BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Terdapat hubungan yang
erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Hukum
membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh
moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Karena itu hukum selalu harus
diukur dengan norma moral. Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku
manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan
moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan legalitas dan
moralitas yang sangat ditekankan oleh filsuf Jerman Immanuel Kant
(Bertens,2013).
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU RI No.36 2014).
Perawat sebagai bagian dari suatu tim kesehatan harus menjalankan kewajibannya
sesuai dengan perannya sebagai seorang perawat, perawat tidak boleh melanggar
hukum yang berlaku. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat
harus bertindak hati-hati karena pekerjaannya sangat berisiko agar tidak
merugikan pasien seperti tindakan kelalaian dan malpraktik.
Seorang
perawat dalam melakukan praktik keperawatan sehari-hari kepada pasien harus
sesuai dengan hukum yang berlaku dan kode etik keperawatan. Standar prosedur
operasional harus dilakukan untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.
Asuhan keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan,
implementasi, evaluasi, dan dokumentasi harus dilakukan dengan baik agar
terlindung dari hukum.
Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Praktik Keperawatan adalah
pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan (UU
RI No.38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan). Perawat bekerja sebagai seorang
perawat tidak boleh perawat bekerja sebagai seorang dokter atau tenaga
kesehatan lainnya. Ada batasan-batasan tindakan keperawatan yang telah diatur
oleh undang-undang kesehatan, undang-undang keperawatan, dan kode etik
keperawatan yang tidak boleh dilanggar.
Perawat yang melakukan tindakan
kelalaian bahkan malpraktik yang mengakibatkan kerugian cidera atau bahkan
kematian pasien bisa dituntut oleh hukum pidana yang berlaku. Pasien atau
masyarakat dapat menyampaikan komplain langsung atau bahkan melaporkan ke pihak
berwajib bila mereka merasa dirugikan dan tidak mendapatkan asuhan keperawatan
yang baik dan benar. Hak – hak dan kewajiban pasien juga ada ketentuannya di
dalam undang-undang. Oleh karena itu sebagai perawat harus melakukan peran dan
kewajibannya dengan baik sesuai dengan standar praktik keperawatan profesional
agar kita tidak merugikan pasien (masyarakat) dan terlindungi oleh hukum.
Praktik keperawatan berasaskan perikemanusiaan, nilai ilmiah, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, perlindungan kesehatan, dan keselamatan
klien (UU RI No.38 Tahun 2014 Tentang keperawatan).
Dalam
melakukan pelayanan kepada pasien perawat harus berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan profesional lain yang multidisiliner. Perawat profesional tidak boleh
mengambil disiplin ilmu lain karena dapat melanggar kode etik dan undang-undang
yang berlaku. Dengan bekerja sebagai tim kesehatan dan bekerja sesuai dengan
standar praktik keperawatan profesional maka dapat memberikan pelayanan yang
terbaik untuk pasien dan akhirnya akan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
1.2 TUJUAN
PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
:
Menelaah dan
menganalisa contoh kasus dalam pelayanan kesehatan berdasarkan aspek hukum
dalam keperawatan, undang-undang keperawatan, peraturan perundang-undangan
terkait keperawatan, KUHP, dan kelalaian malpraktik.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1 PENGERTIAN HUKUM
KEPERAWATAN
Hukum Kesehatanadalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanankesehatan. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik
perorangan dan lapisan masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dalam segala aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan medik
dan lain-lain. Sedangkan hukum kedokteran merupakan
bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan kedokteran (medical care/service).
Hukum kesehatan menyangkut:Hukum kedokteran, Hukum keperawatan,
Hukum farmasi klinik, dan Hukum rumah sakit. Tujuan hukum kesehatan adalah untuk
mengatur tertib dan tentramnya
pergaulan hidup.
Hukum adalah
Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan.Sedangkan etik dikeluarkan oleh organisasi yang bersangkutan, etik berasal dari kata
Yunani yaitu Ethos.Persamaan dan Perbedaan Hukumdan Etik, antara
lain:
1.
Sama-sama merupakan alat untuk
mengatur tertib hidupmasyarakat.
2.
Mengatur hak dan kewajiban
masyarakat.
3.
Bersifat kemanusiaan.
4.
Etik berlaku untuk lingkungan
profesi, hukum berlaku secara umum.
5.
Pelanggaran etik penyelesaianya oleh
MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran).
6.
Pelanggaran hukum diselesaikan oleh
pengadilan.
Hukum
keperawatan merupakan bagian dari hukum
kesehatan yang menyangkut asuhan keperawatan.
Pedoman legal yang dianut perawat berasal dari hukum perundang-undangan, hukum
administratif/peraturan, dan hukum umum. Standar pelayanan merupakan pedoman
legal bagi praktik keperawatan dan memberikan batasan minimal pelayanan
keperawatan yang dapat diterima.
2.2
Fungsi
Hukum Dalam Praktik Keperawatan
Fungsi hukum dalam praktik keperawatan
menurut Kozier (1990), yaitu:
1. Hukum
memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yg sesuai dengan
hukum.
2. Membedakan
tujuan perawat dengan tujuan profesi yang lain.
3. Membantu
menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri.
4. Membantu
dalam mempertahankan standar praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas di bawah hokum.
2.3
Undang-Undang
dan Peraturan lainnya yang Berkaitan dengan Praktek Keperawatan
Ada banyak
Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku di Indonesia, beberapa diantaranya
berhubungan dengan praktik keperawatan, antara lain:
1.
UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok
kesehatan
Bab II (tugas
Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur
kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2.
UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan
tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter,
dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau
tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi
dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan
apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidik rendah dapat diberikaan
kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung.
UU ini boleh
dikatakan sudah usang karena hanya mengklarifikasikan tenaga kesehatan secara
dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur
landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU
ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti
sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak
mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan
lainnya.
3.
UU kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang wajib
kerja paramedis
Pada pasal
2,ayat (3) dijelasakan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah
wqajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam pasal 3
dihelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksut
pada pasal 2 memiliki kedudukan sebagain pegawai negeri sehingga
peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk
saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat
pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut
sebagai contoh bagai mana sisitem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa
sanksinya bila seseorang tidak menjalankaqn wajib kerja dll. Yang perlu
diperhatikan dalam UU ini,lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja
pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek
propesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab
terhadap pelayanannya sendiri.
4.
SK Menkes No. 262/per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan para
medis menjadi dua golongan yaitu paramedic keperawatan (termasuk bidan) dan
paramedic non keperawata. Dari aspek hukum, sartu hal yang perlu dicatat disini
bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk kategori tenaga
keperawatan.
5.
Permenkes. No. 363/ Menkes/ per/XX/1980 tahun
1980
Pemerintah
membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan
bidan. Bidan seperti halnya dokter, diizinkan mengadakan praktik swasta,
sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diizinkan. Dokter dapat membuka
praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidan dapat menolong persalinan
dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi propesi
keperawatan. Kita ketahuai Negara lain perawat diizinkan membuka praktik
swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggantikan atau mengisi
kekujrangan tenaga dokter untuk mengobati penyakit terutam dipuskesmas-
puskesmas tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi
perawat yang memperpanjang pelayanan dirumah. Bila memang secara resmi tidak
diakui, maka seharusnya perawat dibebaskan dari pelayanan kuratif atau
pengobatan untuk benar-benar melakuan nursing care.
6.
SK Mentri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 94/Menpan/1986,tanggal 4 Nopember 1989, tentang jabatan fungsional tenaga
keperawatan dan system kredit poin.
Dalam sistem ini
dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya
setiap 2 tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga
keperawatan yang dimaksud adalah : penyenang kesehatan, yang sudah mencapai
golongan II/a, Pengatur Rawat/ Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III
Keperawatan dan Sarjana/S I Keperawatan. System ini menguntungkan perawat
karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/ golongan
atasannya.
7.
UU kesehatan No. 23 tahun 1992
Merupakan UU
yang banyak member kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan
professional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak
pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan.
8.
Beberapa pernyataan UU kesehatan No. 23 Th. 1992
yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU praktik keperawatan adalah:
a.
Pasal 32 ayat 4
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan
ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
b.
Pasal 53 ayat I
Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesui dengan profesinya.
c.
Pasal 53 ayat 2
Tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.
9.
UU RI No.38 Tahun 2014 tentang keperawatan
10.
UU RI No.36 Tahun 2009 tentang tenaga kesehatan
11.
UU RI No.36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
2.4
BEBERAPA MASALAH HUKUM DAN PRAKTIK
KEPERAWATAN
Berbagai masalah hukum dalam praktik keperawatan telah
diidentifikasi oleh para ahli. Beberapa masalah yang dibahas secara singkat
disini meliputi:
1.
Menandatangani Pernyataan Hukum
Perawat
seringkali diminta menandatangi atau diminta untuk sebagai saksi. Dalam hal ini
perawat hendaknya tidak membuat pernyataan yang dapat diinterprestasikan
menghilangkan pengaruh. Dalam kaitan dengan kesaksian perawat disarankan
mengacu pada kebijakan rumah sakit atau kebijakan dari atasan.
2.
Format Persetujuan (Consent)
Berbagai
format persetujuan disediakan oleh institusi pelayanan dalam bentuk yang cukup
bervariasi. Beberapa rumah sakit memberikan format persetujuan pada awal pasien
masuk rumah sakit yang mengandung pernyataan kesanggupan pasien untuk dirawat
dan menjalani pengobatan. Bentuk persetujuan lain adalah format persetujuan
operasi. Perawat dalam proses persetujuan ini biasanya berperan sebagai saksi.
Sebelum informasi dari dokter ahli bedah atau perawat tentang tindakan yang
akan dilakukan beserta resikonya.
3. Insident Report
Setiap kali
perawat menemukan suatu kecelakaan baik yang mengenai pasien, pengunjung maupun
petugas kesehatan, perawat harus segera membuat suatu laporan tertulis yang
disebut incident report. Dalam
situasi klinik, kecelakaan sering terjadi misalnya pasien jatuh dari kamar
mandi, jarinya terpotong oleh alat sewaktu melakuakan pengobatan, kesalahan memberikan
obat dan lain-lain. Dalam setiap kecelakaan, maka dokter harus segera diberi
tahu.
Beberapa
rumah sakit telah menyediakan format untuk keperluan ini. Bila format tidak ada
maka kejadian dapat ditulis tanpa menggunakan format buku.
Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam pencatatan incident
report antara lain :
a.
Tulis kejadian sesuai apa adanya
b.
Tulis tindakan yang anda lakukan
c.
Tulis nama dan tanda tangan anda
dengan jelas
d.
Sebutkan waktu kejadian ditemukan
4. Pencatatan (Dokumentasi)
Pencatatan
merupakan kegiatan sehari-hari yang tidak lepas dari asuhan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat. Pencatatan merupakan salah satu komponen yang penting
yang memberikan sumber kesaksian hukum. Betapapun mahirnya keterampilan anda
dalam memberikan perawatan, jika tidak dicatat atau dicatat tetapi tida
lengkap, tidak dapat membantu dalam persidangan. Setiap selesai melakukan suatu
tindakan maka perawat harus segera mencatat secara jelas tindkan yang dilakukan
dan respon pasien terhadap tindakan serta mencantumkan waktu tindakan diberikan
dan tanda tangan yang memberikan tindakan.
5. Pengawasan
Penggunaan Obat
Pemerintah
Indonesia telah mengatur pengedaran dan penggunaan obat. Obat ada yang dapat
dibeli secara bebas dan ada pula yang dibeli harus dengan resep dokter.
Obat-obat tersebut misalnya narkotik disimpan disimpan ditempat yang aman dan
terkunci dan hanya oprang-orang yang berwenang yang dapat mengeluarkannya.
Untuk secara hukum hanya dapat diterima dalam pengeluaran dan penggunaan obat
golongan nartkotik ini, perawat harus selalu memperhatikan prosedur dan
pencatatan yang benar.
6. Abortus Dan
Kehamilan Diluar Secara Alami
Abortus
merupakan pengeluaran awal fetus pada periode gestasi sehingga fetus tidak
mempunya kekuatan untuk bertahan hidup. Abortus merupakan tindakan pemusnahan
yang melanggar hukum, atau menyebabkan lahir prematur fetus manusia sebelum
masa lahir secara alami.
Abortus
telah menjadi masalah internasional dan berbagai pendapat telah diajukan baik
yang menyetujui maupun yang menentang. Faktor-faktor yang mendorong abortus (KR,
1994) antara lain karena:
a.
Pemerkosaan
b.
Pria tidak bertanggung jawab
c.
Demi kesehatan mental
d.
Kesehatan tubuh
e.
Tidak mampu merawat bayi
f.
Usia remaja
g.
Masih sekolah
h.
Ekonomi
Yang
dimaksud dengan kelahiran yang diluar secara alami meliputi kelahiran yang
diperoleh dengan tidak melalui hubungan intim suami istri sebagai mana
mestinya. Misalnya melalui fertilisasi invirto (bayi tabung).
Aborsi di Indonesia
dilarang lewat undang-undang (UU) RI Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan
juga untuk kalangan muslim lewat fatwa majelis ulama indonesia (MUI) nomor 4
tahun 2005. (tetapi fatwa membolehkan aborsi dalam keadaan darurat di mana
nyawa ibu terancam).
Kontroversi
Aborsi
Aborsi di
Indonesia masih merupakan perbuatan yang secara jelas dilarang, terkecuali jika
ada indikasi medis tertentu yang mengakibatkan terancamnya hidup dari sang Ibu.
Di dunia Internasional sendiri dikenal dua kelompok besar yaitu pro life (yang menentang aborsi) dan pro choice (yang tidak menentang aborsi)
berikut dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya.Di Indonesia
sendiri, meski aborsi dilarang, namun tetap banyak perempuan-perempuan yang
melakukan aborsi. Baik dilakukan berdasarkan indikasi medis tertentu maupun
indikasi non medis.
Dalam
aborsi, kami cenderung melihatnya dari sisi non moral, karena problem moral
haruslah diletakkan dalam koridor moral semata dan tentu bukan dalam koridor
moral yang dimasukkan unsur-unsur hukum. Beberapa contoh bagaimana terkadang
moral dan hukum, dalam pandangannya, tidak mampu untuk menjawab persoalan
persoalan ini.
7. Kematian Dan
masalah Yang Terkait
Masalah
hukum yang berkaitan denagn kematian antara lain meliputi pernyataan kematian,
bedah mayat/otopsi dan donor organ. Kematian dinyatakan oleh dokter dan ditulis
secara sah dalam surat pernyataan kematian. Surat pernyataan ini biasanya
dibuat beberapa rangkap dan keluarga mendapat satu lembar untuk digunakan
sebagai dasar pemberitahuan kepada kerabat serta keperluan ansuransi. Pada
keadaan tertentu misalnya untuk keperluan keperluan peradilan, dapat dilakukan
bedah mayat pada orang yang telah meninggal.
2.5 ASPEK HUKUM PRAKTIK KEPERAWATAN
Yang akan dibahas dalam aspek hukum praktik
keperawatan ini meliputi: hubungan hukum dengan bidang keperawatan dan
instrumen normatif praktik keperawatan.
1. Hubungan Hukum Dengan Profesi
Keperawatan
Masyarakat profesi dengan masyarakat
umum telah mengadakan suatu kontrak (social
contract) yang memberikan hak otonomi profesi untuk melakukan self regulation, self governing dan self
disciplining. Dengan kewajiban memberikan jaminan profesional yang kompeten
dan melaksanakan praktik sesuai etika dan standar profesinya. Profesi perawat
memiliki kewajiban untuk mampu memberikan jaminan pelayanan keperawatan yang
profesional kepada masyarakat umum. Kondisi demikian secara langsung akan
menimbulkan adanya konsekuensi hukum dalam praktik keperawatan. Sehingga dalam
praktik profesinya dalam melayani masyarakat perawat terikat oleh aturan hukum,
etika dan moral.
Di Indonesia salah satu bentuk
aturan yang menunjukkan adanya
hubungan hukum dengan perawat adalah UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal
1 angka 2 menyebutkan bahwa:”Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Berdasarkan PP No. 32/1996 Pasal 2
ayat (1) jo, ayat (3) perawat dikatagorikan sebagai tenaga keperawatan.
Undang-undang No. 23 tahun 1992
tentang Kesehatan, merupakan UU yang memberikan kesempatan bagi perkembangan
profesi keperawatan, dimana dinyatakan standar praktik, hak-hak pasien,
kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan. UU No. 23 tahun 1992 telah mengakui profesi keperawatan, namun
dalam praktik profesinya, profesi keperawatan harusberjuang untuk mendapat pengakuan
dari profesi kesehatan lain, dan juga dari masyarakat.
Profesi perawat dikatakan akuntabel
secara hukum bila benar-benar kompeten dan melaksanakan profesinya sesuai
dengan etika dan standar profesinya. Standar profesi memiliki tiga komponen
utama yaitu: standar kompetensi, standar
perilaku dan standar pelayanan. Tugas tenaga kesehatan yang didalamnya termasuk
tugas perawat berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 23 Tahun 1992 adalah
menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang
keahlian dan atau kewenangannya masing-masing. Agar tugas terlaksanakan dengan
baik. Pasal 3 PP No. 32 Tahun 1996 menentukan bahwa ”setiap
tenaga kesehatan wajib memiliki keahlian dan keterampilan sesuai dengan jenis
dan jenjang pendidikannya yang dibuktikan dengan ijazah”. Dengan demikian, tugas dan kewenangan tenaga
kesehatan/perawat akan ditentukan berdasarkan ijazah yang dimilikinya.
Ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No.
23 tahun 1992 jo. Pasal 21 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996 tenaga kesehatan dalam
melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk memenuhi standar profesi dan menghormati
hak pasien. Standar profesi merupakan pedoman bagi tenaga kesehatan/perawat
dalam menjalankan upaya pelayanan kesehatan, khususnya terkait dengan tindakan
yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap pasien, sesuai dengan
kebutuhan pasien, kecakapan, dan kemampuan tenaga serta ketersediaan fasilitas
dalam sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Bagi tenaga kesehatan jenis
tertentu, yaitu yang berhubungan langsung dengan pasien, seperti dokter dan
perawat berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996 dalam
menjalankan tugas profesinya wajib untuk menghormati hak pasien, menjaga
kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien, memberikan informasi
yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, meminta
persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, dan membuat dan memelihara
rekam medis. Pelaksanaan tugas tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi
sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan maupun pasien,
sebagaimana ketentuan pada pasal 53 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 jo. Pasal 24
ayat (1) PP No. 32 tahun 1996.
Perlindungan hukum bagi pasien
diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992, yaitu ”Setiap orang berhak
atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan”, sedangkan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan diatur dalam
Pasal 23 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996 yang menentukan pemberian perlindungan
hukum bagi tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesinya. Dengan perkataan lain, pasien yang gagal untuk sembuh tidak berhak
atas ganti rugi, sepanjang pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan/perawat sudah dilakukan sesuai dengan standar profesinya atau tenaga
kesehatan yang sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan stadar profesinya tidak
akan dapat digugat oleh pasien atas kegagalan upaya pelayanan kesehatan yang
dilakukannya.
2. Hubungan hukum antara perawat dengan
pasien dan tenaga kesehatan di rumah sakit dalam upaya mencari kesembuhan,
dikonstruksikan dalam hubungan perikatan dalam upaya pelayanan kesehatan di
rumah sakit (Koeswadji, 1998 dalam Praptianingsih, 2006) khususnya yang
menyangkut perawat yaitu:
a.
Hubungan antara rumah sakit dengan
perawat diatur oleh perjanjian kerja dalam Pasal 1601 KUHPerdata bagi rumah
sakit swasta, sedangkan bagi perawat yang bekerja di rumah sakit pemerintah
tunduk pada ketentuan hukum kepegawaian. Berdasarkan Pasal 1601 KUHPerdata jo.
1601a hubungan perawat dengan rumah sakit termasuk dalam perjanjian perburuhan,
yaitu persetujuan berdasarkan syarat tertentu pihak yang satu, dalam hal ini
perawat, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahpihak lain, rumah sakit,
untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Aspek
keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh perawat niscaya menentukan macam
dan lingkup tugas yang akan diberikan kepada perawat. Dalam melaksanakan
tugasnya, perawat diikat oleh standar pelayanan keperawatan dan Kode Etik
Keperawatan.
Hubungan antara dokter dengan
perawat, dalam suatu tindakan medik tertentu dokter memerlukan bantuan perawat.
Perawat dalam tindakan medis hanya sebatas membantu dokter, karenanya yang
dilakukan sesuai order dan petunjuk dokter. Perawat tidak bertanggung jawab dan
bertangung gugat atas kesalahan tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh
dokter.
Dalam melaksanakan intervensi
keperawatan selain berpegang pada kode etik keperawatan, perawat harus
memperhatikan hal-hal penting yang dapat melindungi perawat secara hukum. Grane
(1983, dalam Kozier, Erb, 1990), mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas perawat harus
mengetahui pembagian tugas mereka. Perawat harus bekerja sesuai dengan
kebijakan dan prosedur yang ditetapkan di tempat kerja. Dalam melaksanakan
tugasnya perawat harus melakukan sesuai prosedur yang tepat. Dokumentasikan
semua proses keperawatan yang diberikan dengan cepat dan akurat. Pencatatan
harus menunjukan bahwa perawat melakukan tindakan tersebut dan melakukan
supervisi pasien setiap hari.
Dalam melakukan tindakan-tindakan
keperawatan perawat harus menerapkan informed
consent, sebagai bagian dari pertimbangan aspek hukum. Perawat juga harus
mencatat kecelakaan yang terjadi pada pasein, catatan ini segera dibuat untuk
memudahkan analisa sebab kecelakaan dan mencegah pengulangan kembali. Dalam
melaksanakan tugasnya perawat harus mempertahankan hubungan saling percaya yang
baik dengan pasein. Pasien harus mengetahui tentang diagnosa dan rencana
tindakan, serta perkembangan keadaan pasien.
Menurut Priharjo (1995), beberapa
masalah hukum yang sering terjadi di keperawatan adalah: kecerobohan/Tort: yaitu
kesalahan yang melangar seseorang atau kepunyaan/harta benda seseorang. Tort
dapat disengaja atau tidak disengaja
1)
Tort yang disengaja: menipu,
melanggar privacy pasien, membuat dokumentasi yang salah, tidak menerapkan
informed consent, menyentuh pasien tanpa ijin.
2)
Tort tidak disengaja
a.
Kelalaian/Negligence adalah melakukan sesuatu yang oleh orang dengan
klasifikasi yang sama dapat dilakukan dalam situasi yang sama. Kelalaian sering
terjadi karena kegagalan dalam menerapkan pengetahuan dalam praktk yang lain
disebabkan karena kurang pengetahuan.
b.
Malpraktik yaitu kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga profesional yang menyebabkan kerusakan, cidera atau
kematian. Kegagalan ini dalam melaksanakan suatu fungsi tertentu yang berkaitan
dengan peran dalam memberikan asuhan keperawatan.
Dalam
perjuangan memajukan perawat di Indonesia, profesi perawat mempunyai organisasi
profesi perawat yaitu Persatuan Perawat Nasional Indonesia/PPNI. Melalui PPNI
profesi perawat berjuang untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan
kepada masyarakat. PPNI telah berhasil memperjuangkan legislasi dalam
keperawatan. Yang terdiri dari dua komponen yaitu registrasi dan lisensi
keperawatan. Registrasi adalah upaya untuk menjamin tingkat kemampuan tenaga
keperawatan untuk dapat memberikan pelayanan yang memenuhi standar profesi.
Lisensi adalah pemberian ijin melaksanakan keperawatan sebelum diperkenankan
melakukan pekerjaan yang telah ditetapkan. Aturan yang berhasil diperjuangkan
oleh PPNI adalah Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
94/KEP/M.PAN/II/2001 tentang Jabatan Fungsional Perawat dan Angka Kreditnya;
dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat.
PPNI saaat
ini sedang memperjuangkan adanya Undang-Undang Praktik Keperawatan, yang
prosesnya masih berjalan di DPR RI. Tujuan legislasi keperawatan adalah
mengembangkan peraturan atas dasar hukum yang berfungsi melindungi masyarakat
dan profesi keperawatan dari pihak yang melakukan praktik yang tidak bermutu.
Legislasi keperawatan juga diharapkan menjadi dasar bagi keperawatan untuk
terlibat dalam penyusunan perundang-undangan yang mempunyai kaitan dengan
keperawatan, seperti bidang pendidikan, kesejahteraan, ketenagakerjaan. Pada
akhirnya nanti, perawat yang tidak mempunyai legislasi tidak diperkenakan untuk
menjalankan praktik keperawatan ( Astuti.W, 1996 ).
3. Instrumen Normatif Bagi Perawat
Dalam Upaya Menjalankan Pelayanan Keperawatan
Perawat
dalam menjalankan proses keperawatan harus berpedoman pada Lafal Sumpah
Perawat, Standar Profesi Perawat, Standar Asuhan Keperawatan, dan Kode Etika
Keperawatan. Keempat instrumen tersebut berisi tentang norma-norma yang berlaku
bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Ketentuan-ketentuan yang
berlaku bagi perawat disebut instrumen normatif, karena keempatnya meskipun
tidak dituangkan dalam bentuk hukum positif/Undang-Undang, tetapi berisi
norma-norma yang harus dipatuhi oleh perawat agar terhindar dari kesalahan yang
berdampak pada pertanggungjawaban dan gugatan ganti kerugian apabila pasien
tidak menerima kegagalan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
a.
Lafal Sumpah Perawat
Lulusan
pendidikan keperawatan harus mengucapkan janji/sumpah sesuai dengan program
pendidikannya, D3 atau S1. Lafal sumpah ada dua macam yaitu lafal Sumpah/Janji
Sarjana Keperawatan dan lafal Sumpah/Janji Ahli Madya Keperawatan
b. Standar
Profesi Perawat
Pasal 24
ayat (1) PP 23/1996 tentang Tenaga Kesehatan menentukan bahwa perlindungan
hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugas sesuai dengan
Standar Profesi tenaga kesehatan. Standar profesi merupakanukuran kemampuan
rata-rata tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya (Praptianingsih,
2006). Dengan memenuhi standar profesi dalam melaksanakan tugasnya, perawat terbebas
dari pelanggaran kode etik.
Sebagai
tolak ukur kesalahan perawat dalam melaksanakan tugasnya, dapat dipergunakan
pendapat Leenen dalam Koeswadji (1996) sebagai standar pelaksanaan profesi
keperawatan, yang meliputi: terapi harus dilakukan dengan teliti; harus sesuai
dengan ukuran ilmu pengetahuan keperawatan; sesuai dengan kemampuan rata-rata
yang dimilki oleh perawat dengan kategori keperawatan yang sama;dengan sarana
dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan kongkret upaya pelayanan yang dilakukan.
Dengan demikian, manakala perawat telah berupaya dengan sungguh-sungguh sesuai
dengan kemampuannya dan pengalaman rata-rata seorang perawat dengan kualifikasi
yang sama, maka dia telah bekerja dengan memenuhi standar profesi.
c.
Standar Asuhan Keperawatan
Pelayanan
keperawatan dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan faktor
penentu citra dan mutu rumah sakit. Di samping itu, tuntutan masyarakat
terhadap pelayananperawatan yang bermutu semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya kesadaran akan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Oleh karena
itu, kualitas pelayanan keperawatan harus terus ditingkatkan sehingga
upayapelayanan kesehatan dapat mencapai hasil yang optimal.
Salah satu
upaya untuk menjaga mutu kualitas pelayanan keperawatan adalah dipergunakannya
Standar Asuhan Keperawatan dalam setiap pelayanan keperawatan. Standar ini
dipergunakan sebagai pedoman dan tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Di
dalamnya berisi tentang tahapan yang harus dilakukan oleh perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan. Standar asuhan keperawatan yang disusun oleh Tim
Departemen Kesehatan Republik Indonesia diberlakukan sebagai standar Asuhan
Keperawatan di Rumah Sakit berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan
Medik No. Y.M.00.03.2.6.7637, pada tanggal 18 Agustus 1993. Keputusan ini
mengacu pada Sistem Kesehatan Nasional dan UU No. 23 tahun 1992 yang pada
pokoknya menentukan antara lain bahwa tenaga kesehatan mempengaruhi
keberhasilan pembangunan pada umumnya dan pembangunan kesehatan khususnya, untuk
itu perlu diupayakan tenaga kesehatan yang berkualitas. Standar Asuhan
Keperawatan terdiri dari delapan standar yang harus dipahami dan dilaksanakan
oleh perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan, khsusunya pelayanan
keperawatan, yang terdiri dari : 1) Standar I berisi falsafah keperawatan, 2)
Standar II berisi tujuan asuhan keperawatan, 3) Standar III menentukan
pengkajian keperawatan, 4) Standar IV tentang diagnosis keperawatan, 5) Standar
V tentang perencanaan keperawatan, 6) Standar VI menentukan intervensi
keperawatan, 7) Standar VII menentukan evaluasi keperawatan, 8) Standar VIII
tentang catatan asuhan keperawatan.
d.
Kode Etik Keperawatan
Kode Etik
Keperawatan Indonesia terdapat dalam Keputusan Musyawarah Nasional Persatuan
Perawat Nasional Indonesia No. 09/MUNAS IV/PPNI/1989 tentang pemberlakuan Kode
Etik Keperawatan Indonesia (Kode etik dapat ditinjau dari empat segi, yaitu
segi arti, fungsi, isi, dan bentuk (Koeswadji, 1996).
(1) Arti kode etik atau etika adalah pedoman perilaku bagi pengembangan
profesi. Kode etik profesi merupakan sekumpulan norma yang ditetapkan dan
diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dalam menjalankan profesinya dan
sekaligus menjamin mutu moral profesi tersebut di mata masyarakat. Berkait
dengan profesi, etika erat hubungannya dengan perilaku yang berisikan hak dan
kewajiban berdasarkan pada perasaan moral dan perilaku yang sesuai dan /atau
mendukung standar profesi.
2) Fungsi kode etik adalah sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban
profesi, dalam hal ini perawat, sebagai tenaga kesehatan dalam upaya pelayanan
kesehatan. Kode etik merupakan norma etik yang mencerminkan nilai dan pandangan
hidup yang dianut oleh kalangan profesi yang bersangkutan. Kode etik merupakan
norma etik yang dapat berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah
campur tangan pihak lain, sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Kode
etik memuat hak dan kewajiban profesional anggotanya sehingga setiap anggota
profesi dapat mengawasi apakah kewajiban profesi telah dipenuhi. Tentang
bagaimanaanggota profesi melaksanakan kewajiban profesioanalnya, kode etik
telah menentukan standarnya sehingga masayarakat dan pemerintah tidak perlu
campur tangan dalam hal ini. Kode etik sekaligus mencegah kesalahpahaman dan
konflik karena merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut
pendapat umum dan berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi.
3) Isi kode etik. Kode etik bersisi prinsip-prinsip etik yang dianut oleh
profesi tertentu.
Prinsip-prinsip
etik yang terpenting dalam upaya pelayanan kesehatan adalah prinsip otonomi yang berkaitan dengan prinsip veracity, nonmaleficence, beneficence,
confidentiality, dan justice (Sumaryono,
1995). Otonomi merupakan bentuk
kebebasan seseorang untuk bertindak berdasarkan rencana yang telah
ditentukannya sendiri. Di dalam prinsip ini setidaknya terkandung tiga elemen
yaitu kebebasan untuk memutuskan, kebebasan untuk bertindak, kebebasan untuk
mengakui dan menghargai martabat dan otonomi
pihak lain. Prinsip veracity
mewajibkan kedua belah pihak, perawat dan pasien, untuk menyatakan yang
sebenarnya tentang kondisi pasien dan pengobatannya yang dilakukan.
Prinsip Nonmaleficence berarti bahwa perawat
dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan senantiasa dengan niat untuk
membantu pasien mengatasi masalah kesehatannya. Berdasarkan prinsip beneficence, perawat memberikan upaya
pelayanan kesehatan dengan menghargai otonomi
pasien. Hal ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Prinsip confidentiality berarti bahwa perawat
wajib merahasiakan segala sesuatu yang telah dipercayakanpasien kepadanya,
yaitu berupa informasi mengenai penyakitnya dan tindakan yang telah, sedang,
dan akan dilakukan, kecuali jika pasien mengijinkan atas perintah undang-undang
untuk kepentingan pembuktian dalam persidangan. Prinsip justice berarti bahwa
setiap orang berhak atas perlakukan yang sama dalam upaya pelayanan kesehatan
tanpa mempertimbangkan suku, agama, ras, golongan, dan kedudukan sosial
ekonomi. Idealnya perbedaan yang mungkin adalah dalam fasilitas, tetapi bukan
dalam hal pengobatan dan atau perawatan.
Kode Etik Keperawatan Indonesia terdiri dari mukadimah dan batang tubuh.
Mukadimah berisi : 1) Pedoman kehidupan profesi keperawatan, bahwa masyarakat
Indonesia membutuhkan pelayanan keperawatan; 2) sifat dan dasar pelayanan
keperawatan; 3) ruang lingkup pelayanan keperawatan; 4) kesiapan perawat untuk
melaksanakan pelayanan keperawatan secara profesional; 5) perawat berjiwa Pancasila dan UUD 1945, dalam melaksanakan
pekerjaan berpedoman kepada ketentuan kode etik. Sedangkan batang tubuh berisi
sebagai berikut : 1) tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan
masyarakat; 2) tanggung jawab perawat terhadap tugas; 3) tanggung jawab perawat
terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain;4) tanggung jawab perawat
terhadap profesi keperawatan; 5) tanggung jawab perawat terhadap pemerintah,
bangsa, dan tanah air.
Bentuk Kode
Etik Keperawatan Indonesia adalah Keputusan Musyawarah Nasional IV Persatuan
Perawat Nasional Indonesia pada tahun 1989. Kode etik ini disusun oleh Komisi C
PPNI pada tahun 1989, yang kemudian dalam keputusan MUNAS IV PPNI NO: 09/MUNAS
IV/PPNI/1989 tentang pemberlakukan Kode Etik Keperawatan, kode etik ini menjadi
materi/isi keputusan musyawarah tersebut yang tertuang dalam bagian lampiran.
Kode etik ini hanya berlaku bagi perawat, jadi sifatnya intern. Kode etik harus
mampu menjadi tolok ukur nilai dan moral perawat dalam melaksanakan
pekerjaannya.
2.6
Kelalaian dan Malpraktik
Menurut
Becker (Dlm Kozier, Erb 1990) empat hal yg hrs ditanyakan perawat untuk
melindungi mereka secara hukum:
a. Tanyakan
pesanan yg ditanyakan pasien.
b. Tanyakan
setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah.
c. Tanyakan
dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan komunikasi.
d. Tanyakan
pesanan (Standing Order), terutama
bila perawat tdk berpengalaman.
1.
Kelalaian
Kelalaian
perawatan dalam menjalankan profesinya dapat disebabkan karena perawat tersebut
tidak bekerja sesuai standar praktek keperawatan.
a.
Definisi standar keperawatan.
Standar praktek keperawatan
merupakan norma/penegasan tentang mutu pekerjaan seorang perawat yang
dianggap baik, tepat dan benar yang dirumuskan dan digunakan sebagai pedoman
dalam pemberian pelayanan keperawatan serta tolak ukur dalam penilaian kerja
seorang perawat (Depkes, 1988). Jika menurut PPNI (2005) standar praktek
keperawatan adalah ekspektasi/harapan-harapan mnimal dalam memberikan asuhan
keperawatan yang aman,efektif dan etis. Ada tiga jenis standar praktek
keperawatan yaitu standart struktur, standar proses dan standart hasil.
b.
Definisi kelalaian.
Kelalaian sering disebut culpa, yaitu kesalahan/kelalaian (negligence). Bila kesalahan dalam
menjalankan profesi kesehatan disebut malpraktek, kelalaian dalam menjalankan
profesi disebut medical negligence.
Kedua-duanya sama-sama berakibat merugikan pasien. Ada
dua bentuk kelalaian :
a)
Kelalaian
berat (culpa lata, gross negligence),
dapat mencelakakan orang lain hingga sampai merenggut nyawa orang lain dan sering
berhubungan dengan hukum pidana. Diklasifikasikan sebagai kelalaian berat,
serius dan kriminal ( Hanafiah dan Amir, 1999).
b)
Kelalaian ringan (culpa
levis), sering berhubungan dengan pelanggaran dibidang pidana dan
etik.
Secara umum kelalaian dibuktikan dengan perbandingan kerja
perawat dengan standart praktek keperawatan dan dibedakan menjadi kelalaian
murni atau kelalaian mencolok. Kelalaian murni terjadi saat perawat
membahayakan pasien dalam keadaan dibawah pengaruh alhohol dan obat-obatan.
Sedang kelalaian mencolok diduga bahwa perawat dengan sengaja dan sadar
mengabaikan resiko yang diketahui membahayakan pasien.
Elemen-elemen pertanggangjawabanhukum (liability)yang harus
ditetapkan bahwa malpraktek atau kelalaian yang telah terjadi (Vestal, 1995) :
a)
Kewajiban
(Duty)
Pada saat terjadinya
cidera terkait dengan kewajibannya mempergunakan secara ilmu dan kepandaiannya
berdasarkan standar profesi à berkompeten
b)
Breach of the duty (tidak melaksanakan kewajiban)
Artinya menyimpang dari
apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi. Contoh : gagal mencatat
dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien dengan penurunan kesadaran.
c)
Proximate caused (sebab-akibat)
Pelanggaran terhadap
kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cidera yang dialami klien. Contoh:
gagal menggunakan cara pengamanan yang tepat, yang menyebabkan pasien jatuh dan
mengakibatkan cidera.
d)
Injury
(cidera)
Jika seseorang
mengalami cidera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum . contoh :
fraktur panggul saat dirawat di RS karena jatuh dari tempat tidur.
Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal
memperhatikan setiap bagian dari proses keperawatan yang terdiri dari
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi maka perawat
tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan melakukan suatu kelalaian. Contoh
kelalaian perawat :
a)
Assesment Failure: kegagalan dalam mengkaji maupun menganalisa data mengenai
pasien. misal.perawat tidak observasi sehingga pasien mengalami perburukan.
b)
Plainning Failure: kegagalan dalam menentukan perencanaan dan dianosa
keperawatan.
c)
Implementation: termasuk kegagalan dalam komunikasi, kegagalan melakukan tindakan yang
tepat dan lain-lain
d)
Evaluation Failure: perawat gagal dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai
advocat.
2.
Malpraktek
Malpraktek sering
disebut sebagai kelalaian profesional. Malpaktek keperawatan adalah akibat dari
pelayanan keperawatan yang dilakukan dibawah standar. Menurut Gunadi (2004)
malpraktek mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan dengan kelalaian, karena
dalam malpraktek selain ada unsur kelalaian juga ada tindakan dalam kategori
kesengajaan dan melanggar Undang-undang. Malpraktek yang dilakukan dengan
sengaja merupakan bentuk malpraktek murni yang termasuk dalam kriminal. Gunadi
(2004) mengemukakan perbedaan malpraktek dan kelalaian berdasarkan motif/
tujuan suatu tindakan:
a.
Malpraktek
(dalam arti sempit): secara sadar dilakukan dan tidak peduli akan akibat
tindakan yang telah diketahuinya.
b.
Kelalaian
: orang yang berbuat tidak menduga akibat yang akan muncul dan tidak sengaja
menyebabkan suatu akibat yang merugikan.
BAB
3
PEMBAHASAN
3.1
KASUS
Serang (Pos Kota) -
Petugas Unit Tindak Pidana Khusus Satuan Reskrim Polres Serang mengamankan SG
(55 tahun), seorang perawat di klinik Prima Medika di Kelurahan Kuranji,
Serang. SG ditangkap karena melakukan praktek bedah ilegal yang semestinya dilakukan
oleh tim kedokteran. Menariknya, warga sekitar
tidak tahu kalau klinik yang dikelola perawat berinisial SG, 55, ini melakukan
praktek bedah ilegal tanpa izin “Saya engga kenal mukanya, tahu mobilnya aja
pas praktek. Warga juga tak tahu kalau SG itu hanya seorang perawat yang
melakukan praktek ilegal, soalnya dia (SG) tidak tinggal di Kuranji,” kata
Muhammad Aziz, warga setempat.
Menurut
Aziz, Klinik Prima Medika diperkirakan sudah beroperasi sekitar 5 tahunan.
Hanya saja, pada saat pertama kali buka praktek tidak menggunakan nama klinik.
Seiring dengan banyaknya pasien, barulah SG memasang papan nama klinik lengkap
dengan jam praktek mulai pukul 15.00 hingga 20.00. SG dinilai menjalani praktek
bedah ilegal yang semestinya dilakukan olehtim kedokteran, dan juga tak punya
izin. Dalam
keseharian prakteknya, SG juga mengenakan jas dokter sehingga warga mengira SG
adalah dokter. “Tersangka membuka praktek tanpa izin
sejak tahun 2013. Hanya saja tersangka tidak mempunyai legalitas kewenangan untuk
melakukan praktek bedah pasien,” ungkap Kepala Satuan Reskrim Polres Serang,
AKP Gogo Galesung saat ekspose, Rabu (7/9).
SG ditangkap atas dasar
penyelidikan polisi berdasarkan laporan keluarga korban berinisial SL. Pihak
keluarga mencurigai kematian SL setelah menjalani operasi hernia di Klinik
Prima Medika. Korban awalnya datang dengan keluhan nyeri di perut serta perut
membesar. Oleh SG, korban dianjurkan untuk operasi. Setelah dioperasi, sehari
kemudian pasien tidak bisa BAB seperti biasa melalui anus, namun keluar melalui
bagian perut yang dilakukan pembedahan dan akhirnya keesokan harinya pasien
meninggal dunia.
Dalam
penggerebekan, polisi mengamankan SG dan sejumlah barang bukti dari dalam
klinik. Barang bukti yang diamankan diantaranya, tabung oksigen, 2 lampu
periksa, mesin steril alat operasi dan tempat set alat operasi, meja alat
operasi, peralatan operasi, set tensi meteran, set tiang infus, obat-obatan
serta alat suntik.
Terkait
obat-obatan serta peralatan medis, lanjut Kasat, tersangka membelinya dari
apotik. Karena tersangka bekerja pada rumah sakit, setiap pembelian obat atau
peralatan medis tersangka mengaku untuk keperluan rumah sakit. “Obat-obatan
yang kami amankan juga dibeli harus menggunakan resep dokter,” kata Kasat.
“Sebelum ada pasien yang meninggal dunia, banyak yang datang berobat bahkan
dari luar Kecamatan Takatakan. Tapi setelah ada yang meninggal memang mulai
berkurang bahkan sepi pengunjung,” ungkap Aziz.
SG
dalam melakukan prakteknya memberikan tarif yang relatif murah, berkisar antara
200 ribu-2,5 juta tergantung penyakitnya. Karena tarif yang murah, maka banyak
masyarakat tidak mampu yang berobat ke klinik Prima Medika. “Sejak membuka praktek, tersangka telah melakukan operasi
bedah terhadap 125 pasien. Rinciannya 101 pasien bedah minor dan 24 pasien
menjalani bedah mayor,” jelas Kasat.
3.2
ANALISA
BERDASARKAN ASPEK HUKUM
1.
Dari
kasus itu dapat dikatakan sebagai malpraktik.
Malpraktik, berarti sikap, tindak yang
salah, pemberian pelayanan yang tidak benar. Melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence). Melanggar suatu
ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan (Guwandi,
2005). Secara harfiah istilah “malpraktik” artinya praktek yang buruk (bad
practice), praktek yang jelek. Malpraktek adalah praktik kedokteran yang
dilakukan salah, tak tepat, menyalahi Undang Undang, kode etik (Kamus
Kedokteran Indonesia, 2008, 500). Malpraktik dapat dibedakan menjadi
malapraktik yuridis dan malapraktik etis. Malpraktik yuridis dibedakan 3 (tiga)
kelompok, yaitu criminal malpractice
(pidana), civil malpractice
(perdata), dan administrative malpractice
(administrasi).
Criminal malpractice dibedakan 3 (tiga) golongan, yaitu (Dahlan, 2001):
a.
Karena kesengajaan (intentional), misalnya aborsi tanpa
indikasi medik, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan
pertolongan pada kasus gawat, memberikan surat keterangan dokter yang tidak
benar.
b. Karena
kecerobohan (recklessness), misalnya
tindakan yang tidak lege artis (tidak
sesuai dengan indikasi medik dan tidak memenuhi standar pelayanan medik),
tindakan tanpa informed consent.
c. Karena
kealpaan (negligence), misalnya :
meninggalkan kasa/gunting di dalam perut pasien yang dioperasi, alpa/kurang
hati-hati, sehingga pasien cacat/meninggal,
Perlu dibedakan antara malapraktik
dan kealpaan (negligence). Kealpaan
termasuk malapraktik, tetapi di dalam malapraktik tidak selalu harus terdapat
unsur kealpaan. Malapraktik kecuali mencakup kealpaan, juga mencakup tindakan
yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar undang-undang (Guwandi, 2005).
2.
Tindak
Pidana Dalam Bidang Medik
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik dalam
arti yang luas, yang menitikberatkan pada pelayanan dan perlindungan terhadap
kepentingan umum atau masyarakat. Arief, 2002 berpendapat bahwa
pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan
penggerak utama dari proses sosial, yaitu: pertanggungjawaban pidana bersifat
pribadi/ perorangan (asas personal) pidana hanya diberikan kepada orang yang
bersalah (asas culpabilitas: tiada
pidana tanpa kesalahan) pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan
kondisi si pelaku.
Sumber
kesalahan dapat berupa (Poernomo, 1996):
a. Melalaikan
kewajiban
b. Melakukan
sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat mengingat sumpah profesi atau
sumpah jabatan
b. Mengabaikan
sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi
c.
Berperilaku tidak
sesuai dengan patokan umum mengenai kewajaran yang diharapkan dari sesama rekan
seprofesi dalam keadaan sama dan tempat yang sama.
3.
Dari
kasus diatas dapat dijerat hukum KUHP Pasal 359 dan 378
a.
Karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mati
Pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun
b.
Perbuatan
Menipu
Pasal 378 KUHP:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid)
palsu; dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang ataupun
menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
3.3
ANALISA
BERDASARKAN UU KEPERAWATAN NO.38 TAHUN 2014
Analisa
kasus berdasarkan UU Keperawatan No.38 tahun 2014:
1. Pasal
1 ayat (2) dinyatakan bahwa perawat adalah seseorang yang sudah lulus
pendidikan keperawatan, baik di dalam maupun luar negeriyang diakui oleh
pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Pelaku
adalah perawat RSUD Drajat Prawinegara kota Serang, ini berarti kemungkinan
perawat tersebut memang seorang perawat yang sudah menjalani pendidikan tinggi.
2. Pasal
1 Ayat (4) dinyatakan praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan
oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan.
Ayat (5). Asuhan
Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya
untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat
dirinya.
Praktik keperawatan ini
juga diatur dalam pasal 28 ayat (3): harus didasarkan pada kode etik, standar
pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
Dalam pasal 29 ayat (1)
juga dinyatakan bahwa tugas perawat adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan,
sebagai penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan,
peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang (dalam
bagian penjelasan pasal dinyatakan bahwa pelimpahan wewenang tersebut adalah
menyuntik, memasang infus, dan memberikan imunisasi sesuai dengan program
pemerintah. Sedangkan pelimpahan tugas secara mandat adalah pemberian terapi
parenteral dan penjahitan luka), dan sebagai pelaksana tugas dalam keadaan
keterbatasan tertentu.
Dalam pasal 32 ayat (1)
dinyatakan bahwa pelimpahan wewenang oleh tenaga medis harus tertulis, dan pada
ayat (5) dinyatakan di bawah pengawasan.
Pasal 37 butir b diatur
tentang kewajiban dalam melaksanakan Praktik Keperawatan yaitu memberikan
Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan,
standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
Analisa:
Praktik bedah yang dilakukan oleh perawat tersebut jelas melanggar pasal 1, 29,
dan pasal 32 tersebut karena bukan wewenangnya dan tidak sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki (pasal 30 ayat (1) dan (2) diatur tentang wewenang
seorang perawat).
3. Pasal
33 dinyatakan bahwa Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf f merupakan penugasan
Pemerintah yang dilaksanakan pada keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau
tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat Perawat bertugas. (2) Keadaan tidak
adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat Perawat
bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
setempat. (3) Pelaksanaan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi Perawat.
(4) Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perawat berwenang: a. melakukan pengobatan untuk
penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga medis; b. merujuk pasien sesuai
dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan c. melakukan pelayanan kefarmasian
secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga kefarmasian.
Analisa:
a.
Pasal ini mengatur
tentang praktik kefarmasian dan jelas pelaku melanggar pasal ini karena telah
melakukan praktik farmasi di kota besar, yang pasti banyak tenaga farmasi
sehingga tidak perlu digantikan, juga perawat tersebut melakukan pelanggaran
melalui melakukan pengobatan dan membeli obat-obatan serta menyimpan dan
memberikan obat-obatan tersebut kepada pasien yang dibuktikan dengan
ditemukannya obat-obatan saat penggrebekan oleh pihak berwajib.
b.
Dalam penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa pengobatan yang dimaksud dalam keadaaan keterbatasan
itu adalah pengobatan dengan penyakit umum merupakan penyakit atau gejala yang
ringan dan sering ditemukan sehari hari dan berdasarkan gejala yang terlihat
(simtomatik), antara lain, sakit kepala, batuk pilek, diare tanpa dehidrasi,
kembung, demam, dan sakit gigi. Huruf c Yang dimaksud dengan “pelayanan
kefarmasian secara terbatas” adalah kegiatan menyimpan dan menyerahkan obat
kepada Klien.
c.
Pelaku juga melakukan
tindakan penyuntikan/pemberian obat tanpa permintaan dokter, dan ini melanggar
pasal 32 terkait pelimpahan wewenang.
4. Pasal
19 menjelaskan tentang surat ijin menjalankan praktik keperawatan
(1) Perawat yang
menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP.
(3) SIPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Perawat
menjalankan praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan
SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Perawat harus melampirkan: a.
salinan STR yang masih berlaku; b. rekomendasi dari Organisasi Profesi Perawat;
dan c. surat pernyataan memiliki tempat praktik atau surat keterangan dari
pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(5) SIPP masih berlaku apabila: a. STR masih
berlaku; dan b. Perawat berpraktik di tempat sebagaimana tercantum dalam SIPP.
Pasal
20 (1) SIPP hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik. (2) SIPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Perawat paling banyak untuk 2 (dua)
tempat.
Pasal
21 Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik
Keperawatan.
Analisa:
a. Pasal-pasal
tersebut dilanggar oleh pelaku, karena untuk poin SIPP (pasal 19 ayat 4), agar
mendapatkan SIPP, perawat harus melampirkan surat pernyataan memiliki tempat
praktik. Klinik Prima tersebut tidak memiliki ijin, ini berarti kemungkinan
perawat juga tidak memiliki SIPP untuk bisa melakukan praktik di klinik
tersebut.
b. Karena
tidak memiliki SIPP untuk tempat praktik di klinik, maka praktik keperawatan
yang dilakukannya di klinik tersebut adalah ilegal.
c. Pelaku
juga tidak memiliki papan nama klinik, melanggar pasal 21. Ini dibuktikan oleh
penuturan masyarakat bahwa awalnya klinik tersebut tidak memiliki papan nama
klinik, namun seiring bertambahnya jumlah pasien, papan nama tersebut baru
diadakan.
5. Dalam
pasal 35 diatur tentang tindakan medis yang dapat dilakukan dalam keadaan
terbatas.
(1) Dalam keadaan
darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat dapat melakukan tindakan
medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya.
(2) Pertolongan pertama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah
kecacatan lebih lanjut.
(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan keadaan yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
(4) Keadaan darurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat sesuai dengan hasil
evaluasi berdasarkan keilmuannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Analisa:
Tindakan
medis yang diperkenankan dilakukan adalah untuk pertolongan pertama dan dalam
keadaan darurat yang mengancam nyawa dan mencegah kecacatan. Perawat tersebut
melakukan tindakan yang sifatnya bukan pertolongan pertama, dan juga bukan
dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa atau mencegah kecacatan. Operasi
hernia adalah operasi kategori elektif sehingga bukan merupakan keadaan
darurat.
6. Pasal
37 diatur tentang kewajiban dalam melaksanakan Praktik Keperawatan, yaitu pada
bagian (c) merujuk Klien yang
tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih
tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
Analisa:
Bahwa
seharusnya perawat tersebut merujuk pasienkarena permasalahan pasien tidak
dapat ditangani, terutama karena tidak sesuai dengan kewenangan dan
kompetensinya, namun perawat tersebut tidak melakukan hal tersebut malah
melakukan pembedahan secara mandiri.
3.4
ANALISA
BERDASARKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT KEPERAWATAN
Dari
kasus diatas SG melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
1.
UU no 36 tahun 2014
tentang tenaga kesehatan
a.
Pasal 46 yang
menyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktek di bidang
pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dan diberikan dalam bentuk SIP.
Berdasarkan
kasus diatas SG telah melanggar UU tersebut karena SG tidak memiliki izin dalam
praktiknya. SG dianggap melanggar undang-undang karena membuka praktik
kedokteran serta mengaku sebagai seorang dokter. SG seharusnya memiliki izin
praktik asuhan keperawatan.
b.
Pasal 47
menyebutkan bahwa Tenaga Kesehatan yang menjalankan
praktik mandiri harus memasang papan nama praktik.
Pada
kasus didapatkan data bahwa pada awal klinik Prima Medika beroperasi belum
dipasang papan nama praktik, namun setelah banyak pasien datang berobat barulah
SG memasang papan nama praktek.
c.
Pasal 62 disebutkan
bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik harus disesuaikan dengan
kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya.
Analisa:
Berdasarkan
kasus di atas didapatkan bahwa SG bekerja tidak sesuai dengan UU karena SG
menjalankan praktik tidak sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada
kompetensinya. SG adalah seorang perawat namun membuka praktek untuk tindakan
bedah dimana tindakan bedah merupakan kompetensi seorang dokter ahli bedah.
Dalam prakteknya, SG telah melakukan 101 operasi bedah minor dan 24 operasi
bedah mayor.
d. Pasal 58 disebutkan bahwa Tenaga
Kesehatan dalam menjalankan praktik wajibmemberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi,Standar Prosedur Operasional,
dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima PelayananKesehatan;
Analisa:
Berdasarkan
kasus,SG melanggar pasal 58 ini karena tidak memperhatikan standar profesi
keperawatan dan standar asuhan keperawatan. Standar profesi keperawatan artinya
semua tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien harus sesuai dengan
ukuran ilmu pengetahuan keperawatan dan harus sesuai dengan kompetensi
keperawatan.
Tindakan
keperawatan yang dilakukan secara benar dan profesional merupakan tindakan
keperawatan yang dilakukan berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
terhadap penyakit yang diderita pasien. Tindakan keperawatan yang profesional
harus dilakukan sesuai dengan standar profesi keperawatan dimana tidak
melanggar hak dan kewajiban yang telah ada.
2.
Permenkes no 17
tahun 2013 tentang perubahan atas permenkes no 148/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktek perawat, Pasal 3 disebutkan bahwa Setiap
Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
di luar praktik mandiri wajib memiliki SIKP
dan SIPP.
Analisa:
Berdasarkan
kasus tersebut, didapatkan data bahwa SG tidak memiliki izin SIKP dan SIPP
untuk praktek mandirinya selama kurang lebih 5 tahun praktek mandirinya dibuka.
3.
UU no 29 tahun 2004
tentang praktek kedokteran, Pasal 1 ayat 1
menyatakan bahwa setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang
bersangktutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat
registrasi/surat izin praktik) dan ayat 2: Setiap orang dilarang menggunakan
alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-seolah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
gigi telah memiliki surat tanda registrasi/surat izin praktik.
Analisa:
Berdasarkan
kasus, dapat dilihat bahwa SG melanggar UU tersebut. SG dalam prakteknya
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah seperti dokter sesuai dengan
penuturan masyarakat bahwa biasanya SG menggunakan jas dokter dalam melakukan
setiap praktiknya.
3.5
ANALISA
BERDASARKAN KELALAIAN/MALPRAKTIK
1.
Berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2014 ttg Keperawatan Pasal 1 bahwa:
a.
Ayat
1: Perawat adalah seseorang yang telah
lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun diluar negeri yang
diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
b.
Ayat
2: Praktik keperawatan adalah
pelayanan yang diselenggarakan oleh perawat dalam bentuk asuhan keperawatan.
c.
Dan
berdasarkan pasal 29 ayat
1 bahwa dalam menyelenggarakan
praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai : Pemberi asuhan keperawatan, Penyuluh
dan konselor bagi klien, Pengelola pelayanan keperawatan, Peneliti keperawatan,
Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atauPelaksana tugas dalam
keadaan keterbatasan tertentu.
Analisa:
SG berprofesi perawat, dan berdasarkan UU no.38 tahun 2014, perawat SG sebagai perawat
memiliki kewajiban melakukan praktek keperawatan seperti yang diatur dalam
pasal 29 ayat 1.
Faktanya perawat SG
melakukan praktek mandiri diluar praktek keperawatan, ini berarti SG tidak
menjalankan kewajibannya secara profesional dan tidak sesuai dengan pasal 29
yang telah menjelaskan batasan atau lingkup dari praktek keperawatan itu
sendiri. SG dapat dinilai melakukan perbuatan diluar kewenangan dan
kompetensinya sebagai perawat
2. Berdasarkan UU No.38 Tahun 2014 ttg Keperawatan
a.
Pasal 19 ayat 1 bahwa Perawat yang menjalankan praktek keperawatan wajib memiliki
izin.
b.
Pasal 21 bahwa Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan
nama Praktik Keperawatan.
c.
Menurut
Standar Praktik Keperawatan Lingkup
Standar Praktik Keperawatan Indonesia meliputi :
1) Standar
Praktik Professional
a.
Standar I Pengkajian
b.
Standar II Diagnosa Keperawatan
c.
Standar III Perencanaan
d.
Standar IV Pelaksanaan Tindakan (Impelementasi)
e.
Standar V Evaluasi
2)
Standar
Kinerja Profesional
Fakta bahwa SG membuka Klinik Praktek Mandiri (diketahui
tanpa ijin) dan melakukan praktek medis/kedokteran.
Analisa:
SG seharusnya mengurus ijin praktiknya dan memasang papan nama Praktik
Keperawatan sesuai dengan profesinya . Jadi jika pasien penderita Hernia
datang, maka perawat SG memiliki kewenangan dan berkewajiban memberikan
asuhan keperawatan sesuai dengan Standart Praktek Keperawatan. Tetapi SG
gagal menjalankan kewajiban tersebut, SG dapat dinilai melakukan kelalaian.
Karena secara umum kelalaian dibuktikan dengan perbandingan kerja seorang
perawat dengan standart praktek keperawatan.
3.
Berdasarkan kajian
Kelalaian (Negligence) bahwa kelalaian
adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar sehinggadapat
mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005)
a. KUHP
pasal 359: Kelalaian yang menyebabkan kematian
b. KUHP Pasal 360: Kelalaian
yang menyebabkan luka berat
Analisa:
Kelalaian SG diduga menyebabkan kematian pasien sehari
setelah dioperasi oleh SG. SG dapat dituntut dengan KUHP pasal 359 dan 360
terkait kelalaian yang menyebabkan luka berat dan kematian.
4.
Berdasarkan kajian
MalpraktikKeperawatan bahwamalpraktik keperawatan adalah akibat dari pelayanan
keperawatan yang dilakukan di bawah standar praktek keperawatan, dan
berdasarkan UU Keperawatan No.
38 tahun 2014 Pasal 2 bahwa Praktek Keperawatan yang dimaksud harus berasaskan:
Perikemanusiaan, Nilai ilmiah, Etika dan
profesionalitas, Manfaat, Keadilan, Perlindungan dan Kesehatan dan keselamatan
klien.
Analisa:
SG
dinilai melakukan malpraktek keperawatan,
a.
Tuntutan
malpraktik adalah berdasarkan Standar pelayanan keperawatan dengan mengukur
tindakan keperawatan dan menentukan apakah perawat melakukan tindakan yang
layak dan bijaksana seperti yang dilakukan perawat lainnya dalam situasi yang
sama.
b.
Dalam
UU keperawatan no.38 tahun 2014 pasal 2 juga jelas mengatakan tentang asas
keperawatan, dalam kaitannya dengan kasus SG, SG melanggar semua poin dalam
pasal 2 tersebut. SG yang adalah seorang perawat gagal menjalankan pasal 2.
5.
Berdasarkan
kajian Kewenangan Perawat, kewenangan perawat berdasarkan perolehannya yaitu kewenangan yang melekat pada
diri perawat (atributif), misalnya
adalah Asuhan Keperawatan, dan kewenangan yang merupakan pelimpahan Kewenangan berdasarkan doktrin dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014.
Dalam Doktrin perpanjangan tangan dokter atau istilah
lainnya: Verlengle Arm van de Arts Doctrine,atau Prolonge Arm Doctrine, atau
Extended Role Doctrine, syarat
pelimpahan kewenangan antara lain:
a.
Penegakan diagnosis, pemberian atau penentuan terapi serta penentuan
indikasi, harus diputuskan dokter
dan tidak dapat dilimpahkan
b.
Pelimpahan kewenangan
hanya diperbolehkan jika dokter yakin bahwa perawat yang menerima pelimpahan
kewenangan itu mampu melaksanakannya dengan baik (dokter yakin dengan kemampuan perawat)
c.
Pelimpahan kewenangan
harus dilakukan secara tertulis
d.
Harus ada bimbingan atau pengawasan medik pada
pelaksanaannya (misalnya: dokter dapat dihubungi dan hadir apabila kondisinya
gawat darurat)
Perawat berhak
menolak apabila merasa tidak mampu melaksanakan tindakan medis.
Analisa:
SG melakukan praktek medis atau kedokteran dan kefarmasian,
diluar dari kewenangan klinisnya sebagai perawat.SG melakukan pelanggaran
malpraktek karena membuka praktek dan melayani pasien tanpa ijin sesuai
perundang-undangan dan melakukan praktek kedokteran serta kefarmasian. Hal ini
tidak sesuai kewajibannya yang melekat pada dirinya yaitu sebagai seorang
perawat. SG juga tidak menerima pelimpahan kewenangan dari seorang dokter bedah
secara tertulis maupun lisan. Penegakan diagnosa Hernia pada pasien diragukan
jika dilakukan oleh SG, karena menurut UU diputuskan oleh dokter dan penegakan
diagnosa medis tidak dapat dilimpahkan.
6.
Berdasarkan Pasal
351 KUHP,intinya adalah mengatur mengenai Penganiayaan. Tindakan Pembedahan merupakan
Penganiayaan, tetapi unsur Penganiayaan akan terhapus apabila:
a.
Klien
memberikan persetujuan (apabila gawat darurat dan Klien tidak sadar maka
dianggap seolah-oleh telah memberikan persetujuan).
b.
Tindakan didasarkan indikasi dan tujuan yang konkrit.
c.
Tindakan dilakukan sesuai dengan standar keilmuan.
Analisa:
a.
SG
melakukan pelanggaran malpraktek dari sudut pandang tindakan pembedahan, karena
dilakukan tanpa standar keilmuan.
b.
SG meminta persetujuan secara sadar untuk melakukan operasi tanpa
memperdulikan akibatnya. Kemungkinan besar pasien tidak diberikan informasi
yang adekuat terkait prosedur operasi , akibat dan kompetensi SG sendiri (bukan
dokter bedah). Selain itu diyakini saat
pasien datang ke praktek SG, pasien tidak dalam keadaan gawat darurat dan sadar
penuh. Sehingga tidak ada indikasi untuk dilakukan tindakan saat itu juga. SG
dapat menganjurkan untuk di rujuk ke fasilitas kesehatan lain yang menyelenggarakan
praktek dokter bedah.
c.
Selain
itu pasien mengalami tekanan ekonomi sehingga tidak ada pilihan lain baginya
(biaya operasi lebih ringan dibanding di RS).
d.
Dalam
hal ini SG dapat dinilai melakukan kelalaian berat dari sudut pandang
professional, yang dilakukan dengan mencolok/sadar/sengaja dan dinaikkan
ketegorinya menjadi malpraktek kriminal karena mengakibatkan kematian.
3.6
ANALISA
BERDASARKAN PENERAPAN HUKUM PERDATA DAN HUKUM PIDANA
DALAM BIDANG KESEHATAN
1.
Berdasarkan
pasal 1233 KUHPerdata
yang berbunyi sebagai berikut: “
Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”. Perikatan yang lahirnya dari perjanjian artinya dua
orang atau lebih dapat menjadi terikat untuk melakukan hak dan kewajiban
masing-masing dikarenakan mereka menyetujui sebuah perjanjian. Perjanjian yang
telah dibuat oleh para pihak akan mempunyai kekuatan mengikat sebagai mana
undang-undang bagi keduanya, Hal ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda.
Analisa:
a.
Pasien
dilakukan operasi hernia di klinik Prima Medika, oleh perawat merupakan
tindakan bukan gawat darurat. Hubungan antara perawat dengan klien yang
sifatnya bukan gawat darurat pada kasus ini merupakan perikatan yang dilahirkan
karena perjanjian.
b.
Pada kasus
ini belum disebutkan apakah sebelum dilakukan tindakan bedah tersebut ada inform consent yang terdokumentasi. Persetujuan
tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Perlunya inform consent
karena mengandung unsur persetujuan tindakan kedokteran, menurut Permenkes 290
tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran.
2.
Selain itu
menurut asas konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1
KUHPerdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat:sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu
hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Analisa:
Pada kasus ini,syarat
berupa kesepakatan perawat SG dan pasien dan kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian tidak ada. Hal ini terbukti dari tidak adanya inform consent dan perawat SG melakukan tindakan yang bukan
wewenangnya (kecakapan tidak ada karena operasi tersebut wewenang dokter).
3.
Pasal 359 KUHP yaitu pasal yang berhubungan
dengan bidang kesehatan meliputi yang berisikan kelalaian
yang mengakibatkan kematian. Untuk membuktikan malpraktik atau kelalaian dapat
dilihat dari adanya 4 empat elemen (Vestal, 1995) :
a. Kewajiban (Duty): Cedera terjadi pada saat
seharusnya tenaga kesehatan melakukan kewajibannya yaitu kewajiban
mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau
setidak–tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar
profesi.
b. Tidak melaksanakan kewajiban (Breach of the duty):
Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa
yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.
c. Faktor sebab-Akibat (Proximate caused): Pelanggaran
terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami
klien.
d. Cedera (Injury):
Sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.
Pembuktian kelalaian tersebut dapat dilakukan dengan menilai apakah
menyimpang dari standar, apakah ada kelalaian berat (culpa lata), apakah akibatnya luka berat/meninggal dunia.
Analisa:
a. Menurut pasal 1365 KHUPerdata perawat SG diduga melakukan
perbuatan melawan hukum karena adanya unsur perbuatan melakukan operasi hernia
yang bukan wewenang perawat sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Keperawatan.
Akibat perbuatan perawat SG yang melawan hukum tersebut adanya kerugian berupa
kematian pasien tersebut. Hubungan antara perbuatan melawan hukum dan akibat /
kerugian merupakan hubungan kausalitas yang disebut teori conditio sine qua non dan teori adequate
veorzaaking.
b. Menurut pasal 1234 KUHPerdata perawat SG diduga
telah melakukan tindakan wanprestasi dimana hasil yang diperjanjikan oleh
perawat SG terhadap pasien yang mau operasi hernia berupa kesembuhan malah
berujung pada kematian. Hasil ini merupakan sesuatu yang tidak diharapkan
sesuai perjanjian.
c. Peranan rekam medis sangat penting dalam
pembuktian. Peraturan Menteri Kesehatan No.269 tahun 2008 tentang rekam medis
menyatakan bahwa rekam medis adalah berkas berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang
telah diberikan kepada pasien. Pada kasus ini tidak disebutkan apakah seluruh
proses tindakan bedah hernia tersebut dan hal-hal pemeriksaan, pengobatan, dan
pelayanan lain didokumentasikan dalam rekam medis. Dari kronologis waktu
kejadian berupa operasi hernia, pasien meninggal pada tahun 2014 dan kasus
diberitakan di media massa tahun 2016 pasti membutuhkan rekam medis dalam
pembuktian. Pembukaan data rekam medis dapat dilakukan untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum atas perintah pengadilan, permintaan dan/atau persetujuan
pasien, permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan,
untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan audit medis sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien.
d. Perawat SG juga melanggar pasal 1367 KUHPerdata
dimana SG tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya. Kerugian berupa kematian pasien yang operasi
hernia merupakan tanggung jawab perawat SG selaku pelaku tindakan malpraktik.
Selain itu barang-barang yang dibawah pengawasan perawat SG dalam hal ini
peralatan medis dan obat-obatan diakuinya untuk keperluan RS tidak dapat
dipertanggungjawabkan untuk keperluan RS. Peralatan medis dan pembelian
obat-obatan tanpa resep disalahgunakan untuk pelayanan praktik mandiri Klinik
Prima Medika.
BAB 4
PENUTUP
1.1
KESIMPULAN
Perawat sebagai saksi ahli adalah seorang perawat yang dapat
dimintai pendapat dan kesaksiannya dalam bidang keperawatan. Dalam kasus ini,
perawat sebagai saksi ahli bertugas untuk mengatur catatan medis dan
menyelidiki standar asuhan dan praktik keperawatan sesuai dengan hukum dan
peraturan perundangan terkait profesi keperawatan.
Berdasarkan analisa kasus yang dikaitkan dengan peraturan
dan perundangan keperawatan ditemukan bahwa beberapa pasal dilanggar oleh
perawat SG. Perawat terduga juga belum
bisa ditetapkan kesalahannya karena masih diperlukan barang bukti untuk
membuktikan pelanggaran tersebut. Namun perawat terduga berisiko melakukan
pelanggaran terkait praktik keperawatan, undang-undang keperawatan,
undang-undang kefarmasian, Permenkes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan
tindakan kedokteran, Permenkes No.269 tahun 2008 tentang rekam medis,pasal 1365, pasal 1234, pasal 1367, pasal 1320
KHUPerdata. Selain
itu pasal yang diduga dilanggar oleh perawat SG adalah 359 KUHP berupa
kelalaian yang menyebabkan kematian pasien tersebut.
1.2
SARAN
Malpraktik digambarkan sebagai tindakan professional yang tidak benar
atau kegagalan untuk menerapkan keterampilan profesional yang tepat oleh
berbagai profesi kesehatan, seperti kedokteran, keperawatan, kebidanan, atau
ahli terapi fisik. Malpraktik juga dapat dipandang sebagai perbuatan tenaga
kesehatan yang menjalankan tugas profesinya dengan bertentangan atau melanggar
atau tindak/kurang hati-hati memperhatikan ketentuan atau persyaratan yang
berlaku untuk setiap tingkat keadaan penyakit pasien yang ditanganinya sehingga
menimbulkan akibat yang merugikan, seperti keadaan cedera pada
pasien/keluarganya.
Kasus malpraktik merupakan kasus yang sering membuahkan tuntutan pidana
yang terjadi dalam bidang kesehatan di Indonesia. Peran perawat dalam memahami
dan menerapkan peraturan perundangan keperawatan maupun peraturan perundangan
yang terkait agar terhindar dari kasus hukum. Selain itu penting juga perawat
harus sadar hukum agar pelayanan professional dalam memberikan asuhan pelayanan
keperawatan sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aiken,T.D. & Catalano, J.T. (1994). Legal. Ethical, and political issues in
nursing. Philadelphia: F.A.Davis Company
Amir, Amin. 1998. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Jakarta :
MediaPress
Arief, B. N. (2002). Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana. hal. 38-39.
Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta:
Kanisius.
Depkes RI. (1998). Standar Praktek Keperawatan bagi Perawat
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Hariyati,Rr.T.S,. (1999). Hubungan antara pengetahuan
aspek hukum dari perawat, dan karakteristik perawat dengan kualitas
pendokumentasian asuhan keperawatan di RS Bhakti Yuda tahun 1999. Tesis. FIK
UI.
Gillies, Dee Ann, R.N.,
M.A.EQD.(1996). Manajemen Keperawatan. Chicago : W.B Saunder Company.
Gunadi, J. (2004). Kelalaian Medik. Jakarta :Balai Penerbit
FKUI
Guwandi, J. (2005). Hukum Medik (Medical Law), hal.
22-24. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Guwandi, J. (2005). Perbedaan Malpraktek dan Kelalaian
(dalam Hukum Medik, Medical Law), hal.20,21. Jakarta: BP
FK UI
Kementerian Kesehatan RI.
(2008). Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI.
(2008). Permenkes No. 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). (1847). Diakses dari www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt5243d51900ee3/parent/17229 pada tanggal 30 Oktober 2017
Morton, et al. (2012).
Volume 1 Keperawatan Kritis Pendekatan
Asuhan Holistik. Jakarta : Kedokteran EGC
Permenkes no 17 tahun 2013 tentang
perubahan atas permenkes no 148/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek
perawat
Poskota (2016). Belagak
kayak dokter, perawat lakukan praktek bedah lalu diamankan Diakses dari http://poskotanews.com/2016/09/07 pada tanggal 30 Oktober 2017
Poernomo, Bambang. (1996). Hukum Kesehatan.
Yogyakarta: Penerbit Aditya Media
PPNI. (2000). Buku Panduan Organisasi PPNI. Malang :
PPNI
Setiajadji, R.J.(2002). Aspek Hukum Pelayanan
Kesehatan. Edisi 1. Jakarta : EGC
Sofwan Dahlan. (2001). “Malpraktek” (dalam Hukum
Kesehatan, Rambu-rambu bagi Profesi Dokter). hal. 59-62. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. hal.
91. Semarang: Yayasan Sudarto
Urden, Linda, Stacy,
Kathleen. (2008). Priorities in Critical
Care Nursing. Canada: Mosby Elsevier
UU no. 29 tahun 2004 tentang praktek
kedokteran
UU RI No.36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan
UU RI No.38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan
Vestal, K.W. (1995). Nursing
management: concepts and issue. 2nd
ed.. Philadelphia: J.B Lippincott Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar