ANALISA KASUS BERDASARKAN HUKUM KEPERAWATAN



BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Dewasa ini, pelayanan kesehatan dapat diperoleh secara mudah mulai dari tingkat Puskesmas, Rumah Sakit, Dokter Praktek daan Klinik-klinik swasta lainnya. Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat dan merupakan salah satu kebutuhan manusia. Oleh karena itu para pemberi layanan kesehatan dituntut untuk kompeten dibidangnya serta memahami aspek etik dan hukum dalam pekerjaannya. Etika merupakan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta nilai moral yang baik. Etika yang baik akan menampilkan perilaku yang baik. Begitu pula sebaliknya, etika yang buruk akan menampilkan perilaku yang buruk pula. Etika dapat membuat seseorang menjadi bertanggung jawab, responsif dan adil dalam lingkungan sosial nya.  Menurut Nursalam (2014), permasalahan mendasar pada profesi keperawatan di Indonesia saat ini adalah perawat masih belum melaksanakan peran caring (peduli) secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien (Nursalam, 2014). Penelitian Marliany (2010) menemukan sebesar 52,7 % perawat pelaksana memiliki sikap yang kurang etis terhadap pasien dan 47,3% perawat pelaksana memiliki sikap yang etis terhadap pasien.
Pelanggaran etika tidak berkaitan dengan sanksi hukum tertulis. Pelanggar etika akan dikenai sanksi secara sosial. Adapula kelompok profesional tertentu yang akan melakukan sidang etik terhadap pelaku pelanggaran kode etik profesinya. Sanksi pelanggaran kode etik profesi tentu disesuaikan dengan kebijakan masing-masing organisasi profesi namun tidak berkaitan dengan sanksi hukum pidana maupun hukum perdata.  Perawat membutuhkan pedoman dalam melaksanakan tugas profesionalnya dengan penuh tanggung jawab. Perawat membutuhkan standar dan batasan dalam melaksanakan tugas profesionalnya baik dalam bentuk regulasi maupun pedoman etik profesi. Berdasarkan gambaran permasalahan tersebut, maka makalah ini disusun untuk dapat lebih lanjut memberikan gambaran dan pengetahuan tentang etik dan hukum bagi perawat.

1.2   Tujuan Penulisan

1.2.1        Tujuan Umum

Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk menganalisa dan menelaah materi etika dan hukum dalam keperawatan,

1.2.2        Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah unutk menelaah dam menganalisa tentang :
1.        Menganalisis berbagai kelalaian etika dan hukum terkait dengan manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan.
2.        Mengidentifikasi batasan hak dan kewajiban perawat dalam perspektif etik dan hukum
3.        Menjelaskan upaya perlindungan hukum bagi perawat melalui sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi serta akreditasi.





BAB II

LANDASAN TEORI


2.1  Kelalaian

Kelalaian adalah kegagalan untuk merawat oleh perawat dalam keadaan atau lingkup yang sama (Infolaw, 2008). Kelalaian (pelanggaran tugas) adalah kegagalan seseorang untuk memberikan perawatan seperti pada orang yang wajar dan biasanya digunakan dalam keadaan yang sama. Kelalaian dapat diartikan lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat yang ditimbulkan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya (Hanafiah & Amir, 1999). Namun apabila kelalaian tersebut menimbulkan kerugian materi atau mengakibatkan cidera bahkan meninggal dunia maka dapat diklasifikasikan sebagai kelalaian berat ( culpa lata), serius dan criminal.
Agar pengadilan dapat memutuskan bahwa perawat dikatakan lalai apabila unsur-unsur berikut harus dibuktikan oleh penggugat:
  1. Tugas perawatan
Ketergantungan seseorang terhadap pengetahuan dan keahlian perawat menciptakan hubungan khusus yang memberi tugas hukum bagi perawat untuk memberikan perawatan yang sesuai. Perawat tidak memiliki kewajiban untuk mengobati setiap orang yang mereka temui tapi jika seseorang memerlukan keterampilan dan pengetahuan profesional mereka, maka sebuah kewajiban hukum dapat ditegakkan.


  1. Pelanggaran Standar Keperawatan
Pengadilan akan membuat keputusan hukum tentang asuhan keperawatan yang sesuai.  Penentuan pengadilan tentang apa yang bisa diharapkan dari kompetensi, kewaspadaan perawat dalam situasi yang sama akan didasarkan pada bukti yang ditunjukkan oleh para pihak penuntut. Contoh dari bukti ini meliputi: rekam medik pasien; standar praktik profesional ; kebijakan kelembagaan; dan kesaksian tentang ketersediaan peralatan dan personil. Keahlian keperawatan khusus dapat menyebabkan standar perawatan yang lebih tinggi diberlakukan.
  1. Kerusakan yang mungkin terjadi disebabkan oleh pelanggaran dalam standar perawatan.
Penggugat harus menanggung kerugian yang sebenarnya dan membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan lalim perawat tersebut atau kelalaian. Seorang perawat tidak akan bertanggung jawab jika kerugian tersebut tidak dapat diantisipasi secara wajar.
  1. Kerusakan
Pengadilan akan memerintahkan sejumlah kompensasi, yang disebut sebagai pengganti kerusakan yang harus dibayarkan kepada penggugat oleh tergugat jika penggugat telah membuktikan unsur-unsur yang tercantum di atas, serta nilai dari kerugian yang diderita (NN, 2008)






2.2  Hak dan Kewajiban Perawat

Berdasarkan Pasal 36 dan 37 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dijelaskan hak dan kewajiban perawat, yaitu :

2.2.1        Hak Perawat

                          a.            memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional dan ketentuan peraturan Perundang-undangan
                         b.            memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari klien dan atau keluarganya;
                          c.            menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah diberikan,
                         d.            menolak keinginan klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
                          e.            memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar

2.2.2        Kewajiban Perawat

                         a.            melengkapi sarana dan prasarana pelayanan keperawatan sesuai dengan standar pelayanan keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
                         b.            memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
                         c.            merujuk klien yang tidak dapat ditangani kepada perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
                        d.            mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar;
                         e.            memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan keperawatan kepada klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya;
                          f.            melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi perawat; dan
                         g.            melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.

2.3  Unit Etik

Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas (Bertens, 2013). Moralitas sendiri diartikan sebagai nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat tentang baik dan buruk dalam arti etis. Mengapa dikatakan sebagai nilai yang dianut suatu kelompok masyarakat dan bukan seluruh kelompok? Hal ini dikarenakan bahwa tidak semua kelompok masyarakat memiliki pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Bisa jadi suatu hal dianggap baik di suatu kelompok namun di kelompok lain hal itu dianggap tabu atau dilarang.
Pelanggaran etika tidak berkaitan dengan sanksi hukum tertulis. Pelanggar etika akan dikenai sanksi secara sosial. Adapula kelompok profesional tertentu yang akan melakukan sidang etik terhadap pelaku pelanggaran kode etik profesinya. Sanksi pelanggaran kode etik profesi tentu disesuaikan dengan kebijakan masing-masing organisasi profesi namun tidak berkaitan dengan sanksi hukum pidana maupun hukum perdata.
Keperawatan sebagai suatu profesi telah sejak lama memiliki Kode Etik Keperawatan yang disusun sebagai langkah untuk membina anggota profesi yang melakukan pelanggaran etik keperawatan. Kode etik ini juga berfungsi sebagai pedoman perawat dalam melakukan interaksi dengan pasien, sejawat, masyarakat, profesi dan mitra profesi. Di dalam kode etik ini dijelaskan bagaimana tindakan etis yang seharusnya diberikan perawat dalam rangka memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.
Tindakan keperawatan dikatakan etis apabila sesuai dengan Kode Etik Keperawatan. Perawat menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa dengan penuh kesadaran dan mengutamakan keselamatan pasien. Perawat pun dituntut untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) telah menyusun Kode Etik Keperawatan yang menjadi panduan bagi perawat di Indonesia dalam berperilaku profesional. Selain itu, kode etik keperawatan dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalah intervensi keperawatan yang terkait etik. Berikut ini uraian Kode Etik Keperawatan Indonesia.

KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA
PPNI

MUKADIMAH
Sebagai profesi yang turut serta mengusahakan tercapainya kesejahteraan fisik,material dan mental spiritual untuk mahluk insani dalam wilayah Republik Indonesia, maka kehidupan profesi keperawatan di Indonesia selalu berpedoman kepada sumber asalnya yaitu kebutuhan masyarakat Indonesia akan pelayanan keperawatan.
Warga keperawatan di Indonesia menyadari bahwa kebutuhan akan keperawatan bersifat universal bagi klien (individu,keluarga,kelompok dan masyarakat.), sehingga pelayanan yang diberikan oleh perawat selalu berdasarkan kepada cita cita yang luhur, niat yang murni untuk keselamatan dan kesejahteraan umat tanpa membedakan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang di anut serta kedudukan sosial.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan keperawatan kepada klien, cakupan tanggung jawab perawat Indonesia adalah meningkatkan derajat kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengurangi dan menghilangkan penderitaan serta memulihkan kesehatan di laksanakan atas dasar pelayanan yang paripura.
Dalam melaksanakan tugas profesional yang berdaya guna dan berhasil guna para perawat mampu dan ikhlas memberikan pelayanan yang bermutu dengan memelihara dan meningkatkan integritas pribadi yang luhur dengan ilmu dan keterampilan yang memenuhi standar serta dengan kesadaran bahwa pelayanan yang di berikan merupakan bagian dari upaya kesehatan secara menyeluruh.
Dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, dalam melaksanakan tugas pengabdian untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan tanah air, persatuan perawat nasional Indonesia menyadari bahwa perawat Indonesia yang berjiwa pancasila dan berlandaskan UUD 1945 merasa tepanggil untuk menunaikan kewajiban dalam bidang keperawatan dengan penuh tanggung jawab, bepedoman kepada dasar dasar seperti tertera di bawah ini.
PERAWAT DAN KLIEN
  1. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai  harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
  2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghomati nilai nilai budaya adat-istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien.
  3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan.
  4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas  yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
PERAWAT DAN PRAKTEK
  1. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi di bidang keperawatan melalui belajar terus menerus.
  2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
  3. Perawat dalam membuat keputuskan didasarkan pada informasi yang adekuat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain.
PERAWAT DAN MASYARAKAT
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.
PERAWAT DAN TEMAN SEJAWAT
1.      Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
2.      Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
PERAWAT DAN PROFESI
  1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan .
  2. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan .
  3. Perawat berpartisifasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.


2.4  Unit Hukum

Pelayanan keperawatan merupakan suatu bentuk asuhan yang diberikan kepada klien baik secara individu, keluarga, maupun kelompok. Pelayanan keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional. Suatu tindakan yang berdasarkan prinsip profesional tentu harus sesuai dengan standar. Standar keperawatan sebagai bentuk acuan keseragaman tindakan keperawatan. Selain itu standar keperawatan merupakan dasar hukum suatu tindakan keperawatan sesuai dengan prinsip atau tidak. Hal ini juga merupakan bentuk perlindungan terhadap klien dari tindakan keperawatan yang tidak sesuai kaidah.
Kedudukan standar keperawatan dari sisi hukum tentu memiliki peran yang sangat penting. Tindakan keperawatan dianggap benar atau tidak benar secara hukum didasarkan pada aturan baku berupa standar keperawatan yang diakui bersama sebagai pedoman intervensi. Klien dapat menuntut perawat di pengadilan atas dasar tindakan yang tidak sesuai standar keperawatan. Oleh karenanya, perawat diharapkan senantiasa menerapkan standar keperawatan di dalam memberikan asuhan keperawatan untuk melindungi klien dan dirinya sendiri.
Standar keperawatan merupakan pedoman legal bagi praktik keperawatan. Standar keperawatan juga memberikan batas minimum pelayanan keperawatan yang dapat diterima klien. Pelanggaran terhadap standar keperawatan dapat diperkarakan secara hukum pidana maupun perdata. Dalam suatu tuntutan malpraktik dan kelalaian standar keperawatan digunakan untuk mengukur tindakan keperawatan dan menentukan apakah perawat melakukan tindakan yang sesuai.




2.5  Perlindungan Hukum

Sebagai seorang profesional, perawat tentu dituntut dapat berperilaku dan bertindak sesuai kode etik profesi. Terkadang asuhan keperawatan yang diberikan memberikan hasil yang tidak sesuai harapan meskipun intervensi sudah sesuai standar keperawatan. Kondisi ini kadang kala dianggap klien dan keluarga sebagai suatu bentuk malpraktik dan kelalaian.  Perawat memerlukan payung hukum yang jelas untuk melindungi praktik keperawatannya. Jangan sampai niat baik dan cita-cita luhur perawat untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien harus terjebak pada situasi sulit yang memberatkannya.
Berbagai upaya perlindungan hukum bagi perawat dilakukan. Upaya tersebut di antaranya sistem registrasi, lisensi, dan akreditasi. Sistem registrasi perawat telah berjalan saat ini. Perawat tidak dapat memberikan pelayanan keperawatan di fasilitas kesehatan ataupun praktik mandiri apabila belum memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Untuk memperoleh STR tersebut, perawat harus dinyatakan lulus uji kompetensi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dan Permenkes RI No. 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
Perawat harus memiliki lisensi atau perizinan untuk melakukan praktik di fasilitas kesehatan maupun praktik mandiri. Perawat yang bekerja di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, atau puskesmas harus memiliki Surat Izin Kerja (SIK). Hal ini tidak berlaku bagi perawat yang bekerja hanya di praktik mandiri perawat. Seorang perawat yang membuka praktik mandiri maka ia harus memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). Lisensi ini memberikan perlindungan secara hukum bahwa praktik perawat tersebut legal secara hukum dan dilindungi oleh peraturan perundangan.

Sistem akreditasi yang diterapkan di Indonesia saat ini baik di rumah sakit maupun puskesmas merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap praktik keperawatan. Mengapa demikian? Dalam sistem akreditasi segala tindakan yang diberikan kepada pasien dievaluasi dalam bentuk dokumentasi maupun evaluasi langsung kepada pasien dan keluarga. Tindakan keperawatan yang diberikan harus terdokumentasi dengan baik sehingga dapat menjadi rekaman perjalanan penyakit dan perawatan pasien selama dirawat yang nantinya bisa menjadi bukti pengadilan jika dibutuhkan. Sistem akreditasi memicu perawat untuk lebih teliti dan menata sistem dokumentasi yang baik. Akhirnya ke depan perlu dirumuskan bersama tentang sistem sertifikasi perawat yang dapat memberikan dukungan dalam bentuk penghargaan atas profesional perawat.

2.6  Ethic Empowerment and Sustainability

Pemberdayaan etik menyajikan situasi dimana masalah moral diatasi dengan menggunakan, mengendalikan, dan memberantas masalah moral dengan etik. Gagasan pemberdayaan etik terdapat lima konsep (Ceuz,J.A, & Frey,W.J, 2001).
1.      Pemberdayaan etik menyangkut pekerjaan pemberdayaan yangn dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Tanggung jawab diartikan sebagai tindakan seseorang dengan memperhatikan dan menghormati orang lain. Meskipun seseorang memiliki pengetahuan mengenai suatu tindakan, perlu dipikirkan apakah tindakan yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan secara moral atau tidak.
2.      Pemberdayaan etik melibatkan otonomi. Meskipun seorang pimpinan memiliki hak untuk memberdayakan karyawannya dengan melakukan kontrol kinerja namun tidak selalu pimpinan dapat secara serta merta otoriter terhadap karyawannya. Pemberdayaan etis secara otonom tidak mengharuskan pimpinan melepaskan kontrol namun memastikan bahwa karyawannya memiliki kontrol internal terhadap tugasnya (duty). Dengan kata lain, membiasakan diri untuk memantau diri mereka sendiri dan melakukan kontrol diri.
3.      Pemberdayaan etis juga melibatkan keterampilan yang cukup dalam menerapkan apa yang secara moral baik atau benar. Pemberdayaan etis memungkinkan orang baik melakukan hal – hal baik. Tujuan pemberdayaan etik disini bukan sekedar hanya mengatasi etika untuk melakukan hal – hal yang ingin dilakukan tetapi pemberdayaan diri secara etik untuk melakukan sesuatu.
4.      Pemberdayaan etis perlu dibiasan dengan menyertai tanggung jawab dari tindakan seseorang. Terkadang dalam masalah etik, seseorang tidak menempatkan diri dalam situasi yang dirasakan orang tersebut.
5.      Pemberdayaan etik memberikan kita pandangan etik kearah yang positif. Pengaplikasian pemberdayaan etik perlu dipelajari dan dipraktikkan. Hal ini menjadikan pemberdayaan etik menjadi suatu keterampilan untuk diaplikasikan pada siapa dan dalam situasi apa. Pemberdayaan etik yang dilakukan dapat menjadi kerangka kerja disiplin yang dapat dipertanggung jawabkan.
Sustainability atau keberlanjutan mencangkup kedalam tiga sistem yaitu sosial, lingkungan dan ekonomi. Keberlanjutan adalah ekuitas dari waktu ke waktu. Keberlanjutan menjadi sebuah nilai yang mengacu yang pada keputusan yang ada dari masa ke masa. Sehingga apa yang dilakukan dimasa sekarang akan dilakukan juga dimasa nanti. Etika berkelanjutan akan sangat bervariasi sesuai dengan budaya, konteks dan faktor lainnya. Etika keberlanjutan juga harus memiliki interpretasi yang jelas dan koheren mengenai isu-isu. tujuan keberlanjutan adalah berorientasi pada masa depan, etika keberlanjutan harus memperhitungkan hubungan antara generasi sekarang dan masa depan (baik manusia maupun non-manusia). Selain itu, etika keberlanjutan, seperti etika sosial  harus menjawab pertanyaan tentang hak atau kepentingan. Etika deontologis lebih cenderung menegaskan bahwa orang (dan mungkin hewan, tumbuhan, atau tempat bukan manusia) memiliki hak, sementara etika Utilitarian berbicara tentang kepentingan yang dimiliki orang atau hewan, misalnya, menghindari rasa sakit atau mencari kesenangan. Dalam kedua kasus tersebut, individu dan kelompok dapat menimbulkan tugas atau tanggung jawab sehubungan dengan hak dan kepentingan orang lain. Tujuan dari etika keberlanjutan adalah untuk membantu membimbing orang-orang dalam usaha mereka mengatasi masalah dunia nyata dan untuk membangun institusi, praktik, dan masyarakat yang lebih sosial, lingkungan, dan ekonomi. Aspek yang khas pada etik berkelanjutan adalah adanya usaha yang mengintergrasikan beragam etik dan prinsi yang ada di lahan praktik yang harus berkesinambungan.  Hal ini memerlukan pertimbangan lebih dalam dan komunikasi dari mitra lainnya. Menerapkan etika berkelanjutan mungkin akan mengorbankan kepentingan lain baik yang bersifat pribadi maupun kolektif. Pada tingkat praktik, etika menyediakan alat yang dapat membantu orang yang mencari keberlanjutan untuk mengadili konflik, menetapkan prioritas, dan mencari consensus (Kibert,C.J., et.all, na).

BAB III

ANALISA KASUS


3.1  Kelalaian

Kelalaian adalah tindakan yang tidak disengaja dalam bertindak atau gagal bertindak sesuai seharusnya, tidak masuk akal, dan tidak bijaksana, yang mengakibatkan kerugian bagi orang yang menerima asuhan. Unsur hukum kelalaian terdiri dari tugas, pelanggaran tugas, penyebab, dan bahaya atau cedera (Aiken, 2004). Dalam mengambil keputusan hukum, semua empat unsur tersebut  harus ada.. Misalnya, jika perawat mengelola pengobatan yang salah untuk klien, tapi kliennya tidak terluka unsur bahaya belum terpenuhi. Namun, jika seorang perawat mengelola pengobatan nyeri yang tepat tetapi gagal memasang rel samping, dan klien jatuh dan terjadi robekan  pinggul, maka empat unsur kelalaian hukum terjadi. Tugas dari asuhan keperawatan adalah standar kerawatan.
Hukum mendefinisikan standar asuhan yang wajar, melakukan praktek dengan  hati – hati, dengan pendidikan yang sama dan pengalaman akan dilakukan atau tidak dalam situasi yang sama. Profesi perawat bertanggung jawab kepada pasien dalam meningkatkan asuhan keperawatan. Standar keperawatan dijadikan sebagai pedoman profesi untuk memastikan kualitas perawatan yang dapat diterima. Standar praktik juga digunakan sebagai kriteria untuk menentukan apakah perawatan yang tepat telah dilakukan.  Dalam prakteknya, perawat masih memberikan standar yang minimum. Standar dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Standar yang tertulis dapat dilihat pada kriteria profesional organisasi, uraian tugas, kebijakan Rumah Sakit, prosedur, dan buku teks. Standar bentuk lain secara intrisik dapat dilihat dengan kebiasaan praktik, bukan ditemukan secara tertulis (Whitehead., et.all, 2010).
Menurut Whitehead et all (2010), Semua petugas kesehatan bertanggung jawab terhadap tindakan mereka sendiri serta patuh terhadap standar pelayanan yang dimiliki. Kebanyakan kelalaian dan malpraktik terjadi karena pelanggaran terhadap standar yang ada. Saksi ahli dipanggil untuk mengutip standar yang diterima dan membantu pengacara dalam merumuskan strategi hukum yang terkait untuk standar tersebut misalnya kesalahan dalam pemberian obat. Kesalahan dilihat dengan menlihat  standar administrasi pengobatan yang aman, awalnya disebut sebagai Lima Benar pemberian  obat yang  telah diubah menjadi tujuh benar (Balas, Scott, & Rogers, 2004) yang terdiri dari :
1.      Benar Obat 
2.      Benar Dosis
3.      Benar Rute/cara pemberian
4.      Benar Waktu 
5.      Benar pasien
6.      Benar Alasan 
7.      Benar  Dokumentasi 
Jika dilihat dengan kasus perawat yang memberi infus  kadaluarsa pada HL, maka perawat telah melakukan kelalaian karena mengakibatkan kerugian bagi pasien yang dalam kasus ini pasien meninggal. Namun karena dalam kasus ini tidak secara implisit dijelaskan akan penyakit pasien dan riwayat sakit pasien ditambah lagi cerita kasus ini tidak secara lengkap dijelaskan maka perlu dipertimbangkan hal-hal lain yang mungkin menyebabkan pasien meninggal. Menurut Aiken 2004, prinsip penting dalam menentukan kelalaian adalah responden superior, atau dapat dikatakan biarkan ahlinya yang menjawab. Dikatakan juga bahwa kelalaian yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kerja yang ada dirumah sakit adalah menjadi  tanggung jawab dari manajemen rumah sakit.
Menurut  Rowland and Rowland (1997), fungsi managemen terdiri atas:
1.    Perencanaan (Planning)
Berperan dalam penentuan pengambilan keputusan, berorientasi pada masa mendatang. Memerlukan penentuan strategi, prosedur, kebijakan, program dan peraturan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Planning menuntun seorang manager untuk menentukan apa yang diharapkan, mengapa hal tersebut dilakukan, dimana akan dilakukan, kapan akan dilakukan, bagaimana hal itu dilakukan dan siapa saja yang akan melakukan hal tersebut.
2.    Pengorganiasasian (Organizing)
Tujuan utama untuk mempertahankan rantai komando (a chain of command) dan pembagian kerja. Untuk mencapai hal tersebut pengorganisasian membutuhkan rincian tugas yang harus dilakukan, pengelompokan tugas berdasarkan unit, divisi dan departemen. Terdapat koordinasi berbagai sumber daya yang dimiliki baik manusia ataupun alat dalam melakukan pekerjaan. 
3.    Pengarahan ( Directing)
Berfungsi untuk memulai dan mempertahankan perilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sangat terkait dengan kepemimpinan/leadership. Keberhasilan fungsi ini dipengaruhi oleh faktor delegasi, komunikasi, pelatihan dan motivasi.
4.    Koordinasi (Coordinating)
Adalah upaya melakukan sinkronisasi terhadap semua kegiatan yang dilakukan guna mencapai tujuan. Hal ini sangat ditentukan dengan kepemimpinan yang efektif.
5.    Pengendalian ( Controlling)
Bertujuan untuk melihat apakah kinerja saat ini sesuai dengan perencanaan awal. Seorang manager akan melakukan pengendalian dengan mengetahui dan mempertahankan standar, menilai hal yang tidak sesuai dengan standar dan mengevaluasi  kesenjangan standar jika diperlukan.
Melihat fungsi managemen diatas jika dihubungkan dengan kasus, sangat mungkin managemen Rumah Sakit kurang maksimal dalam memainkan fungsi peran manajerialnya. Dapat disimpulkan 5 fungsi manajemen  dari Rumah Sakit sesuai kasus diatas masih lemah. Hal ini dapat dilihat dengan terdapat kolf infus  kadaluarsa yang beredar. Jika dilihat dari sisi management, maka managemen berperan besar dalam kejadian kelalain yang dilakukan perawat saat member infus yang kadaluarsa. Fungsi managemen yang masih kurang adalah kurangnya pengendalian distribusi barang yang tidak sesuai standar, koordinasi antara ruangan dan pihak farmasi dalam pengadaan barang yang sesuai standar. Kejadian ini bisa dipengaruhi mungkin oleh  kurangnya pengawasan, kualitas atau kuantitas  sdm yang kurang, karakter pegawai yang kurang peduli,  standar yang belum tersosialisasi atau traning dan motivasi untuk pegawai kurang.   Manajemen Rumah Sakit sebagai penanggung jawab pelayanan yang diberikan, seharusnya melihat kejadian diatas sebagai trigger untuk memperbaiki sistem yang masih kurang dan perlu diperbaiki. Menanggapi tuntutan hukum dari keluarga pasien adalah hak dari keluarga pasien sebagai penerima jasa layanan yang diberikan, namun sangatlah bijak jika pihak manajemen menyikapi dari kaca mata yang positif, dengan tidak mengkambing hitamkan perawat sebagai garis depan pemberi layanan asuhan keperawatan kepada pasien, tapi bertanggung jawab terhadap semua tindak kelalaian yang mengandung sanksi hukum. Karena kelalaian pada dasarnya dapat terjadi ketika pegawai tidak mematuhi standar yang ada. Dalam kasus ini juga perlu dievaluasi standar kerja dari pihak farmasi, standar kompetensi perawat dan leadership dari manajemen Rumah Sakit.  
  


3.2  Hak dan Kewajiban Perawat

Telah dijelaskan dalam Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, BAB VI bagian kesatu pasal 36 bahwa perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berhak :
a.       Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang – undangan
b.      Memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur dari klien dan/ atau keluarganya
c.       Menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah diberikan
d.      Menolak keinginan klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan perundang – udangan dan
e.       Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar
Sedangkan pada pasal 37, perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berkewajiban :
a.       Melengkapi sarana dan prasarana pelayanan keperawatan sesuai dengan standar pelayanan keperawatan dan ketentuan peraturan perundang – undangan
b.      Membnerikan pelayanan keperawatan sesuai dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang – undangan
c.        Merujuk klien yang tidak dapat ditangani kepada perawat atau tenaa kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya
d.      Mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar
e.       Memberikan informasi yang lengkap, juju, benar, jelas dan mudah dimengerti mengenai tindakan keperawatan kepada kllien dan/ atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya
f.       Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi perawat
g.      Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah
Pada kasus diatas menyatakan bahwa perawat diduga memberikan infuse kadaluarsa kepada HL ketika keluarga pasien sedang mengambil obat dari Apotik. Berdasarkan kasus, jika memang benar perawat memberikan infuse kadaluarsa maka hal ini dianggap salah. Berdasarkan kewajiban perawat dalam undang – undang nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan menjelaskan bahwa kewajiban perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar prosedur operasional. Pemberian infuse kadaluarsa menjelaskan bahwa perawat tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan kewajibannya. Kewajiban perawat dalam memeberikan obat (cairan infuse) harus memperhatikan SOP pemberian obat dimana didalam SOP tersebut akan menjelaskan prinsip pemberian obat yaitu 6 benar (benar klien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar rute, dan benar dokumentasi). Sesuai keilmuannya sebagai perawat, perawat telah dibekali ilmu dalam menghidari kesalahan pemberian obat yaitu dengan cara label obat harus dibaca tiga kali yaitu saat melihat botol atau kemasa obat, sebelum menuangkan obat, dan setelah menuangkan obat (Kee,J.L & Hayes,E.R, 1996). Saat inilah perawat memastikan tanggal kadaluarsa obat atau cairan infuse yang diberikan kepada pasien.



3.3  Etik

Pelanggaran etika tidak berkaitan dengan sanksi hukum tertulis. Pelanggar etika akan dikenai sanksi secara sosial. Adapula kelompok profesional tertentu yang akan melakukan sidang etik terhadap pelaku pelanggaran kode etik profesinya. Sanksi pelanggaran kode etik profesi tentu disesuaikan dengan kebijakan masing-masing organisasi profesi namun tidak berkaitan dengan sanksi hukum pidana maupun hukum perdata. Dalam kasus ini, pelanggaran etik bisa saja dilakukan oleh perawat. Berdasarkan mukadimah yang dikeluarkan PPNI terkait kode etik keperawatan bahwa perawat senantiasa memelilhara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran professional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien. Pada kasus diatas, perawat dilaporkan karena memberikan cairan infuse yang kadaluarsa. Meskipun secara standar operasional pengecekan masa berlakunya obat bukan tanggung jawab perawat, namun perawat sebagai profesi yang kontak langsung dengan pasien, perawat perlu memastikan alat dan bahan habis pakai yang diberikan kepada pasien memiliki kualitas yang baik. Dari prinsip etik non malficien yang mewajibkan perawat untuk tidak menyebabkan sesuatu yang merugikan atau membahayakan untuk individu lain, maka perawat perlu hati – hati dalam melakukan tindakan keperawatan. Hati – hati dapat diartikan sebagai pengecekan 6 benar dalam pemberian obat kepada pasien. Pada pengecekan 6 benar ini perawat dapat mengecek tanggal kadaluarsa pada cairan infuse.

3.4  Hukum

1.      Hukum Perdata
a)      pasal 1365 KUH Perdata: perbuatan melawan hukum. Unsur-unsurnya meliputi perbuatan, melanggar hukum, kerugian, ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian (teori conditio sine qua non dan teori adequate veorzaaking), ganti rugi.
b)      Pasal 1234 KUH Perdata: wanprestasi (titik beratnya adalah pada hasil yang telah diperjanjikan).
Kedua pasal tersebut dapat dibuktikan dengan cara menelaah tindakan perawat apakah menyimpang dari standar atau tidak. Sebenarnya, tidak ada tugas perawat untuk mengecek apakah stok obat yang ada di ruang IGD tersebut sudah kadaluarsa atau tidak. Tugas tesebut adalah tanggung jawab pihak kefarmasian. Namun disini perlu juga memastikan cairan infuse seperti apa yang diberikan dan bagaimana cara pemberian cairan ini oleh perawat sehingga keluarga pasien mengklaim bahwa HL meninggal karena cairan infuse yang kadaluarsa.
c)      Pasal 1367 KUH Perdata : seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Jika SOP rumah sakit menjadikan keberadaan obat – obatan di ruang IGD adalah tanggung jawab perawat (kepala perawat/ kepala ruangan) hal ini bisa saja menyebabkan kepala perawat terjerat pasal 1367 KUH Perdata. Jika pengendalian stok obat menjadi tanggung jawab kepala ruangan perawat IGD, dengan adanya kasus perawat memberikan infuse kadaluarsa berarti kepala ruangan bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena perawat – perawat yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang – barang yang berada di bawah pengawasannya.
2.      Hukum Pidana
a)      Pasal 359 KUHP: kelalaian yang menyebabkan kematian
b)      Pasal 360 KUHP: kelalaian yang menyebabkan luka berat
Cara pembuktiannya :
·         Apakah tindakan asuhan keperawatan menyimpang dari standar?
·         Apakah ada kelalaian berat yang menyebabkan luka berat?
·         Apakah ada kelalaian berat yang menyebabkan pasien meninggal dunia?
Namun perlu diperhatikan dan dipertimbangkan bahwa kegagalan tindakan tidak identik dengan malpraktik karena mayoritas tindakan bersifat inspanningverbintennis yang artinya kondisi pasien pasca pemberian tindakan keperawatan tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianggap malpraktik apabila pasiennya mengalami kondisi fatal serta perlu juga mempertimbangkan adanya beberapa faktor yang berpotensi muncul saat tindakan, diantaranya risiko medis, kecelakaan medis, dan contributory of negligence. Dalam kasus ini perlu diselidiki dahulu jenis infus yang diberikan oleh perawat pasien HL. Apakah cairan infuse tersebut termasuk kedalam golongan obat high alert atau tidak.  

3.5  Perlindungan Hukum

Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan perlindungan hukum yang jelas. Perawat harus mengetahui berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai tanggung jawab terhadap keputusan dan tindakan professional yang mereka lakukan. Perlindungan hukum bagi perawat hanya diberikan bila perawat tersebut benar terbukti telah melakukan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar profesi. Pernyataan seperti ini juga disebutkan dalam peraturan pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Priharjo.R, 2008). Pada Undang – Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 53 menjelaskan bahwa  :
a.       Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya
b.      Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien
c.       Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan
Dalam Undang – Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 54 menjelaskan juga bahwa :
a.       Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin
b.      Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis disiplin tenaga kesehatan
Dari kedua pasal diatas cukup memberikan pemahaman mengenai perlindungan hukum perawat. Dalam kasus perawat memberikan infuse kadaluarsa kepada pasien, perawat bisa dinyatakan bersalah jika sudah ada putusan dari Majelis disiplin tenaga kesehatan. Kasus ini pun sebenarnya menyangkut banyak pihak selain dari profesi keperawatan tetapi juga dari bagian kefarmasian yang masih menyimpan obat – obatan yang sudah kadaluarsa.
Sanksi terkait pelanggaran atau tindakan perawat yang tidak sesuai dengan undang – undang dan peraturan ditentukan di dalam perseidangan. Keputusan bersalah atau tidaknya tindakan perawat tersebut dan hukuman apa saja yang diterima juga dapat berkaitan dengan peraturan – peraturan lainnya seperti hukum perdata dan hukum pidana.  Pada hukum perdata, pada Pasal 1367 KUH Perdata menjelaskan bahwa seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Pada hukum pidana dapat dilihat pada pasal 359 KUHP mengenai kelalaian yang menyebabkan kematian dan pasal 360 mengenai kelalaian yang menyebabkan luka berat.  Namun perlu dilakukan telaah kasus lebih komprehensif megenai penyebab kematian HL apakah murni karena cairan infuse yang kadaluarsa ataukah ada faktor lain yang menyebabkan HL meninggal dunia.

3.6  Ethics Empowerment and Sustainability

Pemberdayaan etik menyajikan situasi dimana masalah moral diatasi dengan menggunakan, mengendalikan, dan memberantas masalah moral dengan etik. Etik berkelanjutan mencangkup didalamnya sistem sosial, lingkungan dan ekonomi yang ekuitas dari waktu ke waktu. Pada kasus diatas, pemberian infuse kadaluarsa yang diklaim oleh keluarga HL sebagai penyebab kematian HL, menyangkut beberapa jajaran manajerial rumah sakit. Adanya stok alat habis pakai kadaluarsa yang dikeluarkan petugas untuk diberikan kepada pasien menandakan adanya kelalaian dalam pengecekan stok obat. Meskipun ini dipandang sebagai tugas kefarmasian, namun perawat sebagai profesi yang berinteraksi langsung kepada pasien menjadi wajib mengadvokasikan hal ini untuk menjadi perhatian jajaran manajerial. Dalam membenahi atau menangani kasus ini agar tidak terulang kembali maka perlu adanya kesinergisan pada jajaran manajerial rumah sakit untuk membuat SOP atau pengontrolan stok obat atau alat habis pakai (AHP) yang standby untuk diberikan kepada pasien. Sehingga, dengan adanya SOP ini menjadi keberlanjutan etika dalam memberikan infuse kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA


Aiken, T.D. (2004). Legal, Ethical and Political Issues in Nursing. (2nd ed.). Philadelphia: FA Davis.
Bertens, K. (2013). Etika. Jakarta : Kanisius.
Cruz, Jose.A., & Frey, W.J. (2001) Ethics and empowerment : An ethics module dor introduction to computers. Proceedings of the 2001 Ameican Society dor Engineering Education Annual Conference & Exposition
Infolaw, (1998), Vicarious Liability Vol 7, Canadian Nurse Protective Society, Canada
Kee.J.L & Hayes, E.R. (1996). Farmakologi : Pendekatan proses keperawatan. Jakarta : EGC diakses melalui www.books.google.co.id
Kibert, C.J., Thiele, L., Peterson, A., Monroe, M. (na). The etics of sustainability.
Kode Etik Keperawatan Indonesia. Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
NN, (2008), Chapter 20 Nursing Liability and Malpractice, Altamonte Springs, Florida
Peraturan Menteri kes RI Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
Priharjo, Robert. (2008). Konsep & perspektif praktik keperawatan professional. Edisi 2. Jakarta : EGC diakses melalui www.books.google.co.id
Rowland, H.S., & Rowland, B.L. (1997). Nursing administration handbook (4th ed.). Gaithersburg, MD: Aspen Publications,Inc.
Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Undang – Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Whitehead, Diane K.,Weis, Sally A.,Tappen, Ruth M.(2010). Essentials of Nursing Leadership and Management. (5th ed.). Philadelphia: FA Davis.

Tidak ada komentar: