BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan
etik merupakan permasalahan yang sangat krusial dalam sebuah profesi seperti
profesi keperawatan karena berkaitan erat dengan sistem nilai, norma dan moral
yang ada dalam diri individu maupun masyarakat dan profesi keperawatan
merupakan profesi yang sangat dekat dengan konsep dan praktek etik maupun
moral.
Menurut
Chris Gastmas, keperawatan dianggap sebagai praktik moral dengan 3 komponen
utama yaitu : hubungan kepedulian (kondisi praktik keperawatan), perilaku
peduli (integrasi nilai kebaikan dan aktivitas kepakaran) dan perawatan yang
baik yang didefinisikan sebagai tujuan akhir praktik keperawatan. Merawat
dianggap sebagai cara spesifik untuk menghubungkan diri dengan yang lain dalam
konteks relasional antara pasien dan perawat dalam memberikan perhatian
(caring) selama aplikasi asuhan keperawatan. Perilaku peduli melibatkan
integrasi kebaikan (kebaikan altruistik terhadap perawatan dengan fitur
kognitif dan afektif-motivasi) dan aktivitas kepakaran.
Permasalahan
yang mendasar pada profesi keperawatan Indonesia saat ini adalah perawat masih
belum melaksanakan peran caring
secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien (Nursalam,
2014). Kualitas perawat di rumah sakit masih membutuhkan bimbingan pengawasan.
Hal ini dapat dilihat dari banyak komplain pasien terkait pelayanan keperawatan
(Darwis, 2016), senada dengan hal tersebut, hasil penelitian Purba, Suza,
Erniyati (2015) merekomendasikan perlunya evaluasi terhadap penerapan caring oleh perawat di rumah sakit serta
memfasilitasi perawat dalam mengaplikasikan caring
dalam asuhan keperawatan.
Dewi,
Syam, dan Daulay (2015) mengatakan bahwa rumah sakit perlu mengoptimalkan
kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik dengan meningkatkan budaya
perilaku caring, memperhatikan
prinsip etik di rumah sakit dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien,
perlu dibuat aturan baku pelaksanaan perilaku caring, prinsip etik bagi perawat, pelaksanaan supervisi berkala,
dan pelatihan caring.
Dengan
mencermati beberapa fenomena diatas, dalam makalah ini penulis ingin membahas
dan menganalisa konsep etik dalam keperawatan yang meliputi: Dasar pembentukan
Etik dan Moral, Etika Kepedulian, Keperawatan sebagai Profesi, Keputusan Etik
dan Standar Keperawatan dan Etik dalam Keperawatan.
1.2 Tujuan
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah:
1.
Mengidentifikasi
keberadaan Etik dalam Filsafat Ilmu
2.
Membandingkan dan
membedakan antara Etik dan Moral
3.
Menganalisa Teori Etik
secara umum
4.
Menganalisa teoro etik
pada area keperawatan dan membandingkan serta membedakan dengan teori Etik
secara umum
5.
Menganalisis kode etik
keperawatan di Indonesia dan dinegara lain.
1.3 Manfaat
Manfaat
penyusunan makalah ini adalah:
1.
Profesi keperawatan
Sebagai
sumber studi kepustakaan dalam
pengembangan etik dan moral dalam keperawatan sehingga dapat menambah
pemahaman tentang konsep etik dan moral dan mengaplikasikan dalam praktek
keperawatan.
2. Institusi
pendidikan keperawatan
Sebagai sumber
kepustakaan dalam pengembangan etik dan
moral bagi institusi keperawatan.
3. Mahasiswa
keperawatan
Sebagai salah satu
acuan kepustakaan dalam pemahaman konsep
etik dan moral dalam keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Pembentukan Etika dan Moral
2.1.1 Konsep Etik
Etik berasal dari kata Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti yaitu tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap,
cara berpikir. Dalam bentuk jamak ( ta etha) artinya adat kebiasaan. Arti kata
etika ( ta etha) menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar
Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral ( Bertens, 2002).
Menurut Bertens
(2002) etika adalah :
1. Nilai-nilai
(sistem nilai) dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya etika Yunani, etika agama Budha. Jadi etika Yunani yang
berarti sistem nilai yang berlaku di Yunani dimana sistem nilai yang berlaku
tiap individu maupun kelompok.
2. Kumpulan
asas atau nilai moral ( yang dimaksud adalah kode etik). Misalnya Kode Etik
Keperawatan.
3. Ilmu
tentang yang baik buruk, filsafat moral.
4. Ada
beberapa alasan mengapa etika perlu menurut Franz Magnis-Suseno :
5. Etika
diperlukan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan
moral.
6.
Etika membantu agar
tidak kehilangan orientasi di tengah gelombang modernisasi
7.
Etika membuat kita
sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi baru dengan kritis dan objektif agar
tidak mudah terpengaruh
8.
Etika diperlikan oleh
kaum agama menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka.
Teori etika terbagi menjadi dua kategori utama yaitu teori normatif dan teori
metaetika.Teori normatif merupakan kategori yang lebih besar dan lebih
substantif. Ini melibatkan perumusan standar perilaku moral dan
mengartikulasikan prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Teori
meta etika, di sisi lain, adalah kategori yang lebih kompleks yang menyelidiki
makna istilah dan kritik etika bagaimana pernyataan etis telah diverifikasi ini
adalah kategori sekunder dimana teori normatif ditinjau dan dikomentari.
Dalam
kapasitas ini, methaetika berfungsi sebagai kekuatan intelektual di balik layar
yang menawarkan kritik ketika normatif etis terlalu jauh, atau ketika mereka
gagal untuk menjelaskan prinsip-prinsip moral. Mengingat hubungan ini, etika
normatif dapat dibandingkan dengan pengadilan yurisdiksi primer, sedangkan
methaethics dapat dibandingkan dengan pengadilan banding. Setiap
tingkat memberikan manfaat dari kontribusi pada yang lainnya.
1. Teori
Metaetika
Istilah meta berarti
"setelah" atau 'di luar' dan umum di antara filsuf ilustratif yang
terbiasa membuat komentari filosofis tentang semua aspek pengetahuan. Metaetik
dapat didefinisikan sebagai studi tentang metode, bahasa, logika, struktur, dan
penalaran yang digunakan dalam tiba di, atau dalam membenarkan penilaian moral.
Perannya adalah untuk mengevaluasi komentar tentang bagaimana sebuah prinsip
dibenarkan. Metaetik lebih langsung berkaitan dengan menganalisis arti istilah
seperti baik dan buruk dibandingkan dengan menilai tingkah laku itu sendiri.
Metaetik menghindari usaha untuk mendefinisikan standar perilaku moral,
perhatian utama mereka adalah mengevaluasi kualitas dan validitas klaim oleh
teori normatif dan memeriksa cara klaim semacam itu dipertimbangkan. Dalam
kontras dengan tingkat pertama, menilai teoretikus normatif, methaetik masuk
dalam tingkat kedua. Dengan demikian, hubungan antara etika normatif dan
metaetika mirip dengan antara pengadilan negeri dan pengadilan banding dalam
sistem peradilan.Teori metaetika pada gilirannya dibagi dalam dua subkategori,
berdasarkan Pada apakah seseorang percaya bahwa penilaian moral dilakukan atau
tidak ada sebagai kenyataan. Akhirnya, perlu ditekankan bahwa bidang etika
normatif dan methaethic saling terkait erat karena masing-masing berkontribusi
terhadap perkembangan yang lain. Akibatnya, kebanyakan filsuf filsuf saat ini
tampaknya mengejar filsafat jalur ganda, menggabungkan kedua pendekatan dengan
berbagai cara, dengan penekanan, pada satu pendekatan atau pendekatan lainnya
(Souryal, 2011). Dari teori metaetik, penulis menyimpulkan bahwa filsafat dalam
teori ini lebih dianggap sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan
evaluator. Teori ini berperan dalam mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang
dipercayai dan dibenarkan terutama oleh teori normatif. Para filsuf dalam teori
ini akan melakukan penalaran pada standar ataupun istilah yang diakui baik dan
benar oleh teori normatif. Secara tidak langsung teori ini membantu dalam
perbaikan dan pembenahan kembali tentang prinsip-prinsip yang diakui tersebut.
2. Normatif
Bidang etika normatif
terbagi menjadi dua sub kategori yang cukup dapat dibedakan . Pembagian ini
didasarkan pada apakah penekanan moral diletakan diujung depan tindakan itu
sendiri atau bagian belakang konsekuensi aksi. Yang pertama dikenal teori
deontologis dan yang terakhir sebagai teori teleologis.
a. Teori
deontology
Teori deontologi
dikenal juga dengan teori kewajiban. Karena bahasa deontologi berasal dari
bahasa yunani ‘duty’ yang berarti
kewajiban. Teori deontologi menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari
suatu tindakan sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah. Suatu tindakan
dinyatakan benar apabila tidak ada maksud di belakangnya atau ada konsekuensi
lain, maka itu adalah benar. Contohnya membantu orang lain dianggap etika yang
benar. Fakta bahwa lebih baik melakukan kebaikan daripada melakukan kesalahan. Kenyataan
bahwa bantuan nantinya bisa terbukti berbahaya tidak membuat perbedaan dalam
persamaan moral. Tindakan yang benar, tetap benar bahkan jika hasilnya buruk
atau jika dilakukan karena alasan yang salah. Dengan tepat, mengatakan yang
sebenarnya adalah mengutuk dengan baik tanpa mempertimbangkan konsekuensi buruk
yang mungkin ditimbulkannya. Selanjutnya, tindakan yang dianggap benar harus
bersifat universal di mana saja dan kapanpun. Teori deontologis dibagi dalam
dua kategori: monistik atau multipel. Dalam kategori pertama, pertimbangan
moralitas didasarkan pada nilai tunggal kebaikan. Contoh kategori ini mencakup
teori hedonisme, yang menganggap bahwa kesenangan adalah satu-satunya yang baik
dan total kebaikan, dan teori Kant berkewajiban sebagai satu-satunya kewajiban
dalam kehidupan. Pada subkategori kedua, teori deontologis dapat berupa
dualistik atau pluralistik, dalam kasus mana mereka didasarkan pada dua atau
lebih nilai kebaikan. Seperti pasangan yang menikah terdiri dari tampan/cantik
dan kaya, atau pluralisme yaitu kaya, cantik, dan bependidikan. Oleh
karena itu, disimpulkan bahwa teori
deontologi menilai nilai moral secara ketat atas dasar tindakan itu sendiri,
terlepas dari apa konsekuensi dari tindakan itu yang mungkin terjadi. Dengan
demikian, mereka merupakan sanksi yang tegas, material, universal atau
setidaknya memiliki efek yang menentukan pilihan manusia. (Souryal, 2011). Dari
teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa teori deontologi menilai sesuatu yang
dikatakan bermoral atau tidak adalah dari tindakan itu sendiri. Tindakan
tersebut harus secara umum diakui bermoral dimanapun atau kapanpun. Apabila
secara universal atau umum sebuah tindakan yang sudah diwajibkan untuk
dilakukan, meskipun hasil dari tindakan tersebut tidak baik dan berbahaya,
tidak diperhitungkan oleh teori ini. Tindakan tersebut tetap dikatakan bermoral
oleh teori ini.
b. Teori
teleological
Kata teleologikal
berasal dari bahasa yunani ‘ teleois’ yang berarti konsekuensi atau membawa
masalah sampai akhir tujuan atau tujuan. Teori teleologis menentukan nilai
moral dari hasil suatu tindakan. Di sana, konsekuensi tindakan tersebut
ditentukan tindakan benar. Jika hasilnya bagus maka tindakannya benar jika
hasilnya buruk dari tindakan yang salah. Dengan demikian, dalam contoh
sebelumnya, kebenaran memukul pantat seorang anak adalah dalam mereformasi
tingkah lakunya, hak untuk berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan,
memenjarakan seorang penjahat adalah menghalangi orang lain melakukan kejahatan.
Di antara dua teoretik teleologis yang paling dikenal adalah utilitarianisme
dan keadilan sosial. Menurut teori utilitarian, sebuah tindakan atau kebijakan
mungkin bersifat moral atau tidak bermoral hanya dalam hal kapasitasnya untuk
mencapai kebaikan terbesar bagi banyak orang. Oleh karena itu, kebijakan yang
menaikkan upah minimum atau meningkatkan manfaat jaminan sosial sangat
bermanfaat, karena dapat menguntungkan segmen populasi yang lebih besar. Dengan
cara yang sama, teori keadilan sosial menegaskan bahwa moralitas utama ada pada
masyarakat mana saja yang mampu memaksimalkan kebebasan bagi semua warga tanpa
mengorbankan kebutuhan orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu. Teori
teleologi juga dibagi menjadi dua subkategori kualitas kebaikan dan
kedudukan/tempat kebaikan. Pada
subkategori pertama, teleologi memberi peringkat pada tingkat kebaikan dalam
hal hirarki berdasarkan kualitasnya. Sebagai contoh, seperti kebaikan keadilan
lebih tinggi daripada kebaikan kesenangan. Dengan cara yang sama, kebaikan
intrinsik kesenangan adalah kualitas yang lebih tinggi daripada kekayaan
non-intrinsik kekayaan. Dengan demikian, tindakan yang meningkatkan nilai
keadilan dan kebahagiaan secara moral lebih unggul daripada yang memaksimalkan
keuntungan ekonomi. Pada
subkategori kedua, kedudukan kebaikan, teleologi menentukan kebaikan suatu
tindakan dalam hal lokasinya. Di mana ia paling diuntungkan. Misalnya,
sementara teori egoisme dan utilitarianisme bersifat teleologis, keduanya
berbeda dalam hal jumlah penerima manfaat. Seorang egois akan menghargai
tindakan dalam hal jumlah kebahagiaan yang akan menimpanya. Sebaliknya, seorang
utilitiranists akan menghargai tindakan yang sama dalam hal jumlah orang yang
akan mendapatkan keuntungan darinya. Secara
ringkas teori teleologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan didasarkan
pada moralitas konsekuensinya. Oleh karena itu, sebuah salam yang menghasilkan
konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah 'tidak bermoral' dan perbuatan
biasa-biasa saja yang menghasilkan konsekuensi bahagia adalah 'moral'.
Selanjutnya, teori teleologis menekankan bahwa pertimbangan moral harus
ditafsirkan dalam hal kepentingan masyarakat secara keseluruhan, karena
moralitas adalah agen kebahagiaan universal. (Souryal, 2011). Penulis menyimpulkan
bahwa teori telologika lebih menekankan pada tujuan dan akhir dari suatu
tindakan. Apapun jenis tindakan yang dilakukan, tidak diperhatikan ataupun
dinilai. Tetapi tujuan maupun hasil dari tindakan itulah yang akan diniliai.
Suatu tindakan yang dianggap mempunyai sebuah tujuan/maksud yang baik, walaupun
tindakan itu berupa suatu tindakan kekerasan dan tidak bermoral, akan tetap
dianggap baik apabila tujuan dari tindakan itu adalah untuk kebaikan. Teori ini
juga menekankan pada hasil dari tindakan yang baik adalah untuk kepentingan dan
kebaikan secara universal atau untuk kepentingan masyarakat luas.
Etika
dapat terbagi menjadi dua kategoti, yaitu :
1.
Etika deskriptif
Etika
deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu,
dalam kebudayaan atau subkultural tertentu, dalam suatu periode sejarah karena
etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberikan penilaian.
2.
Etika normative
Etika
normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya terhadap
norma etika. Etika normatif dibagi menjadi:
a.
Etika umum: memandang
tema-tema umum
b.
Etika khusus: berusaha
menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang
khusus.
3.
Meta etika
Mempelajari
logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Setelah
mempelajari tiga cara untuk
mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang
moralitas dapat dibedakan pedekatan non filosofis dan pendekatan filosofis.
Pendekatan non filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan
filosofis bisa sebagai etika formatif dan sebagai metaetika atau etika
analitis. Dari sudut pandang lain etika dapat dibagikan juga ke dalam
pendekatan normatif dan pendekatan non normatif. Dalam pendekatan normatif si
peneliti mengambil mengambil suatu posisi atau standpoint moral: hal itu terjadi dalam etika normatif (bisa etika
umum dan bisa juga etika khusus).
2.1.2 Konsep Moral
Kata
moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak
: mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Menurut Bertens (2002),
moralitas adalah ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada
makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran
tentang baik dan buruk, tentang yang
boleh dilakukan dan tidak pantas dilakukan.
Etik
dan moral tampil dalam tindakan manusia. Manusia itu dinilai oleh manusia
lainnya dalam tindakannya. Tindakan manusia dapat dinilai dari berbagai aspek,
misalnya penilaian sehat atau sakit, penilaian indah atau tidak indah,
penilaian baik atau buruk. Tindakan manusia dilakukan secara sengaja dimana
adanya pilihan dan tidak sengaja dimana
situasinya tidak memungkinkan untuk memilih, misalnya seseorang yang
tidur mendengkur merupakan tindakan yang tidak sengaja. Sasaran pandangan etik
khusus pada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja (Poedjawiyatna,
2003).
Yang Mempengaruhi nilai
moral
1. Nilai
moral dengan agama
Setiap agama mengandung
ajaran moral yang menjadi pegangan bagi para pengikutnya.. Bila agama berbicara
tentang topik-topik etis, pada umumnya ia berkhotbah, artinya, ia berusaha
memberi motivasi serta inspirasi, supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan
norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman. Bila filsafat berbicara
tentang topik-topik etis, ia beragumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan
bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan
menunjukkan alasan-alasan rasional. Demikian juga ada perbedaan tentang
kesalahan moral. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya
orang beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan, karena melanggar perintahNya.
Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah, pelanggaran prinsip etis
yang seharusnya dipatuhi. Karena itu di sini kesalahan moral pada dasarnya
adalah sebuah inkonsekuensi rasional.
2. Nilai
moral dengan hukum:
Moral akan
mengawang-mengawang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat seperti terjadi hukum, khususnya hukum pidana. Contoh: jangan
mencuri, jangan membunuh, tidak saja merupakan larangan moral tapi
perbuatan-perbuatan itu dilarang menurut hukum. Baik hukum maupun moral
mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku
lahiriah saja, sedangkan moral juga menyangkut juga sikap batin seseorang.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara, seperti halnya
dengan hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku
sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para
individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain
masyarakat dapat mengubah hukukm, tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
Masalah etika tidak bisa diputuskan dengan suara terbanyak. Moral menilai hukum
dan tidak sebaliknya.
2.1.3 Sejarah Pembentukan Moral dan Etika
Terbentuknya etika dan moral di masyarakat, tidak terlepas dari
perjalanan sejarah dari tokoh-tokoh filsafat mulai dari abad Yunani purba
sampai pada abad modern. Oleh karena itu, untuk mengetahui dasar
pembentukannya, perlu diikuti riwayat dan perjalanan dari tokoh-tokoh filsafat
tersebut.
1.
Abad yunani
Secara
historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di
lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama
tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia (Franz Magnis Suseno (1987:
14).
Pergaulan
yang sering dilakukan di luar yunani dengan para pedagang dan para koloni
membuat mereka mengenal banyak budaya di luar yunani seperti, tentang hukum,
tata kehidupan dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah miliknya,
hasil pembudayaan Negara tersebut benar- benar lebih tinggi? Karena tiada
seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian
diajukanlah pertanyaan, “Mengapa begitu?” kemudian diselidikinya semua
perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni filsafat
moral (filsafat kesusilaan) atau etika (W. Poespoproddjo,1999: 18).
2. Socrates
Socrates adalah ahli pikir pertama pada zaman keemasan dunia
filsafat (470-399 SM). Socrates tidak meninggalkan ajaran tertulis, sedang alam
pikirannya terutama diketahui melalui karya muridnya Plato. Socrates tidak
menjelaskan secara langsung tentang etika. Tetapi ajarannya menjadi tonggak
utama bagi ahli filsafat berikutnya
untuk menengembangkan ajaran filsafat terutama etika dan moral. Socrates hidup
pada masa dimana sedang berkembangnya paham sofisme, yaitu paham yang
merelatifkan segala sesuatu. Mereka berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum
yang kuat. Mereka juga tidak mengakui adanya pengetahuan. Bagi kaum saofis,
manusia menjadi ukuran segalanya, kebenaran mutlak tidak ada, kebenaran hanya
berlaku sementara. Hal ini bertentangan dengan pemikiran socrates. socrates
melihat bahwa kebenaran itu bersifat objektf dan bisa bersifat mutlak serta
bersumber pada manusia itu sendiri (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Dari
situlah, Socrates mulai menerapkan metoda dialectik-kritis yaitu dialog antar
dua pandangan yang saling bertentangan dan tidak mau menerima suatu pengertian
begitu saja tanpa mengujinya terlebih dahulu.
Bagi Socrates sebuah hidup yang tanpa diuji/dicari tahu adalah hidup
yang tidak bernilai. Dalam ajaran filsafatnya Socrates mendiskusikan pertanyaan
secara umum tentang pengetahuan, karakter, dan diskusi khusus tentang sifat
alami seperti kebaikan, keberanian dan kesederhanaan. Tujuan dari Socrates adalah supaya masyarakat bisa hidup kembali pada sifat alami atau kebajikan (Souryal, 2011).
3. Plato
Plato
adalah tokoh filsuf besar kedua di zaman filsafat yunani. Plato tidak secara
gamblang menulis etika. Plato menciptakan istilah ide. tetapi di dalam
ajaranya, tersirat uraian-uraian tentang etika. Salah satu pernyataan Plato
yang paling jelas berkaitan dengan etika dan moral adalah seorang individu akan
melaksanakan hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal
budi) terorganisasi secara terpadu dan laras. Menurut Plato hidup yang baik itu
memperlihatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk di dalamnya
kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan.
4. Aristoteles
Aristoteles
adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf - filsuf besar dari zaman keemasan
filsafat yunani. Karya aristoteles mulai terkenal pada abad XII dan XIII.
Aristoteles dikenal sebagai salah seorang ahli pikir yang terkenal pada masa
itu dan yang menyebutkan istilah etika yang tertuang di dalam bukunya, yaitu The Nochomachean ethic. Dalam buku itu
Aristoteles menyebutkan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih
melalui berbagai kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang
kepentingannya bertahap- tahap (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Pada
zaman ini, konsep etika dan moral didasarkan pada sifat naturalistik dan
rasional sepanjang abad. Bagi alam pikiran klasik standar moral dan etika itu
bersifat objektif, akan tetapi keberadaanya merupakan pula bagian dari dunia
alami yang dapat diketahui melalui proses penalaran akal budi.
5.
Abad
pertengahan
Pada abad
pertengahan ini disebut sebagai abad kepercayaan atau abad keselarasan
rohaniah. Pada abad ini etika dipadukan oleh suatu kepercayaan yang kokoh,
suatu penerimaan akan kebenaran yang hampir universal dari wahyu
kristiani. Dua filsuf pada zaman ini
yaitu Agustinus dan Aquinas menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad
pertengahan yang berorientasi rohaniah dan objektifistik. Menurut Agustinus
pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan objektif dapat dicapai melalui
pengalaman mistik tentang kebenaran ilahi yang diterima secara langsung.
Menurut Tomas, tiada suatu hal atau peristiwa manapun dari yang paling kerdil
hingga paling besar dan dahsyat, yang bertiada makna atau tujuan, sebab setiap
hal dan peristiwa itu merupakan bagian dari rencana agung Tuhan dalam
menciptakan segalanya. Manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan
penalaran itu semua berada dalam kesatuan ilahi. Pada masa ini, konsep etika
dan moral dibentuk berdasarkan pandangan yang bersifat spiritual dan terpusat
pada dunia kelak (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992)
6. Abad modern
Pada abad
modern, merupakan awal jatuhnya abad pertengahan. Pada abad ini menegaskan
bahwa akal budi mengungguli iman. Pada masa ini lahirlah ilmu pengetahuan
modern dan sains modern yang memantapakn dirinya sebagai pemeran utama dalam
alur pemikiran barat. Pada masa ini, segala sesuatu dikecam dan diselidiki,
sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan
pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru. Jadi sains
modern memberikan kepada akal budi suatu peranan yang terbatas dalam rangka
pengetahuan tentang dunia yang natural. Segala sesuatu di dunia selalu
dilakukan penalaran dan uji secara empiris. Pada masa ini, mereka menempatkan
kebenaran rasional di bawah kebenaran empiris. Status kebenaran yang relatif
dari setiap hipotesa saintifik selalu tergantung pada data empiris yang
ditemukan. Dalam kasus sains psikologi modern, bagi seorang sains mungkin saja
untuk mengkaji setiap variabel hasil yang dependen (seperti moral, etika) dengan
berpegang pada penalaran dan asumsinya sendiri tanpa menggunakan asumsi yang
menyangkut eksistensi standar moral yang obyektif. Jadi disimpulkan bahwa, etika dan moral pada
masa ini didasari pada suatu pembuktian yang bersifat empiris dan kebenarannya
bisa bersifat relatif, sehingga bisa dikatakan bahwa pada masa ini menjadi masa
yang sangat sulit bagi keberadaan etika dan moral (Kurtines W.M dan
Gerwitz.J.L., 1992).
Berdasarkan sejarah, perkembangan etik dan moral
mulai dari Yunani purba. Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa sejarah
ide dunia barat dimulai sejak zaman Yunani purba, sekitar abad kelima dan
keempat SM, yang terlukis pada ide-ide ahli pikir terbesar di masa itu, yaitu
Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates (470?-399 SM) adalah ahli pikir
pertama menyakini bahwa memungkinkan untuk memiliki suatu pengetahuan yang
obyektif tentang kebenaran. Socrates menyakini bahwa mungkin dicapai suatu
standar yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai pemikiran dan perilaku
(serta pikiran manusia dapat mengetahuinya).
Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa Plato
(427?-347 SM) sebagai tokoh filsuf besar yang kedua di zaman filsafat Yunani,
menciptakan istilah ide (idea) yang
berarti menciptakan cara berpikir dalam bentuk konsep-konsep. Kurtines
dan Gerwitz (1992) juga menjelaskan pemikiran Plato yang menyatakan bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang obyektif hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan penalaran. Salah satu pernyataan Plato yang paling jelas berkaitan
dengan masalah moralitas dalam karyanya yang berjudul Republic (kurang lebih
375 SM/1955). Kurtines dan Gerwitz (1992) menyatakan bahwa dalam Republic ada istilah yang berarti jiwa
manusia terdiri dari 3 bagian yaitu nafsu, semangat dan akal budi, yang
berimplikasi seorang individu akan melaksanakan hidup yang baik jika unsur
kejiwaan (nafsu, semangat, akal budi) terorganisasi secara terpadu dan selaras.
Kurtines dan Gerwitz (1992) menguraikan pandangan
Plato yang menyatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang diatur atau dikelola
oleh akal budi, yang memperlihatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan
termasuk di dalamnya kebijakan dalam perangai, keberanian dan kearifan. Oleh
karena itu, akal budi atau penalaran sebagai suatu daya kemampuan khas yang
dimiliki rohani insanlah, yang akan mampu memahami bentuk ide itu, akal budi
merupakan karunia bagi manusia yang memiliki kemampuan untuk meraih pengetahuan
tentang moral yang obyektif (Kurtines dan Gerwitz,1992).
Aristoeteles
(384-322 SM) adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf di zaman Yunani , yang
menghasilkan pelbagai bidang sains yang khusus, mencakup etika, ilmu politik,
fisika, biologi dan psikologi. Buku The
Nicomachean Ethics (kurang lebih 325 SM/1953) merupakan karya Aristoteles
dalam bidang ilmu etika. Kurtines dan Gerwitz (1992) menjelaskan buku tersebut
dimana Aristoteles mengemukakan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak
kita raih melalui berbagai kegiatan, dan banyak jenis kebenaran yang kadar
kepentingannya bertahap-tahap. Aristoteles pertama-tama memperhatikan dulu apa
yang dirasakan orang lain sebagai kebenaran. Ia selanjutnya menunjukkan bahwa
pada umumnya orang beranggapan kebahagiaan yang berupa hidup yang baik dan
berperilaku baik sebagai kebenaran yang mutlak (Kurtines dan Gerwitz,1992).
Menurut
Kurtines dan Gerwitz (1992), konsepsi moralitas menurut Socrates, Plato dan Aristoteles bersifat
naturalistik dalam arti bahwa etika dan moralitas dipandang sebagai bagian dari
dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai bagian yang akan mencapai hidup
yng baik di dunia kini maupun dunia kelak. Konsepsi moralitas juga bersifat
rasionalistik dan obyektivistik dari kebenaran, dan akal budi merupakan
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dari kebenaran itu.
2.1.4 Tahap Perkembangan Etik dan Moral menurut Kohlberg (1995)
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi
menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan
pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap
(Kohlberg, 1995).
1.
Tingkat
Prakonvensional
Pada
tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan
budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah. Akan tetapi hal ini
ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah.
Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10 tahun. Terdapat dua tahap
pada tingkat ini.
Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan
baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat
tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada
kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam
dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang
melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang
merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang
juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di
pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan
pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis.
Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku
juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih
atau keadilan.
2.
Tingkat
Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan
pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari
dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan
bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri,
karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu,
kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok
sosialnya. Kalau pada tingkat prakonvensional perasaan dominan adalah takut,
pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10
sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi
/ orientasi ”Anak Manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan
membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas
terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah.
Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan dia bermaksud baik untuk
pertama kalinya menjadi penting.
Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti kesetiaan,
kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran
sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi
harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.
Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban
Pada
tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan
dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan
memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan
mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan
individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk
mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata
melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib
sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3.
Tingkat
Pasca-konvensional
Tingkat
ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula
dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk
didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang
tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari remaja
awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada
umumnya tahap ini amat bermakna semangat utilitarian. Perbuatan yang baik
cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah
diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat
kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi
bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk
mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara
konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi.
Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan
pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional
mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata
tertib gaya tahap 4).
Tahap 6) : Orientasi prinsip etika universal
Hak
ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang
dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas,
konsistensi logis. (Kohlberg, 1995).
2.2 Caring Ethics/Etika Kepedulian
Menurut John
Tronto (1993) dalam Skerowin (2017) caring ethics merupakan tanggung jawab
untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan pertimbangan moral. Etika
kepedulian didefinisikan sebagai komitmen moral untuk merawat, melindungi,
menyembuhkan, memberi dukungan, tetapi sekaligus juga memperjuangkan tata
sosial yang adil (Held 2007 dalam Jena 2014). Jadi dapat disimpulkan etika
kepedulian adalah komitmen moral untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan
cara merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan secara adil pada
setiap manusia.
2.2.1 Perspektif caring ethics
1. Carol
Gilligan (1982) dan Watson
Carol
Gilligan mengemukakan caring ethics sebagai aspek relasi yang erat kaitannya
dengan sisi feminis. Penalaran moral dibatasi dengan “dua perspektif yang
mengoordinasikan pikiran dengan cara yang berbeda.” Pada laki-laki definisi
moral terkait dengan istilah keadilan. Sedangkan perempuan, moral didefinisikan
bukan dalam istilah hak namun lebih kepada tanggung jawab dan kepedulian. Hal
ini kemudian memunculkan pertanyaan dari filsuf lain terkait dengan perawat.
Perawat yang secara gender memang didominasi oleh wanita, namun bagaimana etika
kepedulian perawat laki-laki. Apakah perawat laki-laki memiliki caring ethics
yang lebih baik daripada laki-laki yang bukan perawat?
2. John
Tronto
Kepedulian
dipandang sebagai aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan, melanjutkan
dan memperbaiki dunia sehingga kita dapat hidup di dalamnya sebaik mungkin.
Dunia yang dimaksud mencakup tubuh kita, diri kita sendiri, lingkungan yang
terjalin dalam sebuah jaringan yang kompleks untuk mendukung kehidupan. Tronto
mengungkapkan Tronto’s Dimensions or Phases of Care dalam tabel di bawah ini
(Scott, A.P. 2017) :
Dimensi/tahap
kepedulian
|
Sikap etis
|
Caring about : hal
ini mencakup kekhawatiran terhadap seseorang/sesuatu
|
Ketertarikan :
memperhatikan kebutuhan peduli
|
Taking care of :
mengambil tanggung jawab untuk merawat seseorang
|
Tanggung jawab :
memperbaiki situasi seseorang
|
Care giving :
memberikan perawatan langsung kepada seseorang
|
Kompetensi : memiliki
pengetahuan, ketrampilan dan nilai yang diperlukan untuk tujuan perawatan
|
Cara receiving :
tahap akhir ini berfokus pada penerima perawatan
|
Responsif :
menanggapi secara positif perawatan/kepedulian yang telah diberikan
|
3. Chris
Gastmans
Keperawatan
dianggap sebagai praktik moral dengan 3 komponen utama yaitu : hubungan
kepedulian (kondisi praktik keperawatan), perilaku peduli (integrasi nilai
kebaikan dan aktivitas kepakaran) dan perawatan yang baik yang didefinisikan
sebagai tujuan akhir praktik keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara
spesifik untuk menghubungkan diri dengan yang lain dalam konteks relasional
antara pasien dan perawat dalam memberikan perhatian (caring) selama aplikasi
asuhan keperawatan. Perilaku peduli melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan
altruistik terhadap perawatan dengan fitur kognitif dan afektif-motivasi) dan
aktivitas kepakaran. Gastmans menjelaskan “perawatan yang baik” adalah tujuan
dasar praktik keperawatan. Gastmans mengadopsi perspektif filosofis Eropa
tentang “being human” yang
menguraikan enam dimensi pasien yaitu : fisik, relasional, sosial, psikologis,
moral dan spiritual. Secara keseluruhan, keperawatan digambarkan sebagai
hubungan kepedulian integrasi kebaikan dan aktivitas ahli serta perawatan yang
baik sebagai tujuan praktik keperawatan (Scott, A.P. 2017).
4. Held
(2007)
Etika
kepedulian menawarkan pendekatan komitmen moral untuk merawat, melindungi,
menyembuhkan, memberi dukungan sekaligus menjadi tata sosial yang adil.
5. Watson
(1999)
Watson
menggambarkan hubungan caring transpersonal adalah hubungan manusia yang
bersifat bersatu dengan orang lain dengan menghargai seseorang itu sepenuhnya
termasuk dengan keberadaannya di dunia. Watson memberikan penekanan pada aspek
kualitas interpersonal dan transpersonal yang meliputi empati, keselarasan dan
kehangatan.
Berdasarkan
kelima perspektif dari para ahli, caring ethics merupakan komitmen moral yang
menekankan pada aspek interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan dalam
bentuk memperhatikan, merawat, melindungi, menyembuhkan, dan memberi dukungan.
Perbedaannya, pendekatan Carol Gilligan lebih menekankan aspek feminis dari
beberapa perspektif lainnya.
2.2.2 Sejarah Perkembangan dan Mengapa Caring Ethics Muncul
Konsep etika
kepedulian pertama kali digagas oleh Carol Gilligan selama tahun 1960 an. Carol
melihat etik dari sisi feminisme. Lalu sejak saat itu, etika kepedulian telah
digunakan dalam berbagai bidang profesional seperti keperawatan, kesehatan,
pendidikan, hubungan interpersonal, hukum dan politik (Held, 2005). Di awal
karirnya, Carol Gilligan bekerja dengan psikologLawrence Kohlberg saat Kohlberg
meneliti tentang perkembangan moral. Gilligan mulai meneliti teori tentang
perkembangan moral perempuan sebagai respon terhadap hasil penelitian Kohlberg
yang berbasis laki-laki. Gilligan berpendapat bahwa teori yang berkembang saat
itu hanya menekankan pada pandangan keadilan saja dan ini merupakan pandangan
yang dimiliki oleh laki-laki. Sementara itu menurut Gilligan wanita memiliki
pandangan moral yang berbeda dimana menekankan pada solidaritas, komunitas, dan
kepedulian tentang orang lain atau adanya hubungan ketergantungan satu sama
lainnya. Pandangan wanita ini mengenai moral telah diabaikan atau diremehkan
karena secara tradisional wanita berada pada posisi terbatas akan kekuasaan dan
pengaruh (Gilligan, 2003).
Pandangan moral
keadilan/etik keadilan berfokus pada hal yang benar dan harus dilakukan.
Sedangkan pandangan moral kepedulian/etik kepedulian mengarah pada kita dapat
dan harus mengutamakan kepentingan orang yang dekat dengan kita dan harus
mengutamakan/menumbuhkan kemampuan alami kita untuk merawat orang lain dan diri
kita sendiri (Gilligan, 2003).
Teori etika
kepedulian Gilligan berkisar pada pegangan bahwa manusia tidak patut disakiti.
Gilligan banyak menuju tentang perasaan, tanggung jawab dan hubungan manusia
terutama dari sudut pandang wanita. Teori ini menyatakan adanya tanggung jawab
membantu, tidak membebankan dan menyakiti orang lain (Mukhsin, 2007). Teori
Gilligan menyatakan tahap perkembangan moral sebagai berikut :
1. Pra
konvensional : melihat kepentingan diri sendiri. Peralihan yang terjadi yaitu
kesadaran antara kepentingan diri dan tanggung jawab pada orang lain.
2. Konvensional
: kepentingan orang lain. Peralihan yang terjadi menyelesaikan perselisihan
antara kepentingan orang lain dan diri sendiri.
3. Pasca
konvensional : harus dengan prinsip “jangan menyakiti”
Dalam
perkembangannya Carol Gilligan menghasilkan karya dalam sebuah buku dengan
judul “in a different voice” tahun
1982. Mengikuti karya Gilligan tersebut pada tahun 1984 Nel Nodding mengatakan
kunci untuk memahami etika kepedulian adalah mematuhi gagasan dan etik
kepedulian secara khusus. Nodding mengatakan kepedulian berakar pada
penerimaan, ketergantungan satu sama lain dan responsif.
Menurut Bertens
(2013) bertanggung jawab berarti dapat menjawab bila dipertanyakan tentang
perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab ada 2 jenis yaitu
retrospektif dan prospektif. Retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan
yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya. Prospektif adalah tanggung
jawab atas perbuatan yang akan datang. Kaitan caring ethics dengan tanggung
jawab : kepedulian yang dilakukan dan diberikan tempat sentral dalam praktik
keperawatan dan bentuk setiap tindakan yang dilakukan disertai dengan tanggung
jawab.
Permasalahan
yang mendasar pada profesi keperawatan Indonesia saat ini adalah perawat masih
belum melaksanakan peran Caring secara profesional dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada klien (Nursalam, 2014). Berdasarkan kajian Nursalam (2005)
perawat Indonesia belum mampu berperan profesional karena 4 faktor yaitu :
1. Kualitas
sumber daya Ners masih rendah
2. Batang
tubuh ilmu pengetahuan dan kewenangan perawat yang belum jelas.
3. Model
praktik keperawatan yang tidak tertata dengan baik dan belum adanya UU yang
mengatur praktik keperawatan.
4. Fokus
pendidikan keperawatan hanya berorientasi menyediakan lulusan untuk bekerja
memberikan layanan, kurang menciptakan soft skill/membangun karakter yang
diperlukan stakeholder
Untuk
point 2 dan 3 sudah ada perkembangan di tingkat peraturan dan undang-undang.
Saat ini telah ada pengkategorian kewenangan klinis perawat yaitu perawat
klinik (PK) tingkat 1 sampai PK 5. Sedangkan terkait UU, baru saja pemerintah
mengesahkan UU praktik keperawatan yang dapat dijadikan acuan bagi perawat
dalam memberikan layanan keperawatan.
PPNI
sebagai organisasi profesi keperawatan di Indonesia sudah membuat Kode Etik
Keperawatan yang berisi standar kompetensi dan standar praktik keperawatan. Hal
ini sebagai bentuk perlindungan baik kepada perawat maupun masyarakat terhadap
layanan keperawatan yang bermutu. Darwis
(2016) mengungkapkan bahwa kualitas perawat di rumah sakit masih membutuhkan
bimbingan pengawasan. Hal ini dapat dilihat dari banyak komplain pasien terkait
pelayanan keperawatan. Senada dengan hal tersebut, hasil penelitian Purba,
Suza, Erniyati (2015) merekomendasikan perlunya evaluasi terhadap penerapan
caring oleh perawat di rumah sakit serta memfasilitasi perawat dalam mengaplikasikan
caring dalam asuhan keperawatan. Namun Erienh, Setiawan, Wahyuni (2015) telah
melalukan riset terkait caring di ICU
dan memperoleh hasil yang menjelaskan bahwa perawat menunjukkan perilaku
caring dan perawat menunjukkan rasa peduli yang tinggi terhadap pasien dan
keluarga pasien dalam perawatan kritis.
Untuk itu perlu
dilakukan kajian berkala tentang perkembangan penerapan caring ethics di
Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Dewi, Syam, dan Daulay (2015) bahwa
rumah sakit perlu mengoptimalkan kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik
dengan meningkatkan budaya perilaku caring, memperhatikan prinsip etik di rumah
sakit dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien, perlu dibuat aturan baku
pelaksanaan perilaku caring, prinsip etik bagi perawat, pelaksanaan supervisi
berkala, dan pelatihan caring.
2.3 Keperawatan Sebagai Profesi (Kontrol Sosial, Dimensi, Ciri-Ciri)
Profesi adalah
suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepetingan masyarakat dan bukan untuk
kepentingan golongan atau orang tertentu (Kusnanto, 2003). Sedangkan menurut
Wilensky (1964), profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dukungan body
of knowledge sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna
menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan pelatihan yang lama
serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan (altruism). Sehingga
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang
memerlukan pendidikan dan pelatihan yang terus menerus berdasarkan body of
knowledge yg spesifik, memiliki kode etik dan standar praktek dan berfokus pada
pelayanan untuk masyarakat.
Keperawatan
adalah suatu kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau
masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no
38 tahun 2014). Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan
kesehatan yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan
bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu,
keluarga dan masyarakat baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh
siklus hidup manusia.
Praktek
keperawatan adalah tindakan keperawatan profesional untuk masyarakat
menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar
dan ilmu keperawatan sebagai dasar untuk melakukan pengkajian, menegakkan
diagnosa, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan
mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana
keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan
intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi
yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan
bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan
dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
1. Kontrol
sosial
Bagaimana cara profesi (keperawatan) mempertahankan
eksistensinya sebagai tenaga profesional dalam memberikan pelayanan yang
berkualitas pada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik yang sehat
maupun yang sakit, sehingga pada akhirnya diakui oleh masyarakat (penerima
layanan)? Merupakan satu tugas berat
bagi profesi perawat, dimana keperawatan dituntut untuk terus mengembangkan
riset-risetnya, meningkatkan jenjang pendidikannya, dan menerapkan hasil
risetnya dalam praktek keperawatan sehingga memberikan pelayanan yang
berkualitas karena berbasis bukti. Ketika tuntutan masyarakat terhadap suatu
profesi semakin tinggi maka itu akan memberi peluang kepada profesi tersebut
untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Ketika profesi tersebut
mampu memenuhi tuntutan masyarakat maka dengan sendirinya profesi itu akan
semakin diakui. Menurut Michael Eraut (2002) dalam bukunya “Developing
Professional Knowledge and Competence” mengatakan bahwa konsep profesi
ditemukan karena adanya kontrol sosial. Keperawatan sebagai profesi berkomitmen
pada kemampuan, integritas, moral, kepentingan orang lain dan mengembangkan
kebaikan publik dalam keberadaannya. Komitmen ini membentuk dasar kontrol
sosial antara profesi dan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat memberikan pada
profesi otonomi dalam praktek dan hak dalam pengaturan diri. Dengan demikian,
suatu profesi memerlukan kontrol sosial untuk mengawasi dan mengontrol perilaku
anggota profesi dan memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu profesi. Status
profesional tidak merupakan hak yang melekat hanya dengan kualifikasi, tapi
juga diberikan kepercayaan oleh masyarakat. Publik melihat bagaimana suatu
profesi bekerja. Untuk dapat dipercaya, para profesional harus memenuhi
kewajibanyang diharapkan oleh masyarakat. Kegagalan untuk memenuhi kepercayaan,
tingkah laku dan standar profesional akan mengakibatkan kehilangan status
profesi tersebut.
Untuk mengontrol
perilaku anggota profesinya, keperawatan mempunyai organisasi profesi yang
berfungsi menyusun kode etik dan standar praktek bagi anggotanya. Kode etik
berisi aturan-aturan untuk menjaga sikap dan perilaku para perawat. Sedangkan
standar praktek untuk memberi arah dan acuan bagi para perawat dalam melakukan
prakteknya. Para perawat diharapkan patuh dan tunduk pada kode etik profesi dan
standar praktek yang ada demi mempertahankan kepercayaan dan pengakuan
masyarakat terhadap profesionalisme perawat.
2. Dimensi
profesi
a. Dimensi
disiplin ilmu, penerapannya :
1) Digunakan
sebagai dasar dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan keperawatan
2) Menetapkan
standar dan SPO untuk semaua tindakan keperawatan
3) Dilakukan
dengan pengujian dan validasi serta pengembangan melalui penelitian
4) Melaksanakan
evidence based practised
b. Dimensi
etik, penerapannya :
1) Menetapkan
prinsip etik dalam berinteraksi dan memberikan asuhan keperawatan
2) Ditetapkan
kode etik profesi
3) Melaksanakan
kode etik profesi
c. Dimensi
hukum, penerapannya :
1) Peraturan
perundang-undangan dijadikan dasar dalam melaksanakan pelayanan dan asuhan
keperawatan
2) Peraturan
perundang-undangan dijadikan landasan pelaksanaan berbagai kewajiban dan hak
perawat
d. Sedangkan
dimensi kualitas pelayanan profesi keperawatan sebagai berikut :
1) Responsibility
atau tanggung jawab, mencakup ketepatan dan kecepatan pelayanan serta
keakuratan dalam memberikan informasi
2) Responsiveness
atau kepekaan ; peka terhadap kebutuhan pasien didiringi tindakan yang tepat
sesuai kebutuhan tersebut
3) Assurance
atau kepastian pelayanan
4) Empati
; kemampuan memahami dan memperhatikan kondisi psikologis pasien
3. Ciri-ciri
profesi keperawatan (Nursalam, 2014)
a. Mempunyai
body of knowledge
b. Pendidikan
berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
c. Memberi
pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui
praktek profesional yang spesifik
d. Memiliki
perhimpunan organisasi profesi
e. Pemberlakuan
kode etik keperawatan
f. Otonomi
g. Bertanggung
jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
h. Merupakan
karier seumur hidup
i.
Mempunyai fungsi
mandiri dan kolaborasi
Profesi
keperawatan berbeda dari profesi yang lain, sehingga memiliki ciri-ciri profesi
yang spesifik untuk membedakan dari profesi yang lain dalam hal pelayanan,
prosedur, fokus penerima pelayanan, dan kode etik. Berdasarkan ciri-ciri di
atas, masih terdapat beberapa kesenjangan yang terjadi dalam profesi
keperawatan di Indonesia, antara lain :
1. Mempunyai
body of knowledge ;
Profesi keperawatan di
Indonesia memegang Body of knowledege, akan tetapi tidak semua perawat di
Indonesia menguasai ilmu pengetahuan keperawatan yang setara.
2. Pendidikan
berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi ;
Perawat Indonesia belum
semua mengenyam pendidikan profesional yang sama. Masih banyak ditemukan
perawat yang latar belakang pendidikan diploma (vokasional)
3. Memberi
pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui
praktek profesional yang spesifik
Masih banyak perawat
terutama didaerah yang melaksanakan praktek medis, contohnya melakukan tindakan
khitanan, pemberian obat-obatan dll
4. Memiliki
perhimpunan organisasi profesi
Di Indonesia sudah
memiliki organisasi profesi yaitu PPNI, namun belum semua perawat terdaftar
menjadi anggota PPNI.
5. Pemberlakuan
kode etik keperawatan
Perawat Indonesia
memiliki kode etik keperawatan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak
ditemukan pelanggaran, contohnya menjaga kerahasiaan pasien seperti kondisi
pasien (upload luka pasien). Dalam menghadapi pelanggaran etik tersebut, belum
ada tindakan tegas dari organisasi profesi.
6. Otonomi
Perawat di RS
kebanyakan tidak sempat melakukan tindakan-tindakan keperawatan mandiri, lebih
banyak melaksanakan tindakan kolaboratif (delegasi dokter).
7. Bertanggung
jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
Perawat di Indonesia
memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
8. Merupakan
karier seumur hidup
9. Mempunyai
fungsi mandiri dan kolaborasi
2.4 Etika dalam Keperawatan
2.4.1 Perangkat Etik
Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2013 bahwa untuk
meningkatkan profesionalisme, pembinaan etik dan disiplin tenaga keperawatan,
serta menjamin mutu pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan pasien perlu
dibentuk komite keperawatan di rumah sakit. Komite keperawatan adalah wadah non
struktural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama mempertahankan dan
meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial,
penjagaan mutu profesi, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi. komite
dibentuk oleh kepala/ direktur rumah sakit. Susunan organisasi komite
keperawatan sekurang – kurangnya terdiri dari ketua komite, sekretaris komite
dan subkomite. Sub komite terdiri dari subkomite kredensial, subkomite mutu
profesi dan subkomite etik dan disiplin profesi. dalam melaksanakan fungsi
menjaga disiplin dan etika profesi tenaga keperawatan, komite etik bertugas :
1. Melakukan
sosialisasi kode etik profesi tenaga keperawatan
2. Melakukan
pembinaan etik dan disiplin profesi tenaga keperawatan
3. Merekomendasikan
penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam kehidupan
profesi dan pelayanan asuhan keperawatan dan kebidanan
4. Merekomendasikan
pencabutan kewenangan klinis
5. Memberikan
pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan dan
kebidanan
Menurut Permenkes RI Nomor 49 Tahun
2013 persyaratan yang harus dipenuhi oleh personel komite keperawatan yaitu
memiliki kompetensi yang tinggi sesuai jenis pelayanan atau area praktik,
mempunyai semangat profesionalisme serta reputasi baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Bart Cusveller (2012) menjelaskan bahwa seorang komite etik keperawatan perlu
memiliki :
1. pengetahuan
dasar mengenai etik seperti konsep moral, model, isu dan hukum kesehatan.
2. kemampuan
berkomunikasi dengan baik, mampu mendengarkan, berbciara dan menulis.
3. sikap
sangat menghormati dan terbuka antar anggota komite dan situasi pasien
4. kemampuan
mengenal isu yang sedang terjadi di lingkungan perawat maupun pasien
5. kemampuan
mengedukasi tentang etik dan moral kepada anggotanya
2.4.2 Kode Etik
- Menurut PPNI (2000)
- Perawat dan Klien
1)
Perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia,
keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan,
warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta
kedudukan sosial.
2)
Perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan
yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup
beragama dari klien
3)
Tanggung
jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan
oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
- Perawat dan Praktik
1)
Perawat
memelihara dan meningkatkan kompetisi di bidang keperawatan melalui belajar
terus menerus
2)
Perawat
senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan klien.
3)
Perawat
dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
4)
Perawat
senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu
menunjukkan perilaku professional
c.
Perawat dan
Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan
kesehatan masyarakat.
d.
Perawat dan
Teman Sejawat
1)
Perawat
senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga
kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja
maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
2)
Perawat
bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
e.
Perawat dan
Profesi
1)
Perawat
mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan
keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan
keperawatan
2)
Perawat
berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
3)
Perawat
berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi
kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.
- Kode etik menurut ICN (ICN, 2012)
International
council of nursing memiliki empat prinsip kode etik keperawatan, diantaranya :
a. Perawat
dengan individu
Tanggung
jawab seorang perawat adalah kepada individu yang menuntut pelayanan
keperawatan. dalam memberikan perawatan, perawat menyediakan lingkungan yang
menjaga hak asasi manusia, nilai, dan kepercayaan individu, keluarga dan
komunitas
b. Perawat
dan praktik keperawatan
Perawat
mempunyai tanggung jawab dan akuntabilitas terhdap praktik keperawatan, dan
untuk menignkatkkan kompetensi dengan cara pembelajaran yang kkontinue
c. Perawat
dan profesi
Perawat
memikul peran utama dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik klinik
keperawatan, manajemen, penelitian dan edukasi
d. Perawat
dengan tenaga kesehatan lain
Perawat
memungkinkan untuk kolaborasi dan menghargai hubungan dengan tenaga perawat
lain dan dengan bidang lainnya
3.
Kode
etik menurut ANA (Martha, D.M. Fowler, 2010)
- Ketentuan 1 : Perawat dalam memberikan pelayanan penuh dengan rasa menghormati martabat yang melekat pada setiap individu, harga diri dan keunikan setiap individu
- Ketentuan 2 : Perawat bertanggung jawab kepada pasien baik individu, keluarga, kelompok, komunitas maupun populasi
- Ketentuan 3 : Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan melindungi hak, kesehatan, dan keamanan pasien
- Ketentuan 4 : Perawat memiliki wewenang, akuntabilitas dan tanggung jawab dalam tugasnya; membuat keputusan; dan mengambil tindakan yang konsisten dengan kewajibannya untuk memberikan perawatan kepada pasien secara optimal
- Ketentuan 5 : Perawat bertanggung jawab untuk mempromosikan kesehatan dan keselamatan, tidak membeda – bedakan individu, meningkatkan kompetensi personal dan professional
- Ketentuan 6 : Perawat baik secara individu maupun bersama - sama, menetapkan, mempertahankan, dan memperbaiki lingkungan guna menciptakan kondisi kerja yang kondusif untuk memberikan perawatan kesehatan yang aman dan berkualitas.
- Ketentuan 7 : Perawat dalam tatanan apapu memajukan profesi keperawatan baik melalui penelitian, mengumpulkan bukti ilmiah, pengembangan standar profesi baik keperawatan maupun kesehatan
- Ketentuan 8 : Perawat bekerja sama dengan profesional kesehatan lainnya dan masyarakat umum untuk melindungi hak asasi manusia, mempromosikan kesehatan, dan mengurangi perbedaan pelayanan kesehatan
- Ketentuan 9 : Profesi keperawatan baik secara kolektif melalui organisasi profesi harus mengartikulasikan nilai keperawatan, menjaga integritas profesi, dan mengintegrasikan prinsip keadilan sosial ke dalam keperawatan dan kebijakan kesehatan
2.4.3 Prinsip etik
Menurut Sue C
DeLaune dan Patricia K Ledner (2011) menerangkan Prinsip etik adalah ajaran
secara langsung untuk menentukan suatu tindakan. Dalam menentukan keputusan
etik, perlu melihat prinsip bahwa apa yang diputuskan merupakan pilihan terbaik
untuk pasien dan lingkungan. Prinsip etik dapat digunakan sebagai petunjuk
dalam menganalisa dilemma etik. Prinsip etik juga dapat sebagai rasionalisasi
untuk mengatasi masalah etik. Perlu diingat bahwa prinsip etik tidak absolute
atau mutlak, prinsip etik dapat dikecualikan sesuai dengan situasi. Terdapat
delapan prinsip etik :
1. Autonomi
Prinsip autonomi ini
merujuk pada hak individu untuk memilih dan menentukan kemampuan tindakan yang
mereka pilih. Perawat harus menghormati keputusan yang dibuat oleh pasien dan
melindungi pasien yang tidak dapat membuat keputusan sendiri. Prinsip autonomi
dalam etik ini merujuk pada kepercayaan setiap indvidu yang memiliki kemampuan
mempunyai hak untuk menentukan tindakan yang akan dilakukannya. Pada
pelaksanaan prinsip ini dibutuhkan inform consent sebagai bukti bahwa klien
berhak untuk mengambil keputusan.
2. Nonmalficience
Non malficience adalah
kewajiban untuk tidak atau menyebabkan sesuatu yang merugikan atau membahayakan
untuk individu lain. Bahaya yang dimaksud adalah baik sesuatu yang membahayakan
atau merugikan secara fisik, psikologi, sosial dan spiritual. Prinsip ini digunakan
sebagai pedoman dalam membuat keputusan suatu tindakan. Apakah tindakan yang
akan dilakukan dapat merugikan atau mebahayakan pasien atau tidak. Prinsip non
malficience mengharuskan perawat melakukan tindakan dengan penuh pertimbangkan
dan hati – hati. Perawat perlu menimbang potensial resiko dan manfaat dari
tindakan yang dilakukan.
3. Beneficence
Prinsip etik ini
menerangkan bahwa perawat wajib untuk malakukan sesuatu yang baik dan mencegah
kerugian.
4. Justice
Prinsip etik ini
berdasarkan konsep kejujuran dan keadilan. Konsep ini menyediakan kesamaan,
berdasarkan kebutuhan, kebutuhan, usaha dan kontribusi untuk sosial.
Berdasarkan ANA (2008) terdapat tiga tipe tindakan yang dapat merujuk kepada
ketidakadilan yaitu deskriminasi atau
semena – mena, mengeksploitasi (memanfaatkan) dan secara tidak wajar menghina
seseorang.
5. Veracity
Veracity adalah keadaan
yang sebenarnya. Prinsip veracity memang sulit untuk diterima, namun mengatakan
yang sebanarnya jauh lebih mudah tetapi tidak selalu mudah untuk membuat keputusan
dalam menyampaikan sesuatu yang benar
6. Fidelity
Fidelity adalah
kesetiaan dan menjaga privasi klien. Konsep fidelity merupakan pondasi etik
dalam hubungan perawat dengan klien
2.5 Keputusan Etik Dan Standar Keperawatan
2.5.1 Masalah dan Dilema Etik
Etika profesi
digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan praktek keperawatan, yaitu bagaimana
meletakkan dasar dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan dalam setiap
kesempatan maupun permasalahan etik yang dihadapi (James H & Husted, 2008).
Perkembangan tekhnologi dan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak yang luas
terhadap pola fikir dan perilaku dalam masyarakat yang terkadang menjadi dilema
dalam pengambilan sebuah keputusan terhadap pemberian asuhan keperawatan.
Dilema diartikan sebagai sebuah persoalan yang menghadapkan seseorang kepada
pilihan yang tidak menyenangkan dalam hal ini dapat terjadi konfrontasi antara
dokter, orang tua dan keluarga pasien, bagaimanapun hal ini harus menjadi
perhatian para perawat (para spesialis) karena keluarga seringkali meminta
bantuan dan rasa nyaman kepada perawat(Lachman, 2006).
Menurut Efendi,2009 perawat berada dalam
berbagai situasi yang mengharuskanuntuk membuat keputusan. Pada penyelesaian
dilemma etik kita kenal prinsip DECIDE, yaitu:
D = Define the Problems
E = Ethical Review
C = Consider the Options
I = Investigates outcomes
D= Decide on action
E = Evaluate Results
Saat menghadapi dilema etik, kita dapat
menanggapi dengan cara yang berbeda
dengan tahapan sebagai berikut (Huber, 2000), yaitu:
1.
Menunjukkan maksud baik
2.
Mengidentifikasi semua
orang penting
3.
Mengumpulkan informasi
yang relevan
4.
Mengidentifikasi
prinsip etis yang penting
5.
Mengusulkan tindakan
alternative
6.
Melakukan tindakan
2.5.2 Pengambilan Keputusan Etik
Salah
satu keputusan penting yang harus diambil oleh perawat berada dalam area
keputusan klinis, yaitu sebuah proses pengambilan keputusan yang melewati
observasi, proses informasi, berpikir kritis, mengevaluasi,evidence, penerapan
ilmu pengetahuan yang sesuai dan problem solving skill. Keputusan yang diambil
juga harus mempertimbangkan kesehatan yang optimal dan meminimalkan resiko yang
membahayakan pasien (Standing, 2005). Dalam
memutuskan ssebuah keputusan etik tidak bisa terlepa dari prinsip-prinsip etik
yangberlaku. Terdapat 4 prinsip dasar etik yang mendasari dalam mengambil
keputusan etik (Ashcroft, Dawson, Draper, & McMillan, 2007),yaitu :
1.
Otonomi
Otonomi harus diikuti oleh hak seseorang
untuk memahami keputusannya dengan mendapatkan informasi yang cukup dari tenaga
profesional dalam pelayanan. Dalam otonomi seseorang harus terbebas dari
intervensi atau campur tangan orang lain, bebas dari paksaan dan memiliki
kapasitas mental yang baik dalam memahami dan mengambil keputusan.
2.
Non Maleficence
(tidak membahayakan)
Prinsip non maleficence berarti tidak
melakukan kekerasan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Prinsip Non
Maleficence dilaksanakan dengan tetap menjunjung hak otonomi pasien. Prinsip
non meleficence terkadang dapat berbenturan dengan aturan-aturan moral yang ada
dalam masyarakat.
3.
Beneficence
(Berbuat baik)
Beneficence merupakan nilai paling
fundamental dalam etika pelayanan kesehatan, dimana berbuat baik menjadi
landasan dalam tingkah laku seseorang dalam memberikan pelayanan. Prinsip
beneficence didasarkan pada kewajiban moral untuk memberikan kebaikan bagi
orang lain dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian bagi
pasien.
4.
Justice
(Keadilan)
Prinsip keadilan dilakukan dengan
memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan mereka, pasien
dengan kebutuhan terapi yang besar harus mendapatkan terapi yang sesuai dengan
kondisinya demikian juga sebaliknya. Kontroversi yang terjadi pada prinsip
keadilan adalah tentang pertimbangan yang relevant dalam penggolongan
karakteristik pasien yang membutuhkan terapi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan,
yaitu
a. Agama
b. Sosial
c. Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
d. Legislasi dan keputusan yuridis
e. Dana atau keuangan
f. Pekerjaan
g. Kode etik keperawatan
h. Hak-hak pasien
2.5.3 Standar Keperawatan
Sebuah standar
ditetapkan untuk menjadi dasar yang memberi batasan spesifik agar sebuah proses
yang dilakukan dapat berjalan optimal dan dapat dipertanggungjawabkan. Standar
keperawatan menjadi dasar dalam praktek keperawatan, yang meliputi standar
pelayanan, standar profesi dan standar SOP dengan tetap mempertimbangkan kode
etik profesi keperawatan (UU Keperawatan No.38 tahun 2014).
Lingkup standar praktik keperawatan
Indonesia dirangkum oleh PPNI, meliputi :
1. Standar
praktik Profesional, yang terdiri dari :
a. Standar
I : Pengkajian
b. Standar
II : Diagnosa keperawatan
c. Standar
III : Perencanaan
d. Standar
IV : Pelaksanaan Tindakan / implementasi
e. Standar
V : Evaluasi
2. Standar
kinerja Profesional
a. Standar
I : Jaminan mutu
b. Standar
II : Pendidikan
c. Standar
III : Penilaian kinerja
d. Standar
IV : Kesejawatan ( collegial )
e. Standar
V : Etik
f. Tandar
VI : Kolaborasi
g. Standar
VII : Riset
h. Standar
VIII : Pemanfaatan sumber - sumber
Sedangkan
lingkup standar profesional menurut American Nurses Association
(ANA,2010), meliputi :
1. Standar
praktik keperawatan,meliputi :
a. Standar
I : Pengkajian
b. Standar
II : Diagnosa keperawatan
c. Standar
III : Identifikasi hasil
d. Standar
IV : Planning
e. Standar
V : Implementasi
Va : Koordinasi dalam pelayanan kesehatan
Vb : Bimbingan dan promosi kesehatan
Vc :
Konsultasi
Vd :
Otoritas dalam terapi
f. Standar
VI : Evaluasi
2. Standar
Penampilan Profesional, meliputi :
a. Standar
7 : Etik
b. Standar
8 : Pendidikan
c. Standar
9 : Evidence- Based practice dan
riset
d. Standar
10 : Praktek keperawatan yang
berkualitas
e. Standar
11 : Komunikasi
f. Standar
12 : kepemimpinan
g. Standar
13 : kolaborasi
h. Standar
14 : Evaluasi
i. Standar
15 : Pemanfaatan Sumber Daya
j. Standar
16 : Kesehatan lingkungan
2.5.4
Pengambilan
Keputusan Etik di Indonesia
Permasalahan
etik keperawatan di Indonesia menjadi lebih terarah dengan adanya Undang-Undang
Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 yang menjadi landasan dalam pengambilan
keputusan etik dan dilema etik yang terjadi di Indonesia. Kesenjangan sering
terjadi dalam isu kolaborasi dan kemitraan interdisiplin, dimana status yuridis seiring
perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat
kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan
atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada
kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab
hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga
harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi
perubahan.
Perawat perlu mengantisipasi
konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi profesional, arah
kebijakan yang diperlukan yakni ketersediaan perawat demi memperkuat promotif
dan preventif. Lulusan perawat berpendidikan diploma 3 (D-3) lebih banyak
dibanding ners (berpendidikan strata 1 dan profesi). Kini 500-an institusi
pendidikan vokasional keperawatan menghasilkan lulusan D-3 dan 200-an institusi
menghasilkan S1-Ners. Pemenuhan kebutuhan
perawat di daerah tak cukup dengan perawat D-3 karena belum punya kemampuan
komprehensif menuntaskan masalah. Pemerintah perlu menempatkan spesialis
keperawatan keahlian di atas ners di kabupaten atau kota.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg
mendapatkan kritikan dari apa yang dikemukakan oleh Gilligan, dimana penelitian
Kohlberg sangat menitik beratkan pada laki – laki sedangkan Gilligan pada
perempuan. Seperti yang tercantum dalam pernyataan Gilligan yaitu memulai studi
dan mempertanyakan kembali tentang perkembangan perempuan karena kurangnya
perhatian terutama riset dibidang psikologi terhadap perempuan dan remaja
perempuan. Gilligan menemukan suatu perasaan mendalam dari kesakitan dan
keputusan yang melingkupi yang tidak berkaitan dengan apa yang ingin mereka kemukakan.
Gilligan menemukan juga ada beberapa elemen kunci dalam mempelajari perempuan
dan perasaannya:
1.
Perempuan dan
remaja perempuan merasakan suatu rasa mendalam tentang keterpisahan, kekurangan
perhatian.
2.
Tidak ada
persesuaian antara kehidupan perempuan dengan kultur Western
3.
Pertanyaan
perempuan adalah mengapa mereka berada berbalik dengan yang lain atau malah
‘hilang’ diantara yang lain secara individual.
4.
Ada polarisasi
antara suara interna dengan kemampuan untuk berbicara secara verbal.
5.
Perempuan merasakan
bahwa suara dari dalam dirinya tidak dapat dibawa ke dalam hubungan hubungan
dengan orang lain.
6.
Perempuan juga
merasakan bahwa pikiran - pikiran mereka kurang dibanding yang lain dan akan
menjadi buruk bila diekspresikan kepada orang lain.
Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan beberapa
yaitu:
1.
Perkembangan moral
pada perempuan didasarkan atas tanggung jawab dan kepedulian (care) bukan karena benar atau salah.
2.
Ada perbedaan
kerangka kerja dan pemecahan persoalan pada laki – laki dan perempuan.
3.
Suara pada
perempuan menitik beratkan pada hubungan, kedamaian, kepedulian dan tanggung
jawab, sedangkan pada laki – laki menitik beratkan pada hubungan timbal balik,
kesetaraan, keadilan dan kebenaran.
4.
Perbedaan dua suara
dalam gender ini tidak berarti bahwa satu suara yang lebih dominan dari pada
suara yang lainnya.
(Nurhayati, 2006)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemberian
pelayanan keperawatan harus diberikan secara komprehensif. Dan dalam upaya
tersebut perawat harus tetap berdasar pada prinsip etik dan moral. Hal ini
sangat berguna dalam melindungi perawat dan pasien dalam asuhan keperawatan
tersebut. Karena dalam prinsip etik seperti halnya autonom, beneficience,
nonmalaficience, fidelity, confidentiality, veracity dan justice merupakan
sebagai upaya dalam melindungi pasien. Apabila terdapat pelanggaran dalam
prinsip etik tersebut maka ada beberapa elemen dari keperawatan untuk
menanggulanginya. Sebagai contohnya yaitu dibentuknya komite keperawatan dalam
suatu rumah sakit. Dalam komite tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa sub
yaitu kredensial, etik dan disiplin profesi dan mutu profesi. Dimana pada
bagian komite etik dan disiplin profesi yang akan memproses perawat yang
melakukan pelanggaran prinsip etik dan memberikan sanksi apabila diperlukan.
Salah
satu yang tidak boleh ditinggalkan dalam perawatan yaitu moral. Dimana masih
terdapat hubungan antara penerapan etik dan moral, yaitu perawat yang terbiasa
dengan menerapkan etika keperawatan dengan baik maka akan membentuk moral yang
baik pula. Dalam tahap perkembangan
moral bisa dilihat atau dikaji dalam tingkat usia maupun dalam jenis kelamin.
Seperti teori yang dikemukakan oleh Kohlberg maupun Gilligan.
4.2 Saran.
1. Perawat
harus selalu meningkatkan kemampuan dibidang ilmu keperawatan baik skill maupun knowledgenya guna pengembangan profesi.
2. Perawat
melakukan tindakan keperawatan harus sesuai dengan kompetensi,standar dan kode
etik keperawatan.
3. Perawat
harus mampu melakukan praktek keperawatan sesuai dengan standar etik yang
berfokus pada pelayanan masyarakat (altruism).
4. Perawat
harus bertanggung jawab dan tanggung gugat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan.
5. Pembentukan
etik dan moral dalam keperawatan mulai ditanamkan dalam pendidikan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,K. (2002).
Etika edisi ke-7. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama
Cusveller, Bart. (2012). Nurses serving on clinical ethics committees
: a qualitative exploration of a competency profile. Diakses melalui www.ncbi.nlm.nih.gov/
Darwis. (2016). Nursing
behavior towards our satisfaction patients in hospital general city of Makassar
Indonesia. International Journal of Emerging Trends in Science and
Technology. 4902-4909.
Dewi, R., Syam, B., Daulay, W. (2015).
Hubungan perilaku caring dan motivasi terhadap kinerja perawat pelaksana
menerapkan prinsip etik keperawatan dalam asuhan keperawatan di rumah sakit
jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan. Jurnal
Riset Keperawatan Indonesia. Vol 3. No.2. 181-186.
Eraut, Michael. (1994).
Developing professional knowledge and competence. UK : Routledge Falmer.
Erienh, R. S., Setiawan, Wahyuni. S. E.
(2015). Pengalaman keluarga pasien tentang caring pada pasien yang mengalami
perawatan kritis di ruang ICU. Jurnal
Riset Keperawatan Indonesia. Vol 3. No.2.112-117.
Fowler, Martha D, M. (2010). Code of ethics for nurse – interpretation
and application. Diakses melalui www.nursing.rutgers.edu/
Hunter, T., Nelson, J.R., &
Birmingham, J. (2013). Preventing readmissions through comprehensive
discharge planning. Professional Case Management. 56-63.
International Council of Nurses. (2012).
The ICN code of ethics for nurses.
Diakses melalui www.icn.ch
James H, H., & Husted, G. L. (2008). Ethical Decision
Making in Nursing and Health Care: The Symphonological Approach.Kohlberg, L. (1995). Tahap - Tahap Perkembangan
Moral. (A. Santod, John de dan Cremers, Ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius
(Anggota IKAPI).
Kurtines,W.M.
& Gerwitz,J.L. (1992). Moralitas,
perilaku,moral dan perkembangan moral (edisi pertama), Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Kusnanto. (2004). Pengantar profesi dan praktek keperawatan professional.
Jakarta : EGC.
Lachman, V. D. (2006). Applied
ethics in nursing. Retrieved from http://site.ebrary.com/id/10265603
Manning, R.C.
(1998). A care approach. In Kuhse H, Singer P (eds). A Companion to Bioethics (pp. 98-105). Oxford: Wiley-Blackwell.
Menteri kesehatan republic Indonesia.
(2013). Peraturan meneteri kersehatan republic Indonesia nomor 49 tahnun 2013
tentang komte keperawatan rumah sakit. diakses melalui www.bprs.kemenkes.go.id
Narruhn, R.,
Schellenberg, I.R. (2012). Caring ethics and a Somali reproductive dilemma. Nursing ethics. 365-381.
Nursalam. (2014). Caring sebagai dasar
peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan keselamatan pasien. Orasi ilmiah.
Disampaikan pada pengukuhan jabatan guru besar dalam bidang ilmu keperawatan
pada Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Nursalam. (2014). Manajemen
Keperawatan aplikasi dalam Praktik keperawatan Profesional.
Edisi 4.Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Persatuan perawat nasional Indonesia.
(2010). Kode Etik perawat Indonesia. diakses melalui http://www.inna-ppni.or.id/
Perpres. (2014). Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, .Jakarta,
Kemenkes RI.
Poedjawiyatna.
(2003). Etika, filsafat, tingkah laku (edisi ke-9), Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Poespoprodjo,W.(1999).Filsafat
Moral. Bandung:Pustika Grafika.
Purba, E, R., Suza, D, E., Erniyati.
(2015). Perilaku caring perawat menurut persepsi perawat dan pasien di rumah
sakit swasta dan negeri di Medan. Jurnal
Riset Keperawatan Indonesia. Vol 3. No.2. 124-130.
Souryal,
S.S. (2011). Ethic In Criminal Justice In
Search Of The Truth. USA:Anderson Publishing.
Suseno,F.M.
1987. Etika Belajar: Masalah-Masalah
Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius
Tschudin, V.
(2003). Ethics in Nursing : The Caring
Relationship. Third edition. London : Elsevier.
Watson, J.
(2008). Nursing : The philosophy and science of caring. Revised edition.
Colorado: University Press of Colorado.
Wilkinson, Judith M., Treas, Leslie S.,
Barnett, Karen L., Smith, Mable H. (2016). Fundamental of nursing – theory,
concepts, and applications, vol 1, 3rd edition. Diakses melalui www.libgen.pw/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar