analisa kasus sesuai dengan undang – undang dalam keperawatan



BAB I

PENDAHULUAN


2.1.Latar Belakang

Praktik keperawatan merupakan prakik yang berhubungan dengan kehidupan manusia secara langsung. Dalam praktik keperawatannya, professional keperawatan membawa beban tanggung jawab. Perawat dalam pelayanan kesehatan harus mampu memahami hukum, regulasi dan kebijakan pemerintah terkait keperawatan, kesehatan dan udang – undang lainnya sehingga jika perawat berada pada situasi dilemma etik mampu menghadapinya dengan baik dan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlalu serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebagai profesi yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien, perawat sangat rentan sekali terhadap tuntutan hukum.
Hukum adalah body of rules dan regulasi yang mengatur perilaku orang dan hubungannya dengan orang lain di masyarakat dan dengan negara. Hukum meningkatkan ketertiban dengan menyelesaikan konflik dan perselisihan tanpa kekerasan, menentukan tanggung jawab, dan melindungi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan warga negara (Aiken, 2004) .
Praktik perawat telah tercantum dalam undang-undang yang disahkan oleh badan legislatif negara untuk mendefinisikan dan mengatur praktik keperawatan di dalam masing-masing negara. Hal inilah yang menentukan praktik keperawatan dan menetapkan standar praktik keperawatan di setiap negara. Undang – undang dan peraturan sangat penting dalam mengatur praktik keperawatan. Undang – undang atau peraturan yang mengatur praktik keperawatan dibuat untuk melindungi pasien dengan menentukan dan menetapkan standar untuk praktik keperawatan. Sebagian besar negara saat ini telah mengatur bidang praktik keperawatan untuk memberi standar bagi perawat dengan peningkatan keterampilan. Pelanggaran terhadap praktik perawat dapat mengakibatkan penuntutan pidana dan tindakan disipliner atau proses pengadilan malapraktik medis dan dapat mempengaruhi izin praktik perawat (Aiken, 2004).
Seiring dengan besarnya tanggung jawab profesi maka perawat harus memiliki akuntabilitas yang legal. Sepanjang sejarah praktik keperawata, perawat tidak secara murni disebut sebagai terdakwa dalam kasus malpraktek karena fasilitas dan dokter dianggap sebagai tergugat utama.  Dalam kasus malapraktik, undang – undang, peraturan dan keputusan kebijakan menentukan kapan gugatan bisa diajukan, apakah menyebabkan penderitaan, bagaimana dan dimana gugatan tersebut harus diajukan.

2.2.Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Menganalisa kasus kelalaian dan malpraktik
2.      Mengidentifikasi aspek hukum dalam keperawatan
3.      Menganalisa kasus sesuai dengan undang – undang keperawatan
4.      Menganalisa kasus berdasarkan pandangan peraturan perundang – undangan terkait keperawatan
5.      Menganalisa peran perawat sebagai saksi ahli

2.3.Manfaat

Manfaat penyusunan makalah ini adalah:
1.        Profesi keperawatan
Sebagai sumber studi kepustakaan dalam  memahami aspek hukum dalam keperawatan sehingga dapat menambah pemahaman tentang konsep hukum dan mengaplikasikan dalam praktek keperawatan.
2.      Institusi pendidikan keperawatan
Sebagai sumber kepustakaan dalam  pengembangan aspek hukum bagi institusi keperawatan.
3.      Mahasiswa keperawatan
Sebagai salah satu acuan kepustakaan dalam pemahaman konsep  hukum dalam keperawatan



BAB II

TINJAUAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN


2.1.Aspek Hukum dalam Keperawatan

Hukum adalah regulasi ketatalaksanaan sosial yang dikembangkan untuk melindungi masyarakat. Hukum juga diartikan sebagai suatu aturan yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan orang lain di masyarakat dan dengan pemerintahan (Aiken, 2004).  Keperawatan telah menjadi profesi yang telah melalui peningkatan pendidikan, kompetensi, keterampilan teknis, dan pengetahuan. Di Indonesia salah satu bentuk aturan yang menunjukan adanya hubungan hukum dengan perawat adalah Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Pasal 2 ayat (1) jo, ayat (3) perawat dikatagorikan sebagai tenaga keperawatan. Undang – Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, merupakan undang – undang yang memberikan kesempatan bagi perkembangan profesi keperawatan, dimana dinyatakan standar praktik, hak – hak pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 telah mengakui profesi keperawatan, namun dalam praktik profesinya, profesi keperawatan harus berjuang untuk mendapat pengakuan dari profesi kesehatan lain, dan juga dari masyarakat. Profesi perawat dikatakan akuntabel secara hukum bila benar – benar kompeten dan melaksanakan profesinya sesuai dengan etika dan standar profesinya. Standar profesi memiliki tiga komponen utama yaitu standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan. Tugas tenaga kesehatan yang didalamnya termasuk tugas perawat berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang - Undang No. 23 Tahun 1992 adalah menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangannya masing – masing. Agar tugas terlaksanakan baik. Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 menentukan bahwa setiap tenaga kesehatan wajib memiliki keahlian dan keterampilan sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya yang dibuktikan dengan ijazah. Dengan demikian, tugas dan kewenangan tenaga kesehatan termasuk perawat akan ditentukan berdasarkan ijazah yang dimilikinya. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu, yaitu yang berhubungan langsung dengan pasien, seperti dokter dan perawat berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Praturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 dalam menjalankan tugas profesinya wajib untuk menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, dan membuat dan memelihara rekam medis. Pelaksanaan tugas tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan maupun pasien, sebagaimana ketentuan pada pasal 53 ayat (1) Undang – Undang No. 23 Tahun 1992  jo. Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemeintah No. 32 Tahun 1996.

2.2.Undang-Undang Keperawatan

Untuk menjamin pelindungan terhadap masyarakat sebagai penerima Pelayanan Keperawatan dan untuk menjamin pelindungan terhadap Perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan, diperlukan pengaturan mengenai keperawatan secara komprehensif yang diatur dalam undang-undang. Selain sebagai kebutuhan hukum bagi perawat, pengaturan ini juga merupakan pelaksanaan dari mutual recognition agreement mengenai pelayanan jasa Keperawatan di kawasan Asia Tenggara. Ini memberikan peluang bagi perawat warga negara asing masuk ke Indonesia dan perawat Indonesia bekerja di luar negeri untuk ikut serta memberikan pelayanan kesehatan melalui Praktik Keperawatan. Ini dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan Perawat tingkat dunia, sehingga sistem keperawatan Indonesia
dapat dikenal oleh negara tujuan dan kondisi ini sekaligus merupakan bagian dari pencitraan dan dapat mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia di bidang kesehatan.
Atas dasar itu, maka dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif.
Dalam Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan ini menjelaskan bahwa praktik keperawatan harus didasarkan kode etik, standar pelayanan, standar profesi dan standar prosedur operasional yang didasarkan pada prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan dan/ atau keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah. Dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai pemberi asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang dan/atau pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu. Pelaksanaan tugas perawat dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel. Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, perawat berwenang melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.

2.3.Peraturan Perundang-Undangan Terkait Keperawatan

Selain Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, terdapat undang – undang dan peraturan lain yang mengatur atau yang berkaitan dengan keperawatan. Pada Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan bahwa penyembuhan penyakit dan pemuihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggung jawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02. 02/ Menkes/ 148/ I/ 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan menjelasakan bahwa setiap perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP (Surat Izin Praktik Perawat) yang berlaku selama STR (Surat Tanda Registrasi) masih berlaku. Dalam menjalankan praktik mandiri, perawat wajib memasang papan nama praktik keperawatan. Pada peraturan inipun menjelasakan bahwa perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan dapat memberikan obat bebas dan/ atau obat bebas terbatas. Dalam melaksanakan praktik, perawat wajib memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien/ klien dan pelayanan yang dibutuhkan dan meminta persetujuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan. Sanksi yang diberikan atas pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik ini berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan/ atau pencabutan SIPP.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/ Menkes/ 148/ I/ 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan menjelaskan bahwa Surat Izin Praktik Perawat (SIPP) merupakan bukti tertulis pemberian kewenang untuk menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan berupa praktik mandiri sedangkan penambahan perubahan peraturan ini menerangkan bahwa bukti tertulis pemberian kewenangan  untuk menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri adalah Surat Izin Kerja Perawat (SIKP). Ada pengertian yang diubah juga dalam peraturan sebelumnya yang dijelaskan pada peraturan ini yaitu mengenai obat bebas dan obat terbatas. Obat bebas yang dapat diberikan perawat kepada klien adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan obat bebas terbatas yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pengembagan Jenjang Karir Profesional Perawat Klinis menjelaskan bahwa keberhasilan pemberian asuhan keperawatan dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme perawat melalui pengembangan karir perawat melalui penempatan perawat pada jenjang yang sesuai dengan komptensinya. Jenjang karir profesional merupakan sistem untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme, sesuai dengan bidang pekerjaan melalui peningkatan kompetensi. Jenjang karir merupakan jalur mobilitas vertikal yang ditempuh melalui peningkatan kompetensi, dimana kompetensi tersebut diperoleh dari pendidikan formal berjenjang, pendidikan informal yang sesuai/relevan maupun pengalaman praktik klinis yang diakui. Dengan arti lain, jenjang karir merupakan jalur untuk peningkatan peran perawat profesional di sebuah institusi. Dalam penerapannya, jenjang karir memiliki kerangka waktu untuk pergerakan dari satu level ke level lain yang lebih tinggi dan dievaluasi berdasarkan penilaian kinerja. Pengembangan karir profesional perawat mencakup empat peran utama perawat yaitu, Perawat Klinis (PK), Perawat Manajer (PM), Perawat Pendidik (PP), dan Perawat Peneliti/Riset (PR). Perawat Klinis (PK) yaitu, perawat yang memberikan asuhan keperawatan langsung kepada klien sebagai individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Perawat Manajer (PM) yaitu, perawat yang mengelola pelayanan keperawatan di sarana kesehatan, baik sebagai pengelola tingkat bawah (front line manager), tingkat menengah (middle management), maupun tingkat atas (top manager). Perawat Pendidik (PP) yaitu, perawat yang memberikan pendidikan kepada peserta didik di institusi pendidikan keperawatan. Perawat Peneliti/Riset (PR) yaitu, perawat yang bekerja di bidang penelitian keperawatan atau kesehatan. Beberapa Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta sudah mengembangkan jenjang karir sesuai dengan kebutuhannya masing – masing meskipun belum mengarah pada pengembangan jenjang karir profesional (profesional career ladder). Hal ini disebabkan karena belum adanya acuan nasional tentang pengembangan karir profesional bagi perawat, disisi lain pengembangan karir perawat di Pelayanan Primer khususnya Puskesmas belum banyak diatur. Pengembangan karir pada saat ini lebih menekankan pada posisi/jabatan baik struktural maupun fungsional (job career) sedangkan pengembangan karir profesional (profesional career) berfokus pada pengembangan jenjang karir profesional yang sifatnya individual.

2.4.Kelalaian dan Malpraktik

Menurut Guwandi, malpraktek adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek, tetapi didalam malpraktek tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat beberapa definisi dibawah ini ternyata bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada negligence. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktekpun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (mens rae, guilty mind). Sedangkan arti negligence lebih berintikan kesengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh, sembrono, sembarangan, tak peduli terhadap kepentingan orang lain. Namun akibatnya yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Harus diakui bahwa kasus malpraktek murni yang berintikan kesengajaan (criminal malpractice) dan yang sampai terungkap di pengadilan Pidana tidaklah banyak. Demikian pula di luar negeri yang tuntutannya pada umumnya bersifat Perdata atau ganti kerugian namun perbedaannya tetap ada. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktek dalam arti luas dapat dibedakan antara tindakan yang dilakukan :
1.      Dengan sengaja (doluz, Vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh Peraturan Perundang-Undangan. Dengan kata lain: malpraktek dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar, dan sebagainya.
2.      Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien, karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal (abandonment).
Perbedaan yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif yang dilakukan, misalnya pada malpraktek (dalam arti sempit) tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan atau tak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku, sedangkan pada kelalaian : tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul itu disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendak.

2.4.1        Kelalaian

Kelalaian adalah kegagalan untuk merawat oleh perawat dalam keadaan atau lingkup yang sama (Infolaw, 2008). Kelalaian (pelanggaran tugas) adalah kegagalan seseorang untuk memberikan perawatan seperti pada orang yang wajar dan biasanya digunakan dalam keadaan yang sama. Kelalaian dapat diartikan lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat yang ditimbulkan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Namun apabila kelalaian tersebut menimbulkan kerugian materi atau mengakibatkan cidera bahkan meninggal dunia maka dapat diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan criminal.
Agar pengadilan dapat memutuskan bahwa perawat dikatakan lalai apabila unsur-unsur berikut harus dibuktikan oleh penggugat:
  1. Tugas perawatan
Ketergantungan seseorang terhadap pengetahuan dan keahlian perawat menciptakan hubungan khusus yang memberi tugas hukum bagi perawat untuk memberikan perawatan yang sesuai. Perawat tidak memiliki kewajiban untuk mengobati setiap orang yang mereka temui tapi jika seseorang memerlukan keterampilan dan pengetahuan profesional mereka, maka sebuah kewajiban hukum dapat ditegakkan.
  1. Pelanggaran Standar Keperawatan
Pengadilan akan membuat keputusan hukum tentang asuhan keperawatan yang sesuai.  Penentuan pengadilan tentang apa yang bisa diharapkan dari kompetensi, kewaspadaan perawat dalam situasi yang sama akan didasarkan pada bukti yang ditunjukkan oleh para pihak penuntut. Contoh dari bukti ini meliputi: rekam medik pasien; standar praktik profesional ; kebijakan kelembagaan; dan kesaksian tentang ketersediaan peralatan dan personil. Keahlian keperawatan khusus dapat menyebabkan standar perawatan yang lebih tinggi diberlakukan.
  1. Kerusakan yang mungkin terjadi disebabkan oleh pelanggaran dalam standar perawatan.
Penggugat harus menanggung kerugian yang sebenarnya dan membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan lalim perawat tersebut atau kelalaian. Seorang perawat tidak akan bertanggung jawab jika kerugian tersebut tidak dapat diantisipasi secara wajar.
  1. Kerusakan
Pengadilan akan memerintahkan sejumlah kompensasi, yang disebut sebagai pengganti kerusakan yang harus dibayarkan kepada penggugat oleh tergugat jika penggugat telah membuktikan unsur-unsur yang tercantum di atas, serta nilai dari kerugian yang diderita.
(NN, 2008)

2.4.2        Malpraktek

Malpraktik adalah tipe kelalaian yang spesifik dimana standar perawatan tidak terpenuhi. (Ake, 2002). Malpraktik tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Ake, 2002). Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian. Malpraktik Iebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
1            Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah:
Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan;
2            Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya (negligence);dan
3            Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Vestal, K.W. (1995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila penggugat dapat menunjukkan hal hal di bawah ini :
1.        Duty—Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukkan bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
2.        Breach of the duty—Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dan .apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
3.        Injury—Seseorang mengalami cedera (injury) atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelangg aran. Keluhan nyeri, adanya penderitaan, atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
4.        Proximate caused—Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien. (Ake, 2002)

2.5.Saksi Ahli

Seorang saksi ahli, saksi profesional atau ahli hukum adalah saksi yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, keterampilan, atau pengalaman diyakini memiliki keahlian dan khusus pengetahuan dalam mata pelajaran. Pendapat tentang bukti atau fakta masalah dalam lingkup keahliannya, disebut sebagai pendapat ahli yang digunakan sebagai bantuan kepada pencari fakta. Saksi ahli dapat juga memberikan bukti ahli tentang fakta-fakta dari keutamaan keahliannya. Dalam undang – undang Skotlandia, Davie (1953) seorang hakim dari Edinburgh memberikan kewenangan yang mana saksi memiliki pengetahuan atau keterampilan tertentu di daerah sedang diperiksa oleh pengadilan dan telah dipanggil ke pengadilan untuk menjelaskan tentang daerah itu untuk kepentingan pengadilan, saksi yang dapat memberikan bukti pendapatnya tentang ranah keahliaanya. Aturan atau standar untuk menjadi saksi ahli sesungguhnya tidak ada kode formal yang berlaku. Namun sejumlah asosiasi profesional memberikan pedoman menjadi saksi ahli yang berlaku bagi anggota mereka, tetapi pedoman seperti itu jarang dan kurang keseragamannya. Tak satu pun dari kode etik yang menunjukkan saksi ahli tidak etis. Sebaliknya, saksi ahli dimaksudkan untuk menyediakan keterangan – keterangan yang lebih jelas sesuai dengan keilmuannya sehingga dengan demikian dpat meopang kepercayaan public terhadap sistem hukum. Berikut Beberapa Kode Etik Saksi Ahli (Salju JN & Weed R, 1997) :
1.      Ketidakberpihakan Ahli (Expert Impartiality)
Saksi ahli harus setiap waktu melayani dengan independensi dan objektivitas, tanpa memperhatikan konsekuensi ke klien. Seorang saksi ahli memihak dan wajib membantu pengadilan pada hal-hal yang relevan dalam wilayah keahliannya. Seorang saksi ahli harus sepenuhnya bekerja sama tapi tetap independen dan profesional dan tidak menjadi advokat klien. Seorang saksi ahli akan menyajikan gambaran lengkap yang relevan dengan kasus dan pendapat ahli.
2.      Kerahasiaan (Confidentiality)
Saksi ahli harus berusaha untuk memahami aturan kerahasiaan yang berlaku untuk kasus dan yurisdiksi di mana ahli diminta keterangannya. Seorang saksi ahli harus mengasumsikan bahwa semua komunikasi dengan klien atau dengan penasihat penahan dapat dikenakan pengungkapan melalui penemuan dan kesaksian, kecuali diinstruksikan sebaliknya dengan mempertahankan pengacara.
3.      Biaya (Fees)
Saksi ahli berhak atas penggantian yang adil bagi semua pekerjaan yang dilakukan.  Seorang ahli dapat mengenakan biaya berdasarkan penagihan per jam dan dapat membebankan biaya tetap diberikan itu berdasarkan nilai wajar dari pekerjaan. Seorang saksi ahli tidak harus kontrak untuk atau menerima biaya yang tergantung pada hasil kasus. Seorang saksi ahli akan tetap bebas dari kecurangan keuangan yang mungkin mengganggu kemampuan untuk bersaksi jujur dan tidak memihak.
4.      Komunikasi Ex Parte (Ex Parte Communications)
Seorang ahli tidak akan berhubungan dengan pengacara kecuali melalui proses penemuan formal dan prosedur hukum. Seorang saksi ahli tidak boleh terlibat dalam komunikasi ex parte dengan hakim atau jaksa dalam sebuah kasus.
5.      Konflik Kepentingan (Conflicts of Interest)
Dapat dikatakan etis jika seorang ahli memberikan pendapat secara logis dan konsisten serta dapat dijelaskan dengan lengkap. Seorang saksi ahli harus mengungkapkan kepentingan ahli mungkin dalam kasus maupun hasilnya.
6.      Profesionalisme (Professionalism)
Seorang ahli hanya akan terlibat dalam wilayah keahliannya saja yaitu kompetensi dan pengetahua.  Seorang ahli tidak akan diakui menjadi saksi ahli jika ahli masihs memiliki pengetahuan dan pengalaman yang terbatas. Seorang ahli harus memastikan bahwa semua tes, analisis dan operasi lainnya yang mengarah ke kesimpulan dan opini yang didasarkan pada prosedur yang memadai dan diterima dalam profesi. Seorang saksi ahli tidak boleh menyembunyikan atau menghancurkan dokumen atau bukti yang ditemukan. Seorang ahli tidak boleh sengaja memberikan pendapat atau kesaksian yang tidak benar atau menyesatkan.


BAB III

ANALISIS KASUS


3.1      Kasus

Pada hari jumat (30 Juni 2017), Tn.F mengalamai sakit demam. Oleh karenanya dia dibawa oleh orang tuanya ke rumah salah seorang perawat puskesmas yang berinisial IW untuk berobat. IW dikenal sebagai perawat puskesmas yang sebagian besar masyarakat pergi berobat ke IW. Tn. F diberi tiga jenis obat oleh perawat IW namun demam Tn. F belum juga turun sehingga keesokan harinya Tn.F kembali berobat ke perawat IW. Pada pengobatan kedua, Tn.F diberikan suntikan dan satu jenis obat untuk mengganti salah satu dari tiga jenis obat sebelumnya. 15 menit setelah minum obat tersebut, tubuh Tn.F mengalami bintik – bintik merah dan wajah serta bibir membengkak. Kedua orang tua Tn.F langsung membawa Tn.F ke puskesmas dan mendapat rujukan ke RS. Tn.F dirawat di RS tersebut kurang dari 15 hari. Selama perawatan di RS, kondisi Tn.F semakin memburuk dengan kulit sekujur tubuh melepuh hingga Tn.F menghembuskan nafas terakhir  (17 Juli 2017).  Orang tua korban melaporkan kasus ini sebagai malpraktik oleh oknum perawat berinisial IW karena melakukan tindakan pengobatan yang mengakibatkan anaknya (Tn.F) meninggal dan pelanggaran membuka praktik tidak berplang. Kasus ini dilaporkan ke Polda Lampung dengan nomor laporan LP/718/B-1/ VIII/ 2017/ POLDALAMPUNG/ RESLU (www.kupastuntas.com)

3.2      Analisa Kasus
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua tuntutan dari keluarga klien kepada perawat IW. Pertama adalah mengenai pemberian obat yang keluarga yakini sebagai penyebab utama atau asal muasal keadaan Tn.F semakin parah dan akhirnya meninggal dunia dan tuntutan kedua adalah tidak adanya papan praktik perawat yang dipasang perawat IW di rumahnya.
Dari kedua tuntutan yang dilayangkan keluarga Tn.F kepada perawat IW, jika dilihat dari peraturan perundang – undangan yang berlaku dapat dianalisa sebagai berikut.


1.      Hukum Perdata
a)      pasal 1365 KUH Perdata: perbuatan melawan hukum. Unsur-unsurnya meliputi perbuatan, melanggar hukum, kerugian, ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian (teori conditio sine qua non dan teori adequate veorzaaking), ganti rugi.
b)      Pasal 1234 KUH Perdata: wanprestasi (titik beratnya adalah pada hasil yang telah diperjanjikan).
Cara pembuktiannya  yaitu bila menyimpang dari standar, artinya ada kelalaian meskipun hanya kelalaian ringan, hubungan kausal (kausalitas) antara tindakan medis dengan kerugian akibat tindakan tersebut, ada kerugian finansial.
c)      Pasal 1367 KUH Perdata : seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
2.      Hukum Pidana
a)      Pasal 359 KUHP: kelalaian yang menyebabkan kematian
b)      Pasal 360 KUHP: kelalaian yang menyebabkan luka berat
Cara pembuktiannya :
·         Apakah tindakan asuhan keperawatan menyimpang dari standar?
·         Apakah ada kelalaian berat yang menyebabkan luka berat?
·         Apakah ada kelalaian berat yang menyebabkan pasien meninggal dunia?
Namun perlu diperhatikan dan dipertimbangkan bahwa kegagalan tindakan tidak identik dengan malpraktik karena mayoritas tindakan bersifat inspanningverbintennis dan adanya beberapa faktor yang berpotensi muncul saat tindakan, di antaranya risiko medis, kecelakaan medis, dan contributory of negligence. Dalam kasus ini perlu diselidiki dahulu jenis obat yang diberikan oleh perawat IW kepada pasien Tn. F. Apakah obat tersebut termasuk pada golongan obat yang boleh diberikan perawat kepada pasien sesuai Undang-Undang Praktik Keperawatan Mandiri. Jika jenis obat-obatan yang diberikan perawat tersebut termasuk golongan obat yang boleh secara legal diberikan perawat maka kasus ini dapat digolongkan pada kejadian inspanningverbitennis. Dimana kondisi pasien pasca pemberian tindakan keperawatan tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianggap malpraktik apabila pasiennya mengalami kondisi fatal.
Sebelum melakukan tindakan keperawatan yang perlu dipastikan adalah:
a.       Apakah telah dilakukan pemberian informasi (inform) tentang prosedur beserta efek samping yang mungkin terjadi dan pasien telah menyetujui (consent) ?
b.      Apakah tindakan sudah dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) ?
Bila kedua pertanyaan tersebut sudah dilakukan dengan benar maka efek samping atau hasil dari tindakan keperawatan bukan lagi dipandang sebagai indikator kebenaran atau kesalahan tindakan.  Hasil dari tindakan keperawatan merupakan respon tubuh manusia yang terdiri dari milyaran sel dengan segala kompleksitas yang unik dan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya meskipun diberikan intervensi yang sama. Oleh karena itu, tidak tepat ketika kasus ini dikaitkan dengan undang-undang perlindungan konsumen yang lebih menitikberatkan pada aspek ekonomi, jual beli, barang, dan benda yang hasil akhirnya merupakan indikator dari kebenaran atau kesalahan tindakan tertentu namun bukan tindakan medis atau keperawatan. Perawat harus memberikan informasi tentang tindakan asuhan keperawatan yang akan diberikan kepada pasien. Kemudian pasien menyatakan persetujuannya setelah mendapat penjelasan secara lengkap. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 bahwa isi informasi yang disampaikan adalah berupa diagnosis, tata cara tindakan, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis, perkiraan pembiayaan. Dalam kasus ini perlu dikaji apakah sebelum melakukan tindakan injeksi kepada pasien perawat sudah melakukan informed consent.  
Tindakan pengobatan merupakan tindakan medis. Namun di dalam Undang-Undang Keperawatan No. 38 Tahun 2014 terdapat golongan obat tertentu yang boleh diberikan perawat pada kondisi khusus, misalnya gawat darurat (mengancam nyawa), atau jauh dari fasilitas pengobatan, dan tidak adanya tenaga medis di sekitar tempat tinggal pasien. Pada kasus ini perlu dikaji elemen-elemen tersebut. Apakah memenuhi kaidah pelayanan sesuai standar atau adakah kondisi kekhususan.


3.      Pasal 30 Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Disebutkan bahwa dalam ayat 1 : “Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, perawat berwenang:  Poin (j) : melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas. Dalam kasus disebutkan bahwa perawat IW memberikan pengobatan kepada pasien Tn. F. Namun tidak diketahui jenis obat yang diberikan apakah golongan obat bebas atau obat bebas terbatas. Sehingga perlu digali informasi terkait hal ini.
4.      Pasal 33 Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Disebutkan bahwa dalam ayat 1: “Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 huruf f merupakan penugasan pemerintah yang dilaksanakan pada keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah tempat perawat bertugas”. Ayat 4: “Dalam melaksanakan tugas pada keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perawat berwenang:
a.       Melakukan pengobatan untuk penyakit umum dalam hal tidak terdapat tenaga medis;
b.      Merujuk pasien sesuai dengan ketentuan pada sistem rujukan; dan
c.       Melakukan pelayanan kefarmasian secara terbatas dalam hal tidak terdapat tenaga kefarmasian.
Dalam undang-undang tersebut perawat boleh melakukan praktik pengobatan pada praktik mandirinya sesuai dengan persyaratan tertentu. Pada kasus, perawat IW melakukan praktik pengobatan. Informasi yang perlu dikaji adalah apakah di daerah sekitar tempat tinggal perawat tidak ada dokter dan tenaga kefarmasian.
5.      Dari segi legalitas perizinan praktik mandiri perawat diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/146/I/2010
Perizinan :
a.       pasal 2 ayat (3): Perawat yang menjalankan praktik mandiri adalah berpendidikan minimal DIII keperawatan.
b.      Pasal 3 ayat (1): Setiap perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP.
Dalam hal ini dikecualikan bagi perawat yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri. SIPP berlaku selama STR masih berlaku.
c.       Pasal 8 ayat (7): perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.
d.      Pasal 10 ayat (2): bagi perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
e.       Pasal 10 ayat (4): daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
f.       Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terdapat dokter, kewenangan perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Dari Permenkes di atas terlihat bahwa untuk dapat melakukan praktik keperawatan mandiri, seorang perawat memerlukan persyaratan tertentu. Perawat harus memiliki SIPP (Surat Izin Praktik Perawat). Untuk mendapatkan SIPP, perawat harus memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) yang masih berlaku. STR harus diperpanjang setiap 5 tahun sekali. Untuk memperoleh STR, perawat harus mengikuti uji kompetensi dan dinyatakan lulus uji tersebut. Dalam kasus, perlu dikaji apakah perawat IW telah memiliki SIPP yang merupakan bentuk izin resminya dalam melakukan praktik mandiri di rumah. Perlu dikaji juga terkait wiilayah yang dimaksud pada pasal 10 ayat (4) dan ayat (2) apakah perawat IW berada pada lingkup wilayah tersebut.
Berikut ini permenkes yang secara khusus mengatur tentang tata cara registrasi perawat. yaitu Permenkes RI Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan
a.       Pasal 2 ayat (1): setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan praktik dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari pemerintah.
b.      Pasal 2 ayat (2): untuk memperoleh izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan STR.
c.       Pasal 2 ayat (4): untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tenaga kesehatan harus memiliki sertifikat kompetensi.
Pasal 3 ayat (1): sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) diberikan kepada peserta didik setelah dinyatakan lulus uji kompetensi oleh perguruan tinggi bidang kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika dilihat dari tuntutan pertama mengenai pemberian obat yang dilakukan perawat IW sebagai tindakan kelalaian yang dilakukan tanpa kesengajaan. Perawat IW dalam kasus ini mungkin saja tidak menjelaskan efek samping dari obat yang disuntikkan, tidak mengkaji secara lengkap apakah pasien ada riwayat alergi, dan bisa jadi perawat IW mengerjakan tindakan seperti kebiasaan  yang biasa dilakukan dan mungkin selama ini belum ada masalah yang terjadi. Ditambah lagi dari kasus ini diinformasikan bahwa perawat IW sering memberi pengobatan kepada pasien yang datang ke rumah perawat IW.  Dilihat dari segi kelalaian, bahwa perawat tersebut melakukan kelalaian dengan tidak teliti, seharusnya berkolaborasi dengan medis dalam pemberian terapi. Lebih lanjut lagi pada saat kunjungan kedua dari Tn.F terlihat bahwa perawat langsung memberikan suntikan dan tambahan obat.  Dan juga perawat tidak mengkaji tentang ada atau tidaknya alergi yang dimiliki pasien, baik dari alergi makanan maupun obat. Apabila tidak ada perkembangan dari kesehatan pasien, maka sebaiknya perawat berkolaborasi atau merujuk pasien pada fasilitas kesehatan yang lebih baik. Dalam kasus tersebut jika dinyatakan perawat tidak memenuhi standar perawatan dan melanggar dari ketentuan ketentuan yang ada, yaitu perawat seharusnya melakukan skin test terlebih dahulu dalam pemberian injeksi antibiotik. Tetapi apabila obat yang diberikan bukan antibiotik, sebaiknya perawat terlebih dahulu mengkaji tentang alergi yang dimiliki oleh pasien, baik dari obat maupun makanan. Diduga pasien mengalami Stephen Johnson Syndrom dan pasien tidak tertolong lagi maka perawat tersebut dianggap telah melakukan malpraktik.
Pada tuntutan kedua yaitu mengenai pelanggaran yang dilakukan perawat IW karena tidak memasang papan praktik di rumahnya padahal perawat IW telah membuka praktik perawat di rumahnya. Hal ini dapat dikatakan melanggar peraturan perundang – undangan dimana mengenai penggunaan papan praktik perawat ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02. 02/ Menkes/ 148/ I/ 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan menjelasakan bahwa dalam menjalankan praktik mandiri, perawat wajib memasang papan nama praktik keperawatan.


Jika pada kasus tersebut menggunakan saksi ahli dari profesi perawat maka sebagai saksi ahli perawat tersebut perlu memberikan penjelasan yang lengkap terhadap kasus diatas. Sebagai saksi sahli, perawat perlu menempatkan dirinya jika berada diposisi perawat IW tindakan apa yang seharusnya dilakukan perawat IW sesuai dengan peraturan dan perundang – undangan yang berlaku yang saksi ahli ketahuai berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya dibidang tersebut. Sebagai saksi ahli, perawat tersebut tidak boleh menunjukkan keberpihakkan. Perawat sebagi saksi ahli harus objektif dalam memberikan keterangan dan wajib membantu pengadilan sesuai dengan keahliannya. Perawat sebagai saksi ahli harus sepenuhnya bekerja sama tapi tetap independen dan profesional dan tidak menjadi advokat bagi keluarga Tn. F maupun teman sejawatnya (perawat IW).  Perawat saksi ahli harus menyajikan gambaran lengkap yang relevan dengan kasus seta keterangan yang diberikan perawat saksi ahli harus logis dan konsisten. Perawat saksi ahli tidak boleh sengaja memberikan pendapat atau kesaksian yang tidak benar atau menyesatkan mengenai kasus Tn.F.



BAB IV

KESIMPULAN


Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum adalah regulasi ketatalaksanaan sosial yang dikembangkan untuk melindungi masyarakat. Hukum juga diartikan sebagai suatu aturan yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan orang lain di masyarakat dan dengan pemerintahan. Dalam menjalankan praktiknya, profesi keperawatan perlu memahami terkait peraturan dan perundang – undangn yang mengatur atau yang berkaitan dengan praktik keperawatan sebagai pemberi asuhan keperawatan di tatanan pelayanan kesehatan. Ada banyak peraturan dan perundangan – undangan yang terkait dengan keperawatan. Di Indonesia, profesi perawat sudah memiliki undangn – undang tersendiri yaitu Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang didalamnya mengatur mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif.
Selain undang – undang ini ada banyak perundang – undangan dan peraturan lainnya yang menyangkut keperawatan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02. 02/ Menkes/ 148/ I/ 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan ; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/ Menkes/ 148/ I/ 2010 ; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pengembagan Jenjang Karir Profesional Perawat Klinis ; Permenkes RI No. 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan ; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Kelalaian adalah kegagalan untuk merawat oleh perawat dalam keadaan atau lingkup yang sama (Infolaw, 2008). Kelalaian (pelanggaran tugas) adalah kegagalan seseorang untuk memberikan perawatan seperti pada orang yang wajar dan biasanya digunakan dalam keadaan yang sama. Kelalaian dapat diartikan lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat yang ditimbulkan bukanlah tujuannya. Malpraktik adalah tipe kelalaian yang spesifik dimana standar perawatan tidak terpenuhi. (Abbas, 2008). Malpraktik tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional.
Sebagai saksi ahli, seorang perawat harus memperhatikan kode etik saksi ahli secara umum, meskipun tidak ada kode etik saksi ahli dalam masing – masing disiplin ilmu, yaitu Ketidakberpihakan Ahli (Expert Impartiality), Kerahasiaan (Confidentiality), Biaya (Fees), Komunikasi Ex Parte (Ex Parte Communications), Konflik Kepentingan (Conflicts of Interest), Profesionalisme (Professionalism).
Pada kasus dalam BAB Pembahasan, jika dilihat dari tuntutan pertama mengenai pemberian obat yang dilakukan perawat IW sebagai tindakan kelalaian yang dilakukan tanpa kesengajaan. Jika kelalaian ini  ada unsur kesengajaan melanggar standar prktik keperwatan dalam memberikan asuhan keperawatan maka dapat digolongkan sebagai malpraktik. Pada tuntutan kedua yaitu mengenai pelanggaran yang dilakukan perawat IW karena tidak memasang papan praktik di rumahnya padahal perawat IW telah membuka praktik perawat di rumahnya. Hal ini dapat dikatakan melanggar peraturan perundang – undangan dimana mengenai penggunaan papan praktik perawat ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02. 02/ Menkes/ 148/ I/ 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan menjelasakan bahwa dalam menjalankan praktik mandiri, perawat wajib memasang papan nama praktik keperawatan.








DAFTAR PUSTAKA


Aiken, T. D. (2004). Legal, ethical, and political issues in nursing. 2nd ed.Philadelphia: F. A. Davis.
Ake, Julianus, (2002), Malpraktik dalam Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 
Infolaw. (1998). Vicarious Liability Vol 7, Canada : Canadian Nurse Protective Society
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
Kitab Undang – Undang Hukum
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Medis
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/146/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/ Menkes/ 148/ I/ 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan
Peraturan Menteri kes RI Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pengembagan Jenjang Karir Profesional Perawat Klinis
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Salju, JN, & Weed, R. (1997). Masalah kesehatan mental forensik di Georgia: Peran saksi ahli. Georgia : Journal of Konselor Profesional
NN, (2008). Nursing Liability and Malpractice. Florida : Altamonte Springs
www.kupastuntas.com

Tidak ada komentar: