DASAR PEMBENTUKAN ETIK, MORAL DAN KEPUTUSAN ETIK



BAB I

PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang

Permasalahan etik merupakan permasalahan yang sangat krusial dalam sebuah profesi seperti profesi keperawatan karena berkaitan erat dengan sistem nilai, norma dan moral yang ada dalam diri individu maupun masyarakat dan profesi keperawatan merupakan profesi yang sangat dekat dengan konsep dan praktek etik maupun moral.
Menurut Chris Gastmas, keperawatan dianggap sebagai praktik moral dengan 3 komponen utama yaitu : hubungan kepedulian (kondisi praktik keperawatan), perilaku peduli (integrasi nilai kebaikan dan aktivitas kepakaran) dan perawatan yang baik yang didefinisikan sebagai tujuan akhir praktik keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara spesifik untuk menghubungkan diri dengan yang lain dalam konteks relasional antara pasien dan perawat dalam memberikan perhatian (caring) selama aplikasi asuhan keperawatan. Perilaku peduli melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan altruistik terhadap perawatan dengan fitur kognitif dan afektif-motivasi) dan aktivitas kepakaran.
Permasalahan yang mendasar pada profesi keperawatan Indonesia saat ini adalah perawat masih belum melaksanakan peran caring secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien (Nursalam, 2014). Kualitas perawat di rumah sakit masih membutuhkan bimbingan pengawasan. Hal ini dapat dilihat dari banyak komplain pasien terkait pelayanan keperawatan (Darwis, 2016), senada dengan hal tersebut, hasil penelitian Purba, Suza, Erniyati (2015) merekomendasikan perlunya evaluasi terhadap penerapan caring oleh perawat di rumah sakit serta memfasilitasi perawat dalam mengaplikasikan caring dalam asuhan keperawatan.
Dewi, Syam, dan Daulay (2015) mengatakan bahwa rumah sakit perlu mengoptimalkan kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik dengan meningkatkan budaya perilaku caring, memperhatikan prinsip etik di rumah sakit dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien, perlu dibuat aturan baku pelaksanaan perilaku caring, prinsip etik bagi perawat, pelaksanaan supervisi berkala, dan pelatihan caring.
Dengan mencermati beberapa fenomena diatas, dalam makalah ini penulis ingin membahas dan menganalisa konsep etik dalam keperawatan yang meliputi: Dasar pembentukan Etik dan Moral, Etika Kepedulian, Keperawatan sebagai Profesi, Keputusan Etik dan Standar Keperawatan dan Etik dalam Keperawatan.

1.2              Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1.         Mengidentifikasi keberadaan Etik dalam Filsafat Ilmu
2.         Membandingkan dan membedakan antara Etik dan Moral
3.         Menganalisa Teori Etik secara umum
4.         Menganalisa teoro etik pada area keperawatan dan membandingkan serta membedakan dengan teori Etik secara umum
5.         Menganalisis kode etik keperawatan di Indonesia dan dinegara lain.

1.3              Manfaat

Manfaat penyusunan makalah ini adalah:
1.        Profesi keperawatan
Sebagai sumber studi kepustakaan dalam  pengembangan etik dan moral dalam keperawatan sehingga dapat menambah pemahaman tentang konsep etik dan moral dan mengaplikasikan dalam praktek keperawatan.
2.      Institusi pendidikan keperawatan
Sebagai sumber kepustakaan dalam  pengembangan etik dan moral bagi institusi keperawatan.
3.      Mahasiswa keperawatan
Sebagai salah satu acuan kepustakaan dalam pemahaman konsep  etik dan moral dalam keperawatan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1              Dasar Pembentukan Etika dan Moral

2.1.1        Konsep Etik

   Etik berasal dari kata Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti  yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak ( ta etha) artinya adat kebiasaan. Arti kata etika ( ta etha) menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika  yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles  (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral ( Bertens, 2002).
Menurut Bertens (2002) etika adalah :
1.      Nilai-nilai (sistem nilai)  dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Yunani, etika agama Budha. Jadi etika Yunani yang berarti sistem nilai yang berlaku di Yunani dimana sistem nilai yang berlaku tiap individu maupun kelompok.
2.      Kumpulan asas atau nilai moral ( yang dimaksud adalah kode etik). Misalnya Kode Etik Keperawatan.
3.      Ilmu tentang yang baik buruk, filsafat moral.
4.      Ada beberapa alasan mengapa etika perlu menurut Franz Magnis-Suseno :
5.      Etika diperlukan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral.
6.      Etika membantu agar tidak kehilangan orientasi di tengah gelombang modernisasi
7.      Etika membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi baru dengan kritis dan objektif agar tidak mudah terpengaruh
8.      Etika diperlikan oleh kaum agama menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka.
Teori etika terbagi menjadi dua kategori utama yaitu teori normatif dan teori metaetika.Teori normatif merupakan kategori yang lebih besar dan lebih substantif. Ini melibatkan perumusan standar perilaku moral dan mengartikulasikan prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Teori meta etika, di sisi lain, adalah kategori yang lebih kompleks yang menyelidiki makna istilah dan kritik etika bagaimana pernyataan etis telah diverifikasi ini adalah kategori sekunder dimana teori normatif ditinjau dan dikomentari.
Dalam kapasitas ini, methaetika berfungsi sebagai kekuatan intelektual di balik layar yang menawarkan kritik ketika normatif etis terlalu jauh, atau ketika mereka gagal untuk menjelaskan prinsip-prinsip moral. Mengingat hubungan ini, etika normatif dapat dibandingkan dengan pengadilan yurisdiksi primer, sedangkan methaethics dapat dibandingkan dengan pengadilan banding. Setiap tingkat memberikan manfaat dari kontribusi pada yang lainnya.
1.      Teori Metaetika
Istilah meta berarti "setelah" atau 'di luar' dan umum di antara filsuf ilustratif yang terbiasa membuat komentari filosofis tentang semua aspek pengetahuan. Metaetik dapat didefinisikan sebagai studi tentang metode, bahasa, logika, struktur, dan penalaran yang digunakan dalam tiba di, atau dalam membenarkan penilaian moral. Perannya adalah untuk mengevaluasi komentar tentang bagaimana sebuah prinsip dibenarkan. Metaetik lebih langsung berkaitan dengan menganalisis arti istilah seperti baik dan buruk dibandingkan dengan menilai tingkah laku itu sendiri. Metaetik menghindari usaha untuk mendefinisikan standar perilaku moral, perhatian utama mereka adalah mengevaluasi kualitas dan validitas klaim oleh teori normatif dan memeriksa cara klaim semacam itu dipertimbangkan. Dalam kontras dengan tingkat pertama, menilai teoretikus normatif, methaetik masuk dalam tingkat kedua. Dengan demikian, hubungan antara etika normatif dan metaetika mirip dengan antara pengadilan negeri dan pengadilan banding dalam sistem peradilan.Teori metaetika pada gilirannya dibagi dalam dua subkategori, berdasarkan Pada apakah seseorang percaya bahwa penilaian moral dilakukan atau tidak ada sebagai kenyataan. Akhirnya, perlu ditekankan bahwa bidang etika normatif dan methaethic saling terkait erat karena masing-masing berkontribusi terhadap perkembangan yang lain. Akibatnya, kebanyakan filsuf filsuf saat ini tampaknya mengejar filsafat jalur ganda, menggabungkan kedua pendekatan dengan berbagai cara, dengan penekanan, pada satu pendekatan atau pendekatan lainnya (Souryal, 2011). Dari teori metaetik, penulis menyimpulkan bahwa filsafat dalam teori ini lebih dianggap sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan evaluator. Teori ini berperan dalam mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang dipercayai dan dibenarkan terutama oleh teori normatif. Para filsuf dalam teori ini akan melakukan penalaran pada standar ataupun istilah yang diakui baik dan benar oleh teori normatif. Secara tidak langsung teori ini membantu dalam perbaikan dan pembenahan kembali tentang prinsip-prinsip yang diakui tersebut.
2.      Normatif
Bidang etika normatif terbagi menjadi dua sub kategori yang cukup dapat dibedakan . Pembagian ini didasarkan pada apakah penekanan moral diletakan diujung depan tindakan itu sendiri atau bagian belakang konsekuensi aksi. Yang pertama dikenal teori deontologis dan yang terakhir sebagai teori teleologis.
a.       Teori deontology
Teori deontologi dikenal juga dengan teori kewajiban. Karena bahasa deontologi berasal dari bahasa yunani  ‘duty’ yang berarti kewajiban. Teori deontologi menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari suatu tindakan sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah. Suatu tindakan dinyatakan benar apabila tidak ada maksud di belakangnya atau ada konsekuensi lain, maka itu adalah benar. Contohnya membantu orang lain dianggap etika yang benar. Fakta bahwa lebih baik melakukan kebaikan daripada melakukan kesalahan. Kenyataan bahwa bantuan nantinya bisa terbukti berbahaya tidak membuat perbedaan dalam persamaan moral. Tindakan yang benar, tetap benar bahkan jika hasilnya buruk atau jika dilakukan karena alasan yang salah. Dengan tepat, mengatakan yang sebenarnya adalah mengutuk dengan baik tanpa mempertimbangkan konsekuensi buruk yang mungkin ditimbulkannya. Selanjutnya, tindakan yang dianggap benar harus bersifat universal di mana saja dan kapanpun. Teori deontologis dibagi dalam dua kategori: monistik atau multipel. Dalam kategori pertama, pertimbangan moralitas didasarkan pada nilai tunggal kebaikan. Contoh kategori ini mencakup teori hedonisme, yang menganggap bahwa kesenangan adalah satu-satunya yang baik dan total kebaikan, dan teori Kant berkewajiban sebagai satu-satunya kewajiban dalam kehidupan. Pada subkategori kedua, teori deontologis dapat berupa dualistik atau pluralistik, dalam kasus mana mereka didasarkan pada dua atau lebih nilai kebaikan. Seperti pasangan yang menikah terdiri dari tampan/cantik dan kaya, atau pluralisme yaitu kaya, cantik, dan bependidikan. Oleh karena itu,  disimpulkan bahwa teori deontologi menilai nilai moral secara ketat atas dasar tindakan itu sendiri, terlepas dari apa konsekuensi dari tindakan itu yang mungkin terjadi. Dengan demikian, mereka merupakan sanksi yang tegas, material, universal atau setidaknya memiliki efek yang menentukan pilihan manusia. (Souryal, 2011). Dari teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa teori deontologi menilai sesuatu yang dikatakan bermoral atau tidak adalah dari tindakan itu sendiri. Tindakan tersebut harus secara umum diakui bermoral dimanapun atau kapanpun. Apabila secara universal atau umum sebuah tindakan yang sudah diwajibkan untuk dilakukan, meskipun hasil dari tindakan tersebut tidak baik dan berbahaya, tidak diperhitungkan oleh teori ini. Tindakan tersebut tetap dikatakan bermoral oleh teori ini.
b.      Teori teleological
Kata teleologikal berasal dari bahasa yunani ‘ teleois’ yang berarti konsekuensi atau membawa masalah sampai akhir tujuan atau tujuan. Teori teleologis menentukan nilai moral dari hasil suatu tindakan. Di sana, konsekuensi tindakan tersebut ditentukan tindakan benar. Jika hasilnya bagus maka tindakannya benar jika hasilnya buruk dari tindakan yang salah. Dengan demikian, dalam contoh sebelumnya, kebenaran memukul pantat seorang anak adalah dalam mereformasi tingkah lakunya, hak untuk berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan, memenjarakan seorang penjahat adalah menghalangi orang lain melakukan kejahatan. Di antara dua teoretik teleologis yang paling dikenal adalah utilitarianisme dan keadilan sosial. Menurut teori utilitarian, sebuah tindakan atau kebijakan mungkin bersifat moral atau tidak bermoral hanya dalam hal kapasitasnya untuk mencapai kebaikan terbesar bagi banyak orang. Oleh karena itu, kebijakan yang menaikkan upah minimum atau meningkatkan manfaat jaminan sosial sangat bermanfaat, karena dapat menguntungkan segmen populasi yang lebih besar. Dengan cara yang sama, teori keadilan sosial menegaskan bahwa moralitas utama ada pada masyarakat mana saja yang mampu memaksimalkan kebebasan bagi semua warga tanpa mengorbankan kebutuhan orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu. Teori teleologi juga dibagi menjadi dua subkategori kualitas kebaikan dan kedudukan/tempat  kebaikan. Pada subkategori pertama, teleologi memberi peringkat pada tingkat kebaikan dalam hal hirarki berdasarkan kualitasnya. Sebagai contoh, seperti kebaikan keadilan lebih tinggi daripada kebaikan kesenangan. Dengan cara yang sama, kebaikan intrinsik kesenangan adalah kualitas yang lebih tinggi daripada kekayaan non-intrinsik kekayaan. Dengan demikian, tindakan yang meningkatkan nilai keadilan dan kebahagiaan secara moral lebih unggul daripada yang memaksimalkan keuntungan ekonomi.  Pada subkategori kedua, kedudukan kebaikan, teleologi menentukan kebaikan suatu tindakan dalam hal lokasinya. Di mana ia paling diuntungkan. Misalnya, sementara teori egoisme dan utilitarianisme bersifat teleologis, keduanya berbeda dalam hal jumlah penerima manfaat. Seorang egois akan menghargai tindakan dalam hal jumlah kebahagiaan yang akan menimpanya. Sebaliknya, seorang utilitiranists akan menghargai tindakan yang sama dalam hal jumlah orang yang akan mendapatkan keuntungan darinya.  Secara ringkas teori teleologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan didasarkan pada moralitas konsekuensinya. Oleh karena itu, sebuah salam yang menghasilkan konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah 'tidak bermoral' dan perbuatan biasa-biasa saja yang menghasilkan konsekuensi bahagia adalah 'moral'. Selanjutnya, teori teleologis menekankan bahwa pertimbangan moral harus ditafsirkan dalam hal kepentingan masyarakat secara keseluruhan, karena moralitas adalah agen kebahagiaan universal. (Souryal, 2011). Penulis menyimpulkan bahwa teori telologika lebih menekankan pada tujuan dan akhir dari suatu tindakan. Apapun jenis tindakan yang dilakukan, tidak diperhatikan ataupun dinilai. Tetapi tujuan maupun hasil dari tindakan itulah yang akan diniliai. Suatu tindakan yang dianggap mempunyai sebuah tujuan/maksud yang baik, walaupun tindakan itu berupa suatu tindakan kekerasan dan tidak bermoral, akan tetap dianggap baik apabila tujuan dari tindakan itu adalah untuk kebaikan. Teori ini juga menekankan pada hasil dari tindakan yang baik adalah untuk kepentingan dan kebaikan secara universal atau untuk kepentingan masyarakat luas.
Etika dapat terbagi menjadi dua kategoti, yaitu :
1.      Etika deskriptif
Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultural tertentu, dalam suatu periode sejarah karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberikan penilaian.
2.      Etika normative
Etika normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya terhadap norma etika. Etika normatif dibagi menjadi:
a.       Etika umum: memandang tema-tema umum
b.      Etika khusus: berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus.
3.      Meta etika
Mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Setelah mempelajari  tiga cara untuk mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan pedekatan non filosofis dan pendekatan filosofis. Pendekatan non filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan filosofis bisa sebagai etika formatif dan sebagai metaetika atau etika analitis. Dari sudut pandang lain etika dapat dibagikan juga ke dalam pendekatan normatif dan pendekatan non normatif. Dalam pendekatan normatif si peneliti mengambil mengambil suatu posisi atau standpoint moral: hal itu terjadi dalam etika normatif (bisa etika umum dan bisa juga etika khusus).

2.1.2        Konsep Moral

            ­­Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Menurut Bertens  (2002),  moralitas adalah ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang  yang boleh dilakukan dan tidak pantas dilakukan.
            Etik dan moral tampil dalam tindakan manusia. Manusia itu dinilai oleh manusia lainnya dalam tindakannya. Tindakan manusia dapat dinilai dari berbagai aspek, misalnya penilaian sehat atau sakit, penilaian indah atau tidak indah, penilaian baik atau buruk. Tindakan manusia dilakukan secara sengaja dimana adanya pilihan dan tidak sengaja dimana  situasinya tidak memungkinkan untuk memilih, misalnya seseorang yang tidur mendengkur merupakan tindakan yang tidak sengaja. Sasaran pandangan etik khusus pada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja (Poedjawiyatna, 2003).
Yang Mempengaruhi nilai moral
1.      Nilai moral dengan agama
Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi para pengikutnya.. Bila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada umumnya ia berkhotbah, artinya, ia berusaha memberi motivasi serta inspirasi, supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman. Bila filsafat berbicara tentang topik-topik etis, ia beragumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan alasan-alasan rasional. Demikian juga ada perbedaan tentang kesalahan moral. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan, karena melanggar perintahNya. Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah, pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi. Karena itu di sini kesalahan moral pada dasarnya adalah sebuah inkonsekuensi rasional. 
2.      Nilai moral dengan hukum:
Moral akan mengawang-mengawang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat seperti terjadi hukum, khususnya hukum pidana. Contoh: jangan mencuri, jangan membunuh, tidak saja merupakan larangan moral tapi perbuatan-perbuatan itu dilarang menurut hukum. Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral juga menyangkut juga sikap batin seseorang. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara, seperti halnya dengan hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukukm, tidak pernah masyarakat dapat  mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak bisa diputuskan dengan suara terbanyak. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.

2.1.3        Sejarah Pembentukan Moral dan Etika

Terbentuknya etika dan moral di masyarakat, tidak terlepas dari perjalanan sejarah dari tokoh-tokoh filsafat mulai dari abad Yunani purba sampai pada abad modern. Oleh karena itu, untuk mengetahui dasar pembentukannya, perlu diikuti riwayat dan perjalanan dari tokoh-tokoh filsafat tersebut.
1.        Abad yunani
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia (Franz Magnis Suseno (1987: 14).
Pergaulan yang sering dilakukan di luar yunani dengan para pedagang dan para koloni membuat mereka mengenal banyak budaya di luar yunani seperti, tentang hukum, tata kehidupan dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah miliknya, hasil pembudayaan Negara tersebut benar- benar lebih tinggi? Karena tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian diajukanlah pertanyaan, “Mengapa begitu?” kemudian diselidikinya semua perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni filsafat moral (filsafat kesusilaan) atau etika (W. Poespoproddjo,1999: 18).
2.      Socrates
Socrates adalah ahli pikir pertama pada zaman keemasan dunia filsafat (470-399 SM). Socrates tidak meninggalkan ajaran tertulis, sedang alam pikirannya terutama diketahui melalui karya muridnya Plato. Socrates tidak menjelaskan secara langsung tentang etika. Tetapi ajarannya menjadi tonggak utama bagi   ahli filsafat berikutnya untuk menengembangkan ajaran filsafat terutama etika dan moral. Socrates hidup pada masa dimana sedang berkembangnya paham sofisme, yaitu paham yang merelatifkan segala sesuatu. Mereka berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang kuat. Mereka juga tidak mengakui adanya pengetahuan. Bagi kaum saofis, manusia menjadi ukuran segalanya, kebenaran mutlak tidak ada, kebenaran hanya berlaku sementara. Hal ini bertentangan dengan pemikiran socrates. socrates melihat bahwa kebenaran itu bersifat objektf dan bisa bersifat mutlak serta bersumber pada manusia itu sendiri (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Dari situlah, Socrates mulai menerapkan metoda dialectik-kritis yaitu dialog antar dua pandangan yang saling bertentangan dan tidak mau menerima suatu pengertian begitu saja tanpa mengujinya terlebih dahulu.  Bagi Socrates sebuah hidup yang tanpa diuji/dicari tahu adalah hidup yang tidak bernilai. Dalam ajaran filsafatnya Socrates mendiskusikan pertanyaan secara umum tentang pengetahuan, karakter, dan diskusi khusus tentang sifat alami seperti kebaikan, keberanian dan kesederhanaan. Tujuan dari  Socrates adalah supaya masyarakat  bisa hidup kembali pada sifat alami  atau kebajikan (Souryal, 2011).
3.    Plato
Plato adalah tokoh filsuf besar kedua di zaman filsafat yunani. Plato tidak secara gamblang menulis etika. Plato menciptakan istilah ide. tetapi di dalam ajaranya, tersirat uraian-uraian tentang etika. Salah satu pernyataan Plato yang paling jelas berkaitan dengan etika dan moral adalah seorang individu akan melaksanakan hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal budi) terorganisasi secara terpadu dan laras. Menurut Plato hidup yang baik itu memperlihatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan.
4.    Aristoteles
Aristoteles adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf - filsuf besar dari zaman keemasan filsafat yunani. Karya aristoteles mulai terkenal pada abad XII dan XIII. Aristoteles dikenal sebagai salah seorang ahli pikir yang terkenal pada masa itu dan yang menyebutkan istilah etika yang tertuang di dalam bukunya, yaitu The Nochomachean ethic. Dalam buku itu Aristoteles menyebutkan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui berbagai kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang kepentingannya bertahap- tahap (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Pada zaman ini, konsep etika dan moral didasarkan pada sifat naturalistik dan rasional sepanjang abad. Bagi alam pikiran klasik standar moral dan etika itu bersifat objektif, akan tetapi keberadaanya merupakan pula bagian dari dunia alami yang dapat diketahui melalui proses penalaran akal budi.
5.      Abad pertengahan
Pada abad pertengahan ini disebut sebagai abad kepercayaan atau abad keselarasan rohaniah. Pada abad ini etika dipadukan oleh suatu kepercayaan yang kokoh, suatu penerimaan akan kebenaran yang hampir universal dari wahyu kristiani.  Dua filsuf pada zaman ini yaitu Agustinus dan Aquinas menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad pertengahan yang berorientasi rohaniah dan objektifistik. Menurut Agustinus pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan objektif dapat dicapai melalui pengalaman mistik tentang kebenaran ilahi yang diterima secara langsung. Menurut Tomas, tiada suatu hal atau peristiwa manapun dari yang paling kerdil hingga paling besar dan dahsyat, yang bertiada makna atau tujuan, sebab setiap hal dan peristiwa itu merupakan bagian dari rencana agung Tuhan dalam menciptakan segalanya. Manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan penalaran itu semua berada dalam kesatuan ilahi. Pada masa ini, konsep etika dan moral dibentuk berdasarkan pandangan yang bersifat spiritual dan terpusat pada dunia kelak (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992)
6.    Abad modern
Pada abad modern, merupakan awal jatuhnya abad pertengahan. Pada abad ini menegaskan bahwa akal budi mengungguli iman. Pada masa ini lahirlah ilmu pengetahuan modern dan sains modern yang memantapakn dirinya sebagai pemeran utama dalam alur pemikiran barat. Pada masa ini, segala sesuatu dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru. Jadi sains modern memberikan kepada akal budi suatu peranan yang terbatas dalam rangka pengetahuan tentang dunia yang natural. Segala sesuatu di dunia selalu dilakukan penalaran dan uji secara empiris. Pada masa ini, mereka menempatkan kebenaran rasional di bawah kebenaran empiris. Status kebenaran yang relatif dari setiap hipotesa saintifik selalu tergantung pada data empiris yang ditemukan. Dalam kasus sains psikologi modern, bagi seorang sains mungkin saja untuk mengkaji setiap variabel hasil yang dependen (seperti moral, etika) dengan berpegang pada penalaran dan asumsinya sendiri tanpa menggunakan asumsi yang menyangkut eksistensi standar moral yang obyektif.  Jadi disimpulkan bahwa, etika dan moral pada masa ini didasari pada suatu pembuktian yang bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif, sehingga bisa dikatakan bahwa pada masa ini menjadi masa yang sangat sulit bagi keberadaan etika dan moral (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992).
Berdasarkan sejarah, perkembangan etik dan moral mulai dari Yunani purba. Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa sejarah ide dunia barat dimulai sejak zaman Yunani purba, sekitar abad kelima dan keempat SM, yang terlukis pada ide-ide ahli pikir terbesar di masa itu, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates (470?-399 SM) adalah ahli pikir pertama menyakini bahwa memungkinkan untuk memiliki suatu pengetahuan yang obyektif tentang kebenaran. Socrates menyakini bahwa mungkin dicapai suatu standar yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai pemikiran dan perilaku (serta pikiran manusia dapat mengetahuinya).
Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa Plato (427?-347 SM) sebagai tokoh filsuf besar yang kedua di zaman filsafat Yunani, menciptakan istilah ide (idea) yang  berarti menciptakan cara berpikir dalam bentuk konsep-konsep. Kurtines dan Gerwitz (1992) juga menjelaskan pemikiran Plato yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang obyektif hanya dapat dilakukan dengan menggunakan penalaran. Salah satu pernyataan Plato yang paling jelas berkaitan dengan masalah moralitas dalam karyanya yang berjudul Republic (kurang lebih 375 SM/1955). Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa dalam Republic ada istilah yang berarti jiwa manusia terdiri dari 3 bagian yaitu nafsu, semangat dan akal budi, yang berimplikasi seorang individu akan melaksanakan hidup yang baik jika unsur kejiwaan (nafsu, semangat, akal budi) terorganisasi secara terpadu dan selaras.
Kurtines dan Gerwitz (1992) menguraikan pandangan Plato yang menyatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang diatur atau dikelola oleh akal budi, yang memperlihatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan termasuk di dalamnya kebijakan dalam perangai, keberanian dan kearifan. Oleh karena itu, akal budi atau penalaran sebagai suatu daya kemampuan khas yang dimiliki rohani insanlah, yang akan mampu memahami bentuk ide itu, akal budi merupakan karunia bagi manusia yang memiliki kemampuan untuk meraih pengetahuan tentang moral yang obyektif (Kurtines dan Gerwitz,1992).
Aristoeteles (384-322 SM) adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf di zaman Yunani , yang menghasilkan pelbagai bidang sains yang khusus, mencakup etika, ilmu politik, fisika, biologi dan psikologi. Buku The Nicomachean Ethics (kurang lebih 325 SM/1953) merupakan karya Aristoteles dalam bidang ilmu etika. Kurtines dan Gerwitz (1992) menjelaskan buku tersebut dimana Aristoteles mengemukakan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui berbagai kegiatan, dan banyak jenis kebenaran yang kadar kepentingannya bertahap-tahap. Aristoteles pertama-tama memperhatikan dulu apa yang dirasakan orang lain sebagai kebenaran. Ia selanjutnya menunjukkan bahwa pada umumnya orang beranggapan kebahagiaan yang berupa hidup yang baik dan berperilaku baik sebagai kebenaran yang mutlak (Kurtines dan Gerwitz,1992).
     Menurut Kurtines dan Gerwitz (1992), konsepsi moralitas menurut  Socrates, Plato dan Aristoteles bersifat naturalistik dalam arti bahwa etika dan moralitas dipandang sebagai bagian dari dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai bagian yang akan mencapai hidup yng baik di dunia kini maupun dunia kelak. Konsepsi moralitas juga bersifat rasionalistik dan obyektivistik dari kebenaran, dan akal budi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dari kebenaran itu.

2.1.4        Tahap Perkembangan Etik dan Moral menurut Kohlberg (1995)

Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
1.      Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10 tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
2.      Tingkat Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingkat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi ”Anak Manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.
Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3.      Tingkat Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada umumnya tahap ini amat bermakna semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4).
Tahap 6) : Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. (Kohlberg, 1995).

2.2              Caring Ethics/Etika Kepedulian

Menurut John Tronto (1993) dalam Skerowin (2017) caring ethics merupakan tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan pertimbangan moral. Etika kepedulian didefinisikan sebagai komitmen moral untuk merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan, tetapi sekaligus juga memperjuangkan tata sosial yang adil (Held 2007 dalam Jena 2014). Jadi dapat disimpulkan etika kepedulian adalah komitmen moral untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan cara merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan secara adil pada setiap manusia.

2.2.1        Perspektif caring ethics

1.      Carol Gilligan (1982) dan Watson
Carol Gilligan mengemukakan caring ethics sebagai aspek relasi yang erat kaitannya dengan sisi feminis. Penalaran moral dibatasi dengan “dua perspektif yang mengoordinasikan pikiran dengan cara yang berbeda.” Pada laki-laki definisi moral terkait dengan istilah keadilan. Sedangkan perempuan, moral didefinisikan bukan dalam istilah hak namun lebih kepada tanggung jawab dan kepedulian. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan dari filsuf lain terkait dengan perawat. Perawat yang secara gender memang didominasi oleh wanita, namun bagaimana etika kepedulian perawat laki-laki. Apakah perawat laki-laki memiliki caring ethics yang lebih baik daripada laki-laki yang bukan perawat?
2.      John Tronto
Kepedulian dipandang sebagai aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan, melanjutkan dan memperbaiki dunia sehingga kita dapat hidup di dalamnya sebaik mungkin. Dunia yang dimaksud mencakup tubuh kita, diri kita sendiri, lingkungan yang terjalin dalam sebuah jaringan yang kompleks untuk mendukung kehidupan. Tronto mengungkapkan Tronto’s Dimensions or Phases of Care dalam tabel di bawah ini (Scott, A.P. 2017) :

Dimensi/tahap kepedulian
Sikap etis
Caring about : hal ini mencakup kekhawatiran terhadap seseorang/sesuatu
Ketertarikan : memperhatikan kebutuhan peduli
Taking care of : mengambil tanggung jawab untuk merawat seseorang
Tanggung jawab : memperbaiki situasi seseorang
Care giving : memberikan perawatan langsung kepada seseorang
Kompetensi : memiliki pengetahuan, ketrampilan dan nilai yang diperlukan untuk tujuan perawatan
Cara receiving : tahap akhir ini berfokus pada penerima perawatan
Responsif : menanggapi secara positif perawatan/kepedulian yang telah diberikan

3.      Chris Gastmans
Keperawatan dianggap sebagai praktik moral dengan 3 komponen utama yaitu : hubungan kepedulian (kondisi praktik keperawatan), perilaku peduli (integrasi nilai kebaikan dan aktivitas kepakaran) dan perawatan yang baik yang didefinisikan sebagai tujuan akhir praktik keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara spesifik untuk menghubungkan diri dengan yang lain dalam konteks relasional antara pasien dan perawat dalam memberikan perhatian (caring) selama aplikasi asuhan keperawatan. Perilaku peduli melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan altruistik terhadap perawatan dengan fitur kognitif dan afektif-motivasi) dan aktivitas kepakaran. Gastmans menjelaskan “perawatan yang baik” adalah tujuan dasar praktik keperawatan. Gastmans mengadopsi perspektif filosofis Eropa tentang “being human” yang menguraikan enam dimensi pasien yaitu : fisik, relasional, sosial, psikologis, moral dan spiritual. Secara keseluruhan, keperawatan digambarkan sebagai hubungan kepedulian integrasi kebaikan dan aktivitas ahli serta perawatan yang baik sebagai tujuan praktik keperawatan (Scott, A.P. 2017).
4.      Held (2007)
Etika kepedulian menawarkan pendekatan komitmen moral untuk merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan sekaligus menjadi tata sosial yang adil.
5.      Watson (1999)
Watson menggambarkan hubungan caring transpersonal adalah hubungan manusia yang bersifat bersatu dengan orang lain dengan menghargai seseorang itu sepenuhnya termasuk dengan keberadaannya di dunia. Watson memberikan penekanan pada aspek kualitas interpersonal dan transpersonal yang meliputi empati, keselarasan dan kehangatan.
Berdasarkan kelima perspektif dari para ahli, caring ethics merupakan komitmen moral yang menekankan pada aspek interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan dalam bentuk memperhatikan, merawat, melindungi, menyembuhkan, dan memberi dukungan. Perbedaannya, pendekatan Carol Gilligan lebih menekankan aspek feminis dari beberapa perspektif lainnya.

2.2.2        Sejarah Perkembangan dan Mengapa Caring Ethics Muncul

Konsep etika kepedulian pertama kali digagas oleh Carol Gilligan selama tahun 1960 an. Carol melihat etik dari sisi feminisme. Lalu sejak saat itu, etika kepedulian telah digunakan dalam berbagai bidang profesional seperti keperawatan, kesehatan, pendidikan, hubungan interpersonal, hukum dan politik (Held, 2005). Di awal karirnya, Carol Gilligan bekerja dengan psikologLawrence Kohlberg saat Kohlberg meneliti tentang perkembangan moral. Gilligan mulai meneliti teori tentang perkembangan moral perempuan sebagai respon terhadap hasil penelitian Kohlberg yang berbasis laki-laki. Gilligan berpendapat bahwa teori yang berkembang saat itu hanya menekankan pada pandangan keadilan saja dan ini merupakan pandangan yang dimiliki oleh laki-laki. Sementara itu menurut Gilligan wanita memiliki pandangan moral yang berbeda dimana menekankan pada solidaritas, komunitas, dan kepedulian tentang orang lain atau adanya hubungan ketergantungan satu sama lainnya. Pandangan wanita ini mengenai moral telah diabaikan atau diremehkan karena secara tradisional wanita berada pada posisi terbatas akan kekuasaan dan pengaruh (Gilligan, 2003).
Pandangan moral keadilan/etik keadilan berfokus pada hal yang benar dan harus dilakukan. Sedangkan pandangan moral kepedulian/etik kepedulian mengarah pada kita dapat dan harus mengutamakan kepentingan orang yang dekat dengan kita dan harus mengutamakan/menumbuhkan kemampuan alami kita untuk merawat orang lain dan diri kita sendiri (Gilligan, 2003).
Teori etika kepedulian Gilligan berkisar pada pegangan bahwa manusia tidak patut disakiti. Gilligan banyak menuju tentang perasaan, tanggung jawab dan hubungan manusia terutama dari sudut pandang wanita. Teori ini menyatakan adanya tanggung jawab membantu, tidak membebankan dan menyakiti orang lain (Mukhsin, 2007). Teori Gilligan menyatakan tahap perkembangan moral sebagai berikut :
1.      Pra konvensional : melihat kepentingan diri sendiri. Peralihan yang terjadi yaitu kesadaran antara kepentingan diri dan tanggung jawab pada orang lain.
2.      Konvensional : kepentingan orang lain. Peralihan yang terjadi menyelesaikan perselisihan antara kepentingan orang lain dan diri sendiri.
3.      Pasca konvensional : harus dengan prinsip “jangan menyakiti”
Dalam perkembangannya Carol Gilligan menghasilkan karya dalam sebuah buku dengan judul “in a different voice” tahun 1982. Mengikuti karya Gilligan tersebut pada tahun 1984 Nel Nodding mengatakan kunci untuk memahami etika kepedulian adalah mematuhi gagasan dan etik kepedulian secara khusus. Nodding mengatakan kepedulian berakar pada penerimaan, ketergantungan satu sama lain dan responsif.
Menurut Bertens (2013) bertanggung jawab berarti dapat menjawab bila dipertanyakan tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab ada 2 jenis yaitu retrospektif dan prospektif. Retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya. Prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Kaitan caring ethics dengan tanggung jawab : kepedulian yang dilakukan dan diberikan tempat sentral dalam praktik keperawatan dan bentuk setiap tindakan yang dilakukan disertai dengan tanggung jawab. 
Permasalahan yang mendasar pada profesi keperawatan Indonesia saat ini adalah perawat masih belum melaksanakan peran Caring secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien (Nursalam, 2014). Berdasarkan kajian Nursalam (2005) perawat Indonesia belum mampu berperan profesional karena 4 faktor yaitu :
1.      Kualitas sumber daya Ners masih rendah
2.      Batang tubuh ilmu pengetahuan dan kewenangan perawat yang belum jelas.
3.      Model praktik keperawatan yang tidak tertata dengan baik dan belum adanya UU yang mengatur praktik keperawatan.
4.      Fokus pendidikan keperawatan hanya berorientasi menyediakan lulusan untuk bekerja memberikan layanan, kurang menciptakan soft skill/membangun karakter yang diperlukan stakeholder
Untuk point 2 dan 3 sudah ada perkembangan di tingkat peraturan dan undang-undang. Saat ini telah ada pengkategorian kewenangan klinis perawat yaitu perawat klinik (PK) tingkat 1 sampai PK 5. Sedangkan terkait UU, baru saja pemerintah mengesahkan UU praktik keperawatan yang dapat dijadikan acuan bagi perawat dalam memberikan layanan keperawatan.
PPNI sebagai organisasi profesi keperawatan di Indonesia sudah membuat Kode Etik Keperawatan yang berisi standar kompetensi dan standar praktik keperawatan. Hal ini sebagai bentuk perlindungan baik kepada perawat maupun masyarakat terhadap layanan keperawatan yang bermutu.  Darwis (2016) mengungkapkan bahwa kualitas perawat di rumah sakit masih membutuhkan bimbingan pengawasan. Hal ini dapat dilihat dari banyak komplain pasien terkait pelayanan keperawatan. Senada dengan hal tersebut, hasil penelitian Purba, Suza, Erniyati (2015) merekomendasikan perlunya evaluasi terhadap penerapan caring oleh perawat di rumah sakit serta memfasilitasi perawat dalam mengaplikasikan caring dalam asuhan keperawatan. Namun Erienh, Setiawan, Wahyuni (2015) telah melalukan riset terkait caring di ICU  dan memperoleh hasil yang menjelaskan bahwa perawat menunjukkan perilaku caring dan perawat menunjukkan rasa peduli yang tinggi terhadap pasien dan keluarga pasien dalam perawatan kritis.
Untuk itu perlu dilakukan kajian berkala tentang perkembangan penerapan caring ethics di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Dewi, Syam, dan Daulay (2015) bahwa rumah sakit perlu mengoptimalkan kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik dengan meningkatkan budaya perilaku caring, memperhatikan prinsip etik di rumah sakit dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien, perlu dibuat aturan baku pelaksanaan perilaku caring, prinsip etik bagi perawat, pelaksanaan supervisi berkala, dan pelatihan caring.

2.3              Keperawatan Sebagai Profesi (Kontrol Sosial, Dimensi, Ciri-Ciri)

Profesi adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepetingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan golongan atau orang tertentu (Kusnanto, 2003). Sedangkan menurut Wilensky (1964), profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dukungan body of knowledge sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan pelatihan yang lama serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan (altruism). Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan pelatihan yang terus menerus berdasarkan body of knowledge yg spesifik, memiliki kode etik dan standar praktek dan berfokus pada pelayanan untuk masyarakat.
Keperawatan adalah suatu kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no 38 tahun 2014). Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan kesehatan yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan keperawatan profesional untuk masyarakat menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai dasar untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
1.      Kontrol sosial
Bagaimana  cara profesi (keperawatan) mempertahankan eksistensinya sebagai tenaga profesional dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit, sehingga pada akhirnya diakui oleh masyarakat (penerima layanan)?  Merupakan satu tugas berat bagi profesi perawat, dimana keperawatan dituntut untuk terus mengembangkan riset-risetnya, meningkatkan jenjang pendidikannya, dan menerapkan hasil risetnya dalam praktek keperawatan sehingga memberikan pelayanan yang berkualitas karena berbasis bukti. Ketika tuntutan masyarakat terhadap suatu profesi semakin tinggi maka itu akan memberi peluang kepada profesi tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Ketika profesi tersebut mampu memenuhi tuntutan masyarakat maka dengan sendirinya profesi itu akan semakin diakui. Menurut Michael Eraut (2002) dalam bukunya “Developing Professional Knowledge and Competence” mengatakan bahwa konsep profesi ditemukan karena adanya kontrol sosial. Keperawatan sebagai profesi berkomitmen pada kemampuan, integritas, moral, kepentingan orang lain dan mengembangkan kebaikan publik dalam keberadaannya. Komitmen ini membentuk dasar kontrol sosial antara profesi dan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat memberikan pada profesi otonomi dalam praktek dan hak dalam pengaturan diri. Dengan demikian, suatu profesi memerlukan kontrol sosial untuk mengawasi dan mengontrol perilaku anggota profesi dan memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu profesi. Status profesional tidak merupakan hak yang melekat hanya dengan kualifikasi, tapi juga diberikan kepercayaan oleh masyarakat. Publik melihat bagaimana suatu profesi bekerja. Untuk dapat dipercaya, para profesional harus memenuhi kewajibanyang diharapkan oleh masyarakat. Kegagalan untuk memenuhi kepercayaan, tingkah laku dan standar profesional akan mengakibatkan kehilangan status profesi tersebut.
Untuk mengontrol perilaku anggota profesinya, keperawatan mempunyai organisasi profesi yang berfungsi menyusun kode etik dan standar praktek bagi anggotanya. Kode etik berisi aturan-aturan untuk menjaga sikap dan perilaku para perawat. Sedangkan standar praktek untuk memberi arah dan acuan bagi para perawat dalam melakukan prakteknya. Para perawat diharapkan patuh dan tunduk pada kode etik profesi dan standar praktek yang ada demi mempertahankan kepercayaan dan pengakuan masyarakat terhadap profesionalisme perawat.
2.      Dimensi profesi
a.       Dimensi disiplin ilmu, penerapannya :
1)      Digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan keperawatan
2)      Menetapkan standar dan SPO untuk semaua tindakan keperawatan
3)      Dilakukan dengan pengujian dan validasi serta pengembangan melalui penelitian
4)      Melaksanakan evidence based practised
b.      Dimensi etik, penerapannya :
1)      Menetapkan prinsip etik dalam berinteraksi dan memberikan asuhan keperawatan
2)      Ditetapkan kode etik profesi
3)      Melaksanakan kode etik profesi
c.       Dimensi hukum, penerapannya :
1)      Peraturan perundang-undangan dijadikan dasar dalam melaksanakan pelayanan dan asuhan keperawatan
2)      Peraturan perundang-undangan dijadikan landasan pelaksanaan berbagai kewajiban dan hak perawat
d.      Sedangkan dimensi kualitas pelayanan profesi keperawatan sebagai berikut :
1)      Responsibility atau tanggung jawab, mencakup ketepatan dan kecepatan pelayanan serta keakuratan dalam memberikan informasi
2)      Responsiveness atau kepekaan ; peka terhadap kebutuhan pasien didiringi tindakan yang tepat sesuai kebutuhan tersebut
3)      Assurance atau kepastian pelayanan
4)      Empati ; kemampuan memahami dan memperhatikan kondisi psikologis pasien
3.      Ciri-ciri profesi keperawatan (Nursalam, 2014)
a.       Mempunyai body of knowledge
b.      Pendidikan berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
c.       Memberi pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui praktek profesional yang spesifik
d.      Memiliki perhimpunan organisasi profesi
e.       Pemberlakuan kode etik keperawatan
f.       Otonomi
g.      Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
h.      Merupakan karier seumur hidup
i.        Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi

Profesi keperawatan berbeda dari profesi yang lain, sehingga memiliki ciri-ciri profesi yang spesifik untuk membedakan dari profesi yang lain dalam hal pelayanan, prosedur, fokus penerima pelayanan, dan kode etik. Berdasarkan ciri-ciri di atas, masih terdapat beberapa kesenjangan yang terjadi dalam profesi keperawatan di Indonesia, antara lain :
1.      Mempunyai body of knowledge ;
Profesi keperawatan di Indonesia memegang Body of knowledege, akan tetapi tidak semua perawat di Indonesia menguasai ilmu pengetahuan keperawatan yang setara.
2.      Pendidikan berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi ;
Perawat Indonesia belum semua mengenyam pendidikan profesional yang sama. Masih banyak ditemukan perawat yang latar belakang pendidikan diploma (vokasional)
3.      Memberi pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui praktek profesional yang spesifik
Masih banyak perawat terutama didaerah yang melaksanakan praktek medis, contohnya melakukan tindakan khitanan, pemberian obat-obatan dll
4.      Memiliki perhimpunan organisasi profesi
Di Indonesia sudah memiliki organisasi profesi yaitu PPNI, namun belum semua perawat terdaftar menjadi anggota PPNI.
5.      Pemberlakuan kode etik keperawatan
Perawat Indonesia memiliki kode etik keperawatan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan pelanggaran, contohnya menjaga kerahasiaan pasien seperti kondisi pasien (upload luka pasien). Dalam menghadapi pelanggaran etik tersebut, belum ada tindakan tegas dari organisasi profesi.
6.      Otonomi
Perawat di RS kebanyakan tidak sempat melakukan tindakan-tindakan keperawatan mandiri, lebih banyak melaksanakan tindakan kolaboratif (delegasi dokter).
7.      Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
Perawat di Indonesia memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
8.      Merupakan karier seumur hidup
9.      Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi

2.4         Etika dalam Keperawatan

2.4.1        Perangkat Etik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2013 bahwa untuk meningkatkan profesionalisme, pembinaan etik dan disiplin tenaga keperawatan, serta menjamin mutu pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan pasien perlu dibentuk komite keperawatan di rumah sakit. Komite keperawatan adalah wadah non struktural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi. komite dibentuk oleh kepala/ direktur rumah sakit. Susunan organisasi komite keperawatan sekurang – kurangnya terdiri dari ketua komite, sekretaris komite dan subkomite. Sub komite terdiri dari subkomite kredensial, subkomite mutu profesi dan subkomite etik dan disiplin profesi. dalam melaksanakan fungsi menjaga disiplin dan etika profesi tenaga keperawatan, komite etik bertugas :
1.      Melakukan sosialisasi kode etik profesi tenaga keperawatan
2.      Melakukan pembinaan etik dan disiplin profesi tenaga keperawatan
3.      Merekomendasikan penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam kehidupan profesi dan pelayanan asuhan keperawatan dan kebidanan
4.      Merekomendasikan pencabutan kewenangan klinis
5.      Memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan dan kebidanan
Menurut Permenkes RI Nomor 49 Tahun 2013 persyaratan yang harus dipenuhi oleh personel komite keperawatan yaitu memiliki kompetensi yang tinggi sesuai jenis pelayanan atau area praktik, mempunyai semangat profesionalisme serta reputasi baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bart Cusveller (2012) menjelaskan bahwa seorang komite etik keperawatan perlu memiliki :
1.      pengetahuan dasar mengenai etik seperti konsep moral, model, isu dan hukum kesehatan.
2.      kemampuan berkomunikasi dengan baik, mampu mendengarkan, berbciara dan menulis.
3.      sikap sangat menghormati dan terbuka antar anggota komite dan situasi pasien
4.      kemampuan mengenal isu yang sedang terjadi di lingkungan perawat maupun pasien
5.      kemampuan mengedukasi tentang etik dan moral kepada anggotanya

2.4.2        Kode Etik

  1. Menurut PPNI (2000)
  1. Perawat dan Klien
1)      Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
2)      Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien
3)      Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan
4)      Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
  1. Perawat dan Praktik
1)      Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi di bidang keperawatan melalui belajar terus menerus
2)      Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3)      Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
4)      Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku professional
c.       Perawat dan Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
d.      Perawat dan Teman Sejawat
1)      Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
2)      Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
e.       Perawat dan Profesi
1)      Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
2)      Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
3)      Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.
  1. Kode etik menurut ICN (ICN, 2012)
International council of nursing memiliki empat prinsip kode etik keperawatan, diantaranya :
a.       Perawat dengan individu
Tanggung jawab seorang perawat adalah kepada individu yang menuntut pelayanan keperawatan. dalam memberikan perawatan, perawat menyediakan lingkungan yang menjaga hak asasi manusia, nilai, dan kepercayaan individu, keluarga dan komunitas
b.      Perawat dan praktik keperawatan
Perawat mempunyai tanggung jawab dan akuntabilitas terhdap praktik keperawatan, dan untuk menignkatkkan kompetensi dengan cara pembelajaran yang kkontinue
c.       Perawat dan profesi
Perawat memikul peran utama dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik klinik keperawatan, manajemen, penelitian dan edukasi
d.      Perawat dengan tenaga kesehatan lain
Perawat memungkinkan untuk kolaborasi dan menghargai hubungan dengan tenaga perawat lain dan dengan bidang lainnya
3.      Kode etik menurut ANA (Martha, D.M. Fowler, 2010)
  1. Ketentuan 1 : Perawat dalam memberikan pelayanan penuh dengan rasa menghormati martabat yang melekat pada setiap individu, harga diri dan  keunikan setiap individu
  2. Ketentuan 2 : Perawat bertanggung jawab kepada pasien baik individu, keluarga, kelompok, komunitas maupun populasi
  3. Ketentuan 3 : Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan melindungi hak, kesehatan, dan keamanan pasien
  4. Ketentuan 4 : Perawat memiliki wewenang, akuntabilitas dan tanggung jawab dalam tugasnya; membuat keputusan; dan mengambil tindakan yang konsisten dengan kewajibannya untuk memberikan perawatan kepada pasien secara optimal
  5. Ketentuan 5 : Perawat bertanggung jawab untuk mempromosikan kesehatan dan keselamatan, tidak membeda – bedakan individu, meningkatkan kompetensi personal dan professional
  6. Ketentuan 6 : Perawat baik secara individu maupun bersama - sama, menetapkan, mempertahankan, dan memperbaiki lingkungan guna menciptakan kondisi kerja yang kondusif untuk memberikan perawatan kesehatan yang aman dan berkualitas.
  7. Ketentuan 7 : Perawat dalam tatanan apapu memajukan profesi keperawatan baik melalui penelitian, mengumpulkan bukti ilmiah, pengembangan standar profesi baik keperawatan maupun kesehatan
  8. Ketentuan 8 : Perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan masyarakat umum untuk melindungi hak asasi manusia, mempromosikan kesehatan, dan mengurangi perbedaan pelayanan kesehatan
  9. Ketentuan 9 : Profesi keperawatan baik secara kolektif melalui organisasi profesi  harus mengartikulasikan nilai keperawatan, menjaga integritas profesi, dan mengintegrasikan prinsip keadilan sosial ke dalam keperawatan dan kebijakan kesehatan

2.4.3        Prinsip etik

Menurut Sue C DeLaune dan Patricia K Ledner (2011) menerangkan Prinsip etik adalah ajaran secara langsung untuk menentukan suatu tindakan. Dalam menentukan keputusan etik, perlu melihat prinsip bahwa apa yang diputuskan merupakan pilihan terbaik untuk pasien dan lingkungan. Prinsip etik dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menganalisa dilemma etik. Prinsip etik juga dapat sebagai rasionalisasi untuk mengatasi masalah etik. Perlu diingat bahwa prinsip etik tidak absolute atau mutlak, prinsip etik dapat dikecualikan sesuai dengan situasi. Terdapat delapan prinsip etik :
1.      Autonomi
Prinsip autonomi ini merujuk pada hak individu untuk memilih dan menentukan kemampuan tindakan yang mereka pilih. Perawat harus menghormati keputusan yang dibuat oleh pasien dan melindungi pasien yang tidak dapat membuat keputusan sendiri. Prinsip autonomi dalam etik ini merujuk pada kepercayaan setiap indvidu yang memiliki kemampuan mempunyai hak untuk menentukan tindakan yang akan dilakukannya. Pada pelaksanaan prinsip ini dibutuhkan inform consent sebagai bukti bahwa klien berhak untuk mengambil keputusan.
2.      Nonmalficience
Non malficience adalah kewajiban untuk tidak atau menyebabkan sesuatu yang merugikan atau membahayakan untuk individu lain. Bahaya yang dimaksud adalah baik sesuatu yang membahayakan atau merugikan secara fisik, psikologi, sosial dan spiritual. Prinsip ini digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan suatu tindakan. Apakah tindakan yang akan dilakukan dapat merugikan atau mebahayakan pasien atau tidak. Prinsip non malficience mengharuskan perawat melakukan tindakan dengan penuh pertimbangkan dan hati – hati. Perawat perlu menimbang potensial resiko dan manfaat dari tindakan yang dilakukan.
3.      Beneficence
Prinsip etik ini menerangkan bahwa perawat wajib untuk malakukan sesuatu yang baik dan mencegah kerugian.
4.      Justice
Prinsip etik ini berdasarkan konsep kejujuran dan keadilan. Konsep ini menyediakan kesamaan, berdasarkan kebutuhan, kebutuhan, usaha dan kontribusi untuk sosial. Berdasarkan ANA (2008) terdapat tiga tipe tindakan yang dapat merujuk kepada ketidakadilan  yaitu deskriminasi atau semena – mena, mengeksploitasi (memanfaatkan) dan secara tidak wajar menghina seseorang.
5.      Veracity
Veracity adalah keadaan yang sebenarnya. Prinsip veracity memang sulit untuk diterima, namun mengatakan yang sebanarnya jauh lebih mudah tetapi tidak selalu mudah untuk membuat keputusan dalam menyampaikan sesuatu yang benar
6.      Fidelity
Fidelity adalah kesetiaan dan menjaga privasi klien. Konsep fidelity merupakan pondasi etik dalam hubungan perawat dengan klien

2.5              Keputusan Etik Dan Standar Keperawatan

2.5.1        Masalah dan Dilema Etik

Etika profesi digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan praktek keperawatan, yaitu bagaimana meletakkan dasar dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan dalam setiap kesempatan maupun permasalahan etik yang dihadapi (James H & Husted, 2008). Perkembangan tekhnologi dan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak yang luas terhadap pola fikir dan perilaku dalam masyarakat yang terkadang menjadi dilema dalam pengambilan sebuah keputusan terhadap pemberian asuhan keperawatan. Dilema diartikan sebagai sebuah persoalan yang menghadapkan seseorang kepada pilihan yang tidak menyenangkan dalam hal ini dapat terjadi konfrontasi antara dokter, orang tua dan keluarga pasien, bagaimanapun hal ini harus menjadi perhatian para perawat (para spesialis) karena keluarga seringkali meminta bantuan dan rasa nyaman kepada perawat(Lachman, 2006).
Menurut Efendi,2009 perawat berada dalam berbagai situasi yang mengharuskanuntuk membuat keputusan. Pada penyelesaian dilemma etik kita kenal prinsip DECIDE, yaitu:
D = Define the Problems
E = Ethical Review
C = Consider the Options
I = Investigates outcomes
D= Decide on action
E = Evaluate Results
Saat menghadapi dilema etik, kita dapat menanggapi dengan cara yang berbeda  dengan tahapan sebagai berikut (Huber, 2000), yaitu:
1.        Menunjukkan maksud baik
2.        Mengidentifikasi semua orang penting
3.        Mengumpulkan informasi yang relevan
4.        Mengidentifikasi prinsip etis yang penting
5.        Mengusulkan tindakan alternative
6.        Melakukan tindakan

2.5.2        Pengambilan Keputusan Etik

Salah satu keputusan penting yang harus diambil oleh perawat berada dalam area keputusan klinis, yaitu sebuah proses pengambilan keputusan yang melewati observasi, proses informasi, berpikir kritis, mengevaluasi,evidence, penerapan ilmu pengetahuan yang sesuai dan problem solving skill. Keputusan yang diambil juga harus mempertimbangkan kesehatan yang optimal dan meminimalkan resiko yang membahayakan pasien (Standing, 2005). Dalam memutuskan ssebuah keputusan etik tidak bisa terlepa dari prinsip-prinsip etik yangberlaku. Terdapat 4 prinsip dasar etik yang mendasari dalam mengambil keputusan etik (Ashcroft, Dawson, Draper, & McMillan, 2007),yaitu :
1.      Otonomi
Otonomi harus diikuti oleh hak seseorang untuk memahami keputusannya dengan mendapatkan informasi yang cukup dari tenaga profesional dalam pelayanan. Dalam otonomi seseorang harus terbebas dari intervensi atau campur tangan orang lain, bebas dari paksaan dan memiliki kapasitas mental yang baik dalam memahami dan mengambil keputusan.

2.      Non Maleficence (tidak membahayakan)
Prinsip non maleficence berarti tidak melakukan kekerasan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Prinsip Non Maleficence dilaksanakan dengan tetap menjunjung hak otonomi pasien. Prinsip non meleficence terkadang dapat berbenturan dengan aturan-aturan moral yang ada dalam masyarakat.
3.      Beneficence (Berbuat baik)         
Beneficence merupakan nilai paling fundamental dalam etika pelayanan kesehatan, dimana berbuat baik menjadi landasan dalam tingkah laku seseorang dalam memberikan pelayanan. Prinsip beneficence didasarkan pada kewajiban moral untuk memberikan kebaikan bagi orang lain dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian bagi pasien.
4.      Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan mereka, pasien dengan kebutuhan terapi yang besar harus mendapatkan terapi yang sesuai dengan kondisinya demikian juga sebaliknya. Kontroversi yang terjadi pada prinsip keadilan adalah tentang pertimbangan yang relevant dalam penggolongan karakteristik pasien yang membutuhkan terapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan, yaitu
a. Agama
b. Sosial
c. Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
d. Legislasi dan keputusan yuridis
e. Dana atau keuangan
f. Pekerjaan
g. Kode etik keperawatan
h. Hak-hak pasien

2.5.3        Standar Keperawatan

            Sebuah standar ditetapkan untuk menjadi dasar yang memberi batasan spesifik agar sebuah proses yang dilakukan dapat berjalan optimal dan dapat dipertanggungjawabkan. Standar keperawatan menjadi dasar dalam praktek keperawatan, yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan standar SOP dengan tetap mempertimbangkan kode etik profesi keperawatan (UU Keperawatan No.38 tahun 2014).
Lingkup standar praktik keperawatan Indonesia dirangkum oleh PPNI, meliputi :
1.      Standar praktik Profesional, yang terdiri dari :
a.       Standar I    : Pengkajian
b.      Standar II   : Diagnosa keperawatan
c.       Standar III  : Perencanaan
d.      Standar IV  : Pelaksanaan Tindakan / implementasi
e.       Standar V   : Evaluasi
2.      Standar kinerja Profesional
a.       Standar I      : Jaminan mutu
b.      Standar II     : Pendidikan
c.       Standar III    : Penilaian kinerja
d.      Standar IV    : Kesejawatan ( collegial )
e.       Standar V     : Etik
f.       Tandar VI     : Kolaborasi                 
g.      Standar VII   : Riset
h.      Standar VIII  : Pemanfaatan sumber - sumber

Sedangkan lingkup standar profesional menurut American Nurses Association (ANA,2010),  meliputi :
1.      Standar praktik keperawatan,meliputi :
a.       Standar I    : Pengkajian
b.      Standar II   : Diagnosa keperawatan
c.       Standar III  : Identifikasi hasil
d.      Standar IV  : Planning
e.       Standar V   : Implementasi
Va  : Koordinasi dalam pelayanan kesehatan
Vb  : Bimbingan dan promosi kesehatan                                                         
 Vc  : Konsultasi                       
 Vd :  Otoritas dalam terapi
f.       Standar VI  : Evaluasi    
2.      Standar Penampilan Profesional, meliputi :
a.    Standar 7         : Etik
b.    Standar 8         : Pendidikan
c.    Standar 9         : Evidence- Based practice dan riset
d.   Standar 10       : Praktek keperawatan yang berkualitas
e.    Standar 11       : Komunikasi
f.     Standar 12       : kepemimpinan
g.    Standar 13       : kolaborasi
h.    Standar 14       : Evaluasi
i.      Standar 15       : Pemanfaatan Sumber Daya
j.      Standar 16       : Kesehatan lingkungan
2.5.4        Pengambilan Keputusan Etik di Indonesia
Permasalahan etik keperawatan di Indonesia menjadi lebih terarah dengan adanya Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 yang menjadi landasan dalam pengambilan keputusan etik dan dilema etik yang terjadi di Indonesia. Kesenjangan sering terjadi dalam isu kolaborasi dan kemitraan interdisiplin, dimana status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan.
Perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi profesional, arah kebijakan yang diperlukan yakni ketersediaan perawat demi memperkuat promotif dan preventif. Lulusan perawat berpendidikan diploma 3 (D-3) lebih banyak dibanding ners (berpendidikan strata 1 dan profesi). Kini 500-an institusi pendidikan vokasional keperawatan menghasilkan lulusan D-3 dan 200-an institusi menghasilkan S1-Ners. Pemenuhan kebutuhan perawat di daerah tak cukup dengan perawat D-3 karena belum punya kemampuan komprehensif menuntaskan masalah. Pemerintah perlu menempatkan spesialis keperawatan keahlian di atas ners di kabupaten atau kota.


BAB III

PEMBAHASAN


Dalam perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg mendapatkan kritikan dari apa yang dikemukakan oleh Gilligan, dimana penelitian Kohlberg sangat menitik beratkan pada laki – laki sedangkan Gilligan pada perempuan. Seperti yang tercantum dalam pernyataan Gilligan yaitu memulai studi dan mempertanyakan kembali tentang perkembangan perempuan karena kurangnya perhatian terutama riset dibidang psikologi terhadap perempuan dan remaja perempuan. Gilligan menemukan suatu perasaan mendalam dari kesakitan dan keputusan yang melingkupi yang tidak berkaitan dengan apa yang ingin mereka kemukakan. Gilligan menemukan juga ada beberapa elemen kunci dalam mempelajari perempuan dan perasaannya:
      1.            Perempuan dan remaja perempuan merasakan suatu rasa mendalam tentang keterpisahan, kekurangan perhatian.
      2.            Tidak ada persesuaian antara kehidupan perempuan dengan kultur Western
      3.            Pertanyaan perempuan adalah mengapa mereka berada berbalik dengan yang lain atau malah ‘hilang’ diantara yang lain secara individual.
      4.            Ada polarisasi antara suara interna dengan kemampuan untuk berbicara secara verbal.
      5.            Perempuan merasakan bahwa suara dari dalam dirinya tidak dapat dibawa ke dalam hubungan hubungan dengan orang lain.
      6.            Perempuan juga merasakan bahwa pikiran - pikiran mereka kurang dibanding yang lain dan akan menjadi buruk bila diekspresikan kepada orang lain.
Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan beberapa yaitu:
      1.            Perkembangan moral pada perempuan didasarkan atas tanggung jawab dan kepedulian (care) bukan karena benar atau salah.
      2.            Ada perbedaan kerangka kerja dan pemecahan persoalan pada laki – laki dan perempuan.
      3.            Suara pada perempuan menitik beratkan pada hubungan, kedamaian, kepedulian dan tanggung jawab, sedangkan pada laki – laki menitik beratkan pada hubungan timbal balik, kesetaraan, keadilan dan kebenaran.
      4.            Perbedaan dua suara dalam gender ini tidak berarti bahwa satu suara yang lebih dominan dari pada suara yang lainnya.
(Nurhayati, 2006)

BAB IV

PENUTUP


4.1            Kesimpulan

Pemberian pelayanan keperawatan harus diberikan secara komprehensif. Dan dalam upaya tersebut perawat harus tetap berdasar pada prinsip etik dan moral. Hal ini sangat berguna dalam melindungi perawat dan pasien dalam asuhan keperawatan tersebut. Karena dalam prinsip etik seperti halnya autonom, beneficience, nonmalaficience, fidelity, confidentiality, veracity dan justice merupakan sebagai upaya dalam melindungi pasien. Apabila terdapat pelanggaran dalam prinsip etik tersebut maka ada beberapa elemen dari keperawatan untuk menanggulanginya. Sebagai contohnya yaitu dibentuknya komite keperawatan dalam suatu rumah sakit. Dalam komite tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa sub yaitu kredensial, etik dan disiplin profesi dan mutu profesi. Dimana pada bagian komite etik dan disiplin profesi yang akan memproses perawat yang melakukan pelanggaran prinsip etik dan memberikan sanksi apabila diperlukan.
Salah satu yang tidak boleh ditinggalkan dalam perawatan yaitu moral. Dimana masih terdapat hubungan antara penerapan etik dan moral, yaitu perawat yang terbiasa dengan menerapkan etika keperawatan dengan baik maka akan membentuk moral yang baik pula.  Dalam tahap perkembangan moral bisa dilihat atau dikaji dalam tingkat usia maupun dalam jenis kelamin. Seperti teori yang dikemukakan oleh Kohlberg maupun Gilligan.

4.2              Saran.

    1.     Perawat harus selalu meningkatkan kemampuan dibidang ilmu keperawatan baik skill maupun knowledgenya guna pengembangan profesi.
    2.     Perawat melakukan tindakan keperawatan harus sesuai dengan kompetensi,standar dan kode etik keperawatan.
    3.     Perawat harus mampu melakukan praktek keperawatan sesuai dengan standar etik yang berfokus pada pelayanan masyarakat (altruism).
    4.     Perawat harus bertanggung jawab dan tanggung gugat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
    5.     Pembentukan etik dan moral dalam keperawatan mulai ditanamkan dalam pendidikan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA


Alligood. (2014). Teori keperawatan. Edisi ke.8 Volume 2. Elsevier ; Singapura
Bertens,K. (2002). Etika edisi ke-7.  Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cusveller, Bart. (2012). Nurses serving on clinical ethics committees : a qualitative exploration of a competency profile. Diakses melalui www.ncbi.nlm.nih.gov/
Darwis. (2016).  Nursing behavior towards our satisfaction patients in hospital general city of Makassar Indonesia. International Journal of Emerging Trends in Science and Technology. 4902-4909.
Dewi, R., Syam, B., Daulay, W. (2015). Hubungan perilaku caring dan motivasi terhadap kinerja perawat pelaksana menerapkan prinsip etik keperawatan dalam asuhan keperawatan di rumah sakit jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan. Jurnal Riset Keperawatan Indonesia. Vol 3. No.2. 181-186.
Eraut, Michael. (1994). Developing professional  knowledge and competence. UK :            Routledge Falmer.
Erienh, R. S., Setiawan, Wahyuni. S. E. (2015). Pengalaman keluarga pasien tentang caring pada pasien yang mengalami perawatan kritis di ruang ICU. Jurnal Riset Keperawatan Indonesia. Vol 3. No.2.112-117.
Fowler, Martha D, M. (2010). Code of ethics for nurse – interpretation and application. Diakses melalui www.nursing.rutgers.edu/
Hunter, T., Nelson, J.R., & Birmingham, J. (2013). Preventing readmissions through comprehensive discharge planning. Professional Case Management. 56-63.
International Council of Nurses. (2012). The ICN code of ethics for nurses. Diakses melalui www.icn.ch
James H, H., & Husted, G. L. (2008). Ethical Decision Making in Nursing and Health Care: The Symphonological Approach.Kohlberg, L. (1995). Tahap - Tahap Perkembangan Moral. (A. Santod, John de dan Cremers, Ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
Kurtines,W.M. & Gerwitz,J.L. (1992). Moralitas, perilaku,moral dan perkembangan moral (edisi pertama), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Kusnanto. (2004). Pengantar profesi dan praktek keperawatan professional. Jakarta : EGC.
Lachman, V. D. (2006). Applied ethics in nursing. Retrieved from http://site.ebrary.com/id/10265603
Manning, R.C. (1998). A care approach. In Kuhse H, Singer P (eds). A Companion to Bioethics (pp. 98-105). Oxford: Wiley-Blackwell.
Menteri kesehatan republic Indonesia. (2013). Peraturan meneteri kersehatan republic Indonesia nomor 49 tahnun 2013 tentang komte keperawatan rumah sakit. diakses melalui www.bprs.kemenkes.go.id
Narruhn, R., Schellenberg, I.R. (2012). Caring ethics and a Somali reproductive dilemma. Nursing ethics. 365-381.
Nursalam. (2014). Caring sebagai dasar peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan keselamatan pasien. Orasi ilmiah. Disampaikan pada pengukuhan jabatan guru besar dalam bidang ilmu keperawatan pada Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan aplikasi dalam Praktik keperawatan    Profesional. Edisi 4.Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Persatuan perawat nasional Indonesia. (2010). Kode Etik perawat Indonesia. diakses melalui http://www.inna-ppni.or.id/
Perpres. (2014). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, .Jakarta, Kemenkes RI.
Poedjawiyatna. (2003). Etika, filsafat, tingkah laku (edisi ke-9), Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Poespoprodjo,W.(1999).Filsafat Moral. Bandung:Pustika Grafika.
Purba, E, R., Suza, D, E., Erniyati. (2015). Perilaku caring perawat menurut persepsi perawat dan pasien di rumah sakit swasta dan negeri di Medan. Jurnal Riset Keperawatan Indonesia. Vol 3. No.2. 124-130.
Souryal, S.S. (2011). Ethic In Criminal Justice In Search Of The Truth. USA:Anderson Publishing.
Suseno,F.M. 1987. Etika Belajar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius
 Tschudin, V. (2003). Ethics in Nursing : The Caring Relationship. Third edition. London : Elsevier.
Watson, J. (2008). Nursing : The philosophy and science of caring. Revised edition. Colorado: University Press of Colorado.
Wilkinson, Judith M., Treas, Leslie S., Barnett, Karen L., Smith, Mable H. (2016). Fundamental of nursing – theory, concepts, and applications, vol 1, 3rd edition. Diakses melalui www.libgen.pw/

Tidak ada komentar: