan muncul dan tidak sengaja menyebabkan suatu akibat yang merugikan.



BAB 3
PEMBAHASAN

3.1    KASUS
Serang (Pos Kota) - Petugas Unit Tindak Pidana Khusus Satuan Reskrim Polres Serang mengamankan SG (55 tahun), seorang perawat di klinik Prima Medika di Kelurahan Kuranji, Serang. SG ditangkap karena melakukan praktek bedah ilegal yang semestinya dilakukan oleh tim kedokteran. Menariknya, warga sekitar tidak tahu kalau klinik yang dikelola perawat berinisial SG, 55, ini melakukan praktek bedah ilegal tanpa izin “Saya engga kenal mukanya, tahu mobilnya aja pas praktek. Warga juga tak tahu kalau SG itu hanya seorang perawat yang melakukan praktek ilegal, soalnya dia (SG) tidak tinggal di Kuranji,” kata Muhammad Aziz, warga setempat.
Menurut Aziz, Klinik Prima Medika diperkirakan sudah beroperasi sekitar 5 tahunan. Hanya saja, pada saat pertama kali buka praktek tidak menggunakan nama klinik. Seiring dengan banyaknya pasien, barulah SG memasang papan nama klinik lengkap dengan jam praktek mulai pukul 15.00 hingga 20.00. SG dinilai menjalani praktek bedah ilegal yang semestinya dilakukan olehtim kedokteran, dan juga tak punya izin. Dalam keseharian prakteknya, SG juga mengenakan jas dokter sehingga warga mengira SG adalah dokter. “Tersangka membuka praktek tanpa izin sejak tahun 2013. Hanya saja tersangka tidak mempunyai legalitas kewenangan untuk melakukan praktek bedah pasien,” ungkap Kepala Satuan Reskrim Polres Serang, AKP Gogo Galesung saat ekspose, Rabu (7/9).
SG ditangkap atas dasar penyelidikan polisi berdasarkan laporan keluarga korban berinisial SL. Pihak keluarga mencurigai kematian SL setelah menjalani operasi hernia di Klinik Prima Medika. Korban awalnya datang dengan keluhan nyeri di perut serta perut membesar. Oleh SG, korban dianjurkan untuk operasi. Setelah dioperasi, sehari kemudian pasien tidak bisa BAB seperti biasa melalui anus, namun keluar melalui bagian perut yang dilakukan pembedahan dan akhirnya keesokan harinya pasien meninggal dunia.
Dalam penggerebekan, polisi mengamankan SG dan sejumlah barang bukti dari dalam klinik. Barang bukti yang diamankan diantaranya, tabung oksigen, 2 lampu periksa, mesin steril alat operasi dan tempat set alat operasi, meja alat operasi, peralatan operasi, set tensi meteran, set tiang infus, obat-obatan serta alat suntik.
Terkait obat-obatan serta peralatan medis, lanjut Kasat, tersangka membelinya dari apotik. Karena tersangka bekerja pada rumah sakit, setiap pembelian obat atau peralatan medis tersangka mengaku untuk keperluan rumah sakit. “Obat-obatan yang kami amankan juga dibeli harus menggunakan resep dokter,” kata Kasat. “Sebelum ada pasien yang meninggal dunia, banyak yang datang berobat bahkan dari luar Kecamatan Takatakan. Tapi setelah ada yang meninggal memang mulai berkurang bahkan sepi pengunjung,” ungkap Aziz.
SG dalam melakukan prakteknya memberikan tarif yang relatif murah, berkisar antara 200 ribu-2,5 juta tergantung penyakitnya. Karena tarif yang murah, maka banyak masyarakat tidak mampu yang berobat ke klinik Prima Medika. “Sejak membuka praktek, tersangka telah melakukan operasi bedah terhadap 125 pasien. Rinciannya 101 pasien bedah minor dan 24 pasien menjalani bedah mayor,” jelas Kasat.

3.2    ANALISA BERDASARKAN ASPEK HUKUM
1.        Dari kasus itu dapat dikatakan sebagai malpraktik.
Malpraktik, berarti sikap, tindak yang salah, pemberian pelayanan yang tidak benar. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence). Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan (Guwandi, 2005). Secara harfiah istilah “malpraktik” artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek. Malpraktek adalah praktik kedokteran yang dilakukan salah, tak tepat, menyalahi Undang Undang, kode etik (Kamus Kedokteran Indonesia, 2008, 500). Malpraktik dapat dibedakan menjadi malapraktik yuridis dan malapraktik etis. Malpraktik yuridis dibedakan 3 (tiga) kelompok, yaitu criminal malpractice (pidana), civil malpractice (perdata), dan administrative malpractice (administrasi).
Criminal malpractice dibedakan 3 (tiga) golongan, yaitu (Dahlan, 2001):
a.    Karena kesengajaan (intentional), misalnya aborsi tanpa indikasi medik, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat, memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
b.   Karena kecerobohan (recklessness), misalnya tindakan yang tidak lege artis (tidak sesuai dengan indikasi medik dan tidak memenuhi standar pelayanan medik), tindakan tanpa informed consent.
c.    Karena kealpaan (negligence), misalnya : meninggalkan kasa/gunting di dalam perut pasien yang dioperasi, alpa/kurang hati-hati, sehingga pasien cacat/meninggal,
Perlu dibedakan antara malapraktik dan kealpaan (negligence). Kealpaan termasuk malapraktik, tetapi di dalam malapraktik tidak selalu harus terdapat unsur kealpaan. Malapraktik kecuali mencakup kealpaan, juga mencakup tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar undang-undang (Guwandi, 2005).

2.        Tindak Pidana Dalam Bidang Medik
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik dalam arti yang luas, yang menitikberatkan pada pelayanan dan perlindungan terhadap kepentingan umum atau masyarakat. Arief, 2002 berpendapat bahwa pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak utama dari proses sosial, yaitu: pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/ perorangan (asas personal) pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas: tiada pidana tanpa kesalahan) pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku.

Sumber kesalahan dapat berupa (Poernomo, 1996): 
a.       Melalaikan kewajiban
b.      Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat mengingat sumpah profesi atau sumpah jabatan
b.      Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi
c.       Berperilaku tidak sesuai dengan patokan umum mengenai kewajaran yang diharapkan dari sesama rekan seprofesi dalam keadaan sama dan tempat yang sama.

3.        Dari kasus diatas dapat dijerat hukum KUHP Pasal 359 dan 378
a.         Karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati
Pasal 359 KUHP:  Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
b.        Perbuatan Menipu
Pasal 378 KUHP: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

3.3    ANALISA BERDASARKAN UU KEPERAWATAN NO.38 TAHUN 2014
Analisa kasus berdasarkan UU Keperawatan No.38 tahun 2014:
1.    Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa perawat adalah seseorang yang sudah lulus pendidikan keperawatan, baik di dalam maupun luar negeriyang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Pelaku adalah perawat RSUD Drajat Prawinegara kota Serang, ini berarti kemungkinan perawat tersebut memang seorang perawat yang sudah menjalani pendidikan tinggi.
2.    Pasal 1 Ayat (4) dinyatakan praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan.
Ayat (5). Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya.
Praktik keperawatan ini juga diatur dalam pasal 28 ayat (3): harus didasarkan pada kode etik, standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
Dalam pasal 29 ayat (1) juga dinyatakan bahwa tugas perawat adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan, sebagai penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang (dalam bagian penjelasan pasal dinyatakan bahwa pelimpahan wewenang tersebut adalah menyuntik, memasang infus, dan memberikan imunisasi sesuai dengan program pemerintah. Sedangkan pelimpahan tugas secara mandat adalah pemberian terapi parenteral dan penjahitan luka), dan sebagai pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
Dalam pasal 32 ayat (1) dinyatakan bahwa pelimpahan wewenang oleh tenaga medis harus tertulis, dan pada ayat (5) dinyatakan di bawah pengawasan.
Pasal 37 butir b diatur tentang kewajiban dalam melaksanakan Praktik Keperawatan yaitu memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

Analisa: Praktik bedah yang dilakukan oleh perawat tersebut jelas melanggar pasal 1, 29, dan pasal 32 tersebut karena bukan wewenangnya dan tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki (pasal 30 ayat (1) dan (2) diatur tentang wewenang seorang perawat).

3.    Pasal 33 dinyatakan bahwa Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf f merupakan penugasan Pemerintah yang dilaksanakan pada keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat Perawat bertugas. (2) Keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat Perawat bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan setempat. (3) Pelaksanaan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi Perawat. (4) Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perawat berwenang: a. melakukan pengobatan untuk penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga medis; b. merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan c. melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga kefarmasian.
Analisa:
a.         Pasal ini mengatur tentang praktik kefarmasian dan jelas pelaku melanggar pasal ini karena telah melakukan praktik farmasi di kota besar, yang pasti banyak tenaga farmasi sehingga tidak perlu digantikan, juga perawat tersebut melakukan pelanggaran melalui melakukan pengobatan dan membeli obat-obatan serta menyimpan dan memberikan obat-obatan tersebut kepada pasien yang dibuktikan dengan ditemukannya obat-obatan saat penggrebekan oleh pihak berwajib.
b.        Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pengobatan yang dimaksud dalam keadaaan keterbatasan itu adalah pengobatan dengan penyakit umum merupakan penyakit atau gejala yang ringan dan sering ditemukan sehari hari dan berdasarkan gejala yang terlihat (simtomatik), antara lain, sakit kepala, batuk pilek, diare tanpa dehidrasi, kembung, demam, dan sakit gigi. Huruf c Yang dimaksud dengan “pelayanan kefarmasian secara terbatas” adalah kegiatan menyimpan dan menyerahkan obat kepada Klien.
c.         Pelaku juga melakukan tindakan penyuntikan/pemberian obat tanpa permintaan dokter, dan ini melanggar pasal 32 terkait pelimpahan wewenang.

4.    Pasal 19 menjelaskan tentang surat ijin menjalankan praktik keperawatan
(1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP.
(3) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Perawat menjalankan praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Perawat harus melampirkan: a. salinan STR yang masih berlaku; b. rekomendasi dari Organisasi Profesi Perawat; dan c. surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
 (5) SIPP masih berlaku apabila: a. STR masih berlaku; dan b. Perawat berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam SIPP.
Pasal 20 (1) SIPP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik. (2) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Perawat paling banyak untuk 2 (dua) tempat.
Pasal 21 Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik Keperawatan.
Analisa:
a.       Pasal-pasal tersebut dilanggar oleh pelaku, karena untuk poin SIPP (pasal 19 ayat 4), agar mendapatkan SIPP, perawat harus melampirkan surat pernyataan memiliki tempat praktik. Klinik Prima tersebut tidak memiliki ijin, ini berarti kemungkinan perawat juga tidak memiliki SIPP untuk bisa melakukan praktik di klinik tersebut.
b.      Karena tidak memiliki SIPP untuk tempat praktik di klinik, maka praktik keperawatan yang dilakukannya di klinik tersebut adalah ilegal.
c.       Pelaku juga tidak memiliki papan nama klinik, melanggar pasal 21. Ini dibuktikan oleh penuturan masyarakat bahwa awalnya klinik tersebut tidak memiliki papan nama klinik, namun seiring bertambahnya jumlah pasien, papan nama tersebut baru diadakan.

5.    Dalam pasal 35 diatur tentang tindakan medis yang dapat dilakukan dalam keadaan terbatas.
(1) Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya.
(2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
(4) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Analisa:
Tindakan medis yang diperkenankan dilakukan adalah untuk pertolongan pertama dan dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa dan mencegah kecacatan. Perawat tersebut melakukan tindakan yang sifatnya bukan pertolongan pertama, dan juga bukan dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa atau mencegah kecacatan. Operasi hernia adalah operasi kategori elektif sehingga bukan merupakan keadaan darurat.

6.    Pasal 37 diatur tentang kewajiban dalam melaksanakan Praktik Keperawatan, yaitu pada bagian (c) merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
Analisa:
Bahwa seharusnya perawat tersebut merujuk pasienkarena permasalahan pasien tidak dapat ditangani, terutama karena tidak sesuai dengan kewenangan dan kompetensinya, namun perawat tersebut tidak melakukan hal tersebut malah melakukan pembedahan secara mandiri.

3.4    ANALISA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT KEPERAWATAN
Dari kasus diatas SG melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
1.        UU no 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
a.    Pasal 46 yang menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktek di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dan diberikan dalam bentuk SIP.
Berdasarkan kasus diatas SG telah melanggar UU tersebut karena SG tidak memiliki izin dalam praktiknya. SG dianggap melanggar undang-undang karena membuka praktik kedokteran serta mengaku sebagai seorang dokter. SG seharusnya memiliki izin praktik asuhan keperawatan.
b.    Pasal 47 menyebutkan bahwa Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik.
Pada kasus didapatkan data bahwa pada awal klinik Prima Medika beroperasi belum dipasang papan nama praktik, namun setelah banyak pasien datang berobat barulah SG memasang papan nama praktek.
c.    Pasal 62 disebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik harus disesuaikan dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya.
Analisa:
Berdasarkan kasus di atas didapatkan bahwa SG bekerja tidak sesuai dengan UU karena SG menjalankan praktik tidak sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensinya. SG adalah seorang perawat namun membuka praktek untuk tindakan bedah dimana tindakan bedah merupakan kompetensi seorang dokter ahli bedah. Dalam prakteknya, SG telah melakukan 101 operasi bedah minor dan 24 operasi bedah mayor.
d.   Pasal 58 disebutkan bahwa Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajibmemberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi,Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima PelayananKesehatan;
Analisa:
Berdasarkan kasus,SG melanggar pasal 58 ini karena tidak memperhatikan standar profesi keperawatan dan standar asuhan keperawatan. Standar profesi keperawatan artinya semua tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien harus sesuai dengan ukuran ilmu pengetahuan keperawatan dan harus sesuai dengan kompetensi keperawatan.
Tindakan keperawatan yang dilakukan secara benar dan profesional merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman terhadap penyakit yang diderita pasien. Tindakan keperawatan yang profesional harus dilakukan sesuai dengan standar profesi keperawatan dimana tidak melanggar hak dan kewajiban yang telah ada.
2.        Permenkes no 17 tahun 2013 tentang perubahan atas permenkes no 148/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek perawat, Pasal 3 disebutkan bahwa Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki SIKP dan SIPP.
Analisa:
Berdasarkan kasus tersebut, didapatkan data bahwa SG tidak memiliki izin SIKP dan SIPP untuk praktek mandirinya selama kurang lebih 5 tahun praktek mandirinya dibuka.
3.        UU no 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangktutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat registrasi/surat izin praktik) dan ayat 2: Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-seolah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi telah memiliki surat tanda registrasi/surat izin praktik.
Analisa:
Berdasarkan kasus, dapat dilihat bahwa SG melanggar UU tersebut. SG dalam prakteknya menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah seperti dokter sesuai dengan penuturan masyarakat bahwa biasanya SG menggunakan jas dokter dalam melakukan setiap praktiknya.

3.5    ANALISA BERDASARKAN KELALAIAN/MALPRAKTIK

1.        Berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2014 ttg Keperawatan Pasal 1 bahwa:
a.       Ayat 1: Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun diluar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
b.   Ayat 2: Praktik keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh perawat dalam bentuk asuhan keperawatan.
c.    Dan berdasarkan pasal 29 ayat 1 bahwa dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai : Pemberi asuhan keperawatan, Penyuluh dan konselor bagi klien, Pengelola pelayanan keperawatan, Peneliti keperawatan, Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atauPelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
Analisa:
SG berprofesi perawat, dan berdasarkan UU no.38 tahun 2014, perawat SG sebagai perawat memiliki kewajiban melakukan praktek keperawatan seperti yang diatur dalam pasal 29 ayat 1.
Faktanya perawat SG melakukan praktek mandiri diluar praktek keperawatan, ini berarti SG tidak menjalankan kewajibannya secara profesional dan tidak sesuai dengan pasal 29 yang telah menjelaskan batasan atau lingkup dari praktek keperawatan itu sendiri. SG dapat dinilai melakukan perbuatan diluar kewenangan dan kompetensinya sebagai perawat
2. Berdasarkan UU No.38 Tahun 2014 ttg Keperawatan
a.    Pasal 19 ayat 1 bahwa Perawat yang menjalankan praktek keperawatan wajib memiliki izin.
b.    Pasal 21 bahwa Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik Keperawatan.
c.    Menurut Standar Praktik Keperawatan Lingkup Standar Praktik Keperawatan Indonesia meliputi :
1)      Standar Praktik Professional
a.       Standar I        Pengkajian
b.      Standar II      Diagnosa Keperawatan
c.       Standar III     Perencanaan
d.      Standar IV     Pelaksanaan Tindakan (Impelementasi)
e.       Standar V       Evaluasi
2)      Standar Kinerja Profesional
Fakta bahwa SG membuka Klinik Praktek Mandiri (diketahui tanpa ijin) dan melakukan praktek medis/kedokteran.
Analisa:
SG seharusnya mengurus ijin praktiknya dan memasang papan nama Praktik Keperawatan sesuai dengan profesinya . Jadi jika pasien penderita Hernia datang, maka perawat SG memiliki kewenangan dan berkewajiban memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan Standart Praktek Keperawatan. Tetapi SG gagal menjalankan kewajiban tersebut, SG dapat dinilai melakukan kelalaian. Karena secara umum kelalaian dibuktikan dengan perbandingan kerja seorang perawat dengan standart praktek keperawatan.
3.        Berdasarkan kajian Kelalaian (Negligence) bahwa kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar sehinggadapat mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005)
a.       KUHP pasal 359: Kelalaian yang menyebabkan kematian
b.      KUHP Pasal 360: Kelalaian yang menyebabkan luka berat
Analisa:
Kelalaian SG diduga menyebabkan kematian pasien sehari setelah dioperasi oleh SG. SG dapat dituntut dengan KUHP pasal 359 dan 360 terkait kelalaian yang menyebabkan luka berat dan kematian.
4.        Berdasarkan kajian MalpraktikKeperawatan bahwamalpraktik keperawatan adalah akibat dari pelayanan keperawatan yang dilakukan di bawah standar praktek keperawatan, dan berdasarkan UU Keperawatan No. 38 tahun 2014 Pasal 2 bahwa Praktek Keperawatan yang dimaksud harus berasaskan: Perikemanusiaan, Nilai ilmiah, Etika dan profesionalitas, Manfaat, Keadilan, Perlindungan dan Kesehatan dan keselamatan klien.
Analisa:
SG dinilai melakukan malpraktek keperawatan,
a.         Tuntutan malpraktik adalah berdasarkan Standar pelayanan keperawatan dengan mengukur tindakan keperawatan dan menentukan apakah perawat melakukan tindakan yang layak dan bijaksana seperti yang dilakukan perawat lainnya dalam situasi yang sama.
b.        Dalam UU keperawatan no.38 tahun 2014 pasal 2 juga jelas mengatakan tentang asas keperawatan, dalam kaitannya dengan kasus SG, SG melanggar semua poin dalam pasal 2 tersebut. SG yang adalah seorang perawat gagal menjalankan pasal 2.
5.        Berdasarkan kajian Kewenangan Perawat, kewenangan perawat berdasarkan perolehannya yaitu kewenangan yang melekat pada diri perawat (atributif), misalnya adalah Asuhan Keperawatan, dan kewenangan yang merupakan pelimpahan Kewenangan berdasarkan doktrin dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014.
Dalam Doktrin perpanjangan tangan dokter atau istilah lainnya: Verlengle Arm van de Arts Doctrine,atau Prolonge Arm Doctrine, atau Extended Role Doctrine, syarat pelimpahan kewenangan antara lain:
a.         Penegakan diagnosis, pemberian atau penentuan terapi serta penentuan indikasi, harus diputuskan dokter dan tidak dapat dilimpahkan
b.        Pelimpahan kewenangan hanya diperbolehkan jika dokter yakin bahwa perawat yang menerima pelimpahan kewenangan itu mampu melaksanakannya dengan baik (dokter yakin dengan kemampuan perawat)
c.         Pelimpahan kewenangan harus dilakukan secara tertulis
d.        Harus ada bimbingan atau pengawasan medik pada pelaksanaannya (misalnya: dokter dapat dihubungi dan hadir apabila kondisinya gawat darurat)
Perawat berhak menolak apabila merasa tidak mampu melaksanakan tindakan medis.
Analisa:
SG melakukan praktek medis atau kedokteran dan kefarmasian, diluar dari kewenangan klinisnya sebagai perawat.SG melakukan pelanggaran malpraktek karena membuka praktek dan melayani pasien tanpa ijin sesuai perundang-undangan dan melakukan praktek kedokteran serta kefarmasian. Hal ini tidak sesuai kewajibannya yang melekat pada dirinya yaitu sebagai seorang perawat. SG juga tidak menerima pelimpahan kewenangan dari seorang dokter bedah secara tertulis maupun lisan. Penegakan diagnosa Hernia pada pasien diragukan jika dilakukan oleh SG, karena menurut UU diputuskan oleh dokter dan penegakan diagnosa medis tidak dapat dilimpahkan.
6.        Berdasarkan Pasal 351 KUHP,intinya adalah mengatur mengenai Penganiayaan. Tindakan Pembedahan merupakan Penganiayaan, tetapi unsur Penganiayaan akan terhapus apabila:
a.         Klien memberikan persetujuan (apabila gawat darurat dan Klien tidak sadar maka dianggap seolah-oleh telah memberikan persetujuan).
b.        Tindakan didasarkan indikasi dan tujuan yang konkrit.
c.         Tindakan dilakukan sesuai dengan standar keilmuan.
Analisa:
a.        SG melakukan pelanggaran malpraktek dari sudut pandang tindakan pembedahan, karena dilakukan tanpa standar keilmuan.
b.        SG  meminta persetujuan  secara sadar untuk melakukan operasi tanpa memperdulikan akibatnya. Kemungkinan besar pasien tidak diberikan informasi yang adekuat terkait prosedur operasi , akibat dan kompetensi SG sendiri (bukan dokter bedah).  Selain itu diyakini saat pasien datang ke praktek SG, pasien tidak dalam keadaan gawat darurat dan sadar penuh. Sehingga tidak ada indikasi untuk dilakukan tindakan saat itu juga. SG dapat menganjurkan untuk di rujuk ke fasilitas kesehatan lain yang menyelenggarakan praktek dokter bedah.
c.         Selain itu pasien mengalami tekanan ekonomi sehingga tidak ada pilihan lain baginya (biaya operasi lebih ringan dibanding di RS).
d.        Dalam hal ini SG dapat dinilai melakukan kelalaian berat dari sudut pandang professional, yang dilakukan dengan mencolok/sadar/sengaja dan dinaikkan ketegorinya menjadi malpraktek kriminal karena mengakibatkan kematian.

3.6    ANALISA BERDASARKAN PENERAPAN HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA DALAM BIDANG KESEHATAN

1.        Berdasarkan pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Perikatan yang lahirnya dari perjanjian artinya dua orang atau lebih dapat menjadi terikat untuk melakukan hak dan kewajiban masing-masing dikarenakan mereka menyetujui sebuah perjanjian. Perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak akan mempunyai kekuatan mengikat sebagai mana undang-undang bagi keduanya, Hal ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda.
Analisa:
a.         Pasien dilakukan operasi hernia di klinik Prima Medika, oleh perawat merupakan tindakan bukan gawat darurat. Hubungan antara perawat dengan klien yang sifatnya bukan gawat darurat pada kasus ini merupakan perikatan yang dilahirkan karena perjanjian.
b.        Pada kasus ini belum disebutkan apakah sebelum dilakukan tindakan bedah tersebut ada inform consent yang terdokumentasi. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Perlunya inform consent karena mengandung unsur persetujuan tindakan kedokteran, menurut Permenkes 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran.
2.        Selain itu menurut asas konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat:sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Analisa:
Pada kasus ini,syarat berupa kesepakatan perawat SG dan pasien dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian tidak ada. Hal ini terbukti dari tidak adanya inform consent dan perawat SG melakukan tindakan yang bukan wewenangnya (kecakapan tidak ada karena operasi tersebut wewenang dokter).
3.        Pasal 359 KUHP yaitu pasal yang berhubungan dengan bidang kesehatan meliputi yang berisikan kelalaian yang mengakibatkan kematian. Untuk membuktikan malpraktik atau kelalaian dapat dilihat dari adanya 4 empat elemen (Vestal, 1995) :
a.     Kewajiban (Duty): Cedera terjadi pada saat seharusnya tenaga kesehatan melakukan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak–tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.
b.    Tidak melaksanakan kewajiban (Breach of the duty): Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.
c.     Faktor sebab-Akibat (Proximate caused): Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.
d.    Cedera (Injury): Sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.
Pembuktian kelalaian tersebut dapat dilakukan dengan menilai apakah menyimpang dari standar, apakah ada kelalaian berat (culpa lata), apakah akibatnya luka berat/meninggal dunia.
Analisa:
a.     Menurut pasal 1365 KHUPerdata perawat SG diduga melakukan perbuatan melawan hukum karena adanya unsur perbuatan melakukan operasi hernia yang bukan wewenang perawat sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Keperawatan. Akibat perbuatan perawat SG yang melawan hukum tersebut adanya kerugian berupa kematian pasien tersebut. Hubungan antara perbuatan melawan hukum dan akibat / kerugian merupakan hubungan kausalitas yang disebut teori conditio sine qua non dan teori adequate veorzaaking.
b.    Menurut pasal 1234 KUHPerdata perawat SG diduga telah melakukan tindakan wanprestasi dimana hasil yang diperjanjikan oleh perawat SG terhadap pasien yang mau operasi hernia berupa kesembuhan malah berujung pada kematian. Hasil ini merupakan sesuatu yang tidak diharapkan sesuai perjanjian. 
c.     Peranan rekam medis sangat penting dalam pembuktian. Peraturan Menteri Kesehatan No.269 tahun 2008 tentang rekam medis menyatakan bahwa rekam medis adalah berkas berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Pada kasus ini tidak disebutkan apakah seluruh proses tindakan bedah hernia tersebut dan hal-hal pemeriksaan, pengobatan, dan pelayanan lain didokumentasikan dalam rekam medis. Dari kronologis waktu kejadian berupa operasi hernia, pasien meninggal pada tahun 2014 dan kasus diberitakan di media massa tahun 2016 pasti membutuhkan rekam medis dalam pembuktian. Pembukaan data rekam medis dapat dilakukan untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan, permintaan dan/atau persetujuan pasien, permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan, untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan audit medis sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
d.    Perawat SG juga melanggar pasal 1367 KUHPerdata dimana SG tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Kerugian berupa kematian pasien yang operasi hernia merupakan tanggung jawab perawat SG selaku pelaku tindakan malpraktik. Selain itu barang-barang yang dibawah pengawasan perawat SG dalam hal ini peralatan medis dan obat-obatan diakuinya untuk keperluan RS tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk keperluan RS. Peralatan medis dan pembelian obat-obatan tanpa resep disalahgunakan untuk pelayanan praktik mandiri Klinik Prima Medika.


BAB 4
PENUTUP

1.1    KESIMPULAN
Perawat sebagai saksi ahli adalah seorang perawat yang dapat dimintai pendapat dan kesaksiannya dalam bidang keperawatan. Dalam kasus ini, perawat sebagai saksi ahli bertugas untuk mengatur catatan medis dan menyelidiki standar asuhan dan praktik keperawatan sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan terkait profesi keperawatan.
Berdasarkan analisa kasus yang dikaitkan dengan peraturan dan perundangan keperawatan ditemukan bahwa beberapa pasal dilanggar oleh perawat SG.  Perawat terduga juga belum bisa ditetapkan kesalahannya karena masih diperlukan barang bukti untuk membuktikan pelanggaran tersebut. Namun perawat terduga berisiko melakukan pelanggaran terkait praktik keperawatan, undang-undang keperawatan, undang-undang kefarmasian, Permenkes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, Permenkes No.269 tahun 2008 tentang rekam medis,pasal 1365, pasal 1234, pasal 1367, pasal 1320 KHUPerdata. Selain itu pasal yang diduga dilanggar oleh perawat SG adalah 359 KUHP berupa kelalaian yang menyebabkan kematian pasien tersebut.

1.2    SARAN
Malpraktik digambarkan sebagai tindakan professional yang tidak benar atau kegagalan untuk menerapkan keterampilan profesional yang tepat oleh berbagai profesi kesehatan, seperti kedokteran, keperawatan, kebidanan, atau ahli terapi fisik. Malpraktik juga dapat dipandang sebagai perbuatan tenaga kesehatan yang menjalankan tugas profesinya dengan bertentangan atau melanggar atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau persyaratan yang berlaku untuk setiap tingkat keadaan penyakit pasien yang ditanganinya sehingga menimbulkan akibat yang merugikan, seperti keadaan cedera pada pasien/keluarganya. 
Kasus malpraktik merupakan kasus yang sering membuahkan tuntutan pidana yang terjadi dalam bidang kesehatan di Indonesia. Peran perawat dalam memahami dan menerapkan peraturan perundangan keperawatan maupun peraturan perundangan yang terkait agar terhindar dari kasus hukum. Selain itu penting juga perawat harus sadar hukum agar pelayanan professional dalam memberikan asuhan pelayanan keperawatan sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku saat ini.

  
DAFTAR PUSTAKA

Aiken,T.D. & Catalano, J.T. (1994). Legal. Ethical, and political issues in nursing. Philadelphia: F.A.Davis Company
Amir, Amin. 1998. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Jakarta : MediaPress
Arief, B. N. (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. hal. 38-39.
Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Depkes RI. (1998). Standar Praktek Keperawatan bagi Perawat Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Hariyati,Rr.T.S,. (1999). Hubungan antara pengetahuan aspek hukum dari perawat, dan karakteristik perawat dengan kualitas pendokumentasian asuhan keperawatan di RS Bhakti Yuda tahun 1999. Tesis. FIK UI.
Gillies, Dee Ann, R.N., M.A.EQD.(1996). Manajemen Keperawatan. Chicago : W.B Saunder Company.
Gunadi, J. (2004). Kelalaian Medik. Jakarta :Balai Penerbit FKUI
Guwandi, J. (2005). Hukum Medik (Medical Law), hal. 22-24. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Guwandi, J. (2005). Perbedaan Malpraktek dan Kelalaian (dalam Hukum Medik, Medical Law), hal.20,21. Jakarta: BP FK UI
Kementerian Kesehatan RI. (2008). Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI. (2008). Permenkes No. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). (1847). Diakses dari www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt5243d51900ee3/parent/17229 pada tanggal 30 Oktober 2017
Morton, et al. (2012). Volume 1 Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta : Kedokteran EGC
Permenkes no 17 tahun 2013 tentang perubahan atas permenkes no 148/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek perawat
Poskota (2016). Belagak kayak dokter, perawat lakukan praktek bedah lalu diamankan Diakses dari http://poskotanews.com/2016/09/07 pada tanggal 30 Oktober 2017
Poernomo, Bambang. (1996). Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media
PPNI. (2000). Buku Panduan Organisasi PPNI. Malang : PPNI
Setiajadji, R.J.(2002). Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan. Edisi 1. Jakarta : EGC
Sofwan Dahlan. (2001). “Malpraktek” (dalam Hukum Kesehatan, Rambu-rambu bagi Profesi Dokter). hal. 59-62. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. hal. 91. Semarang: Yayasan Sudarto
Urden, Linda, Stacy, Kathleen. (2008). Priorities in Critical Care Nursing. Canada: Mosby Elsevier
UU no. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran
UU RI No.36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
UU RI No.38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Vestal, K.W. (1995). Nursing management: concepts and issue. 2nd ed.. Philadelphia: J.B Lippincott Company

Tidak ada komentar: