BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu tenaga kesehatan yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan adalah tenaga profesi perawat. Perawat
merupakan tenaga profesional yang memiliki body
of knowledge yang khusus dan spesifik dan dalam menjalankan praktik
profesinya memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat, sehingga perawat juga
sangat terikat oleh atauran-aturan hukum yang mengatur praktik tenaga
keperawatan.
Aspek hukum praktik keperawatan merupakan perangkat
hukum atau aturan-aturan hukum yang secara khusus menentukan hal-hal yang
seharusnya dilakukan atau larangan perbuatan sesuatu bagi profesi perawat dalam
menjalankan profesinya. Aspek hukum yang terkait langsung dengan praktik
keperawatan diantaranya adalah UU No. 38 Tahun 2014 tentang keperawatan; UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan; dan Perpres No.
90 Tahun 2017 tentang konsil tenaga kesehatan Indonesia. Sampai saat ini
profesi keperawatan di Indonesia sudah memiliki aturan hukum khusus tentang
praktik perawat setingkat Undang-Undang.
Pada perkembangannya dalam melayani pasien di rumah
sakit, perawat nampaknya belum begitu terpapar dengan pemahaman tentang aspek
hukum kesehatan khususnya yang menyangkut aturan-aturan hukum yang mengatur
praktik keperawatan. Salah satu bentuk praktik keperawatan yang berkaitan
dengan hukum yang berkaitan dengan keperawatan adalah dokumentasi keperawatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Swastika (2015)menyatakan bahwa 50% perawat mempunyai pengetahuan yang rendah mengenai
dokumentasi keperawatan, 53,34% perawat tidak melakukan pengisian dokumentasi
keperawatan dengan lengkap, dan terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan tentang dokumentasi keperawatan dengan kelengkapan pencatatan
dokumentasi keperawatan.
Pemahaman perawat tentang aspek hukum tersebut akan
menuntun perawat untuk melaksanakan praktiknya secara profesional, bertangung
jawab dan tanggung gugat. Kondisi tersebut nampaknya sesuai dengan pendapat
yang disampaikan oleh Green (1980)yaitu perilaku seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh pengetahuan,
sikap, dan kepercayaannya. Dengan demikian faktor pengetahuan akan sangat
mempengaruhi perawat dalam pemenuhan hak-hak pasien.
Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak untuk
mendapatkan pelayanan keperawatan yang bermutu, mendorong profesi perawat untuk
lebih meningkatkan kualitas pelayanannya. Perkembangan masyarakat terhadap
pemahaman hukum harus diikuti oleh pemahaman perawat terhadap konsekuensi hukum
dari semua tindakan keperawatan. Perawat harus menyadari perubahan yang terjadi
pada masyarakat saat ini terkait kesadaran akan hak-haknya. Perawat sebagai
salah satu anggota dari health provider
harus mengantisipasi dirinya dengan meningkatkan pemahaman dan kesadaran
tentang aspek-aspek hukum yang berhubungan dengan jasa pelayanan/praktik
keperawatan, demikian juga kesadaran untuk melakukan tugas sesuai dengan
standar profesi.
Banyaknya kasus hukum yang menimpa perawat saat ini
mengharuskan perawat mengetahui peran dan fungsinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini perlu
menjadi perhatian bersama dan perlu pembahasan yang mendalam berkaitan dengan
hukum keperawatan. Berdasarkan latar belakang diatas maka kelompok tertarik untuk
membahas dan menganalisa hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan
keperawatan dikaitkan dengan contoh kasus nyata.
1.2 Tujuan
1.2.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami dan
menganalisa hukum dan undang-undang
yang berkaitan dengan keperawatan dikaitkan dengan
contoh kasus nyata.
1.2.2 Tujuan Khusus
a.
Memahami dan menganalisa aspek hukum dalam keperawatandikaitkan dengan contoh kasus nyata.
b.
Memahami dan
menganalisa undang-undang
keperawatandikaitkan dengan contoh kasus nyata.
c.
Memahami dan
menganalisa peraturan
perundang-undangan terkait keperawatandikaitkan dengan
contoh kasus nyata.
d.
Memahami dan menganalisa kelalaian dan malpraktekdikaitkan dengan contoh kasus
nyata.
e.
Memahami dan
menganalisa kasus nyata dalam pandangan saksi ahli
keperawatan
BAB
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Hukum
Dalam Keperawatan
Hukum
adalah peraturan tertulis secara sistematis dalam kitab Undang-Undang
yangmengatur tingkah laku manusia secara lahiriah, sifatnya dipaksakan, orang
yang melanggar hukum akan terkena hukuman. Pekerjaan perawat sangat erat
kaitannya dengan hukum, karena dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya
harus berdasarkan kewenangan yang telah ditetapkan oleh organisasi
profesi(Patriyani, 2013).
Dalam
melaksanakan kewenangannya itu,
perawat harus
tetap berpegang teguh pada Lafal Sumpah Perawat, Standar Profesi Perawat,
Standar Asuhan Keperawatan, dan Kode Etika Keperawatan. Apabila melanggar
ketentuan-ketentuan tersebut perawat dapat dikenakan sanksi oleh organisasi
profesi, dan tidak menutup kemungkinan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan sidang pengadilan (Patriyani, 2013).
Hukum
memiliki tujuan untuk melindungi dan mengatur masyarakat agar tertib dan
disiplin sehingga keamanan negara terjamin, dan rakyat hidup adil dan
sejahtera. Hal ini memiliki hubungan yang erat dengan tujuan pelayanan
keperawatan yaitu untuk melindungi pasien yang diberikan pelayanan agar merasa
aman, nyaman dan sejahtera serta diperlakukan secara adil(Patriyani, 2013).
Keperawatan
sudah diakui sebagai suatu profesi yang memiliki otonomi sendiri, maka perlu
ada legislasi keperawatan. Legislasi adalah ketentuan hukum yang mengatur hak
dan kewajiban seseorang yang berkaitan dengan tindakannya. Tujuan legislasi
keperawatan adalah memberikan landasan hukum bagi praktik keperawatan, yang
melindungi kepentingan masyarakat pengguna jasa pelayanan keperawatan dan
sekaligus melindungi kepentingan para praktisi keperawatan (Patriyani, 2013).
Seiring
dengan berkembangnya masalah kesehatan khususnya keperawatan, maka dibutuhkan
aspek hukum untuk mengatur hubungan perawat dan klien/pasien. Hukum mengatur
mengenai hak dan kewajiban perawat dan klien/ pasien (Buka dan Chambers, 2008).Perawat
profesional harus mengetahui aspek hukum dalam profesinya sebagai pedoman untuk
melaksanakan tugas dengan baik, bertanggung jawab, dan bertanggung gugat.
Perawat profesional harus memiliki pengetahuan mengenai aspek hukum yang dapat
mempengaruhi praktek keperawatan (Patriyani, 2013).
Aspek
hukum praktik keperawatan merupakan
perangkat hukum atau aturan-aturan hukum yang secara khusus menentukan hal-hal
yang seharusnya dilakukan atau larangan perbuatan bagi profesi perawat dalam
menjalankan praktek profesi keperawatan. Aspek hukum yang terkait langsung
dengan praktik keperawatan adalah Undang-Undang Keperawatan No. 38 Tahun 2014,
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, Undang-Undang No. 36
Tahun 2009 tentang kesehatan, Peraturan Presiden nomor 90 tahun
2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Undang-Undang
Rumah Sakit (Undang-Undang no 44 tahun 2009), Undang-Undang
Praktik kedokteran, Undang-Undang
HAM, Undang-Undang Perlindungan
Kesehatan, Undang-Undang
Pelayanan Publik, Undang-Undang
Wabah/Penyakit Menular,Undang-Undang
Bencana, Undang-Undang Karantina, Undang-Undang keterbukaan informasi, Undang-Undang Kebebasan
mengemukakan pendapat (Novieastari, 2017).
2.2 Undang-Undang Keperawatan
Undang-Undang Keperawatan yang berlaku di
Indonesia adalah undang- undangNo
38 Tahun 2014. Undang- Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden RI pada 17
Oktober 2014, terdiri dari: 13 Bab dan 63 Ayat. Dalam makalah ini tidak semua
ditampilkan secara detail hanya yang berkaitan dengan kasus. Isi dari UU no 38 sebagai berikut:
BAB
I Ketentuan Umum
Pasal
1
1. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat,
2. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi
Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
3. Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu
dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau
masyarakat, baik sehat maupun sakit.
4. Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh
Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan.
5. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien
dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian
Klien dalam merawat dirinya. baik dalam keadaan sakit maupun sehat.
Pasal
2
Praktik Keperawatan berasaskan:
a.
perikemanusiaan;
b.
nilai ilmiah;
c.
etika dan profesionalitas;
d.
manfaat;
e.
keadilan;
f.
pelindungan; dan
g.
kesehatan dan keselamatan
Klien.
Pasal
3
Pengaturan Keperawatan bertujuan :
a. meningkatkan mutu Perawat;
b. meningkatkan mutu Pelayanan Keperawatan;
c. memberikan pelindungan dan kepastian hukum
d. kepada Perawat dan Klien; dan
e. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
BAB
II Jenis Perawat
Pasal
4
1.
Jenis Perawat terdiri atas:
a.
Perawat profesi; dan
b.
Perawat vokasi
2.
Perawat profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.
Ners; dan
b.
Ners spesialis
BAB III Pendidikan Tinggi
Keperawatan
Pasal
5
Pendidikan tinggi
keperawatan terdiri atas:
a.
Pendidikan vokasi
b.
Pendidikan akademik; dan
c.
Pendidikan profesi
BAB
IV Registrasi, Izin Praktik, dan Registrasi Ulang
Bagian
Kesatu: Umum
Pasal
17
Untuk melindungi
masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh Perawat, Menteri dan Konsil Keperawatan bertugas
melakukan pembinaan dan pengawasan mutu Perawat sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
Bagian
Kedua: Registrasi
Pasal
18
1)
Perawat yang menjalankan Praktik
Keperawatan wajib memiliki STR.
2)
STR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Konsil Keperawatan setelah memenuhi persyaratan.
Bagian
ketiga: Izin Praktik
Pasal
19
1)
Perawat yang menjalankan
Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.
2)
Izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP.
BAB
V Praktik Keperawatan
Bagian
Kesatu: Umum
Pasal
28
1)
Praktik Keperawatan
dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan
Klien sasarannya.
2)
Praktik Keperawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
Praktik Keperawatan mandiri;
dan
b.
Praktik Keperawatan di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
3)
Praktik Keperawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada kode etik, standar pelayanan,
standar profesi, dan standar prosedur operasional.
4)
Praktik Keperawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan
dan/atau Keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah.
Bagian
Kedua: Tugas dan Wewenang
Pasal
29
1)
Dalam menjalankan Praktik
Keperawatan, perawat bertugas sebagai;
a.
Pemberi Asuhan Keperawatan;
b.
Penyuluh dan konselor bagi
Klien;
c.
Pengelola Pelayanan
Keperawatan;
d.
Peneliti Keperawatan;
e.
Pelaksana tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang; dan/ atau
f.
Pelaksana tugas dalam keadaan
keterbatasan tertentu.
2)
Tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) dapat dilaksanakan secara bersama ataupun sendiri-sendiri.
3)
Pelaksanaan tugas Perawat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab
dan akuntabel.
Pasal
32
1)
Pelaksanaan tugas berdasarkan
pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya
dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk
melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
2)
Pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat.
3)
Pelimpahan wewenang secara
delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis
kepada Perawat dengan disertai, pelimpahan tanggung jawab.
4)
Pelimpahan wewenang secara
delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada
Perawat profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang
diperlukan.
5)
Pelimpahan wewenang secara
mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu
tindakan medis di bawah pengawasan.
6)
Tanggung jawab atas tindakan
medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada
pada pemberi pelimpahan wewenang
7)
Dalam melaksanakan tugas
berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), Perawat
berwenang:
a.
melakukan tindakan medis yang
sesuai dengan kompetensinya atas pelimpahan wewenang delegatif tenaga medis;
b.
melakukan tindakan medis di
bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang mandat; dan
c.
memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan program Pemerintah.
BAB
VI Hak dan Kewajiban
Bagian
Kesatu: Hak dan Kewajiban Perawat
Pasal
36
Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawalan
berhak:
a.
memperoleh pelindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi,
standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Pasal
37
1)
Bagian b: memberikan Pelayanan
Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar
profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan;
2)
Bagian d: mendokumentasikan
Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
3)
Bagian f: melaksanakan tindakan
pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi
Perawat; dan
Bagian
Kedua: Hak dan Kewajibab Pasien
Pasal
38
Dalam praktik keperawatan, Klien berhak:
a.
mendapatkan informasi secara,
benar, jelas, dan jujur tentang tindakan Keperawatan yang akan dilakukan;
b.
meminta pendapat Perawat lain
dan/atau tenaga kesehatan lainnya;
c.
mendapatkan Pelayanan
Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi,
standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d.
memberi persetujuan atau
penolakan tindakan Keperawatan yang akan diterimanya
BAB
VII Organisasi Profesi Perawat
Pasal
42
Organisasi Profesi
Perawat berfungsi sebagai pemersatu, pembina, pengembang, dan pengawas
Keperawatan di Indonesia.
BAB
VIII Kolegium Keperawatan
BAB
IX Konsil Keperawatan
Pasal
49
1)
Konsil keperawatan mempunyai
fungsi pengaturan, penetapan, dan pembinaan perawat dalam menjalankan praktik
keperawatan
Pasal
50
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, konsil keperawatan
mempunyai wewenang:
a.
Bagian c: menyelidiki dan
menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi perawat
b.
Bagian d: menetapkan dan
memberikan sanksi disiplin profesi perawat
BAB
X Pengembangan, Pembinaan, dan Pengawasan
BAB
XI Sanksi Administrasi
BAB
XII Ketentuan Peralihan
BAB
XIII Ketentuan Penutup
2.3 Peraturan dan Perundang-Undangan Yang Terkait
Keperawatan
2.3.1
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Dalam Bab II Pasal 3 dijelaskan bahwa rumah sakit diselenggarakan
untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit
dan sumber daya manusia di rumah sakit, meningkatkan mutu dan mempertahankan
standar pelayanan rumah sakit dan memberikan kepastian hukum kepada pasien,
masyarakat, dan sumber daya manusia rumah sakit. Dalam pasal ini juga termasuk
perawat yang merupakan salah satu sumber daya manusia yang berada di rumah
sakit yang mempunyai jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas.
2.3.2
UU No. 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan
Pada Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dibidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melaksanakan upaya kesehatan. Didalam UU
ini dinyatakan kompetensi adalah keahlian yang dimiliki seorang tenaga
kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap proporsional
untuk dapat menjalankan praktik. Dalam UU ini ditegaskan bahwa perawat harus
mempunyai kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya melalui
pendidikan akademik maupun pelatihan yang bersertifikat sehingga dapat
dinyatakan sebagai perawat yang kompeten.
2.3.3
Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga kesehatan
Peraturan Presiden ini ditetapkan berkaitan dengan UU No. 36 Tahun
2014 tentang tenaga kesehatan dan pasal 52 ayat 3 UU No. 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan. Pada Perpres ini juga terdapat penjelasan bahwa ada konsil
keperawatan yang menaungi berbagai tingkat perawat. Dipasal 6 tertulis dan
dinyatakan bahwa konsil masing-masing tenaga kesehatan bertugas melakukan
registrasi, pembinaan, penyusunan standar pendidikan, standar praktik, dan
menegakkan disiplin. Konsil keperawatan dibawah naungan Konsil Tenaga Kesehatan
maka diharapakna perawat dapat bekerja dengan profesional dan pasien dapat
meneriman pelayanan keperawatan dari perawat yang sudah di registrasi dan
berasal dari institusi pendidikan yang legal dan kompeten.
2.3.4
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Dalam UU ini dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan
merupakan Anugerah- Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan hakikat dan martabat manusia. Perawat sebagai salah satu
penyelenggara pelayanan kesehatan tidak diperbolehkan melakukan pelanggaran hak
asasi manusia baik disengaja maupun tidak disengaja, baik yang bersifat
kelalaian maupun malpraktik.
2.3.5
UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Didalam Bab II Pasal 4 dijelaskan bahwa perawat dalam melakukan
pelayanan publik harus berasaskan kepada kepentingan umum, kepastian hukum,
kesamaan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, persamaan perlakuan,
keterbukaan, akuntabilitas, fasilitasi khusus dan khusus bagi kelompok rentan,
ketepatan waktu dan keterjangkauan dalam pelayanan. Didalam Bab IV juga
terdapat penjelasan bahwa dalam pelayanan publik maka perawat harus menjalankan
standar pelayanan, oleh sebab itu standar prosedur operasional harus ditetapkan
bersama untuk melindungi perawat maupun pasien.
2.4 Kelalaian danMalpraktek
Kelalaian (negligence) adalah melakukan sesuatu
dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna melindungi orang lain
yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yang tidak beralasan dan beresiko
melakukan kesalahan. Sedangkan menurut Hanafiah dan Amir (1999), kelalaian adalah
sikap yang kurang hati-hati yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
seseorang lakukan dengan sikap hati-hati
dan wajar atau sebaliknya melakukan sesuatu dengan sikap hati-hati tetapi tidak
dilakukannya dalam situasi tersebut (Ake, 2003).
Dapat disimpulkan
bahwa kelalaian lebih bersifat ketidak sengajaan, kurang teliti, kurang
hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang
lain tetapi akibat yang ditimbulkan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukanlah
suatu pelanggaran hukun atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa
kerugian atau cidera pada orang lain dan orang itu dapat menerimanya.
Kelalaian memang
termasuk dalam arti malpraktek tetapi dalam malpraktek tidak selalu ada unsur
kelalaian. Malpraktek lebih luas dari kelalaian. Istilah malpraktek mencakup
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar undang-undang
(Ake, 2003).
Menurut Guwandi
(1994) malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan
pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan
wilayah yang sama. Sedangkan Allis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa
malpraktek merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian yang ditujukan pada
seseorang yang terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai
bidang tugas atau pekerjaannya (Ake, 2003).
Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan kasus malpraktek bagi perawat (Crake, 2003) :
a)
Delegasi
Perawat
mendelegasikan beberapa tugas kepada personel yang belum terlisensi
b)
Pemulangan pasien terlalu cepat
Pasien dipulangkan
dari rumah sakit dalam kondisi pemulihan tahap awal yang masih membutuhkan
perawatan akut dan intensif
c)
Kekurangan perawat
Kekurangan perawat
dapat menyebabkan beban kerja meningkat sehingga memungkinkan untuk terjadinya
kesalahan
d)
Kemajuan teknologi
Membutuhkan perawat
yang memiliki pengetahuan atau menguasai teknologi
e)
Meningkatkan otonomi dan
tanggung jawab perawat dirumah sakit
f)
Konsumen mempunyai informasi
nyang baik tentang masalah malpraktek
g)
Diperluasnya definisi hokum
tentang semua kewajiban yang dimilki profesional untuk standar pertanggungjawaban
yang lebih tinggi
Vestal, K.W (1995)
dalam Ake (2003) mengatakan bahwa untuk mengatakan
secara pasti malpraktek
apabila penggungat dapat menunjukkan hal dibawah
ini :
a)
Duty
Pada saat terjadinya
cidera, terkait dengan kewajibannya mempergunakan ilmu dan kepandaiannya untuk
menyembuhkan atau meringankan beban penderitaan pasien berdasarkan standar
profesi
b)
Breach of duty
Pelanggaran terjadi
sehubungan dengan kewajiban artinya menyimpang dari apa yang seharusnya
dilakukan menurut standar profesi
c)
Injury
Seseorang mengalami
cidera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum
d)
Proximed cause
Pelanggaran terhadap
kewajibannya terkait dengan cidera yang dialami oleh pasien
Bidang pekerjaan
perawat yang beresiko melakukan kesalahan :
a)
Assesment error
Termasuk kegagalam
mengumpulkan informasi tentang pasien secara adekuat atau kegagalam
megidentifikasi informasi yang diperlukan seperti data hasil labor, TTV,
keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera, kegagalan mengumpulkan data
yang berdampak pada ketidak tepatanmenentukan diagnose keperawatan
b)
Planning errors
Kegagalan mencatat
masalah pasien, kegagalan mengkomunikasikan secara efektif rencana keperawatan
yang telah dibuat, kegagalan memberikan asuhan keperawatan yang berkelanjutan,
dan kegagalan memberikan informasi atau
instruksi yang dimengerti oleh pasien
c)
Intervention error
Kegagalan
menginterpretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan
asuhan keperawatan secara hati-hati dan
kegagalan mengikuti order dokter atau
supervisor
Kategori utama
kelalaian yang berakibat tuntutan hukum malpraktek :
a)
Kegagalan mengikuti standar
keperawatan
b)
Kegagalan untuk menggunakan
peralatan secara bertanggung jawab
c)
Kegagalan berkomunikasi
d)
Kegagalan mendokumentasikan
e)
Kegagalan untuk menilai dan
memantau
f)
Kegagalan bertindak sebagai
advokat bagi klien
BAB
3
PEMBAHASAN
3.1
Kronologi Kasus
Perawat
Rumah Sakit (RS) A dituntut 1 tahun
penjara dikarenakan kasus dugaan salah transfusi darah terhadap pasien bernama
B, Aceh Utara tanggal 3 Maret 2016. Petugas yang bertugas saat kejadian yaitu 1
orang perawat M dan 2 orang bidan di Ruang Penyakit Dalam, sedangkan yang
melakukan tranfusi darah bukan perawat tetapi bidan, perawat M bertugas sebagai
Leader.
Tranfusi darah dilaksanakan
atas order Dr. M spesialis penyakit dalam tanggal 2 Maret 2016, dalam bentuk
tulisan di status pasien.Permintaan darah ke UTD PMI dilaksanakan tanggl 3
Maret 2016, pukul 18.00 WIB, disertai sampel darah.Tanggal 3 Maret 2016 pukul
22.00 WIB, kantong darah tiba di ruang perawatan. Perawat M melihat label
golongan darah B, lalu perawat M menghubungi pihak UTD dan petugas laboratorium
untuk konfirmasi bahwa golongan darah pasien O (hasil pemeriksaan RS). Jawaban
UTD bahwa hasil cross check UTD
golongan darah B bukan O, kemudian petugas labor PMI juga menguatkan bahwa
golongan darah B bukan O. Dan pihak labor PMI meminta perawat M mencoret
surat permintaan darah dari tulisan O menjadiB.
Tanggal 3 Maret 2016, pukul
23.00 WIB, darah di tranfusi pada pasien, reaksi pasien menggigil dan dokter
meminta diberikan suntikan obat dan pasien tidak menggigil lagi setelah
disuntikkan obat tersebut.Tanggal 7 Maret 2016, pasien pulang dengan kondisi
baik.Tanggal 8 Maret 2016, pasien dibawa kembali ke RS Arun dengan kondisi
hypoglikemia (KGD 45).
3.2 Analisa Kasus Berdasarkan Aspek Hukum Dalam
Keperawatan
Berdasarkan aspek hukum dalam keperawatan, kasus
perawat M di RS A merupakan kasus yang berhubungan dengan masalah hukum karena
adanya peraturan yang di langgar dan merugikan keamanan, keselamatan dan hak
pasien. Kita perlu melihat dalam melaksanakan pekerjaannya, apakah perawat M
sudah melaksanakan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan
peraturan yang ada sertaberpegang teguh pada Lafal Sumpah
Perawat, Standar Profesi Perawat, Standar Asuhan Keperawatan, dan Kode Etika
Keperawatan.
Kita perlu ketahui juga apakah perawat M paham dengan
aspek hukum yang dapat mempengaruhi praktek keperawatan yang dilakukannya
ketika bertugas sehingga perawat M dapat melakukan praktek keperawatan sesuai
dengan kompetensi, wewenang dan tanggung
jawabnya. Hal ini akan membantu perawat memberikan hak-hak pasien. Ada
banyak aspek hukum yang mempengaruhi praktek keperawatan perawat M dan aspek
hukum mana yang dilanggar. Untuk menganalisanya kita perlu menguraikan satu
persatu peraturan dan Undang-Undang yang mempengaruhi praktek keperawatan
3.3 Analisa
Kasus
Berdasarkan
Undang-Undang
Keperawatan No 38 tahun 2014
Berdasarkan
kasus yang terjadi di RS A yaitu perawat M merupakan perawat yang bekerja di
ruang IPD hal ini sesuai dengan UU keperawatan Bab I tentang praktik
keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh perawat dalam bentuk
asuhan keperawatan. Namun ada hal lain yaitu perawat M dalam menjalankan
praktik keperawatan ditemani rekan sejawat yang bukan perawat melainkan bidan.
Hal ini tidak sesuai undang-undang.
Berdasarkan
kasus dugaan salah transfusi, hal ini berkaitan pasal 2 dan 3 yaitu
perlindungan, kesehatan dan keselamatan pasien, perawat M harus memastikan
sebelum dilakukan transfusi dengan double
crosscheck dengan teman sejawat untuk keamanan tindakan tersebut. Perawat M
sudah melakukan klarifikasi ke pihak UTD kalau darah yang datang tidak sesuai dengan golongan
darah klien. Namun pihak UTD menyatakan sudah benar golongan darah pasien B
padahal pasien mempunyai golongan darah O dan meminta mencoret atau mengganti
menjadi B (blanko transfusi sudah dicoret). Menurut analisa kelompok jika
terjadi dua pendapat yang berbeda ada baiknya darah ditunda ditransfusikan kepasien sampai dilakukan
pemeriksaan golongan darah ulang dan crossmatch
ulang disaksikan pihak-pihak terkait.
Berdasarkan
UU keperawatan pada Bab IV tentang Registrasi dan Izin praktik keperawatan,
perawat wajib memiliki surat tanda registrasi (STR) dan surat izin kerja
perawat (SIKP) guna melindungi klien agar bisa dipastikan yang melakukan
tindakan praktik keperawatan sudah memenuhi standar, untuk kasus perawat M
harus dipastikan lagi apakah perawat M sudah memiliki STR dan SIKP.
Berdasarkan
UU keperawatan
pada Bab V tentang praktik keperawatan bahwa pelayanan keperawatan difasilitas
pelayanan kesehatan harus berdasarkan kode etik, standar pelayanan, standar
profesi dan standar prosedur operasional. Pihak RS melalui pimpinan yang
berwenang harus memastikan perawat yang bekerja pada institusinya menjalankan
praktik keperawatan sudah memahami dan melaksanakannya sesuai kode etik dan
standar-standar yang berlaku. Seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya
sering dihadapkan dengan pelimpahan wewenang dari profesi kesehatan lainnya
baik secara delegasi ataupun mandat. RS bisa mengatur pelimpahanwewenang ini
kepada siapa bisa diberikan melalui peraturan kredensial maupun rekredensial
menyangkut kewenangan klinis yang boleh dan yang belum boleh dilakukan perawat.
Perawat yang belum kredential boleh menolak tindakan yang belum komptensinya
(PK I/ PKII dan seterusnya).
Berkaitan
dengan Bab IX tentang konsil keperawatan berdasarkan pasal 49 konsil
keperawatan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan, dan pembinaan perawat dalam
menjalankan praktik keperawatan, serta pasal 50 yaitu menyelidiki dan menangani
masalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan disiplin profesi serta
menetapakan dan memberikan sanksi dsiplin profesi perawat. Berdasarkan kasus
yang menimpa perawat M, ada baiknya dari organisasi profesi maupun konsil
keperawatan menyelidiki kasus tersebut guna memberikan advokasi dan melindungi
perawat tersebut jika tidak bersalah. Kalaupun terbukti bersalah, organisasi
profesi memberikan
dukungan psikis untuk perawat M. Konsil keperawatan bisa memberikan sanksi
disiplin profesi tidak hanya perawat M melainkan dapat memberikan teguran
kepada pihak pimpinan RS
jika tidak memberikan bimbingan dan pelatihan mengembangkan profesi terkait
dengan kewenangan klinis, terutama untuk kasus dugaan salah transfusi. Pihak
organisasi berhak menanyakan kepada RS kenapa ada bidan bisa menjalankan
praktik diruang penyakit dalam dan klarifikasi dengan pihak kepolisian kenapa
hanya perawat M yang dijadikan tersangka tidak dengan teman kerjanya yang malah
memasang transfusi keklien.
3.4 Analisis Kasus Berdasarkan Peraturan
dan Perundang-Undangan
Yang
Terkait Dengan
Keperawatan
Analisis
kasus dapat dikaitkan dengan berbagai
peudang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kasus ini bisa dianalisis
berdasarkan Perpres No. 90 Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan. Dalam
kasus ini perlu dilihat aspek apakah Perawat M. telah melakukan prosedur
pengecekan golongan darah sesuai dengan standar praktik keperawatan. Apabila
sudah melakukan prosedur dengan tepat maka Perawat M telah melaksanakan Perpres
No. 90Tahun 2017 dengan baik. Disamping itu, Perpres ini juga mengatur tentang
Surat Tanda Registrasi (STR), apabila Perawat M. telah mempunyai STR maka
dikatakan sudah legal melakukan tindakan keperawatan.
Berdasarkan
UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan juga perlu dianalisis kompetensi
pengetahuan dan keterampilan Perawat M. dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
Perlu dilihat apakah Perawat M. telah melakukan tindakan sesuai dengan
kewenangannya sebagai perawat. Kompetensi yang baik pada Perawat M. dapat
menghindari dari tindakan yang bersifat kelalaian maupun malpraktik. Hal lain
yang terjadi juga adanya profesi lain yang tidak sesuai kompetensinya
melakukan tindakan diruang penyakit
dalam rumah sakit tersebut. Disamping itu tidak hanya profesi perawat yang
terlibat didalam kasus ini juga terdapat profesi lain yang perlu dilihat
kompetensinya sesuai dengan UU ini.
Berdasarkan
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang salah satunya berisi tentang
perlindungan terhadap keselamatan
pasien dan sumber daya rumah sakit. Dalam kasus ini Perawat M. yang berfungsi
sebagai leader dalam shift dinasnya perlu memonitoring baawahannya sehingga
keselamatan pasien dapat dijaga. Disamping itu, komunikasi dalam pemberian
asuhan keperawatan yang baik antara atasan dan bawahan akan menghindari hal-hal
yang bersifat kelalaian dan malpraktik. Hal lain yang juga perlu menjadi
perhatian adalah kebijakan rumah sakit dalam penempatan pegawai sesuai dengan
kompetensinya. Hasil analisis dari kasus dapat dilihat bahwa Pihak manajemen
rumah sakit menempatkan profesi lain sebagai tenaga pelaksana di ruang penyakit
dalam. Hal ini tentu saja terdapat ketidaksesuaian antara kompetensi profesi
tersebut dengan pemberian layanan diruang penyakit dalam.
Analisis
kasus ini juga dapat dilihat dari sisi perundang-undangan yang juga berkaitan
dengan pasien. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maka
pasien tersebut berhak mendapat pelayanan kesehataan yang baik dari Perawat M.
sebagai leader, bidan yang bekerja diruangan, maupun dari pihak UTD PMI.
Apabila Perawat M. tidak melakukan tugas sebagai leader maka dianggap telah
melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Namun hal ini perlu pembuktian lebih
lanjut dipersidangan. Analisis kasus dapat juga ditinjau dari UU No. 25 Tahun
2009 tentang pelayanan publik. Perlu menjadi perhatian bersama tentang standar
prosedur operasional di rumah sakit tersebut, apabila perawat M. tersebut sudah
melakukan tindakan standar prosedur operasional sesuai yang ditetapkan rumah
sakit maka dapat dikatakan telah profesional dan kompeten sebagai perawat.
3.5 Analisa
Kasus Berdasarkan Sudut Pandang Kelalaian Dan Malpraktek
Dalam kasus ini
tindakan salah transfusi darah pada pasien B dapat dikatakan sebagai tindakan
malpraktek karena hal ini dilakukan oleh petugas kesehatan yaitu perawat M dan
rekan kerjanya yang berprofesi sebagai bidan namun ditempatkan oleh RS A di
ruang penyakit dalam untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuannya dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Hal ini perlu dipertanyakan kepada
pihak rumah sakit atas penempatan petugas kesehatan yang tidak sesuai dengan
kompetensinya.
Hal yang memperkuat
bahwa tindakan ini dikatakan malpraktek yaitu korban atau pasien B dapat
menunjukkan bahwa tindakan salah transfusi ini dilakukan oleh petugas kesehatan
pada jam kerja, menyimpang dari tanggung jawab yang seharusnya dilakukan
menurut standar profesi dan standar operasional prosedur rumah sakit serta
menyebabkan cidera atau berakibat buruk bagi pasien dengan reaksi alergi
(menggigil) setelah pasien mendapatkan transfusi darah. Rumah sakit seharusnya
mempunyai standar operasional prosedur untuk setiap tindakan yang akan
dilakukan oleh petugas kesehatan. Dalam kejadian ini terjadi keraguan golongan
darah pada pasien B apakah golongan darah pasien O atau B. Yang terlibat dalam
kejadian ini tidak hanya perawat M dan bidan yang dinas pada shift tersebut
namun juga petugas UTD PMI yang mengirimkan darah tidak sesuai permintaan ke
rumah sakit A.
Dilihat dari
faktor-faktor yang dapat meningkatkan kasus malpraktek bagi perawat berdasarkan
kasus ini yaitu tentang pendelegasian tugas dimana yang melakukan transfusi
darah pada pasien B adalah bidan. Dengan kata lain perawat M yang bertindak
sebagai leader mendelegasikan tindakan transfusi kepada bidan tersebut sedangkan
bidan sebenarnya tidak mempunyai kompetensi untuk ditempatkan diruang penyakit
dalam dan melakukan tindakan. Jadi disini perawat M telah mendelegasikan
tugasnya kepada petugas lain yang tidak berlisensi. Tindakan malpraktek yang
terjadi dalam kasus ini juga disebabkan kurangnya tenaga perawat di rumah sakit
A sehingga meningkatkan beban kerja perawat dan menempatkan petugas tidak
sesuai dengan kompetensinya.
3.6 Analisis Sudut Pandang Saksi Ahli Keperawatan
a.
Perlu diperhatikan apakah
Perawat M. tersebut telah mempunyai kompetensi baik berupa pengetahuan maupun
keterampilan untuk ditempatkan diruangan penyakit dalam. Perlu juga dilihat
kompetensinya sebagai leader. Hal ini terkait dengan status registrasi (STR)
dan lisensi perawat M dalam memberikan asuhan keperawatan dan kompetensinya
sebagai leader. Hal ini tentu berhubungan dengan manajemen sumber daya manusia
di RS A. Apakah RS A sudah menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar yang ada untuk melindungi masyarakat melalui sumber daya manusia
kesehatan yang layak kerja dan kompeten.
b.
Rumah sakit A perlu
memperhatikan penempatan pegawai sesuai kompetensinya sehingga pegawai dapat
bekerja profesional sesuai bidangnya. Dalam kasus ini terdapat ketidaksesuaian
penempatan pegawai dengan ruangannya. Perawat M bekerja bersama bidan dalam
memberikan asuhan keperawatan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan peraturan
perundangan yang ada, dimana asuhan keperawatan dilakukan oleh perawat yang
telah menempuh pendidikan keperawatan, memiliki kompetensi, lisensi, dan
registrasi sebagai perawat.
c.
Perawat M memberikan asuhan
keperawatan harus sesuai dengan standar yang ada yaitu standar pelayanan,
standar profesi, standar prosedur operasional dengan tetap berpegang pada kode
etik profesi keperawatan. Dalam kasus perawat M, perlu dipertanyakan apakah
perawat M dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar pelayanan
dan keperawatan yang ada karena bekerja bersama rekan kerja yang bukan perawat.
Pada kasus perawat M, kelompok tidak mendapatkan data bagaimana informasi
golongan darah pasien B didapatkan oleh perawat M sebagai golongan darah O.
Apakah informasi ini sudah didapatkan melalui pengkajian pada pasien dan
keluarga baik melalui wawancara atau pemeriksaan langsung d laboratorium RS.
Bila informasi ini sudah didapatkan oleh perawat melalui pengkajian tersebut,
maka perawat sudah melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan standar yang ada.
Pada kasus perawat M ini, sebaiknya ketika didapatkan darah yang datang dari
PMI tidak sesuai dengan permintaan (meragukan), perawat M menunda pemberian
transfusi sampai didapatkan kepastian. Rumah sakit tempat perawat M bekerja
harus memiliki standar prosedur yang jelas untuk menjawab situasi kasus perawat
M ini. Kelompok tidak mendapatkan informasi mengenai standar prosedur Rumah
sakit A dalam pemberian transfusi darah pada pasien. Perawat M berhak
mendapatkan pedoman standar prosedur ini dalam bekerja untuk melindungi dirinya
sendiri. Apakah perawat M harus menunda pemberian transfusi atau melanjutkan
sesuai dengan order dan informasi dari PMI yang meyakinkan golongan darah
pasien adalah B. Bila menunda pemberian sementara pasien memerlukan terapi
transfusi langkah apa yang harus dilakukan perawat M, apakah konsultasi dengan
supervisor keperawatan, dokter yang memberikan order atau lainnya.
d.
Pada situasi ini, perlu juga
dilihat bagaimana proses pelimpahan wewenang pemberian transfusi darah dari
dokter pada perawat M dan dari perawat M pada bidan yang melakukan transfusi.
Menurut Undang-undang keperawatan, pelimpahan wewenang disertai tanggung jawab
(delegasi) dari dokter pada perawat meliputi 3 hal yaitu menyuntik, memasang
infus, dan pemberian imunisasi dasar yang direkomendasikan pemerintah.
Sedangkan, pelimpahan wewenang berupa mandat dari dokter pada perawat meliputi
terapi parenteral dan penjahitan luka. Jadi, pelimpahan wewenang transfusi
darah dari dokter pada perawat ini merupakan mandat dimana yang memberi
wewenang, penerima wewenang dan tempat bekerja memiliki tanggung jawab atas
pelimpahan wewenang ini. Dalam kasus perawat M, perlu dipertanyakan kenapa
dokter yang memberi order dan rumah sakit tempat perawat M bekerja terlepas
dari tanggung jawab dan hanya perawat M yang dijadikan tersangka. Bahkan, bidan
yang melakukan transfusi juga terbebas dari tanggung jawab. Dalam pelimpahan
wewenang harus memiliki standar operasional prosedur, dilakukan secara tertulis
dan memiliki form pelimpahan wewenang. Artinya pelimpahan wewenang dilakukan
secara jelas, rinci dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada kasus perawat M, kelompok
tidak mendapatkan informasi jelas bagaimana proses pelimpahan wewenang ini
terjadi. Informasi yang kami dapatkan hanya perintah transfusi darah diberikan
oleh dokter spesialis penyakit dalam pada perawat M secara tertulis. Pelimpahan
wewenang yang baik harus sesuai dengan standar prosedur yang ada dan di tulis
dalam form dengan rinci, jelas dan bertanggung jawab. Hal ini juga berlaku pada
proses pelimpahan wewenang dari perawat M pada bidan. Kelompok juga tidak
mendapatkan informasi bagaimana pelimpahan wewenang dilakukan. Informasi yang
didapatkan hanya perawat M tidak melakukan transfusi langsung karna sudah di
luar jam dinas dan hanya berlaku sebagai leader. Dalam kasus ini, bila perawat
M sudah bebas tugas pada jam tersebut, sebaiknya melimpahkan wewenang sesuai
dengan standar yang ada dan karna diketahui didapatkan golongan darah yang
datang berbeda dengan yang diminta, maka perawat M sebaiknya memerintahkan
menunda transfusi dan meminta rekan bidan konfirmasi kembali golongan darah
sesuai dengan standar prosedur yang jelas di Rumah Sakit A.
e.
Standar prosedur operasional
rumah sakit tempat perawat bekerja memiliki peran yang penting. Hal ini dapat
melindungi perawat dan dokter dalam bekerja serta rumah sakit sebagai pelayanan
kesehatan telah berusaha menjadi pelayanan kesehatan yang dapat menjamin
keamanan dan keselamatan penerima pelayanan. Dalam kasus perawat M, tidak
didapatkan informasi bagaimana standar prosedur operasional di rumah sakit
tersebut.
f.
Berdasarkan Keppres No.56 tahun 1995 dibentuk Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan
yang seimbang dan objetif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima
pelayanan kesehatan. MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil
pemeriksaan MDTK akan dilaporkan kepada pejabat kesehatan berwenang untuk
mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan sebagaimana yang dimaksud
tidak mengurangi ketentuan pada pasal
54 UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, yaitu :
(1) Terhadap tenaga kesehatan
yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat
dikenakan tindakan disiplin.
(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau
kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan.
Keanggotaan MDTK terdiri dari unsur
sarjana hukum, ahli kesehatan yang diwakili organisasi profesi di bidang
kesehatan, ahli agama, ahli psikologi, dan ahli sosiologi. Organisasi ini
berada baik di tingkat pusat, juga ditingkat Propinsi.
Kasus
malpraktek yang terjadi di RS A sebaiknya dilaporkan kepada MDTK untuk meneliti
dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan
standar profesi yang dilakukan oleh perawat M dan rekan kerjanya. Tetapi dalam
kasus ini kami melihat kejanggalan karena dalam waktu dekat pihak kepolisian
langsung menetapkan perawat M sebagai tersangka tanpa menyelidiki lebih dalam
tentang kasus ini padahal yang terlibat dalam kasus ini tidak hanya perawat M
tetapi juga bidan dan petugas UTD PMI.
BAB
4
KESIMPULAN
4.1 Terdapat banyak
aspek hukum yang mempengaruhi praktek keperawatan. Perawat perlu mengetahui
aspek hukum ini agar dapat bekerja dengan profesional sesuai dengan standar
yang ada dan tidak tersandung dengan kasus pelanggaran aspek hukum tersebut.
4.2
Undang-Undang No 38 tahun 2014 tentang keperawatan mengatur secara rinci
mengenai perawat mulai dari definisi perawat, pendidikan keperawatan, jenis dan
praktek keperawatan. Pada kasus perawat M, terdapat beberapa kondisi yang tidak
sesuai dengan ketentuan di peraturan perundangan tersebut.
4.3 Terdapat peraturan perundangan lainnya yang
terkait langsung dengan keperawatan seperti Undang-undang no 36 tahun 2009,
undang-undang no 36 tahun 2014, perpres dan lain-lain. Semua peraturan ini
memberikan panduan dan batasan dalam praktek keperawatan
4.4 Pada kasus perawat M terjadi malpraktek dimana
pasien mengalami kerugian atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh perawat
dan tenaga kesehatan lainnya
4.5 Terdapat
beberapa tenaga kesehatan yang terlibat dalam kasus hukum perawat M seperti
bidan dan dokter serta petugas di laboratorium PMI. Semua pihak bertanggung
jawab atas kerugian yang dialami pasien. Rumah sakit sebagai penyedia pelayanan
kesehatan yang memperkerjakan tenaga kesehatan memiliki peran dan tanggung
jawab besar atas kerugian ini. Rumah sakit wajib menyediakan fasilitas dan
informasi (standar prosedur operasional) agar tenaga kesehatan dapat bekerja
dengan aman dan pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman
Daftar Pustaka
Ake. J. (2003). Malpraktek Dalam Keperawatan. Jakarta : EGC
Buka, P & Chambers, K . (2001). Patient’s rights, law, and ethics for nurses.Matta:
Chron tech ltd
Croke. E.M. (2003). Nurses, Negligence and Malpractice. AJN Vol 13 no 9
DPR RI dan Presiden RI. (1992). UU No. 23
Tahun 1992
tentang kesehatan. Jakarta. Pemerintah
RI
DPR RI dan Presiden RI. (2009). UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Jakarta. Pemerintah
RI
DPR RI dan Presiden RI. (2009). UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta. Pemerintah RI
DPR RI dan Presiden RI. (2014). UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta. Pemerintah
RI
DPR RI dan Presiden RI. (2014). UU No. 38
Tahun 2014 tentang Keperawatan. Jakarta. Pemerintah
RI
Green, L. (1980). Health education planning : A
diagnostic approach. Baltimore, The Jhon Hopkins University: Mayfileld
Publishing Co.
Novieastari, E. (2017). Aspek hukum dalam
keperawatan kelalaian dan malpraktek. Bahan kuliah Etika dan hukum keperawatan
Patriyani, R.E.H. (2013). Keperawatan profesional modul 2: Aspek hukum dalam praktek keperawatan
profesional. Jakarta : Pusdiklatnakes Badan PPSDM Kesehatan Kemkes RI
Presiden RI. (1995). Keputusan presiden No.56
tahun 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK)
Presiden RI. (1999). UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Jakarta. Pemerintah RI
Presiden RI. (2017). Peraturan Presiden RI No. 90
Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Jakarta. Pemerintah RI
Swastika, W. (2015).
Hubungan antara pengetahuan perawat tentang rekam medis dan dokumentasi
keperawatan dengan kelengkapan pencatatan dokumentasi keperawatan di Rumah
Sakit Mulia Hati Wonogiri.Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Tesis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar