BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan etis menjadi permasalahan
yg sering terjadi di berbagai tatanan praktik profesional, termasuk di bidang
dunia keperawatan. Keperawatan sebagai profesi yang memberikan pelayanan
kesehatan langsung baik individu, keluarga, maupun masyarakat seringkali terjebak di dalam situasi konflik moral yang sangat
rumit, sehingga memerlukan pengetahuan tentang kegunaan dan keterbatasan moral
yang lebih dalam agar dapat menghadapinya.
Etika merupakan suatu
studi sistematis terhadap perilaku dan tindakan individu yang seharusnya
dilakukan dengan memperhatikan diri sendiri, kebutuhan orang lain, dan
lingkungan; etika menjustifikasi apa yang benar atau baik dan merupakan suatu
studi bagaimana kehidupan seseorang dan hubungan relasional yang seharusnya,
tidak peduli siapapun mereka. Etika merupakan suatu sistem tentang perilaku dan
prinsip moral yang mengarahkan tindakan seseorang dengan memperhatikan apa yang
benar dan salah dan juga memperhatikan pribadi seseorang dan komunitas dalam
lingkup besar (Marquis&Huston, 2012).
Perawat sering sekali
diperhadapkan pada situasi dimana mereka diharapkan menjadi perantara bagi
pasien, dokter, dan organisasi secara simultan, dimana setiap bagian tersebut
kemungkinan memiliki konflik kebutuhan, keinginan, dan tujuan. Sehingga untuk
dapat mengambil keputusan etis yang tepat, perawat memerlukan pengetahuan
tentang prinsip dan kerangka kerja etik (Marquis&Huston, 2012).
Banyak masalah
etis yang berhubungan langsung dengan persyaratan pelayanan perawatan yang
dilakukan terhadap pasien. Persyaratan itu semakin penting artinya terkait
dengan semakin maju baik ilmu kedokteran maupun teknologi. Sehingga pembatasan
sumber-sumber finansial terhadap perawatan kesehatan, perubahan-perubahan dalam
masyarakat dan penekanan-penekanan lainnya yang berkaitan dengan otonomi
individu pun menjadi sangat penting artinya (Swanburg, 2012).
Perawat dapat
mengimplementasikan kebijakan pimpinan yang menyangkut tanggung jawab moral
dalam perawatan kesehatan. Perawat bertanggung jawab dalam pengkajian masalah
perawatan pasien, dalam memenuhi standar kualitas, mengambil keputusan yang
berhubungan dengan pasien dan didasarkan pada prinsip etis yang sehat,
pengembangan kebijakan, mekanisme yang banyak mempertanyakan masalah
nilai-nilai kemanusiaan, hal-hal lainnya yang berkaitan dengan masalah-masalah
sosial, dilema yang dapat mempengaruhi kebutuhan akan pelayanan (Swanburg,
2012).
Untuk menjawab
permasalahan-permasalahan etis ini, maka disusun makalah ini yang diharapkan
dapat memberikan pengetahuan bagi perawat sekaligus memberikan masukan dalam
menghadapi dilema etis saat menjalankan pelayanan asuhan keperawatan/praktik
asuhan keperawatan. Dimana makalah ini akan dimulai dengan memaparkan tentang
sejarah terbentuknya etik dan moral dalam kehidupan manusia, diikuti penjelasan
munculnya teori tentang etika kepedulian pada profesi perawat sebagai sentral
pelayanan asuhan keperawatan, serta bagaimana akhirnya perawat menyatakan
dirinya sebagai salah satu bidang profesional. Oleh karena merupakan salah satu
bidang profesional, makalah ini juga akan memaparkan etik dalam keperawatan
(perangkat, kode etik, dan prinsip etik) sebagai landasan bagi perawat didalam
menghadapi persoalan etis dalam menjalankan pelayanan asuhan keperawatan untuk
akhirnya dapat menentukan / mengambil keputusan dilematis tersebut.
1.2
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
a.
Menelaah dan
menganalisa dasar pembentukan etik dan moral
b.
Menelaah dan
menganalisa etika kepedulian
c.
Menelaah dan
menganalisa keperawatan sebagai profesi (kontrol sosial, dimensi dan ciri
profesi)
d.
Menelaah dan
menganalisa etik dalam keperawatan (perangkat komite etik, kode etik, prinsip
etik)
e.
Menelaah dan
menganalisa keputusan etik dan standar keperawatan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.1 DASAR PEMBENTUKAN ETIKA DAN MORAL
1.1.1
Konsep Etik dan Moral
A.
Konsep Etik
1. Pengertian
Etik
Etik berasal dari kata Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti yaitu tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap,
cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan. Arti kata
etika (ta etha) menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles
(384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral ( Bertens, 2002).
Menurut Bertens (2002) etika adalah:
a.
Nilai-nilai (sistem
nilai) dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Yunani, etika agama
Budha. Jadi etika Yunani yang berarti sistem nilai yang berlaku di Yunani
dimana sistem nilai yang berlaku tiap individu maupun kelompok.
b.
Kumpulan asas atau
nilai moral (yang dimaksud adalah kode etik). Misalnya Kode Etik Keperawatan.
c.
Ilmu tentang yang baik
buruk, filsafat moral.
Ada beberapa
alasan mengapa etika perlu menurut Franz Magnis-Suseno :
a. Etika
diperlukan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan
moral.
b. Etika
membantu agar tidak kehilangan orientasi di tengah gelombang modernisasi
c. Etika
membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi baru dengan kritis dan
objektif agar tidak mudah terpengaruh
d. Etika
diperlukan oleh kaum agama menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan
mereka.
Dari penjelasan
di atas, penulis menyimpulkan bahwa etika adalah sutu nilai dan norma moral
yang menjadi pegangan bagi bagi setiap
kelompok maupun perorangan dalam mengatur tingkah lakunya baik atau buruk.
a.
Teori etika
Teori etikaterbagi menjadi dua
kategori utama yaitu teori normatif dan teori metaetika.Teori normatif
merupakan kategori yang lebih besar dan lebih substantif. Ini melibatkan
perumusan standar perilaku moral dan mengartikulasikan prinsip dan sanksi yang
mengatur perilaku tersebut. Teori meta etika, di sisi lain, adalah kategori
yang lebih kompleks yang menyelidiki makna istilah dan kritik etika bagaimana
pernyataan etis telah diverifikasi ini adalah kategori sekunder dimana teori
normatif ditinjau dan dikomentari. Dalam kapasitas ini, metaetika berfungsi
sebagai kekuatan intelektual di balik layar yang menawarkan kritik ketika
normatif etis terlalu jauh, atau ketika mereka gagal untuk menjelaskan prinsip-prinsip
moral. Mengingat hubungan ini, etika normatif dapat dibandingkan dengan
pengadilan yurisdiksi primer, sedangkan metaetika dapat dibandingkan dengan
pengadilan banding. Setiap tingkat memberikan manfaat
dari kontribusi pada yang lainnya.
1) Teori
Metaetika
Istilah meta berarti "setelah" atau 'di
luar' dan umum di antara filsuf ilustratif yang terbiasa membuat komentari
filosofis tentang semua aspek pengetahuan.metaetik dapat didefinisikan sebagai
studi tentang metode, bahasa, logika, struktur, dan penalaran yang digunakan
dalam tiba di, atau dalam membenarkan penilaian moral.
Perannya
adalah untuk mengevaluasi komentar tentang bagaimana sebuah prinsip dibenarkan.
Metaetik lebih langsung berkaitan dengan menganalisis arti istilah seperti baik
dan buruk dibandingkan dengan menilai tingkah laku itu sendiri. Metaetik
menghindari usaha untuk mendefinisikan standar perilaku moral, perhatian utama
mereka adalah mengevaluasi kualitas dan validitas klaim oleh teori normatif dan
memeriksa cara klaim semacam itu dipertimbangkan. Dalam
kontras dengan tingkat pertama, menilai teoretikus normatif, methaetik masuk
dalam tingkat kedua. Dengan demikian, hubungan antara etika normatif dan
metaetika mirip dengan antara pengadilan negeri dan pengadilan banding dalam sistem
peradilan.
Teori metaetika pada gilirannya dibagi dalam dua subkategori,
berdasarkan Pada apakah seseorang percaya bahwa penilaian moral dilakukan atau
tidak ada sebagai kenyataan. Akhirnya, perlu ditekankan bahwa bidang etika
normatif dan methaethic saling terkait erat karena masing-masing berkontribusi
terhadap perkembangan yang lain. Akibatnya, kebanyakan filsuf filsuf saat ini
tampaknya mengejar filsafat jalur ganda, menggabungkan kedua pendekatan dengan
berbagai cara, dengan penekanan, pada satu pendekatan atau pendekatan lainnya
(Souryal, 2011).
Dari teori metaetik, penulis menyimpulkan bahwa filsafat
dalam teori ini lebih dianggap sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan
evaluator. Teori ini berperan dalam mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang
dipercayai dan dibenarkan terutama oleh teori normatif. Para filsuf dalam teori
ini akan melakukan penalaran pada standar ataupun istilah yang diakui baik dan
benar oleh teori normatif. Secara tidak langsung teori ini membantu dalam
perbaikan dan pembenahan kembali tentang prinsip-prinsip yang diakui tersebut.
2) Normatif
Bidang etika normatif terbagi menjadi dua sub kategori yang
cukup dapat dibedakan . Pembagian ini didasarkan pada apakah penekanan moral
diletakan diujung depan tindakan itu sendiri atau bagian belakang konsekuensi
aksi. Yang pertama di kenal teori deontologis dan yang terakhir sebagai teori
teleologis.
a) Teori
Deontologi
Deontologi berasal dar bahasa yunani ‘duty’ yang berarti kewajiban. Teori
deontologi menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari suatu tindakan
sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah. Suatu tindakan dinyatakan
benar apabila tidak ada maksud di belakangnya atau ada konsekuensi lain, maka
itu adalah benar. Contohnya membantu orang lain dianggap etika yang benar.
Fakta bahwa lebih baik melakukan kebaikan daripada melakukan kesalahan. Kenyataan
bahwa bantuan nantinya bisa terbukti berbahaya tidak membuat perbedaan dalam
persamaan moral.
Tindakan
yang benar, tetap benar bahkan jika hasilnya buruk atau jika dilakukan karena
alasan yang salah. Dengan tepat, mengatakan yang sebenarnya adalah mengutuk
dengan baik tanpa mempertimbangkan konsekuensi buruk yang mungkin
ditimbulkannya. Selanjutnya, tindakan yang dianggap benar harus bersifat
universal di mana saja dan kapanpun. Teori deontologis dibagi dalam dua
kategori :
-
Monistik; pertimbangan moralitas
didasarkan pada nilai tunggal kebaikan. Contoh kategori ini mencakup teori
hedonisme, yang menganggap bahwa kesenangan adalah satu-satunya yang baik dan
total kebaikan, dan teori kant berkewajiban sebagai satu-satunya kewajiban
dalam kehidupan.
-
Multipel ; teori deontologis dapat
berupa dualistik atau pluralistik, dalam kasus mana mereka didasarkan pada dua
atau lebih nilai kebaikan. Seperti pasangan yang menikah terdiri dari
tampan/cantik dan kaya,atau pluralisme yaitu kaya, cantik, dan bependidikan. Oleh
karena itu disimpulkan bahwa teori deontologi menilai nilai moral secara ketat
atas dasar tindakan itu sendiri, terlepas dari apa konsekuensi dari tindakan
itu yang mungkin terjadi. Dengan demikian, mereka merupakan sanksi yang tegas,
material, universal atau setidaknya memiliki efek yang menentukan pilihan
manusia. (Souryal, 2011).
Dari teori di
atas, penulis menyimpulkan bahwa teori deontologi menilai sesuatu yang
dikatakan bermoral atau tidak adalah dari tindakan itu sendiri. Tindakan
tersebut harus secara umum diakui bermoral dimanapun atau kapanpun. Apabila
secara universal atau umum sebuah tindakan yang sudah diwajibkan untuk
dilakukan, meskipun hasil dari tindakan tersebut tidak baik dan berbahaya,
tidak diperhitungkan oleh teori ini. Tindakan tersebut tetap dikatakan bermoral
oleh teori ini.
b) Teori
teleological
Kata teleologikal berasal dari bahasa yunani ‘teleois’
yang berarti konsekuensi atau membawa masalah sampai akhir tujuan atau tujuan.
Teori teleologis menentukan nilai moral dari hasil
suatu tindakan. Di sana, konsekuensi tindakan tersebut ditentukan tindakan
benar. Jika hasilnya bagus maka tindakannya benar jika hasilnya buruk dari
tindakan yang salah. Dengan demikian, dalam contoh sebelumnya, kebenaran
memukul pantat seorang anak adalah dalam mereformasi tingkah lakunya, hak untuk
berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan, memenjarakan seorang
penjahat adalah menghalangi orang lain melakukan kejahatan.
Di antara dua teoretik teleologis yang paling dikenal
adalah utilitarianisme dan keadilan sosial. Menurut teoriutilitarian, sebuah tindakan atau
kebijakan mungkin bersifat moral atau tidak bermoral hanya dalam hal
kapasitasnya untuk mencapai kebaikan terbesar bagi banyak orang. Oleh karena
itu, kebijakan yang menaikkan upah minimum atau meningkatkan manfaat jaminan
sosial sangat bermanfaat, karena dapat menguntungkan segmen populasi yang lebih
besar. Dengan cara yang sama, teori
keadilan sosial menegaskan bahwa moralitas utama ada pada masyarakat mana
saja yang mampu memaksimalkan kebebasan bagi semua warga tanpa mengorbankan
kebutuhan orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu.
Teori teleologi juga dibagi menjadi
dua subkategori, yaitu :
-
kualitas kebaikan ; teleologi
memberi peringkat pada tingkat kebaikan dalam hal hirarki berdasarkan
kualitasnya. Sebagai contoh, seperti kebaikan keadilan lebih tinggi daripada
kebaikan kesenangan. Dengan cara yang sama, kebaikan intrinsik kesenangan
adalah kualitas yang lebih tinggi daripada kekayaan non-intrinsik kekayaan.
Dengan demikian, tindakan yang meningkatkan nilai keadilan dan kebahagiaan
secara moral lebih unggul daripada yang memaksimalkan keuntungan ekonomi.
-
kedudukan/tempat kebaikan ; pada
subkategori kedua, kedudukan kebaikan, teleologi menentukan kebaikan suatu
tindakan dalam hal lokasinya. Di mana ia paling diuntungkan. Misalnya,
sementara teori egoisme dan utilitarianisme bersifat teleologis, keduanya
berbeda dalam hal jumlah penerima manfaat. Seorang egois akan menghargai
tindakan dalam hal jumlah kebahagiaan yang akan menimpanya. Sebaliknya, seorang
utilitiranists akan menghargai tindakan yang sama dalam hal jumlah orang yang
akan mendapatkan keuntungan darinya.
Secara
ringkas teori teleologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan didasarkan
pada moralitas konsekuensinya. Oleh karena itu, sebuah salam yang menghasilkan
konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah 'tidak bermoral' dan perbuatan
biasa-biasa saja yang menghasilkan konsekuensi bahagia adalah 'moral'.
Selanjutnya, teori teleologis menekankan bahwa pertimbangan moral harus
ditafsirkan dalam hal kepentingan masyarakat secara keseluruhan, karena
moralitas adalah agen kebahagiaan universal. (Souryal, 2011).
Penulis
menyimpulkan bahwa teori telologika lebih menekankan pada tujuan dan akhir dari
sutu tindakan. Apapun jenis tindakan yang dilakukan, tidak diperhatikan ataupun
dinilai. Tetapi tujuan maupun hasil dari tindakan itulah yang akan diniliai.
Suatu tindakan yang dianggap mempunyai sebuah tujuan/maksud yang baik, walaupun
tindakan itu berupa suatu tindakan kekerasan dan tidak bermoral, akan tetap
dianggap baik apabila tujuan dari tindakan itu adalah untuk kebaikan. Teori ini
juga menekankan pada hasil dari tindakan yang baik adalah untuk kepentingan dan
kebaikan secara universal atau untuk kepentingan masyarakat luas.
2. Pembagian
Etika
a. Etika
deskriptif
Etika
deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu,
dalam kebudayaan atau subkultural tertentu, dalam suatu periode sejarah karena
etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberikan penilaian.
b. Etika
normatif
Etika
normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya terhadap
norma etika. Etika normatif dibagi menjadi:
1) Etika
umum: memandang tema-tema umum
2) Etika
khusus: berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum ataswilayah perilaku
manusia yang khusus.
c. Meta
etika
Mempelajari
logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Setelah
mempelajari tiga cara untuk
mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang
moralitas dapat dibedakan pedekatan non filosofis dan pendekatan filosofis.
Pendekatan non filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan
filosofis bisa sebagai etika formatif dan sebagai metaetika atau etika
analitis. Dari sudut pandang lain etika dapat dibagikan juga ke dalam pendekatan
normative dan pendekatan non normatif. Dalam pendekatan normatif si peneliti
mengambil mengambil suatu posisi atau standpoint
moral: hal itu terjadi dalam etika normatif (bisa etika umum dan bisa juga
etika khusus).
B.
Konsep
Moral
1. Pengertian
Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Menurut
Bertens (2002), moralitas adalah ciri khas manusia yang tidak
dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang
tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dilakukan dan tidak pantas
dilakukan.
Etik dan moral tampil dalam tindakan manusia. Manusia itu
dinilai oleh manusia lainnya dalam tindakannya. Tindakan manusia dapat dinilai
dari berbagai aspek, misalnya penilaian sehat atau sakit, penilaian indah atau
tidak indah, penilaian baik atau buruk. Tindakan manusia dilakukan secara
sengaja dimana adanya pilihan dan tidak sengaja dimana situasinya tidak memungkinkan untuk memilih,
misalnya seseorang yang tidur mendengkur merupakan tindakan yang tidak sengaja.
Sasaran pandangan etik khusus pada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan
dengan sengaja (Poedjawiyatna, 2003).
Yang
Mempengaruhi nilai moral
a. Nilai
moral dengan agama
Setiap agama mengandung
ajaran moral yang menjadi pegangan bagi para pengikutnya.. Bila agama berbicara
tentang topik-topik etis, pada umumnya ia berkhotbah, artinya, ia berusaha
memberi motivasi serta inspirasi, supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan
norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman. Bila filsafat berbicara
tentang topik-topik etis, ia beragumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan
bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan
menunjukkan aasan-alasan rasional. Demikian juga ada perbedaan tentang
kesalahan moral. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya
orang beragama merasa bersalah dihadapan Tuhan, karena melanggar perintahNya.
Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah, pelanggaran prinsip etis
yang seharusnya dipatuhi. Karena itu di sini kesalahan moral pada dasarnya
adalah sebuah inkonsekuensi rasional.
b. Nilai
moral dengan hukum
Moral akan
mengawang-mengawang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat seperti terjadi hukum, khususnya hukum pidana. Contoh: jangan
mencuri, jangan membunuh, tidak saja merupakan larangan moral tapi
perbuatan-perbuatan itu dilarang menurut hukum. Baik hukum maupun moral
mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku
lahiriah saja, sedangkan moral juga menyangkut juga sikap batin seseorang.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara, seperti halnya
dengan hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku
sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para
individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain
masyarakat dapat mengubah hukum, tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
Masalah etika tidak bisa diputuskan dengan suara terbanyak. Moral menilai hukum
dan tidak sebaliknya.
C. Sejarah Pembentukan Moral dan Etika
Terbentuknya etika dan moral di masyarakat,
tidak terlepas dari perjalanan sejarah dari tokoh-tokoh filsafat mulai dari
abad Yunani purba sampai pada abad moderen. oleh karena itu, untuk mengetahui
dasar pembentukannya, perlu diikuti riwayat dan perjalanan dari tokoh-tokoh
filsafat tersebut.
1.
Abad Yunani
Secara
historis Etika sebagai usaha Filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di
lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama
tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia (Franz Magnis Suseno (1987:
14).
Pergaulan yang sering dilakukan di luar
yunani dengan para pedagang dan para koloni membuat mereka mengenal banyak
budaya di luar yunani seperti, tentang hukum, tata kehidupan dan lain-lain.
Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah miliknya, hasil pembudayaan Negara
tersebut benar- benar lebih tinggi? Karena tiada seorang pun dari Yunani yang
akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian diajukanlah pertanyaan, “Mengapa
begitu?” kemudian diselidikinya semua perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang
baru dari filsafat, yakni filsafat moral (filsafat kesusilaan) atau etik a (W.
Poespoproddjo,1999: 18).
a.
Socrates
Socrates
adalah ahli pikir pertama pada zaman keemasan dunia filsafat (470-399 SM).Socrates
tidak meninggalkan ajaran tertulis, sedang alam pikirannya terutama diketahui
melalui karya muridnya Plato. sokrates tidak menjelaskan secara langsung
tentang etika. Tetapi ajarnnya menjadi tonggak utama bagi ahli filsafat berikunya untuk menengembagkan
ajaran filsafat terutama etika dan moral. Socrates hidup pada masa dimana
sedang berkembangnya paham sofisme, yaitu paham yang merelativkan segala
sesuaitu. Mereka berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang kuat. Mereka
juga tidak mengakui adanya pengetahuan. Bagi kaum saofis, manusia menjadi
ukuran segalanya, kebenaran mutlak tidak ada, kebenaran hanya berlaku
sementara.
Hal
ini bertentangan dengan pemikiran Socrates. Socrates melihat bahwa kebenaran
itu bersifat obiektf dan bisa bersifat mutlak serta bersumber pada manusia itu
sendrii (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Dari situlah, Socrates mulai
menerapkan metoda dialectik-kritis yaitu dialog antar dua pandangan yang saling
bertentangan dan tidak mau menerima suatu pengertian begitu saja tanpa
mengujinya terlebih dahulu. Bagi Socrates
sebuah hidup yang tanpa diuji/dicaritahu adalah hidup yang tidak bernilai.
Dalam ajaran filsafatnya Socrates mendiskusikan pertanyaan secara umum tentang
pengetahuan, character, dan diskusi khusus tentang sifat alami seperti
kebaikan, keberanian dan kesederhanaan. Tujuan dari Socrates adalah supaya masyarakat bisa hidup kembali pada sifat alami atau kebajikan (Souryal, 2011).
b.
Plato
Plato
adalah tokoh filsuf besar kedua di zaman filsafat yunani. Plato tidak secara
gamblang menulis tentang etika. Plato menciptakan istilah ide. Tetapi di dalam
ajaranya, tersirat uraian-uraian tetang etika. Salah satu pernyataan plato yang
paling jelas berkaitan dengan etika dan moral adalah seorang individu akan
melaksanakan hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal
budi) terorganisasi secara terpadu dan laras. Menurut pluto hidup yang baik itu
memperliatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk didalamnya
kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan.
c.
Aristoteles
Aristoteles
adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf-filsuf besar dari zaman keemasan
filsafat yunani. Karya Aristoteles mulai terkenal pada abad XII dan XIII. Aristoteles
dikenal sebagai salah seorang ahli pikir yang terkenal pada masa itu dan yang menyebutkan
istilah etika yang tertuang di dalam bukunya, yaitu The Nochomachean ethic. Dalam buku itu Aristoteles menyebutkan
bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui berbagai
kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang kepentingannya bertahap-tahap
(Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Pada zaman ini, konsep etika dan moral
didasarkan pada sifat naturalistik dan rasional sepanjang abad. Bagi alam
pikiran klasik stadar moral dan etika itu bersifat objektif, akan tetapi
keberadaanya merupakan pula bagian dari dunia alami yang dapat diketahui melalui
proses penalaran akal budi.
2.
Abad pertengahan
Pada abad pertengahan ini disebut sebagai
abad kepercayaan atau abad keselarasan rohaniah. Pada abad ini etika dipadukan
oleh suatu kepercayaan yang kokoh, suatu penerimaan akan kebenaran yang hampir
universal dari wahyu kristiani. Dua
filsuf pada zaman ini yaitu Agustinus
dan Aquinas menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad pertengahan yang
berorientasi rohaniah dan objektifistik. Menurut Agustinus pengetahuan tetntang
kebenaran yang mutlak dan objektif dapat dicapai melalui pengalaman mistik
tentang kebenaran Ilahi yang diterima secara langsung. Menurut Thomas, tiada
suatu hal atau peristiwa manapun dari yang paling kerdil hingga paling besar dan
dahsyat, yang bertiada makna atau tujuan, sebab setiap hal dan peristwa itu
merupakan bagian dari rencana agung Tuhan dalam menciptakan segalanya. Manusia
dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan penalaran itu semua berada dalam
kesatuan ilahi. Pada masa ini, konsep etika dan moral dibentuk berdasarkan
pandangan yang bersifat spiritual dan terpusat pada dunia kelak (Kurtines W.M
dan Gerwitz.J.L., 1992)
3.
Abad modern
Pada abad moderen, merupakan awal jatuhnya
abad pertengahan. Pada abad ini menegaskan bahwa akal budi mengungguli iman.
Pada masa ini lahirlah ilmu pengetahuan moderen dan sains moderen yang
memantapkan dirinya sebagai pemeran utama dalam alur pemikiran barat. Pada masa
ini, segala sesuatu dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan
berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan
mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru. Jadi sains moderen memberikan
kepada akal budi suatu peranan yang terbatas dalam rangka pengetahuan tentang
dunia yang natural. Segala sesuatu di dunia selalu dilakukan penalaran dan uji
secara empiris. Pada masa ini, mereka menempatkan kebenaran rasional dibawah
kebenaran empiris. Status kebenaran yang relatif dari setiap hipotesa saintifik
selalu tergantung pada data empiris yang ditemukan. Dalam kasus sains psikologi
moderen, bagi seorang sains mungkin saja untuk mengkaji setiap variabel hasil
yang dependen (seperti moral dan etika ) dengan berpegang pada penalaran dan
asumsinya sendiri tanpa menggunakan asumsi yang menyangkut eksistensi standar
moral yang obyektif. Jadi disimpulkan
bahwa, etika dan moral pada masa ini didasari pada suatu pembuktian yang
bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif, sehingga bisa
dikatakan bahwa pada masa ini menjadi masa yang sangat sulit bagi keberadaan
etika dan moral (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992).
D.
Tahap perkembangan etik dan moral menurut Kohlberg (1995)
Tahap-tahap
perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari
prakonvensional, konvensional dan paskakonvensional. Tiga tingkat tersebut
kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
1. Tingkat
Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap
aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau
benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman
atau untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai
10 tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.
Tahap
1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan ; Akibat-akibat fisik suatu
perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi
dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk
pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam
dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang
melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap
2) : Orientasi relativis-instrumental ; Perbuatan yang benar adalah
perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri
dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang
seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat
resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan
pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku,
nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa
terima kasih atau keadilan.
2. Tingkat
Konvensional
Individu pada tingkat konvensional
menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang
menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat
dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya
sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena
itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok
sosialnya. Kalau pada tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah takut,
pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10
sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap
1) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi ”Anak Manis” ; Perilaku
yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui
oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa
itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering dinilai menurut niatnya,
ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang
mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti kesetiaan,
kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran
sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi
harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.
Tahap
2) : Orientasi hukum dan ketertiban ; Pada tahap ini, individu dapat
melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan
dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan
terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan
merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan
kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan
dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban
sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang
bernilai dalam dirinya sendiri.
3. Tingkat
Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang
berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang
jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan
dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang
pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri
dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang
lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh
otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua
tahap pada tingkat ini.
Tahap
1) : Orientasi kontrak sosial legalistis ; Pada umumnya tahap ini amat
bermakna semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam
kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan
telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas
mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan
prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati
secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat
pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan
penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan
rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan
tata tertib gaya tahap 4).
Tahap
2) : Orientasi prinsip etika universal ; Hak ditentukan oleh keputusan
suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang
mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. (Kohlberg, 1995)
2.2
ETIKA
KEPEDULIAN
1.
DEFINISI
Menurut
Tronto (1993 dalam Skerawin 2017) etika kepedulian merupakan tanggung jawab
untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan pertimbangan moral. Sedangkan
menurut Held (2007, dalam Jena 2014) etika kepedulian didefenisikan sebagai
komitmen moral untuk merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan,
tetapi sekaligus juga memperjuangkan tata sosial yang adil. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa etika kepedulian adalah komitmen moral untuk memperhatikan
kebutuhan manusia dengan cara merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi
dukungan secara adil pada setiap manusia.
2.
PERSPEKTIF
CARING ETHICS
a. Carrol
Gilligan
Carol
Gilligan mengemukakan caring ethics sebagai aspek relasi yang erat kaitannya
denagan sisi feminis. Penalaran moral dibatasi dengan : “dua perspektif yang
mengoordinasikan pikiran dengan cara yang berbeda”. Pada laki-laki defenisi
moral terkait dengan istilah keadilan, sedangkan pada perempuan, moral
didefenisikan bukan dalam istilah hak, namun lebih kepada tanggung jawab dan
kepedulian.
Hal
ini kemudian memunculkan pertanyaan dari filsuf lain terkait dengan perawat.
Perawat yang secara gender memang didominasi oleh wanita namun bagaimana etika
kepedulian pada laki-laki? Apakah perawat laki-laki memiliki caring ethics yang
lebih baik daripada perawat yang bukan laki-laki?
b. Held
(2007)
Held
(2007, dalam Jena, 2014) menyatakan bahwa etika kepedulian menawarkan
pendekatan komitmen moral untuk merawat, melindungi, menyembuhkan bahkan
memberi dukungan sekaligus menjadi tata sosial yang adil.
c. Watson
(1999)
Watson
menggambarkan hubungan caring transpersonal adalah hubungan manusia yang
bersifat bersatu dengan orang lain dengan mengahargai seseorang itu sepenuhnya
termasuk dengan keberadaannya di dunia. Watson memberikan penekanan pada aspek
kualitas interpersonal dan transpersonal yaang meliputi empati, keselamatan,
dan kehangatan.
Berdasarkan
perspektif tersebut di atas caring ethics merupakan komitmen moral yang
menekankan pada aspek interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan dalam
bentuk bentuk memperhatikan, merawat, melindungi, menyembuhkan, dan memberikan
dukungan. Perbedaannya pendekatan Carol Gilligan lebih menekankan aspek feminis
dari pada beberapa aspek lainnya.
d. Joan
Tronto
Kepedulian
dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan, melanjutkan, dan
memperbaiki dunia sehingga kita dapat hidup didalamnya sebaik mungkin. Dunia
yang dimaksud mencakup tubuh kita, diri sendiri, lingkungan yang terjalin dalam
sebuah jaringan yang kompleks untuk mendukung kehidupan.
Tronto
mengemukakan Tronto’s Dimensions phases of care dalam tabel di bawah ini
(Scott, A. P. 2017) :
Dimensi Tahap Kepedulian
|
Sikap Etis
|
a. Care about : hal ini mencakup kekuatiran terhadap
terhadap seseorang/sesuatu.
|
Ketertarikan : memperhatikan akan adanya kebutuhan akan kepedulian
(carea).
|
b. Taking care of : mengambil tanggung jawab untuk merawat
seseorang.
|
Tanggung jawab : memperbaiki situasi seseorang.
|
c. Care giving : memberikan perawatan langsung kepada
seseorang.
|
Kompetensi : memilliki pengetahuan keterampilan dan nilai yang diperlukan
untuk tujuan perawatan.
|
d. Care receiving : tahap akhir ini berfokus pada penerima
perawatan.
|
Responsif : menanggapi secara positif perawatan/kepedulian yang telah
diberikan.
|
e. Chris
Gastmans
Keperawatan
dianggap sebagai praktik moral dengan tiga komponen utama, yaitu : hubungan
kepedulian (kondisi praktik keperawatan). Perilaku peduli (integrasi nilai
kebaikan dan aktifitas kepakaran) dan perawatan yang baik yang dideskripsikan
sebagai tujuan akhir prakttik keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara
spesifik untuk menghubungkan diri dengan yang lain dalam konteks relasional
antara pasien dan perawat dalam memberikan perhatian (caring) selama aplikasi
asuhan keperawatan.
Perilaku
peduli melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan altuistik terhadap perawatan
dengan fitus kognitif dan afektif-motivasi) dan aktifitas kepakaran. Gastmans
menjelaskan “perawatan yang baik” adalah tujuan dasar praktik keperawatan.
Gastmans mengadopsi perspektif filosofis Eropa tentang “Being Human” yang
menguraikan enam dimensi pasien yaitu fisik, relasional, sosial, psikologis,
moral, dan spiritual. Secara keseluruhan perawat digambarkan sebagai hubungan
kepedulian, integrasi kebaikan dan aktifitas ahli serta perawatan yang baik
sebagai tujuan praktik keperawatan (Scott, A. P. 2017).
Berdasarkan
kelima perspektif tersebut diatas, caring ethics merupakankomitmen moral yang
menekankan pada aspek interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan dalam
bentuk memperhatikan, merawat, melindungi, memyembuhkan dan dan memberikan
dukungan. Perbedaannya pendekatan Carol Gilligan lebih menekankan aspek feminis
dari pada beberapa aspek lainnya.
3.
SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN MENGAPA CARING ETHICS MUNCUL
Konsep
etika kepedulian pertama kali digagasi oleh Carol Gilligan (1960 an).
Carol melihat etik dari persepektif
feminimisme. Lalu sejak saat itu etika kepedulian telah digunakan dalam dalam
berbagai bidang profesional seperti keperawatan, kesehatan, pendidikan,
hubungan internasional, hukum, dan politik (Held 2015).
Di
awal karirnya Carol Gilligan bekerja dengan psikolog Lawrence Kohlberg, yaitu
saat Kohlberg meneliti teori tentang perkembangan moral. Gilligan mulai
meneliti tentang perkembangan moral perempuan sebagai respon terhadap hasil
penelitian Kohlberg yang berbasis laki-laki. Gilligan berpendapat bahwa teori
yang berkembang saat itu hanya menekankan pandangan keadilan saja dan ini
merupakan pandangan yang dimiliki oleh laki-laki. Sementara itumenurut Gilligan wanita memiliki
pandangan moral yang berbeda dimana menekankan pada solidaritas, komunitas, dan
kepedulian tentang orang lain atau adanya hubungan ketergantungan satu dengan
yang lainnya.
Pandangan
wanita ini mengenai moral telah diabaikan atau diremehkan karna secara
tradisional wanita berada pada posisi terbatas akan kekuasaan dan pengaruh
(Gilligan, 2003). Pandangan moral keadilan/etik keadilan berfokus pada hal yang
benar yang harus dilakukan, sedangkan pandangan moral kepedulian/etik kepedulian
mengatakan bahwa kita dapat dan harus menumbuhkan kemampuan alami kita untuk
merawat orang lain dan diri kita sendiri (Gilligan, 2013).
Teori
etika kepedulian menurut Carol Gilligan berkisar pada pegangan bahwa manusia
tidak patut disakiti. Gilligan banyak menulis tentang perasaan, tanggung jawab
dan hubungan manusia terutamadari sudut pandang wanita. Teori mengatakan adanya
tanggung jawab membantu, tidak membebani, dan tidak menyakiti orang lain
(Makhsin, 2009).
Teori
Gilligan menyertakan tahap perkembangan moral sebagai berikut (Makhsin, 2007) :
a. Pra
konvensioal : melihat kepentingan diri sendiri
Peralihan yang
terjadi yaitu kesadaran antara kepentingan diri dan tanggung jawab pada orang
lain.
b. Konvensional
: kepentingan orang lain
Peralihan yang terjadi
: menyelesaikan permasalahan antara kepentingan orang lain dan diri sendiri.
c. Pasca
Konvensional : “aku” dengan prinsip “jangan menyakiti”
Dalam
perkembangannya Carol Gilligan menghasilkan karya dalam sebuah buku dengan
judul : ”In A Difference Voice (1982)”. Mengikuti karya Carol Gilligan tersebut
pada tahun 1984, Nel’s Nodding mengembangkan teori “Relational Ethic” in has
caring : A feminime approach to ethics and moral education, Nodding mengatakan
kunci untuk memahami etika kepedulian adalah memahami gagasan kepedulian dan
etik kepedulian secara khusus Nodding mengatakan kepedulian berakar pada
penerimaan, ketergantungan satu sama lain dan responsif.
4.
KAITAN
CARING ETHICS DENGAN TANGGUNG JAWAB
Menurut
Bertens (2013) bertanggung jawab berarti dapat menjawab bila ditanyai tentang
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Seseorang tersebut tidak dapat mengelak
bila diminta penjelasan atas perbuatannya.Tanggung jawab ada dua jenis, yaitu :
a. Tanggung
jawab retrospektif : tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan
segala konsekuensinya.
b. Tanggung
jawab prospektif : tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang.
Kaitan
caring ethis dengan tanggung jawab yaitu bahwa kepedulian dilakukan dan
diberikan tempat sentral dlam praktik keperawatan, namun untuk setiap tindakan
yang dilakukan ada tanggung jawab yang menyertai.
2.3 KEPERAWATAN SEBAGAI
PROFESI (KONTROL SOSIAL, DIMENSI, CIRI-CIRI)
1.
Keperawatan
sebagai Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang
ditujukan untuk kepetingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan golongan atau
orang tertentu (Kusnanto, 2003). Sedangkan menurut Wilensky (1964), profesi
adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dukungan body of knowledge sebagai
dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi banyak tantangan
baru, memerlukan pendidikan pelatihan yang lama serta memiliki kode etik dengan
fokus utama pada pelayanan (altruism). Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan
dan pelatihan yang terus menerus berdasarkan body of knowledge yg spesifik,
memiliki kode etik dan standar praktek dan berfokus pada pelayanan untuk
masyarakat.
Keperawatan adalah suatu kegiatan
pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat baik dalam
keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no 38 tahun 2014).
Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu bentuk
pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan kesehatan
yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentukpelayanan
bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu,
keluarga dan masyarakat baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh
siklus hidup manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan
keperawatan profesional untuk masyarakat menggunakan pengetahuan teoritis yang
mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai dasar
untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menyusun perencanaan,
melaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan,
serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan
selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan
teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia
menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan
yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri
(Nursalam, 2014).
Melihat definisi dari beberapa ahli
diatas maka dapat disimpulkan bahwa keperawatan merupakan suatu bentuk
pelayanan asuhan keperawatan yang profesional berdasarkan ilmu dan seni pada
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit.
2.
Kontrol
sosial
Menurut Michael Eraut (2002), konsep
profesi ditemukan karena adanya kontrol sosial. Pelaku profesi perlu
menyediakan pelayanan kepada masyarakat dengan ilmu pengetahuan yang ia miliki.
Kontrol sosial yang dimaksud adalah bagaimana cara profesi (keperawatan)
mempertahankan eksistensinya sebagai tenaga profesional dalam memberikan
pelayanan yang berkualitas pada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
baik yang sehat maupun yang sakit, sehingga pada akhirnya diakui oleh
masyarakat (penerima layanan).
Ketika tuntutan masyarakat terhadap
suatu profesi semakin tinggi maka itu akan memberi peluang kepada profesi
tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Ketika profesi
tersebut mampu memenuhi tuntutan masyarakat maka dengan sendirinya profesi itu
akan semakin diakui. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kontrol
sosial berupa tuntutan dari masyarakat dapat meningkatkan pengembangan profesi.
Keperawatan sebagai profesi berkomitmen
pada kemampuan, integritas, moral, kepentingan orang lain dan mengembangkan
kebaikan publik dlam keberadaannya. Komitmen ini membentuk dasar kontrol sosial
antara profesi dan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat memberikan pada profesi
otonomi dalam praktek dan hak dalam pengatturan diri. Dengan demikian, suatu
profesi memerlukan kontrol sosial untuk mengawasi dan mengontrol perilaku
anggota profesi dan memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu profesi.
Status profesional tidak merupakan hak
yang melekat hanya dengan kualifikasi, tapi juga diberikan kepercayaan oleh
masyarakat. Publik melihat bagaimana suatu profesi bekerja. Untuk dapat
dipercaya, para profesional harus memenuhi kewajiban yang diharapkan oleh
masyarakat. Kegagalan untuk memenuhi kepercayaan, tingkah laku dan standar
profesional akan mengakibatkan kehilangan status profesi tersebut.
Dari hal diatas dapat dikatakan bahwa
kontrol sosial sangat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pelayanan yang diberikan ke masyarakat. Perawat wajib memegang teguh kode etik
yang berlaku agar pelayanan yang diberikan konsisten dan terstandar, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kepuasan masyarakat yang tentunya akan meningkatkan
kepuasan batin perawat yang sangat bernilai dan tidak dapat dinilai dengan
materi. Hal tersebut akan memotivasi perawat terus memberikan yang terbaik untuk
masyarakat, ibarat mata rantai yang
tidak terputus antara kontrol sosial, peningkatan kualitas, kepuasan masyarakat dan kepuasan perawat,
3.
Dimensi
profesi
a. Dimensi
disiplin ilmu, penerapannya :
-
Digunakan sebagai dasar
dalam membuat keputusan dan melakaukan tindakan keperawatan
-
Menetapkan standar dan
SPO untuk semaua tindakan keperawatan
-
Dilakukan dengan
pengujian dan validasi serta pengembangan melalui penelitian
-
Melaksanakan evidence
based practised
b. Dimensi
etik, penerapannya :
-
Menetapkan prinsip etik
dalam berinteraksi dan memberikan asuhan keperawatan
-
Ditetapkan kode etik
profesi
-
Melaksanakan kdoe etik
profesi
c. Dimensi
hukum, penerapannya :
-
Peraturan
perundang-undangan dijadikan dasar dalam melaksanakan pelayanan dan asuhan
keperawatan
-
Peraturan perundang-undangan
dijadikan landasan pelaksanaan berbagai kewajiban dan hak perawat
d. Sedangkan
dimensi kualitas pelayanan profesi keperawatan sebagai berikut :
-
Responsibility atau
tanggung jawab, mencakup ketepatan dan kecepatan pelayanan serta keakuratan
dalam memberikan informasi
-
Responsiveness atau
kepekaan ; peka terhadap kebutuhan pasien didiringi tindakan yang tepat sesuai
kebutuhan tersebut
-
Assurance atau
kepastian pelayanan
-
Empati ; kemampuan
memahami dan memperhatikan kondisi psikologis pasien
4.
Ciri-ciri
profesi keperawatan (Nursalam, 2014)
a. Mempunyai
body of knowledge
b. Pendidikan
berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
c. Memberi
pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui
praktek profesional yang spesifik
d. Memiliki
perhimpunan organisasi profesi
e. Pemberlakuan
kode etik keperawatan
f. Otonomi
g. Bertanggung
jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
h. Merupakan
karier seumur hidup
i.
Mempunyai fungsi
mandiri dan kolaborasi
Profesi
keperawatan berbeda dari profesi yang lain, sehingga memiliki ciri-ciri profesi
yang spesifik untuk membedakan dari profesi yang lain dalam hal pelayanan,
prosedur, fokus penerima pelayanan, dan kode etik. Berdasarkan ciri-ciri di
atas, masih terdapat beberapa kesenjangan yang terjadi dalam profesi
keperawatan di Indonesia, antara lain :
-
Belum semua perawat di
Indonesia menguasai ilmu pengetahuan keperawatan yang setara.
-
Belum semua perawat
mengenyam pendidikan profesional yang sama. Masih banyak ditemukan perawat yang
latar belakang pendidikan diploma (vokasional)
-
Masih banyak perawat
terutama didaerah yang melaksanakan praktek medis, contohnya melakukan tindakan
khitanan, pemberian obat-obatan dll
-
Masih banyak perawat
yang belum bergabung dengan organisasi PPNI
-
Masih banyak ditemukan
pelanggaran, contohnya menjaga kerahasiaan pasien seperti kondisi pasien
(upload luka pasien), namun belum ada tindakan tegas dari organisasi profesi.
-
Kebanyakan perawat di
RS tidak sempat melakukan tindakan-tindakan keperawatan mandiri, lebih banyak
melaksanakan tindakan kolaboratif (delegasi dokter).
2.4 ETIK DALAM KEPERAWATAN (PERANGKAT KOMITE ETIK,
KODE ETIK, PRINSIP ETK)
1.
Perangkat
Komite Etik
Komite etik
merupakan kelompok dari praktisi yang berusaha meyakinkan masyarakat melalui
kode etik yang berisi standar pelayanan agar masyarakat dapat menilai sikap dan
perilaku dari individu praktisi tersebut ( Thompson, 2006). Peran komite etik
adalah mendukung pendidikan dalam bidang etik dan meningkatkan pengambilan
keputusan etik di institusi pelayanan. Peran komite etik dapat dicapai dengan
mendidik staf, berpartisipasi dalam kebijakan pengembangan pendidikan
masyarakat dan mendukung pasien dan keluarga saat menghadapi masalah etik
terkait perawatan pasien (Lachman, 2006).
Dalam Munas PPNI
menugaskan PP PPNI masa bakti 2000-2005 untuk membentuk Majelis Petimbangan
Kode Etik sebagai alat kelengkapan organisasi yang menangani masalah-maslah
yang timbul dalam penanganan kode etik (PP PPNI, 2000). Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia (PMK) no.49 tahun 2013 bahwa untuk
meningkatkan profesionalisme, pembinaan etik, dan disiplin tenaga keperawatan,
serta menjamin mutu pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan pasien perlu
dibentuk komite keperawatan di rumah sakit. Komite keperawatan adalah wadah non
structural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama mempertahankan dan
meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial,
penjagaan mutu profesi, pemeliharaan etika,dan disiplin profesi. Komite
keperawatan dibentuk oleh kepala/direktur rumah sakit. Susunan organisasi
komite keperawatan sekurang-kurangnya terdiri dari ketua komite, sekretaris
komite, dan sub komite. Sub komite terdiri dari sub komite kredensial, sub
komite mutu profesi, dan sub komite etik dan disiplin profesi. Dalam
melaksanakan fungsi menjaga disiplin dan etik profesi tenaga keperawatan,
komite etik bertugas :
a. Melakukan
sosialisasi kode etik profesi tenaga keperawatan
b. Melakukan
pembinaan etik dan disiplin profesi tenaga keperawatan
c. Merekomendasikan
penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam kehidupan
profesi dan pelayanan asuhan keperawatan dan kebidanan
d. Merekomendasikan
pencabutan kewenangan klinis
e. Memberikan
pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan dan kebidanan
Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 49 tahun 2013 persyaratan
yang harus dipenuhi oleh personel komite keperawatan yaitu memiliki kompetensi
yang tinggi sesuai jenis pelayanan atau area praktik, mempunyai semangat
profesionalisme serta reputasi baik.
Pada penelitian
yang dilakukan oleh Bart Cusveller (2012) menjelaskan bahwa seorang komite etik
keperawatan perlu memiliki :
a. Pengetahuan
dasar mengenai etik seperti konsep moral, model, isu, dan hukum kesehatan.
b. Kemampuan
berkomunikasi dengan baik, mampu mendengarkan, berbicara, dan menulis.
c. Sikap
sangat menghormati dan terbuka antar anggota komite dan situasi psien.
d. Kemampuan
mengenai isu yang sedang terjadi di lingkungan perawat maupun pasien.
e. Kemampuan
mengedukasi tentang etik dan moral kepada anggotanya.
2.
Kode
Etik
Kode etik adalah
kumpulan dari nilai-nilai dan standar perilaku profesi. Kode etik memberikan
kerangka kerja dalam pengambilan keputusan untuk profesi dalam praktik
sehari-hari. Kode etik harus direvisi secara berkala untuk mencerminkan
perubahan dalam profesi dan masyarakat sebagai satu kesatuan. Meskipun kode
etik tidak dapat ditegakkan secara hukum sebagai undang-undang, pelanggaran
kodeetik profesional menunjukkan bahwa seseorang tidak berperilaku secara
profesional, yang akan mendapat sanksi disipliner mulai dari teguran, denda
penangguhan, dan pecabutan lisensi/ijin (Aiken, 2004).
Kode Etik Keperawatan Berdasarkan Keputusan
Musyawarah Nasional VI PPNI N0 09/Munas VI/PPNI/2000
Perawat dan Klien
1.
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh
oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin,
aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan social.
2.
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya,
adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien.
3.
Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
4.
Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika
diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Perawat dan Praktik
1.
Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang
keperawatan melalui belajar terus menerus.
2.
Perawat
senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan klien.
3.
Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada
informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi
seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi
kepada orang lain.
4.
Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku professional.
Perawat dan Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan
kesehatan masyarakat.
Perawat dan Teman Sejawat
1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama
perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian
suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh.
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan
illegal.
Perawat dan Profesi
1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan
pelayanan dan pendidikan keperawatan.
2. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan
pengembangan profesi keperawatan.
3. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk
membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan
keperawatan yang bermutu tinggi.
Kode
Etik Menurut ANA (Martha, D Fowler, 2010) :
a. Ketentuan
1 : Perawat memberikan pelayanan dengan rasa menghormati martabat yang melekat
pada setiap individu, harga diri, dan keunikan setiap individu.
b. Ketentuan
2 : Perawat bertanggung jawab kepada pasien baik individu, keluarga, kelompok,
komunitas maupun populasi.
c. Ketentuan
3 : Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan melindungi hak, kesehatan, dan
keamanan pasien.
d. Ketentuan
4 : Perawat memiliki wewenang, akuntabilitas, dan tanggung jawab dalam tugasnya
membuat keputusan dan mengambil tindakan yang konsisten dengan kewajibannya
untuk memberikan perawatan kepada pasien secara optimal.
e. Ketentuan
5 : Perawat bertanggung jawab untuk mempromosikan kesehatan dan keselamatan,
tidak membeda-bedakan individu, meningkatkan kompetensi personal dan
profesional.
f. Ketentuan
6 : Perawat baik secara individu maupun bersama-sama menetapkan,
mempertahankan, dan memperbaiki lingkungan guna meciptakan kondisi kerja yang
kondusif untuk memberikan perawatan kesehatan yang aman dan berkualitas.
g. Ketentuan
7 : Perawat dalam tatanan apapun memajukan profesi keperawatan baik melalui
penelitian, mengumpulkan bukti ilmiah, pengembangan standar profesi baik keperawatan
maupun kesehatan.
h. Ketentuan
8 : Perawat bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya dan masyarakat umum
untuk melindungi hak asasi manusia, mempromosikan kesehatan, dan mengurangi
perbedaan pelayanan kesehatan.
i. Ketentuan
9 : Profesi keperawatan baik secara kolektif melalui organisasi profesi harus
mengartikulasikan nilai keperawatan, menjaga integritas profesi, dan
mengintegrasikan prinsip keadilan sosial ke dalam keperawatan dan kebijakan
kesehatan.
Kode
Etik menurut ICN (International Council of Nursing, 2012) :
a. Perawat
dengan individu
Perawat
bertanggung jawab kepada individu yang menuntut pelayanan keperawatan,
menyediakan lingkungan yang menjaga hak asasi, nilai, kepercayaan individu,
keluarga, dan komunitas.
b. Perawat
dan praktik
Perawat memiliki
tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap praktik keperawatan dan meningkatkan
kompetensi dengan cara belajar secara terus-menerus.
c. Perawat
dan profesi
Perawat memikul
peran utama dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik klinik keperawatan,
manjemen, penelitian, dan edukasi.
d. Perawat
dengan tenaga lainnya
Perawat
memungkinkan untuk kolaborasi dan menghargai hubungan dengan tenaga perawat
lain dan dengan bidang lainnya.
PRINSIP
– PRINSIP ETIK KEPERAWATAN (AIKEN, 2004) :
1. Otonomi
Otonomi adalah hak untuk menentukan nasib
sendiri, kemerdekaan dan kebebasan. Pemberi pelayanan kesehatan menghormati hak
pasien dalam membuat keputusan, walaupun pemberi pelayanan (perawat) tidak
setuju dengan keputusan pasien. Otonomi bukanlah hak mutlak, dalam kondisi
tertentu bisa berubah,misalnya pasien yang menolak pengobatan TB dapat dipaksa
oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk meminum obat TB karena Tb dapat menular
ke orang lain, pasien di isolasi untuk mencegah penularan penyakit.
2.
Justice (Keadilan)
Justice adalah kewajiban untuk bersikap adil
terhadap semua orang tidak memandang ras, jenis kelamin, status perkawinan,
diagnosa medis, tingkat sosial, tingkat ekonomi, dan agama (keadilan
distributif) dalam memberikan pelayanan kesehatan
3. Fidelity (Kesetiaan)
Fidelity adalah kewajiban individu untuk
setia pada komitmen yang telah dibuat untuk diri sendiri dan orang lain. Dalam
pelayanan kesehatan, kesetiaan meliputi kesetiaan profesional atau kesetiaan
pada kesepakatan dan bertanggung jawab sebagai bagian dari praktik profesi.
Kesetiaan adalah pendukung utama dalam tanggung jawab, walaupun konflik dalam
kesetiaan mungkin timbul karena kewajiban yang harus diberikan kepada individu
yang berbeda atau kelompok.
4. Beneficence (kemurahan hati)
Beneficence adalah memberikan pelayanan yang
baik pada pasien secara holistik termasuk keyakinan, perasaan, dan keinginan
pasien.
5. Nonmaleficence
Nonmaleficence adalah memberikan pelayanan
tidak akan membahayakan pasiennya baik di sengaja atau tidak
6. Veracity (kejujuran)
Veracity adalah pemberi pelayanan kesehatan
mengatakan yang sebenarnya (jujur). Pasien harus tahu mengenai penyakit yang
dideritanya, pengobatan, dan prognosisnya.
7. Confidentiality
Confidentiality adalah menjaga kerahasiaan
pasien.
8. Accountability
Accountability adalah bertanggung jawab
terhadap diri sendiri dan orang lain demi kepentingan tindakan keperawatan.
Perawat mampu menjelaskan alasan tindakan dan memahami standar keperawatan.
9. Paternalisme
Paternalisme mengacu pada praktik yang
membatasi kebebasan individu tanpa meminta persetujuan pasien. Sikap
paternalistik tidak memprioritaskan pilihan atau keinginan individu. Pemberi
pelayanan kesehatan beranggapan bahwa mereka lebih tahu apa yang baik untuk
pasien.
10. Rasionalisme
(alasan)
Rasionalisme
adalah dasar dalam mengambil keputusan. Rasionalisme berfokus pada urutan
logis.
11. Pragmatisme
(pragmatisme)
Pragramatisme
adalah proses mengklarifikasi ide atau gagasan secara objektif melalui
pemecahan masalah.
2.5 KEPUTUSAN ETIK DAN STANDAR
KEPERAWATAN
1. Masalah dan Dilema Etik
Keperawatan merupakan suatu bentuk
asuhan yang ditujukan untuk kehidupan orang lain. Semua aspek keperawatan
mempunyai komponen etika. Pada saat ini permasalahan yang berkaitan dengan
etika telah meenjadi permasalahan disamping
masalah
hukum,baik bagi pasien, masyarakat maupun pemberi asuhan. Perkembangan
tekhnologi dan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak yang luas terhadap pola
fikir dan perilaku dalam masyarakat yang terkadang menjadi dilemma dalam pengambilan
sebuah keputusan terhadap pemberian asuhan keperawatan. Dilema diartikan
sebagai sebuah persoalan yang menghadapkan seseorang kepada pilihan yang tidak
menyenangkan dalam hal ini dapat terjadi konfrontasi antara dokter, orang tua
dan keluarga pasien, bagaimanapu hal ini harus menjadi perhatian para perawat
(para spesialis) karena keluarga seringkali meminta bantuan dan rasa nyaman
kepada perawat (lachman,2006).
Menurut Efendi,2009 perawat berada dalam
berbagai situasi yang mengharuskan untuk membuat keputusan. Pada penyelesaian
dilema etik kita kenal prinsip DECIDE, yaitu:
D
= Define the Problems
E
= Ethical Review
C
= Consider the Options
I
= Investigates outcomes
D=
Decide on action
E
= Evaluate Results
Saat menghadapi dilema etik, kita dapat
menanggapi dengan cara yang berbeda menurut Huber,2000, tahapannya sebagai
berikut, yaitu:
1.
Menunjukan maksud baik
2.
Mengidentifikasi semua
orang penting
3.
Mengumpulkan informasi
yang relevan
4.
Mengidentifikasi
prinsif etis yang penting
5.
Mengusulkan tindakan alternative
6.
Melakukan tindakan
Prinsip keperawatan yang menjadi landasan dalam
pengambilan keputusan etik, yaitu:
a.
Respek terhadap otonomi
b.
Nonmaleficence
c.
Beneficence
d.
Justice
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pembuatan keputusan, yaitu
a.
Agama
b.
Sosial
c.
Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
d.
Legislasi dan keputusan yuridis
e.
Dana atau keuangan
f.
Pekerjaan
g.
Kode etik keperawatan
h.
Hak-hak pasien
Teori dasar pembuatan keputusan etik:
a. Teleologi
Doktrin
yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi
yang dapat terjadi
b. Deontologi (Formalisme)
Menurut
Kanle, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil atau konsekuensi
dari
suatu tindakan melainkandari nilai moralnya.
5
Prinsip penting dalam teori deontology, yaitu:
1.
Kemurahan hati (beneficence)
2.
Keadilan (Justice)
3.
Otonomi
4.
Kejujuran (Veracity)
5. Ketaatan (fidelity)
2. Prinsip –
prinsip keputusan etik
Dalam memutuskan
ssebuah keputusan etik tidak bisa terlepa dari prinsip-prinsip etik yang berlaku. Terdapat 4 prinsip dasar etik yang
mendasari dalam mengambil keputusan etik, yaitu, (Ashcroft, Dawson, Draper,
& McMillan, 2007):
a.
Otonomi
Otonomi harus diikuti oleh hak seseorang
untuk memahami keputusannya dengan mendapatkan informasi yang cukup dari tenaga
profesional dalam pelayanan. Dalam otonomi seseorang harus terbebas dari
intervensi atau campur tangan orang lain, bebas dari paksaan dan memiliki
kapasitas mental yang baik dalam memahami danmengambil keputusan.
b.
Non
Maleficence (tidak membahayakan)
Prinsip non maleficence berarti tidak
melakukan kekerasan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Prinsip Non
Maleficence dilaksanakan dengan tetap menjunjung hak otonomi pasien. Prinsip
non meleficence terkadang dapat berbenturan denganaturan-aturan moral yang ada dalam
masyarakat.
c.
Beneficence
(Berbuat baik)
Beneficence merupakan nilai paling
fundamental dalam etika pelayanan kesehatan, dimana berbuat baik menjadi
landasan dalam tingkah laku seseorang dalam memberikan pelayanan. Prinsip
beneficence didasarkan pada kewajiban moral untuk memberikan kebaikan bagi
orang lain dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian bagi
pasien.
d.
Justice
(Keadilan)
Prinsip keadilan
dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada pasien sesuaidengan kebutuhan
mereka, pasien dengan kebutuhan terapi yang besar harus mendapatkan terapi yang
sesuai dengan kondisinya demikian juga sebaliknya. Kontroversi yang terjadi
pada prinsip keadilan adalah tentang pertimbangan yang relevant dalam
penggolongan karakteristik pasien yang membutuhkan terapi.
3.
Perbandingan
standar keperawatan di indonesia dan di luar negeri :
a. Standar
keperawatan Indonesia (PPNI, 2005)
·
Standar praktik
merupakan salah satu perangkat yang diperlukan oleh setiap tenaga profesional.
Standar praktik keperawatan adalah harapan – harapan minimal dalam memberikan
asuhan keperawatn yang aman, efektif dan etis
·
Standar praktik
keperawatan merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat
terhadap praktik yang dilakukan oleh anggota profesi
Lingkup standar praktik
keperawatan Indonesia meliputi :
1) Standar
praktik Profesional, yang terdiri dari :
a. Standar
I : Pengkajian
b. Standar
II : Diagnosa keperawatan
c. Standar
III : Perencanaan
d. Standar
IV : Pelaksanaan Tindakan / implementasi
e. Standar
V : Evaluasi
2) Standar
kinerja Profesional
a. Standar
I : Jaminan mutu
b. Standar
II : Pendidikan
c. Standar
III : Penilaian kinerja
d. Standar
IV : Kesejawatan ( collegial )
e. Standar
V : Etik
f. Tandar
VI : Kolaborasi
g. Standar
VII : Riset
h. Standar
VIII : Pemanfaatan sumber - sumber
b. StandarProfesional
( ANA,2010a ) American Nurses Association
Lingkup standar profesional menurut
ANA,2010a.meliputi :
1) Standar
praktik keperawatan,meliputi :
a. Standar
I : Pengkajian
b. Standar
II : Diagnosa keperawatan
c. Standar
III : Identifikasi hasil
d. Standar
IV : Planning
e. Standar
V : Implementasi
VA : Koordinasi dalam pelayanan
kesehatan
VB : Bimbingan dan promosi
kesehatan
VC
: Konsultasi
VD : Prescriptive Authority and
Treatmen
f. Standar
VI : Evaluasi
2) Standar
Profesional perfformance, meliputi :
a. Standar
7 : Etik
b. Standar
8 : Pendidikan
c. Standar
9 : Evidence- Based practice dan riset
d. Standar
10 : Quality nursing practice
e. Standar
11 : Komunikasi
f. Standar
12 : kepemimpinan
g. Standar
13 : kolaborasi
h. Standar
14 : Profesional practice evaluation
i.
Standar 15 : Resource utilization
j.
Standar 16 : Kesehatan lingkungan
Menurut
kelompok standar praktik keperawatan yang saat ini dilakukan di rumah sakit
sudah perpaduan antara menurut PPNI dan ANA yaitu pada standar praktik
profesional yang standar Implementasi yaitu perawat yang sudah spesialis atau
teregistrasi atau advance dapat melakukan implementasi keperawatan antara lain
: bekerjasama dengan team kesehatan lain,melakukan bimbingan dan promosi
kesehatan, berkonsultasi dan menerima konsultasi terkait pelayanan keperawatan
serta dapat melakukan praktik secara mandiri sesuai peraturan perundangan –
undangan yang berlaku di Indonesia.
4.
Pelaksanaan
keputusan etik dan standar keperawatan di Indonesia
Kode etik adalah pernyataan standar
profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja
untuk membuat keputusan.
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Komponen yang masuk dalam proses pengambilan keputusan :
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Komponen yang masuk dalam proses pengambilan keputusan :
a. Fakta situasi
b. Teori dan prinsip etik
c. Kode etik keperawatan
d. Hak-hak klien
e. Nilai personal
f. Faktor yang menggangu seseorang
untuk membuat suatu keputusan.
Suatu keputusan yang baik adalah
keputusan yang berpihak pada kepentingan klien dan pada waktu yang sama juga
melindungi integritas semua pihak yang terlibat.
Langkah pertama dalam pengambilan
keputusan etik adalah memastikan bahwa
masalah memiliki muatan etik atau moral. Kriteria yang digunakan untuk
menentukan apakah terdapat situasi moral (Fry, 1989) :
a. Terdapat kebutuhan untuk memilih antara tindakan
alternatif yang menimbulkan konflik dengan kebutuhan manusiadalahkesejahteraan
orang lain.
b. Pilihan apa yang akan dibuat dipandu
oleh prinsip/teori moral universal, yang dapat digunakan untuk memberikan
beberapa pembenaran tindakan.
c. Pilihan dipandu oleh suatu proses
penimbangan alasan
d. Pilihan dipengaruhi oleh perasaan
personal dan oleh konteks tertentu dari situasi.
Dalam beberapa kasus, pertanyaan
yang paling penting adalah siapa yang seharusnya mengambil keputusan. Pertanyaan di bawah ini dapat membantu
perawat menentukan siapa yang memiliki masalah :
1.
Untuk siapa keputusan dibuat?
2.
Siapa yang akan terlibat dalam pengambilan keputusan dan
mengapa?
3.
Kriteria apa (sosial, ekonomi, psikologi, fisiologi atau
legal) yang seharusnya digunakan dalam memutuskan siapa yang akan mengambil
keputusan.
4.
Persetujuan semacam apa yang diperlukan oleh subyek.
Penanganan Masalah Isu-Isu Dalam Keperawatan
a. Pemecahan
masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan pemikiran kritis dan
analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek.
b.
Pemecahan masalah termasuk dalam
langkah proses pengambilan keputusan, yang difokuskan untuk mencoba memecahkan
masalah secepatnya. Masalah dapat digambarkan sebagai kesenjangan diantara “apa
yang ada dan apa yang seharusnya ada”.
c.
Pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan yang efektif diprediksi bahwa individu harus memiliki kemampuan
berfikir kritis dan mengembangkan dirinya dengan adanya bimbingan dan role
model di lingkungan kerjanya.
d.
Untuk mencapai
pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi
satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih
berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi
profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan
untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh
seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi
efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang
efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan
pasien yang berkualitas
e.
Memecahkan struktur masalah yang
sudah teridentifikasi kedalam komponen-komponennya, menganalisis
komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar masalah.Akar masalah adalah
penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Ia dapat berupa
kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya oranganisasi, sarana,
alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.
f.
Melakukan analisis lebih dalam
tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root cause analisis),untuk
menetapkan arah pemecahannya.
g.
Menetapkan beberapa alternatif untuk
pemecahan akar masalah.
h.
Memilih alternatif yang situasional
terbaik untuk pemecahan masalah itu dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan
yang sudah dilaksanakan.
i.
Melakukan tindakan koreksi jika
masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi terjadi. Tindakan koreksi
yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika manusia sebagai penyebab
akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah sakit.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Analisa
terhadap dasar pembentukan etik dan moral dan etika kepedulian
Etika adalah suatu nilai dan norma moral
yang menjadi pegangan bagi bagi setiap
kelompok maupun perorangan dalam mengatur tingkah lakunya baik atau buruk.
Teori etika terdiri dari dua kategori yakni teori normative dan teori
metaetika. Teori normatif merupakan perumusan standar perilaku moral dan adanya
prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Sedangkanteori meta
etika merumuskanbagaimana pernyataan etis telah diverifikasi yang berarti teori
normative ditinjau dan dikomentari.Perbandingan dua teori ini dapat kami
kelompok sebagai berikut:
No
|
Teori Normatif
|
Teori Metaetika
|
1
|
Perumusan standar perilaku moral, menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari suatu tindakan sebagai
dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah
|
Studi tentang metode, bahasa, logika, struktur, dan penalaran yang
digunakan dalam membenarkan penilaian
moral
|
2
|
Mengartikulasikan prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku
|
Menyelidiki makna istilah seperti baik buruk, pernyataan etis telah
diverifikasi
|
3
|
Menentukan nilai moral dari hasil suatu tindakan, menilai tingkah laku itu sendiri
|
Mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang dipercayai
dan dibenarkan terutama oleh teori normatif
|
4
|
Moralitas suatu tindakan didasarkan pada moralitas
konsekuensinya
|
Sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan evaluator
|
5
|
Contohnya, hak untuk
berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan
|
Contohnya, Evaluasi hak untuk berperang adalah memulihkan
perdamaian dan kebaikan
|
Perkembangan
etik dan moral dapat kami simpulkan dari zaman ke zaman berikutnya sebagai
berikut :
Abad / Ahli
filsafat
|
Hasilnya
|
Yunani
a.
Sokrates
|
·
Sebuah hidup yang tanpa diuji/dicaritahu adalah hidup
yang tidak bernilai
·
Pertanyaan secara umum tentang pengetahuan, character,
dan diskusi khusus tentang sifat alami seperti kebaikan, keberanian dan
kesederhanaan
·
Supaya masyarakat
bisa hidup kembali pada sifat alami
atau kebajikan
|
b.
Plato
|
·
Menciptakan istilah ide
·
Tersirat uraian-uraian tetang etika
·
Seorang individu akan melaksanakan hidup yang baik
manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal budi) terorganisasi secara
terpadu dan laras
·
Hidup yang baik itu memperlihatkan kepedulian terhadap
seperangkat kebijakan, termasuk didalamnya kebijakan perangai, keberanian dan
lebih-lebih lagi adalah kearifan
|
c.
Aristoteles
|
·
Menyebutkan istilah etika yang tertuang di dalam
bukunya, yaitu The Nochomachean ethic
·
Kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih
melalui berbagai kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang
kepentingannya bertahap-tahap
·
Sifat naturalistik dan rasional sepanjang abad, alam
pikiran klasik stadar moral dan etika itu bersifat objektif, keberadaanya
merupakan pula bagian dari dunia alami
|
Pertengahan
|
·
Menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad
pertengahan yang berorientasi rohaniah dan objektifistik
·
Manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan
penalaran itu semua berada dalam kesatuan ilahi
|
Modern
|
·
Akal budi mengungguli iman, akal budi suatu peranan
yang terbatas dalam rangka pengetahuan tentang dunia yang natural
·
Kebenaran rasional dibawah kebenaran empiris
·
Etika dan moral pada masa ini didasari pada suatu
pembuktian yang bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif
|
Tahap perkembangan moral yang ditetapkan
oleh Kohlberg lebih menekankan pada perspektif keadilan, sedangkan menurut
Gilligan lebih menekankan pada perspektif tanggung jawab dan kepedulian.Perspektif
keadilan tersebut bermakna suatu tindakan dilakukan untuk menghindari
hukuman.Bukan berarti bahwa perspektif keadilan tidak menekankan saling
menghargai. Perspektif tanggung jawab dan kepedulian bermakna menerapkan etik
dan moral sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian untuk saling menghargai,
memperhatikan, merawat, melindungi, menyembuhkan, dan saling memberikan
dukungan. Kaitan caring ethis dengan tanggung jawab yaitu bahwa kepedulian
dilakukan dan diberikan tempat sentral dalam praktik keperawatan, namun untuk
setiap tindakan yang dilakukan ada tanggung jawab yang menyertai. Sehingga dua
perspektif ini diperlukan perawat dalam memberikan asuhan keperawatannya.
Berdasarkan masa ke masa perkembangan
etik dan moral, adanya proses identifikasi pemahaman tentang etik dan moral
yang saling bertentangan dan melengkapi. Hal ini bisa terjadi kemungkinan
pengaruh perkembangan budaya, system pendidikan, berkembangnya keagamaan,
perekonomian. Sehingga setiap masa perkembangan etik dan moral tersebut
memampukan setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda dan saling
melengkapi. Tidak ada satu pun dari ahli filsafat tersebut membenarkan hasil
pikirnya tetapi saling mengembangkan dan menetapkan pemahaman yang lebih
terstruktur agar mempermudah individu ataupun kelompok menerapkan dalam hidup.
Etik dan moral sebagai pegangan bagi
setiap individu maupun perorangan
bermakna bahwa setiap individu maupun harus mempunyai pemahaman tentang etik.
Perlunya pemahaman tentang etik tersebut akan membantu individu tersebut menerapkannya
dalam hidup sehari-hari. Karena jika tidak memiliki pemahaman etik maka dapat
berakibat tidak adanya pendirian, kehilangan orientasi, tidak sanggup
menghadapi ideologi-ideologi baru, dasar iman kepercayaannya tidak kokoh.
B.
Analisa
Keperawatan sebagai profesi
Pemahaman tentang etika dapat membantu
seorang perawat mendapatkan pandangan yang lebih jelas dalam kasus-kasus sulit
dari masalah atau dilema etik dalam praktek keperawatan. Dilema etik didefinisikan sebagai masalah
yang dihadapi seorang perawat antara pilihan yang tampak atau pilihan yang tidak menguntungkan akan tetapi dinilai lebih
baik (James H & Husted, 2008).
Kasus : seorang pasien dalam keadaan
vegetative, dokter menanyakan kepada istri pasien ( inform consent)
tentang prosedur CPR, dengan kondisi jika perawatan tetap
dilanjutkan tidak akan membawa pemulihan secara keilmuwan dan keluarga akan
keberatan secara finansial. Akan tetapi jika CPR bukan pilihan, sama dengan
membiarkan pasien tersebut meninggal. Dilema ini jelas akan dihadapi dokter,
orang tua, dan orang-orang terkasih lainnya dari pasien seperti itu. Namun akan
lebih banyak menjadi perhatian perawat, karena keluarga cederung lebih sering
bertanya terlebih dahulu kepada perawat untuk meminta pertimbangan atau saran
bagaimana seharusnya. Untuk itu perawat haruslah berkompeten atau professional,
sehingga mampu memberikan informasi yang akurat, memberikan pertimbangan
mengenai manfaat dan beban pilihan dalam perawatan pasien, serta memberikan
dukungan emosional yang diperlukan (Lachman, 2006).
C.
Analisa
etik dalam keperawatan
Menurut American Nurses Association
(ANA) (2001), Tujuan pengembangan Kode Etik Keperawatan adalah sebagai panduan
dan kebijakan dalam membuat keputusan etik. Akan tetapi kode etik ini tidak
menjadi mutlak dalam pengambilan keputusan, tetapi harus tetap disesuaikan
dengan kondisi dan situasi yang ada.
Kode etik dipakai sebagai kerangka kerja untuk analisis dan keputusan
etis (Lachman, 2006).
Terkait kasus diatas : Klien tidak
memiliki kapasitas untuk membuat keputusan, maka pembuat keputusan adalah
anggota keluarga terdekat, atau ditunjuk/dipilih oleh keluarga atau bahkan
pengadilan yang akan menunjuk wali pasien jika keluarga tidak ada kata sepakat
atau pasien memang sebatang kara. Dalam kasus ini istri pasienlah yang mewakili
pasien. Istri pasien harus terlibat semaksimal mungkin dalam perencanaan dan
pelaksanaan perawatan kesehatan pasien. Istri pasien atau keluarga punya hak
moral untuk menentukan apa yang akan dilakukan terhadap pasien dan memutuskan
antara menerima, menolak, atau menghentikan pengobatan tanpa paksaan (Lachman, 2006).
D.
Keputusan
etik dan standart keperawatan
Etika dalam
perawatan terminal meliputi beberapa dimensi. Menurut Jonsen, Siegler, dan
Winslade (2002), keputusan etik yang terintegrasi meliputi empat dimesi, yaitu
: indikasi medis, pilihan pasien,
kualitas hidup, and konsep masa depan. Indikasi medis merupakan hal yang
mendasari dari setiap tidakan yang diberikan kepada pasien. Tetapi indikasi
medis tidak boleh mengabaikan pilihan pasien/keluarga karena pasien memiliki
hak otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Untuk membuat keputusan pasien
dipastikan (James H & Husted, 2008)
:
·
mengetahui mereka
mempunyai berapa pilihan ,
·
memahami situasi medis,
·
memperoleh rekomendasi
tentang pengobatan, risiko dan manfaat
dan kemungkinan konsekuensi.
Terkait
kasus diatas : indikasi dan kontraindikasi untuk CPR sudah sangat jelas. Memberikan pendidikan kesehatan tentang CPR
sebelum masa kritis sangat diperlukan,
karena dalam keadaan henti nafas dan henti jantung, perawat dan dokter tidak
lagi punya banyak waktu untuk menanyakan
boleh atau tidaknya CPR ( sudah ada inform consent sebelumnya). Diskusikan
dengan istri pasien/keluarga mengenai
tujuan perawatan dan apa saja yang akan kita kerjakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Tetapi ketika harapan/ kualitas hidup tidak dapat tercapai atau
prognosis pasien buruk, sampaikan juga tentang pilihan DNR ( Do Not
Resuscitation ) (James H & Husted, 2008).
Tentunya
bukan hal yang mudah diterima bagi istri pasien dan keluarga untuk memilih DNR,
tetapi kondisi pasien yang dinyatakan vegetative menjadi dasar pertimbangan.
Persisten vegetatif state (PVS) adalah kondisi kerusakan otak (baik dari
kejadian akut atau akibat progresif demensia) menghasilkan koma ireversibel,
hanya menyisakan fungsi otonom utuh. Pasien dalam PVS tidak akan memiliki
kesadaran tapi siklus tidur / bangun dan respons otonom lainnya seperti gerakan
mata, menelan, meringis dan perubahan papiler dalam menanggapi cahaya mungkin
tetap ada. Kehadiran dari refleks ini mungkin membingungkan dan mengganggu
siapapun yang melihat, yang kemudian ditafsirkan mereka sebagai bukti bahwa
pasien bisa merespon dan akan sembuh. Pertimbangan etis umumnya berpusat pada
apakah akan melanjutkan dukungan jangka panjang atau tidak intervensi. Timbul
pertanyaannya apakah ini adalah "kehidupan yang layak dijalani."
Ketika informasi sudah disampaikan dengan asertif, lalu berikan waktu bagi
istri pasien untuk memikirkannya. Dampingi selalu, karena dalam prosesnya pasti
ada pertanyaan-pertanyaan lain hingga istri pasien mampu memutuskan atau hanya
sebagai pendengar, wujud caring perawat pada istri pasien. Perawat juga dapat
melakukan advokasi pada istri pasien yaitu dengan mengkoordinasikan pertemuan
tim kode etik untuk membantu istri pasien dalam membuat keputusan. Selain itu
perawat juga dapat membantu istri dan keluarga dalam persiapan menghadapi
kehilangan orang yang dicintai. Hingga pada saat istri dan keluarga hendak
memutuskan, apapun pilihannya, mereka dalam keadaan siap untuk kehilangan.
Sampai pada akhirnya, istri pasien dan keluarga memilih untuk DNR dan juga
telah disepakati oleh semua tim kode etik, bahwa jika sesuatu yang buruk
terjadi maka tidak akan melakukan CPR dan menghentikan perawatan. Istri pasien
menginginkan suaminya meninggal dengan tenang, dan harapannya itu juga menjadi
pilihan suaminya (Lachman, 2006)
.
BAB IV
KESIMPULAN
Etik
adalah nilai-nilai (sistem nilai) dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens,
2002). Kode etik adalah kumpulan dari nilai-nilai dan standar perilaku profesi.
Kode etik memberikan kerangka kerja dalam pengambilan keputusan untuk profesi
dalam praktik sehari-hari. Kode etik harus direvisi secara berkala untuk
mencerminkan perubahan dalam profesi dan masyarakat sebagai satu kesatuan.
Meskipun kode etik tidak dapat ditegakkan secara hukum sebagai undang-undang,
pelanggaran kode etik profesional menunjukkan bahwa seseorang tidak berperilaku
secara profesional, yang akan mendapat sanksi disipliner mulai dari teguran,
denda penangguhan, dan pecabutan lisensi/ijin (Aiken, 2004).
Perawat
sebagai suatu profesi dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan kode etik
keperawatan yang telah dibuat majelis pertimbangan kode etik PPNI. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia (PMK) no.49 tahun 2013 bahwa
untuk meningkatkan profesionalisme, pembinaan etik, dan disiplin tenaga
keperawatan, serta menjamin mutu pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan
pasien perlu dibentuk komite keperawatan di rumah sakit. Komite keperawatan
adalah wadah non struktural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama
mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui
mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, pemeliharaan etika,dan disiplin
profesi.
Keperawatan
adalah suatu kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau
masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no
38 tahun 2014). Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan
kesehatan yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan
bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu,
keluarga dan masyarakat baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh
siklus hidup manusia.
Praktek
keperawatan adalah tindakan keperawatan profesional untuk masyarakat
menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar
dan ilmu keperawatan sebagai dasar untuk melakukan pengkajian, menegakkan
diagnosa, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan
mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana
keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan
intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi
yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan
bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan
dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
Ketika
tuntutan masyarakat terhadap suatu profesi semakin tinggi maka itu akan memberi
peluang kepada profesi tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilannya. Ketika profesi tersebut mampu memenuhi tuntutan masyarakat
maka dengan sendirinya profesi itu akan semakin diakui. Dari penjelasan tersebut,
dapat dikatakan bahwa kontrol sosial berupa tuntutan dari masyarakat dapat
meningkatkan pengembangan profesi.
Dalam memutuskan sebuah
keputusan etik tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip etik yang berlaku. Terdapat 4 prinsip dasar etik yang
mendasari dalam mengambil keputusan etik, yaitu, (Ashcroft, Dawson, Draper,
& McMillan, 2007) yaitu Otonomi, Beneficemce, Maleficence, Justice. Pemecahan
masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan pemikiran kritis dan
analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek. Memecahkan struktur masalah
yang sudah teridentifikasi ke dalam komponen-komponennya, menganalisis
komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar masalah. Akar masalah adalah
penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Dapat berupa kelemahan
pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya oranganisasi, sarana, alat,
sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.
Untuk mencapai pelayanan yang
efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan
yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas
yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang
berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama,
sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat
menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara
anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M. R. (2014). Nursing theorist and their work
(8th Edition). Missouri: Elsevier.
American Nurses Association
(2010). Nursing: Scope and standards of
practice (2nd Edition). Silver Spring, MD: Nursesbooks.org
Bell, D. (1978). The cultural contradiction of capitalism.
New York: Basic Book, Inc.
Bertens, K. (2013). Etika.
Yogyakarta: Kanisius.
Brent, Nancy.J.(2001). Nurses and the Low: Aguide to principles and applications (2ndEd). Philadelphia:Saunder.
Darwis. (2016). Nursing behavior towards our satisfaction
patients in hospital general city ofMakassar, Indonesia. International
Journal of Emerging Trends in Science and Technology, 3(12),
4902–4909. https://doi.org/DOI: https://dx.doi.org/10.18535/ijetst/v3i12.16.
Eraut, M.
(2002). Developing professional knowledge
and competence. London: Routledge Falmer.
Gilligan, C. (2003). In a different voice: Phsycological theory
and women’s development (Vol 53). Cambridge: Harvard University Press.
Held, V. (2007). The ethics of core. Oxford: Oxford
University Press.
Huber, D.L. (2000).
Leadership and nursing care management. Philadelphia: Pennsylvania.
International
Council of Nurses.(2012). The ICN code of
ethics for nurses. Diakses melalui www.icn.ch
Jena, Y. (2014). Etika kepedulian:
Welas asih dalam tindakan moral. Kanz Philosophia, 1-14.
Kohlberg, L.
(1995). Tahap-tahap perkembangan moral(A. Santod, John de dan Cremers, Ed.). Yogyakarta: Penerbit
Kanisius (Anggota IKAPI).
Kozier.
(2004). Fundamental og nursing: Concept,
process and practice. New Jersey: Person Prectice Hall.
Kurtines,W.M. &
Gerwitz,J.L. (1992). Moralitas, perilaku,moral dan perkembangan moral (edisi
pertama), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Kusnanto.
(2004). Pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional. Jakarta: EGC.
Lachman, V.D.
(2005). Applied ethics in nursing.
Berlin: Springer Publishing Company
Makhsin, M. (2007). Sains Pemikira
& Etika. Kuala Lumpur: PTS Proffesional.
Manurung, S., &
Hutasoit, M. L. C. (2013). Persepsi pasien terhadap perilaku caring perawat di
ruang rawat inap rumah sakit. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional,8(3), 104–108. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v8i3.351.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Peraturan meneteri
kersehatan republik Indonesia nomor 49 tahun 2013 tentang komite keperawatan rumah sakit.Diaksesmelalui www.bprs.kemenkes.go.id
Nursalam. (2014).
Caring sebagai dasar peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan keselamatan
pasien. Disampaikan, Pidato Jabatan, Pengukuhan Besar, Guru Keperawatan,
Bidang Ilmu Keperawatan, Fakultas Airlangga, Universitas Sabtu, Hari.
Retrieved from http://ners.unair.ac.id/materikuliah/Nursalam-Orasi-18
Januari-2014.pdf.
Nodding,
N. (1984). Caring a feminine approach to
ethics and moral educator. Berkeley: University of California Press.
Poedjawiyatna. (2003).Etika, filsafat, tingkah laku (edisi
ke-9). Jakarta : PT.Rineka
Cipta.
Poespoprodjo,W.(1999).Filsafat moral.
Bandung:Pustika Grafika.
Potter, P. A. &Perry, A.G. (2005). Fundamental
of nursing (6th
edn).St Louis: Mosby.
Potter, P. A. &Perry, A.G. (2007). Basic
nursingessensial for practice(6th
edn).St Louis: Mosby.
PPNI. (2016). Kode etik keperawatan
lambang panji PPNI dan ikrar keperawatan. Jakarta: Sekretariat DPP PPNI.
Prabowo, B. S., Ardiana, A., & Wijaya, D. (2014).
Hubungan tingkat kognitif perawat tentang caring dengan aplikasi praktek caring
di Ruang Rawat Inap RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso. Jurnal Pustaka Kesehatan
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember, 2(1), 148–153.
Praptianingnisih,S.
(2006). Kedudukan hukum perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Jakarta: PT. Raja Cerafindo Persada.
Santrock, J.W.
(2007). Perkembangan anak (Edisi 11).
Jakarta: Airlangga.
Scott, A.P. (2017). Key concept and issues in nursing ethics.
Switzerland: Springer International Publishing.
Souryal, S.S. (2011). Ethic in criminal justice in search of the
truth. USA:Anderson Publishing.
Suseno,F.M. 1987. Etika
Belajar: Masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta: Kanisius
|
Tussaleha, M., &
Kadrianti, E. (2014). Hubungan penerapan metode tim dengan kinerja perawat
pelaksana di ruang rawat inap interna di RSUD Daya Kota Makassar. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 5(3), 278–284.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Wilensky, H.
L. (1956). Intellectuals in labor unions:
organizational pressures on professional roles. New York: Free Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar