KONSEP ETIK DAN MORAL DALAM KEPERAWATAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Permasalahan etis menjadi permasalahan yg sering terjadi di berbagai tatanan praktik profesional, termasuk di bidang dunia keperawatan. Keperawatan sebagai profesi yang memberikan pelayanan kesehatan langsung baik individu, keluarga, maupun masyarakat seringkali terjebak di dalam situasi konflik moral yang sangat rumit, sehingga memerlukan pengetahuan tentang kegunaan dan keterbatasan moral yang lebih dalam agar dapat menghadapinya.
Etika merupakan suatu studi sistematis terhadap perilaku dan tindakan individu yang seharusnya dilakukan dengan memperhatikan diri sendiri, kebutuhan orang lain, dan lingkungan; etika menjustifikasi apa yang benar atau baik dan merupakan suatu studi bagaimana kehidupan seseorang dan hubungan relasional yang seharusnya, tidak peduli siapapun mereka. Etika merupakan suatu sistem tentang perilaku dan prinsip moral yang mengarahkan tindakan seseorang dengan memperhatikan apa yang benar dan salah dan juga memperhatikan pribadi seseorang dan komunitas dalam lingkup besar (Marquis&Huston, 2012).
Perawat sering sekali diperhadapkan pada situasi dimana mereka diharapkan menjadi perantara bagi pasien, dokter, dan organisasi secara simultan, dimana setiap bagian tersebut kemungkinan memiliki konflik kebutuhan, keinginan, dan tujuan. Sehingga untuk dapat mengambil keputusan etis yang tepat, perawat memerlukan pengetahuan tentang prinsip dan kerangka kerja etik (Marquis&Huston, 2012).
            Banyak masalah etis yang berhubungan langsung dengan persyaratan pelayanan perawatan yang dilakukan terhadap pasien. Persyaratan itu semakin penting artinya terkait dengan semakin maju baik ilmu kedokteran maupun teknologi. Sehingga pembatasan sumber-sumber finansial terhadap perawatan kesehatan, perubahan-perubahan dalam masyarakat dan penekanan-penekanan lainnya yang berkaitan dengan otonomi individu pun menjadi sangat penting artinya (Swanburg, 2012).
            Perawat dapat mengimplementasikan kebijakan pimpinan yang menyangkut tanggung jawab moral dalam perawatan kesehatan. Perawat bertanggung jawab dalam pengkajian masalah perawatan pasien, dalam memenuhi standar kualitas, mengambil keputusan yang berhubungan dengan pasien dan didasarkan pada prinsip etis yang sehat, pengembangan kebijakan, mekanisme yang banyak mempertanyakan masalah nilai-nilai kemanusiaan, hal-hal lainnya yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, dilema yang dapat mempengaruhi kebutuhan akan pelayanan (Swanburg, 2012).
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan etis ini, maka disusun makalah ini yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi perawat sekaligus memberikan masukan dalam menghadapi dilema etis saat menjalankan pelayanan asuhan keperawatan/praktik asuhan keperawatan. Dimana makalah ini akan dimulai dengan memaparkan tentang sejarah terbentuknya etik dan moral dalam kehidupan manusia, diikuti penjelasan munculnya teori tentang etika kepedulian pada profesi perawat sebagai sentral pelayanan asuhan keperawatan, serta bagaimana akhirnya perawat menyatakan dirinya sebagai salah satu bidang profesional. Oleh karena merupakan salah satu bidang profesional, makalah ini juga akan memaparkan etik dalam keperawatan (perangkat, kode etik, dan prinsip etik) sebagai landasan bagi perawat didalam menghadapi persoalan etis dalam menjalankan pelayanan asuhan keperawatan untuk akhirnya dapat menentukan / mengambil keputusan dilematis tersebut.

1.2  Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
a.       Menelaah dan menganalisa dasar pembentukan etik dan moral
b.      Menelaah dan menganalisa etika kepedulian
c.       Menelaah dan menganalisa keperawatan sebagai profesi (kontrol sosial, dimensi dan ciri profesi)
d.      Menelaah dan menganalisa etik dalam keperawatan (perangkat komite etik, kode etik, prinsip etik)
e.       Menelaah dan menganalisa keputusan etik dan standar keperawatan




BAB II
KAJIAN PUSTAKA

1.1  DASAR PEMBENTUKAN ETIKA DAN MORAL
1.1.1        Konsep Etik dan Moral
A.    Konsep Etik
1.      Pengertian Etik
        Etik berasal dari kata Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti  yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan. Arti kata etika (ta etha) menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika  yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral ( Bertens, 2002). Menurut Bertens (2002) etika adalah:
a.       Nilai-nilai (sistem nilai) dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya etika Yunani, etika agama Budha. Jadi etika Yunani yang berarti sistem nilai yang berlaku di Yunani dimana sistem nilai yang berlaku tiap individu maupun kelompok.
b.      Kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud adalah kode etik). Misalnya Kode Etik Keperawatan.
c.       Ilmu tentang yang baik buruk, filsafat moral.
Ada beberapa alasan mengapa etika perlu menurut Franz Magnis-Suseno :
a.       Etika diperlukan untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral.
b.      Etika membantu agar tidak kehilangan orientasi di tengah gelombang modernisasi
c.       Etika membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi baru dengan kritis dan objektif agar tidak mudah terpengaruh
d.      Etika diperlukan oleh kaum agama menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka.
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa etika adalah sutu nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi  bagi setiap kelompok maupun perorangan dalam mengatur tingkah lakunya baik atau buruk.
a.       Teori etika
Teori etikaterbagi menjadi dua kategori utama yaitu teori normatif dan teori metaetika.Teori normatif merupakan kategori yang lebih besar dan lebih substantif. Ini melibatkan perumusan standar perilaku moral dan mengartikulasikan prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Teori meta etika, di sisi lain, adalah kategori yang lebih kompleks yang menyelidiki makna istilah dan kritik etika bagaimana pernyataan etis telah diverifikasi ini adalah kategori sekunder dimana teori normatif ditinjau dan dikomentari. Dalam kapasitas ini, metaetika berfungsi sebagai kekuatan intelektual di balik layar yang menawarkan kritik ketika normatif etis terlalu jauh, atau ketika mereka gagal untuk menjelaskan prinsip-prinsip moral. Mengingat hubungan ini, etika normatif dapat dibandingkan dengan pengadilan yurisdiksi primer, sedangkan metaetika dapat dibandingkan dengan pengadilan banding. Setiap tingkat memberikan manfaat dari kontribusi pada yang lainnya.
1)      Teori Metaetika
        Istilah meta berarti "setelah" atau 'di luar' dan umum di antara filsuf ilustratif yang terbiasa membuat komentari filosofis tentang semua aspek pengetahuan.metaetik dapat didefinisikan sebagai studi tentang metode, bahasa, logika, struktur, dan penalaran yang digunakan dalam tiba di, atau dalam membenarkan penilaian moral.
        Perannya adalah untuk mengevaluasi komentar tentang bagaimana sebuah prinsip dibenarkan. Metaetik lebih langsung berkaitan dengan menganalisis arti istilah seperti baik dan buruk dibandingkan dengan menilai tingkah laku itu sendiri. Metaetik menghindari usaha untuk mendefinisikan standar perilaku moral, perhatian utama mereka adalah mengevaluasi kualitas dan validitas klaim oleh teori normatif dan memeriksa cara klaim semacam itu dipertimbangkan. Dalam kontras dengan tingkat pertama, menilai teoretikus normatif, methaetik masuk dalam tingkat kedua. Dengan demikian, hubungan antara etika normatif dan metaetika mirip dengan antara pengadilan negeri dan pengadilan banding dalam sistem peradilan.
        Teori metaetika pada gilirannya dibagi dalam dua subkategori, berdasarkan Pada apakah seseorang percaya bahwa penilaian moral dilakukan atau tidak ada sebagai kenyataan. Akhirnya, perlu ditekankan bahwa bidang etika normatif dan methaethic saling terkait erat karena masing-masing berkontribusi terhadap perkembangan yang lain. Akibatnya, kebanyakan filsuf filsuf saat ini tampaknya mengejar filsafat jalur ganda, menggabungkan kedua pendekatan dengan berbagai cara, dengan penekanan, pada satu pendekatan atau pendekatan lainnya (Souryal, 2011).
        Dari teori metaetik, penulis menyimpulkan bahwa filsafat dalam teori ini lebih dianggap sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan evaluator. Teori ini berperan dalam mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang dipercayai dan dibenarkan terutama oleh teori normatif. Para filsuf dalam teori ini akan melakukan penalaran pada standar ataupun istilah yang diakui baik dan benar oleh teori normatif. Secara tidak langsung teori ini membantu dalam perbaikan dan pembenahan kembali tentang prinsip-prinsip yang diakui tersebut.
2)      Normatif
        Bidang etika normatif terbagi menjadi dua sub kategori yang cukup dapat dibedakan . Pembagian ini didasarkan pada apakah penekanan moral diletakan diujung depan tindakan itu sendiri atau bagian belakang konsekuensi aksi. Yang pertama di kenal teori deontologis dan yang terakhir sebagai teori teleologis.
a)      Teori Deontologi
              Deontologi berasal dar bahasa yunani  ‘duty’ yang berarti kewajiban. Teori deontologi menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari suatu tindakan sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah. Suatu tindakan dinyatakan benar apabila tidak ada maksud di belakangnya atau ada konsekuensi lain, maka itu adalah benar. Contohnya membantu orang lain dianggap etika yang benar. Fakta bahwa lebih baik melakukan kebaikan daripada melakukan kesalahan. Kenyataan bahwa bantuan nantinya bisa terbukti berbahaya tidak membuat perbedaan dalam persamaan moral.
              Tindakan yang benar, tetap benar bahkan jika hasilnya buruk atau jika dilakukan karena alasan yang salah. Dengan tepat, mengatakan yang sebenarnya adalah mengutuk dengan baik tanpa mempertimbangkan konsekuensi buruk yang mungkin ditimbulkannya. Selanjutnya, tindakan yang dianggap benar harus bersifat universal di mana saja dan kapanpun. Teori deontologis dibagi dalam dua kategori :
-          Monistik; pertimbangan moralitas didasarkan pada nilai tunggal kebaikan. Contoh kategori ini mencakup teori hedonisme, yang menganggap bahwa kesenangan adalah satu-satunya yang baik dan total kebaikan, dan teori kant berkewajiban sebagai satu-satunya kewajiban dalam kehidupan.
-          Multipel ; teori deontologis dapat berupa dualistik atau pluralistik, dalam kasus mana mereka didasarkan pada dua atau lebih nilai kebaikan. Seperti pasangan yang menikah terdiri dari tampan/cantik dan kaya,atau pluralisme yaitu kaya, cantik, dan bependidikan. Oleh karena itu disimpulkan bahwa teori deontologi menilai nilai moral secara ketat atas dasar tindakan itu sendiri, terlepas dari apa konsekuensi dari tindakan itu yang mungkin terjadi. Dengan demikian, mereka merupakan sanksi yang tegas, material, universal atau setidaknya memiliki efek yang menentukan pilihan manusia. (Souryal, 2011).
Dari teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa teori deontologi menilai sesuatu yang dikatakan bermoral atau tidak adalah dari tindakan itu sendiri. Tindakan tersebut harus secara umum diakui bermoral dimanapun atau kapanpun. Apabila secara universal atau umum sebuah tindakan yang sudah diwajibkan untuk dilakukan, meskipun hasil dari tindakan tersebut tidak baik dan berbahaya, tidak diperhitungkan oleh teori ini. Tindakan tersebut tetap dikatakan bermoral oleh teori ini.
b)      Teori teleological
              Kata teleologikal berasal dari bahasa yunani ‘teleois’ yang berarti konsekuensi atau membawa masalah sampai akhir tujuan atau tujuan.
              Teori teleologis menentukan nilai moral dari hasil suatu tindakan. Di sana, konsekuensi tindakan tersebut ditentukan tindakan benar. Jika hasilnya bagus maka tindakannya benar jika hasilnya buruk dari tindakan yang salah. Dengan demikian, dalam contoh sebelumnya, kebenaran memukul pantat seorang anak adalah dalam mereformasi tingkah lakunya, hak untuk berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan, memenjarakan seorang penjahat adalah menghalangi orang lain melakukan kejahatan.
              Di antara dua teoretik teleologis yang paling dikenal adalah utilitarianisme dan keadilan sosial. Menurut teoriutilitarian, sebuah tindakan atau kebijakan mungkin bersifat moral atau tidak bermoral hanya dalam hal kapasitasnya untuk mencapai kebaikan terbesar bagi banyak orang. Oleh karena itu, kebijakan yang menaikkan upah minimum atau meningkatkan manfaat jaminan sosial sangat bermanfaat, karena dapat menguntungkan segmen populasi yang lebih besar. Dengan cara yang sama, teori keadilan sosial menegaskan bahwa moralitas utama ada pada masyarakat mana saja yang mampu memaksimalkan kebebasan bagi semua warga tanpa mengorbankan kebutuhan orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu.
              Teori teleologi juga dibagi menjadi dua subkategori, yaitu :
-          kualitas kebaikan ; teleologi memberi peringkat pada tingkat kebaikan dalam hal hirarki berdasarkan kualitasnya. Sebagai contoh, seperti kebaikan keadilan lebih tinggi daripada kebaikan kesenangan. Dengan cara yang sama, kebaikan intrinsik kesenangan adalah kualitas yang lebih tinggi daripada kekayaan non-intrinsik kekayaan. Dengan demikian, tindakan yang meningkatkan nilai keadilan dan kebahagiaan secara moral lebih unggul daripada yang memaksimalkan keuntungan ekonomi.
-          kedudukan/tempat  kebaikan ; pada subkategori kedua, kedudukan kebaikan, teleologi menentukan kebaikan suatu tindakan dalam hal lokasinya. Di mana ia paling diuntungkan. Misalnya, sementara teori egoisme dan utilitarianisme bersifat teleologis, keduanya berbeda dalam hal jumlah penerima manfaat. Seorang egois akan menghargai tindakan dalam hal jumlah kebahagiaan yang akan menimpanya. Sebaliknya, seorang utilitiranists akan menghargai tindakan yang sama dalam hal jumlah orang yang akan mendapatkan keuntungan darinya.
Secara ringkas teori teleologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan didasarkan pada moralitas konsekuensinya. Oleh karena itu, sebuah salam yang menghasilkan konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah 'tidak bermoral' dan perbuatan biasa-biasa saja yang menghasilkan konsekuensi bahagia adalah 'moral'. Selanjutnya, teori teleologis menekankan bahwa pertimbangan moral harus ditafsirkan dalam hal kepentingan masyarakat secara keseluruhan, karena moralitas adalah agen kebahagiaan universal. (Souryal, 2011).
Penulis menyimpulkan bahwa teori telologika lebih menekankan pada tujuan dan akhir dari sutu tindakan. Apapun jenis tindakan yang dilakukan, tidak diperhatikan ataupun dinilai. Tetapi tujuan maupun hasil dari tindakan itulah yang akan diniliai. Suatu tindakan yang dianggap mempunyai sebuah tujuan/maksud yang baik, walaupun tindakan itu berupa suatu tindakan kekerasan dan tidak bermoral, akan tetap dianggap baik apabila tujuan dari tindakan itu adalah untuk kebaikan. Teori ini juga menekankan pada hasil dari tindakan yang baik adalah untuk kepentingan dan kebaikan secara universal atau untuk kepentingan masyarakat luas.
2.      Pembagian Etika
a.       Etika deskriptif
Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultural tertentu, dalam suatu periode sejarah karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberikan penilaian.
b.      Etika normatif
Etika normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya terhadap norma etika. Etika normatif dibagi menjadi:
1)      Etika umum: memandang tema-tema umum
2)      Etika khusus: berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum ataswilayah perilaku manusia yang khusus.
c.       Meta etika
Mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Setelah mempelajari  tiga cara untuk mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan pedekatan non filosofis dan pendekatan filosofis. Pendekatan non filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan filosofis bisa sebagai etika formatif dan sebagai metaetika atau etika analitis. Dari sudut pandang lain etika dapat dibagikan juga ke dalam pendekatan normative dan pendekatan non normatif. Dalam pendekatan normatif si peneliti mengambil mengambil suatu posisi atau standpoint moral: hal itu terjadi dalam etika normatif (bisa etika umum dan bisa juga etika khusus).

B.     Konsep Moral
1.      Pengertian Moral
      Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Menurut Bertens  (2002),  moralitas adalah ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang  yang boleh dilakukan dan tidak pantas dilakukan.
      Etik dan moral tampil dalam tindakan manusia. Manusia itu dinilai oleh manusia lainnya dalam tindakannya. Tindakan manusia dapat dinilai dari berbagai aspek, misalnya penilaian sehat atau sakit, penilaian indah atau tidak indah, penilaian baik atau buruk. Tindakan manusia dilakukan secara sengaja dimana adanya pilihan dan tidak sengaja dimana  situasinya tidak memungkinkan untuk memilih, misalnya seseorang yang tidur mendengkur merupakan tindakan yang tidak sengaja. Sasaran pandangan etik khusus pada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja (Poedjawiyatna, 2003).
      Yang Mempengaruhi nilai moral
a.       Nilai moral dengan agama
Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi para pengikutnya.. Bila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada umumnya ia berkhotbah, artinya, ia berusaha memberi motivasi serta inspirasi, supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya berdasarkan iman. Bila filsafat berbicara tentang topik-topik etis, ia beragumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan aasan-alasan rasional. Demikian juga ada perbedaan tentang kesalahan moral. Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang beragama merasa bersalah dihadapan Tuhan, karena melanggar perintahNya. Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah, pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi. Karena itu di sini kesalahan moral pada dasarnya adalah sebuah inkonsekuensi rasional. 
b.      Nilai moral dengan hukum
Moral akan mengawang-mengawang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat seperti terjadi hukum, khususnya hukum pidana. Contoh: jangan mencuri, jangan membunuh, tidak saja merupakan larangan moral tapi perbuatan-perbuatan itu dilarang menurut hukum. Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral juga menyangkut juga sikap batin seseorang. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara, seperti halnya dengan hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tidak pernah masyarakat dapat  mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak bisa diputuskan dengan suara terbanyak. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
C.    Sejarah Pembentukan Moral dan Etika
Terbentuknya etika dan moral di masyarakat, tidak terlepas dari perjalanan sejarah dari tokoh-tokoh filsafat mulai dari abad Yunani purba sampai pada abad moderen. oleh karena itu, untuk mengetahui dasar pembentukannya, perlu diikuti riwayat dan perjalanan dari tokoh-tokoh filsafat tersebut.
1.   Abad Yunani
            Secara historis Etika sebagai usaha Filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia (Franz Magnis Suseno (1987: 14).
Pergaulan yang sering dilakukan di luar yunani dengan para pedagang dan para koloni membuat mereka mengenal banyak budaya di luar yunani seperti, tentang hukum, tata kehidupan dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah miliknya, hasil pembudayaan Negara tersebut benar- benar lebih tinggi? Karena tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian diajukanlah pertanyaan, “Mengapa begitu?” kemudian diselidikinya semua perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni filsafat moral (filsafat kesusilaan) atau etik a (W. Poespoproddjo,1999: 18).
a.       Socrates
     Socrates adalah ahli pikir pertama pada zaman keemasan dunia filsafat (470-399 SM).Socrates tidak meninggalkan ajaran tertulis, sedang alam pikirannya terutama diketahui melalui karya muridnya Plato. sokrates tidak menjelaskan secara langsung tentang etika. Tetapi ajarnnya menjadi tonggak utama bagi   ahli filsafat berikunya untuk menengembagkan ajaran filsafat terutama etika dan moral. Socrates hidup pada masa dimana sedang berkembangnya paham sofisme, yaitu paham yang merelativkan segala sesuaitu. Mereka berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang kuat. Mereka juga tidak mengakui adanya pengetahuan. Bagi kaum saofis, manusia menjadi ukuran segalanya, kebenaran mutlak tidak ada, kebenaran hanya berlaku sementara.
     Hal ini bertentangan dengan pemikiran Socrates. Socrates melihat bahwa kebenaran itu bersifat obiektf dan bisa bersifat mutlak serta bersumber pada manusia itu sendrii (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Dari situlah, Socrates mulai menerapkan metoda dialectik-kritis yaitu dialog antar dua pandangan yang saling bertentangan dan tidak mau menerima suatu pengertian begitu saja tanpa mengujinya terlebih dahulu.  Bagi Socrates sebuah hidup yang tanpa diuji/dicaritahu adalah hidup yang tidak bernilai. Dalam ajaran filsafatnya Socrates mendiskusikan pertanyaan secara umum tentang pengetahuan, character, dan diskusi khusus tentang sifat alami seperti kebaikan, keberanian dan kesederhanaan. Tujuan dari  Socrates adalah supaya masyarakat  bisa hidup kembali pada sifat alami  atau kebajikan (Souryal, 2011).
b.      Plato
     Plato adalah tokoh filsuf besar kedua di zaman filsafat yunani. Plato tidak secara gamblang menulis tentang etika. Plato menciptakan istilah ide. Tetapi di dalam ajaranya, tersirat uraian-uraian tetang etika. Salah satu pernyataan plato yang paling jelas berkaitan dengan etika dan moral adalah seorang individu akan melaksanakan hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal budi) terorganisasi secara terpadu dan laras. Menurut pluto hidup yang baik itu memperliatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk didalamnya kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan.
c.       Aristoteles
     Aristoteles adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf-filsuf besar dari zaman keemasan filsafat yunani. Karya Aristoteles mulai terkenal pada abad XII dan XIII. Aristoteles dikenal sebagai salah seorang ahli pikir yang terkenal pada masa itu dan yang menyebutkan istilah etika yang tertuang di dalam bukunya, yaitu The Nochomachean ethic. Dalam buku itu Aristoteles menyebutkan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui berbagai kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang kepentingannya bertahap-tahap (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Pada zaman ini, konsep etika dan moral didasarkan pada sifat naturalistik dan rasional sepanjang abad. Bagi alam pikiran klasik stadar moral dan etika itu bersifat objektif, akan tetapi keberadaanya merupakan pula bagian dari dunia alami yang dapat diketahui melalui proses penalaran akal budi.
2.   Abad pertengahan
                 Pada abad pertengahan ini disebut sebagai abad kepercayaan atau abad keselarasan rohaniah. Pada abad ini etika dipadukan oleh suatu kepercayaan yang kokoh, suatu penerimaan akan kebenaran yang hampir universal dari wahyu kristiani.  Dua filsuf  pada zaman ini yaitu Agustinus dan Aquinas menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad pertengahan yang berorientasi rohaniah dan objektifistik. Menurut Agustinus pengetahuan tetntang kebenaran yang mutlak dan objektif dapat dicapai melalui pengalaman mistik tentang kebenaran Ilahi yang diterima secara langsung. Menurut Thomas, tiada suatu hal atau peristiwa manapun dari yang paling kerdil hingga paling besar dan dahsyat, yang bertiada makna atau tujuan, sebab setiap hal dan peristwa itu merupakan bagian dari rencana agung Tuhan dalam menciptakan segalanya. Manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan penalaran itu semua berada dalam kesatuan ilahi. Pada masa ini, konsep etika dan moral dibentuk berdasarkan pandangan yang bersifat spiritual dan terpusat pada dunia kelak (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992)
3.   Abad modern
                 Pada abad moderen, merupakan awal jatuhnya abad pertengahan. Pada abad ini menegaskan bahwa akal budi mengungguli iman. Pada masa ini lahirlah ilmu pengetahuan moderen dan sains moderen yang memantapkan dirinya sebagai pemeran utama dalam alur pemikiran barat. Pada masa ini, segala sesuatu dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru. Jadi sains moderen memberikan kepada akal budi suatu peranan yang terbatas dalam rangka pengetahuan tentang dunia yang natural. Segala sesuatu di dunia selalu dilakukan penalaran dan uji secara empiris. Pada masa ini, mereka menempatkan kebenaran rasional dibawah kebenaran empiris. Status kebenaran yang relatif dari setiap hipotesa saintifik selalu tergantung pada data empiris yang ditemukan. Dalam kasus sains psikologi moderen, bagi seorang sains mungkin saja untuk mengkaji setiap variabel hasil yang dependen (seperti moral dan etika ) dengan berpegang pada penalaran dan asumsinya sendiri tanpa menggunakan asumsi yang menyangkut eksistensi standar moral yang obyektif.  Jadi disimpulkan bahwa, etika dan moral pada masa ini didasari pada suatu pembuktian yang bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif, sehingga bisa dikatakan bahwa pada masa ini menjadi masa yang sangat sulit bagi keberadaan etika dan moral (Kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992).


D.    Tahap perkembangan etik dan moral menurut Kohlberg (1995)
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional dan paskakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).
1.      Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10 tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan ; Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental ; Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
2.      Tingkat Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 1) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi ”Anak Manis” ; Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.
Tahap 2) : Orientasi hukum dan ketertiban ; Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3.      Tingkat Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 1) : Orientasi kontrak sosial legalistis ; Pada umumnya tahap ini amat bermakna semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya,  terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4).
Tahap 2) : Orientasi prinsip etika universal ; Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. (Kohlberg, 1995)

 2.2  ETIKA KEPEDULIAN
1.      DEFINISI
Menurut Tronto (1993 dalam Skerawin 2017) etika kepedulian merupakan tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan pertimbangan moral. Sedangkan menurut Held (2007, dalam Jena 2014) etika kepedulian didefenisikan sebagai komitmen moral untuk merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan, tetapi sekaligus juga memperjuangkan tata sosial yang adil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa etika kepedulian adalah komitmen moral untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan cara merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan secara adil pada setiap manusia.

2.      PERSPEKTIF CARING ETHICS
a.       Carrol Gilligan
Carol Gilligan mengemukakan caring ethics sebagai aspek relasi yang erat kaitannya denagan sisi feminis. Penalaran moral dibatasi dengan : “dua perspektif yang mengoordinasikan pikiran dengan cara yang berbeda”. Pada laki-laki defenisi moral terkait dengan istilah keadilan, sedangkan pada perempuan, moral didefenisikan bukan dalam istilah hak, namun lebih kepada tanggung jawab dan kepedulian.
Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan dari filsuf lain terkait dengan perawat. Perawat yang secara gender memang didominasi oleh wanita namun bagaimana etika kepedulian pada laki-laki? Apakah perawat laki-laki memiliki caring ethics yang lebih baik daripada perawat yang bukan laki-laki?
b.      Held (2007)
Held (2007, dalam Jena, 2014) menyatakan bahwa etika kepedulian menawarkan pendekatan komitmen moral untuk merawat, melindungi, menyembuhkan bahkan memberi dukungan sekaligus menjadi tata sosial yang adil.
c.       Watson (1999)
Watson menggambarkan hubungan caring transpersonal adalah hubungan manusia yang bersifat bersatu dengan orang lain dengan mengahargai seseorang itu sepenuhnya termasuk dengan keberadaannya di dunia. Watson memberikan penekanan pada aspek kualitas interpersonal dan transpersonal yaang meliputi empati, keselamatan, dan kehangatan.
Berdasarkan perspektif tersebut di atas caring ethics merupakan komitmen moral yang menekankan pada aspek interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan dalam bentuk bentuk memperhatikan, merawat, melindungi, menyembuhkan, dan memberikan dukungan. Perbedaannya pendekatan Carol Gilligan lebih menekankan aspek feminis dari pada beberapa aspek lainnya.
d.      Joan Tronto
Kepedulian dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan, melanjutkan, dan memperbaiki dunia sehingga kita dapat hidup didalamnya sebaik mungkin. Dunia yang dimaksud mencakup tubuh kita, diri sendiri, lingkungan yang terjalin dalam sebuah jaringan yang kompleks untuk mendukung kehidupan.
Tronto mengemukakan Tronto’s Dimensions phases of care dalam tabel di bawah ini (Scott, A. P. 2017) :

Dimensi Tahap Kepedulian
Sikap Etis
a.  Care about : hal ini mencakup kekuatiran terhadap terhadap seseorang/sesuatu.
Ketertarikan : memperhatikan akan adanya kebutuhan akan kepedulian (carea).
b.  Taking care of : mengambil tanggung jawab untuk merawat seseorang.
Tanggung jawab : memperbaiki situasi seseorang.
c.  Care giving : memberikan perawatan langsung kepada seseorang.
Kompetensi : memilliki pengetahuan keterampilan dan nilai yang diperlukan untuk tujuan perawatan.
d. Care receiving : tahap akhir ini berfokus pada penerima perawatan.
Responsif : menanggapi secara positif perawatan/kepedulian yang telah diberikan.

e.       Chris Gastmans
Keperawatan dianggap sebagai praktik moral dengan tiga komponen utama, yaitu : hubungan kepedulian (kondisi praktik keperawatan). Perilaku peduli (integrasi nilai kebaikan dan aktifitas kepakaran) dan perawatan yang baik yang dideskripsikan sebagai tujuan akhir prakttik keperawatan. Merawat dianggap sebagai cara spesifik untuk menghubungkan diri dengan yang lain dalam konteks relasional antara pasien dan perawat dalam memberikan perhatian (caring) selama aplikasi asuhan keperawatan.
Perilaku peduli melibatkan integrasi kebaikan (kebaikan altuistik terhadap perawatan dengan fitus kognitif dan afektif-motivasi) dan aktifitas kepakaran. Gastmans menjelaskan “perawatan yang baik” adalah tujuan dasar praktik keperawatan. Gastmans mengadopsi perspektif filosofis Eropa tentang “Being Human” yang menguraikan enam dimensi pasien yaitu fisik, relasional, sosial, psikologis, moral, dan spiritual. Secara keseluruhan perawat digambarkan sebagai hubungan kepedulian, integrasi kebaikan dan aktifitas ahli serta perawatan yang baik sebagai tujuan praktik keperawatan (Scott, A. P. 2017).
Berdasarkan kelima perspektif tersebut diatas, caring ethics merupakankomitmen moral yang menekankan pada aspek interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan dalam bentuk memperhatikan, merawat, melindungi, memyembuhkan dan dan memberikan dukungan. Perbedaannya pendekatan Carol Gilligan lebih menekankan aspek feminis dari pada beberapa aspek lainnya.

3.      SEJARAH PERKEMBANGAN DAN MENGAPA CARING ETHICS MUNCUL
Konsep etika kepedulian pertama kali digagasi oleh Carol Gilligan (1960 an). Carol  melihat etik dari persepektif feminimisme. Lalu sejak saat itu etika kepedulian telah digunakan dalam dalam berbagai bidang profesional seperti keperawatan, kesehatan, pendidikan, hubungan internasional, hukum, dan politik (Held 2015).
Di awal karirnya Carol Gilligan bekerja dengan psikolog Lawrence Kohlberg, yaitu saat Kohlberg meneliti teori tentang perkembangan moral. Gilligan mulai meneliti tentang perkembangan moral perempuan sebagai respon terhadap hasil penelitian Kohlberg yang berbasis laki-laki. Gilligan berpendapat bahwa teori yang berkembang saat itu hanya menekankan pandangan keadilan saja dan ini merupakan pandangan yang dimiliki oleh laki-laki.  Sementara itumenurut Gilligan wanita memiliki pandangan moral yang berbeda dimana menekankan pada solidaritas, komunitas, dan kepedulian tentang orang lain atau adanya hubungan ketergantungan satu dengan yang lainnya.
Pandangan wanita ini mengenai moral telah diabaikan atau diremehkan karna secara tradisional wanita berada pada posisi terbatas akan kekuasaan dan pengaruh (Gilligan, 2003). Pandangan moral keadilan/etik keadilan berfokus pada hal yang benar yang harus dilakukan, sedangkan pandangan moral kepedulian/etik kepedulian mengatakan bahwa kita dapat dan harus menumbuhkan kemampuan alami kita untuk merawat orang lain dan diri kita sendiri (Gilligan, 2013).
Teori etika kepedulian menurut Carol Gilligan berkisar pada pegangan bahwa manusia tidak patut disakiti. Gilligan banyak menulis tentang perasaan, tanggung jawab dan hubungan manusia terutamadari sudut pandang wanita. Teori mengatakan adanya tanggung jawab membantu, tidak membebani, dan tidak menyakiti orang lain (Makhsin, 2009).
Teori Gilligan menyertakan tahap perkembangan moral sebagai berikut (Makhsin, 2007) :
a.       Pra konvensioal : melihat kepentingan diri sendiri
Peralihan yang terjadi yaitu kesadaran antara kepentingan diri dan tanggung jawab pada orang lain.
b.      Konvensional : kepentingan orang lain
Peralihan yang terjadi : menyelesaikan permasalahan antara kepentingan orang lain dan diri sendiri.
c.       Pasca Konvensional : “aku” dengan prinsip “jangan menyakiti”
Dalam perkembangannya Carol Gilligan menghasilkan karya dalam sebuah buku dengan judul : ”In A Difference Voice (1982)”. Mengikuti karya Carol Gilligan tersebut pada tahun 1984, Nel’s Nodding mengembangkan teori “Relational Ethic” in has caring : A feminime approach to ethics and moral education, Nodding mengatakan kunci untuk memahami etika kepedulian adalah memahami gagasan kepedulian dan etik kepedulian secara khusus Nodding mengatakan kepedulian berakar pada penerimaan, ketergantungan satu sama lain dan responsif.

4.      KAITAN CARING ETHICS DENGAN TANGGUNG JAWAB
Menurut Bertens (2013) bertanggung jawab berarti dapat menjawab bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Seseorang tersebut tidak dapat mengelak bila diminta penjelasan atas perbuatannya.Tanggung jawab ada dua jenis, yaitu :
a.       Tanggung jawab retrospektif : tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya.
b.      Tanggung jawab prospektif : tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang.
Kaitan caring ethis dengan tanggung jawab yaitu bahwa kepedulian dilakukan dan diberikan tempat sentral dlam praktik keperawatan, namun untuk setiap tindakan yang dilakukan ada tanggung jawab yang menyertai.

2.3 KEPERAWATAN SEBAGAI PROFESI (KONTROL SOSIAL, DIMENSI, CIRI-CIRI)
1.      Keperawatan sebagai Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepetingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan golongan atau orang tertentu (Kusnanto, 2003). Sedangkan menurut Wilensky (1964), profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dukungan body of knowledge sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan pelatihan yang lama serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan (altruism). Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan pelatihan yang terus menerus berdasarkan body of knowledge yg spesifik, memiliki kode etik dan standar praktek dan berfokus pada pelayanan untuk masyarakat.
Keperawatan adalah suatu kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no 38 tahun 2014). Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan kesehatan yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentukpelayanan bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan keperawatan profesional untuk masyarakat menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai dasar untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
Melihat definisi dari beberapa ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan asuhan keperawatan yang profesional berdasarkan ilmu dan seni pada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit.

2.      Kontrol sosial
Menurut Michael Eraut (2002), konsep profesi ditemukan karena adanya kontrol sosial. Pelaku profesi perlu menyediakan pelayanan kepada masyarakat dengan ilmu pengetahuan yang ia miliki. Kontrol sosial yang dimaksud adalah bagaimana cara profesi (keperawatan) mempertahankan eksistensinya sebagai tenaga profesional dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit, sehingga pada akhirnya diakui oleh masyarakat (penerima layanan).
Ketika tuntutan masyarakat terhadap suatu profesi semakin tinggi maka itu akan memberi peluang kepada profesi tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Ketika profesi tersebut mampu memenuhi tuntutan masyarakat maka dengan sendirinya profesi itu akan semakin diakui. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kontrol sosial berupa tuntutan dari masyarakat dapat meningkatkan pengembangan profesi.
Keperawatan sebagai profesi berkomitmen pada kemampuan, integritas, moral, kepentingan orang lain dan mengembangkan kebaikan publik dlam keberadaannya. Komitmen ini membentuk dasar kontrol sosial antara profesi dan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat memberikan pada profesi otonomi dalam praktek dan hak dalam pengatturan diri. Dengan demikian, suatu profesi memerlukan kontrol sosial untuk mengawasi dan mengontrol perilaku anggota profesi dan memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu profesi.
Status profesional tidak merupakan hak yang melekat hanya dengan kualifikasi, tapi juga diberikan kepercayaan oleh masyarakat. Publik melihat bagaimana suatu profesi bekerja. Untuk dapat dipercaya, para profesional harus memenuhi kewajiban yang diharapkan oleh masyarakat. Kegagalan untuk memenuhi kepercayaan, tingkah laku dan standar profesional akan mengakibatkan kehilangan status profesi tersebut.
Dari hal diatas dapat dikatakan bahwa kontrol sosial sangat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan ke masyarakat. Perawat wajib memegang teguh kode etik yang berlaku agar pelayanan yang diberikan konsisten dan terstandar, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepuasan masyarakat yang tentunya akan meningkatkan kepuasan batin perawat yang sangat bernilai dan tidak dapat dinilai dengan materi. Hal tersebut akan memotivasi perawat terus memberikan yang terbaik untuk masyarakat, ibarat  mata rantai yang tidak terputus antara kontrol sosial, peningkatan kualitas,  kepuasan masyarakat dan kepuasan perawat,
3.      Dimensi profesi
a.       Dimensi disiplin ilmu, penerapannya :
-          Digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan dan melakaukan tindakan keperawatan
-          Menetapkan standar dan SPO untuk semaua tindakan keperawatan
-          Dilakukan dengan pengujian dan validasi serta pengembangan melalui penelitian
-          Melaksanakan evidence based practised
b.      Dimensi etik, penerapannya :
-          Menetapkan prinsip etik dalam berinteraksi dan memberikan asuhan keperawatan
-          Ditetapkan kode etik profesi
-          Melaksanakan kdoe etik profesi
c.       Dimensi hukum, penerapannya :
-          Peraturan perundang-undangan dijadikan dasar dalam melaksanakan pelayanan dan asuhan keperawatan
-          Peraturan perundang-undangan dijadikan landasan pelaksanaan berbagai kewajiban dan hak perawat
d.      Sedangkan dimensi kualitas pelayanan profesi keperawatan sebagai berikut :
-          Responsibility atau tanggung jawab, mencakup ketepatan dan kecepatan pelayanan serta keakuratan dalam memberikan informasi
-          Responsiveness atau kepekaan ; peka terhadap kebutuhan pasien didiringi tindakan yang tepat sesuai kebutuhan tersebut
-          Assurance atau kepastian pelayanan
-          Empati ; kemampuan memahami dan memperhatikan kondisi psikologis pasien
4.      Ciri-ciri profesi keperawatan (Nursalam, 2014)
a.       Mempunyai body of knowledge
b.      Pendidikan berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
c.       Memberi pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui praktek profesional yang spesifik
d.      Memiliki perhimpunan organisasi profesi
e.       Pemberlakuan kode etik keperawatan
f.       Otonomi
g.      Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
h.      Merupakan karier seumur hidup
i.        Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi
Profesi keperawatan berbeda dari profesi yang lain, sehingga memiliki ciri-ciri profesi yang spesifik untuk membedakan dari profesi yang lain dalam hal pelayanan, prosedur, fokus penerima pelayanan, dan kode etik. Berdasarkan ciri-ciri di atas, masih terdapat beberapa kesenjangan yang terjadi dalam profesi keperawatan di Indonesia, antara lain :
-          Belum semua perawat di Indonesia menguasai ilmu pengetahuan keperawatan yang setara.
-          Belum semua perawat mengenyam pendidikan profesional yang sama. Masih banyak ditemukan perawat yang latar belakang pendidikan diploma (vokasional)
-          Masih banyak perawat terutama didaerah yang melaksanakan praktek medis, contohnya melakukan tindakan khitanan, pemberian obat-obatan dll
-          Masih banyak perawat yang belum bergabung dengan organisasi PPNI
-          Masih banyak ditemukan pelanggaran, contohnya menjaga kerahasiaan pasien seperti kondisi pasien (upload luka pasien), namun belum ada tindakan tegas dari organisasi profesi.
-          Kebanyakan perawat di RS tidak sempat melakukan tindakan-tindakan keperawatan mandiri, lebih banyak melaksanakan tindakan kolaboratif (delegasi dokter).

2.4 ETIK DALAM KEPERAWATAN (PERANGKAT KOMITE ETIK, KODE ETIK, PRINSIP ETK)
1.      Perangkat Komite Etik
Komite etik merupakan kelompok dari praktisi yang berusaha meyakinkan masyarakat melalui kode etik yang berisi standar pelayanan agar masyarakat dapat menilai sikap dan perilaku dari individu praktisi tersebut ( Thompson, 2006). Peran komite etik adalah mendukung pendidikan dalam bidang etik dan meningkatkan pengambilan keputusan etik di institusi pelayanan. Peran komite etik dapat dicapai dengan mendidik staf, berpartisipasi dalam kebijakan pengembangan pendidikan masyarakat dan mendukung pasien dan keluarga saat menghadapi masalah etik terkait perawatan pasien (Lachman, 2006).
Dalam Munas PPNI menugaskan PP PPNI masa bakti 2000-2005 untuk membentuk Majelis Petimbangan Kode Etik sebagai alat kelengkapan organisasi yang menangani masalah-maslah yang timbul dalam penanganan kode etik (PP PPNI, 2000). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia (PMK) no.49 tahun 2013 bahwa untuk meningkatkan profesionalisme, pembinaan etik, dan disiplin tenaga keperawatan, serta menjamin mutu pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan pasien perlu dibentuk komite keperawatan di rumah sakit. Komite keperawatan adalah wadah non structural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, pemeliharaan etika,dan disiplin profesi. Komite keperawatan dibentuk oleh kepala/direktur rumah sakit. Susunan organisasi komite keperawatan sekurang-kurangnya terdiri dari ketua komite, sekretaris komite, dan sub komite. Sub komite terdiri dari sub komite kredensial, sub komite mutu profesi, dan sub komite etik dan disiplin profesi. Dalam melaksanakan fungsi menjaga disiplin dan etik profesi tenaga keperawatan, komite etik bertugas :
a.       Melakukan sosialisasi kode etik profesi tenaga keperawatan
b.      Melakukan pembinaan etik dan disiplin profesi tenaga keperawatan
c.       Merekomendasikan penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam kehidupan profesi dan pelayanan asuhan keperawatan dan kebidanan
d.      Merekomendasikan pencabutan kewenangan klinis
e.       Memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan dan kebidanan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 49 tahun 2013 persyaratan yang harus dipenuhi oleh personel komite keperawatan yaitu memiliki kompetensi yang tinggi sesuai jenis pelayanan atau area praktik, mempunyai semangat profesionalisme serta reputasi baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bart Cusveller (2012) menjelaskan bahwa seorang komite etik keperawatan perlu memiliki :
a.       Pengetahuan dasar mengenai etik seperti konsep moral, model, isu, dan hukum kesehatan.
b.      Kemampuan berkomunikasi dengan baik, mampu mendengarkan, berbicara, dan menulis.
c.       Sikap sangat menghormati dan terbuka antar anggota komite dan situasi psien.
d.      Kemampuan mengenai isu yang sedang terjadi di lingkungan perawat maupun pasien.
e.       Kemampuan mengedukasi tentang etik dan moral kepada anggotanya.
2.      Kode Etik
Kode etik adalah kumpulan dari nilai-nilai dan standar perilaku profesi. Kode etik memberikan kerangka kerja dalam pengambilan keputusan untuk profesi dalam praktik sehari-hari. Kode etik harus direvisi secara berkala untuk mencerminkan perubahan dalam profesi dan masyarakat sebagai satu kesatuan. Meskipun kode etik tidak dapat ditegakkan secara hukum sebagai undang-undang, pelanggaran kodeetik profesional menunjukkan bahwa seseorang tidak berperilaku secara profesional, yang akan mendapat sanksi disipliner mulai dari teguran, denda penangguhan, dan pecabutan lisensi/ijin (Aiken, 2004).


Kode Etik Keperawatan Berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional VI PPNI N0 09/Munas VI/PPNI/2000
Perawat dan Klien
1.    Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan social.
2.    Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien.
3.    Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan.
4.    Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Perawat dan Praktik
1.    Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang keperawatan melalui belajar terus menerus.
2.     Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3.    Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain.
4.    Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku professional.

Perawat dan Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.

Perawat dan Teman Sejawat
1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.

Perawat dan Profesi
1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.
2. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan.
3. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.

Kode Etik Menurut ANA (Martha, D Fowler, 2010) :
a.    Ketentuan 1 : Perawat memberikan pelayanan dengan rasa menghormati martabat yang melekat pada setiap individu, harga diri, dan keunikan setiap individu.
b.    Ketentuan 2 : Perawat bertanggung jawab kepada pasien baik individu, keluarga, kelompok, komunitas maupun populasi.
c.    Ketentuan 3 : Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan melindungi hak, kesehatan, dan keamanan pasien.
d.   Ketentuan 4 : Perawat memiliki wewenang, akuntabilitas, dan tanggung jawab dalam tugasnya membuat keputusan dan mengambil tindakan yang konsisten dengan kewajibannya untuk memberikan perawatan kepada pasien secara optimal.
e.    Ketentuan 5 : Perawat bertanggung jawab untuk mempromosikan kesehatan dan keselamatan, tidak membeda-bedakan individu, meningkatkan kompetensi personal dan profesional.
f.     Ketentuan 6 : Perawat baik secara individu maupun bersama-sama menetapkan, mempertahankan, dan memperbaiki lingkungan guna meciptakan kondisi kerja yang kondusif untuk memberikan perawatan kesehatan yang aman dan berkualitas.
g.    Ketentuan 7 : Perawat dalam tatanan apapun memajukan profesi keperawatan baik melalui penelitian, mengumpulkan bukti ilmiah, pengembangan standar profesi baik keperawatan maupun kesehatan.
h.    Ketentuan 8 : Perawat bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya dan masyarakat umum untuk melindungi hak asasi manusia, mempromosikan kesehatan, dan mengurangi perbedaan pelayanan kesehatan.
i.      Ketentuan 9 : Profesi keperawatan baik secara kolektif melalui organisasi profesi harus mengartikulasikan nilai keperawatan, menjaga integritas profesi, dan mengintegrasikan prinsip keadilan sosial ke dalam keperawatan dan kebijakan kesehatan.

Kode Etik menurut ICN (International Council of Nursing, 2012) :
a.    Perawat dengan individu
Perawat bertanggung jawab kepada individu yang menuntut pelayanan keperawatan, menyediakan lingkungan yang menjaga hak asasi, nilai, kepercayaan individu, keluarga, dan komunitas.
b.    Perawat dan praktik
Perawat memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap praktik keperawatan dan meningkatkan kompetensi dengan cara belajar secara terus-menerus.
c.    Perawat dan profesi
Perawat memikul peran utama dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik klinik keperawatan, manjemen, penelitian, dan edukasi.
d.   Perawat dengan tenaga lainnya
Perawat memungkinkan untuk kolaborasi dan menghargai hubungan dengan tenaga perawat lain dan dengan bidang lainnya.

PRINSIP – PRINSIP ETIK KEPERAWATAN (AIKEN, 2004) :
1.      Otonomi
  Otonomi adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, kemerdekaan dan kebebasan. Pemberi pelayanan kesehatan menghormati hak pasien dalam membuat keputusan, walaupun pemberi pelayanan (perawat) tidak setuju dengan keputusan pasien. Otonomi bukanlah hak mutlak, dalam kondisi tertentu bisa berubah,misalnya pasien yang menolak pengobatan TB dapat dipaksa oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk meminum obat TB karena Tb dapat menular ke orang lain, pasien di isolasi untuk mencegah penularan penyakit.
2.        Justice (Keadilan)
  Justice adalah kewajiban untuk bersikap adil terhadap semua orang tidak memandang ras, jenis kelamin, status perkawinan, diagnosa medis, tingkat sosial, tingkat ekonomi, dan agama (keadilan distributif) dalam memberikan pelayanan kesehatan
3.      Fidelity (Kesetiaan)
  Fidelity adalah kewajiban individu untuk setia pada komitmen yang telah dibuat untuk diri sendiri dan orang lain. Dalam pelayanan kesehatan, kesetiaan meliputi kesetiaan profesional atau kesetiaan pada kesepakatan dan bertanggung jawab sebagai bagian dari praktik profesi. Kesetiaan adalah pendukung utama dalam tanggung jawab, walaupun konflik dalam kesetiaan mungkin timbul karena kewajiban yang harus diberikan kepada individu yang berbeda atau kelompok.
4.      Beneficence (kemurahan hati)
  Beneficence adalah memberikan pelayanan yang baik pada pasien secara holistik termasuk keyakinan, perasaan, dan keinginan pasien.
5.      Nonmaleficence
  Nonmaleficence adalah memberikan pelayanan tidak akan membahayakan pasiennya baik di sengaja atau tidak
6.      Veracity (kejujuran)
  Veracity adalah pemberi pelayanan kesehatan mengatakan yang sebenarnya (jujur). Pasien harus tahu mengenai penyakit yang dideritanya, pengobatan, dan prognosisnya.
7.      Confidentiality
  Confidentiality adalah menjaga kerahasiaan pasien.
8.      Accountability
  Accountability adalah bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain demi kepentingan tindakan keperawatan. Perawat mampu menjelaskan alasan tindakan dan memahami standar keperawatan.
9.      Paternalisme
  Paternalisme mengacu pada praktik yang membatasi kebebasan individu tanpa meminta persetujuan pasien. Sikap paternalistik tidak memprioritaskan pilihan atau keinginan individu. Pemberi pelayanan kesehatan beranggapan bahwa mereka lebih tahu apa yang baik untuk pasien.
10.    Rasionalisme (alasan)
Rasionalisme adalah dasar dalam mengambil keputusan. Rasionalisme berfokus pada urutan logis.
11.    Pragmatisme (pragmatisme)
Pragramatisme adalah proses mengklarifikasi ide atau gagasan secara objektif melalui pemecahan masalah.

2.5 KEPUTUSAN ETIK DAN STANDAR KEPERAWATAN
1. Masalah dan Dilema Etik
Keperawatan merupakan suatu bentuk asuhan yang ditujukan untuk kehidupan orang lain. Semua aspek keperawatan mempunyai komponen etika. Pada saat ini permasalahan yang berkaitan dengan etika telah meenjadi permasalahan disamping
masalah hukum,baik bagi pasien, masyarakat maupun pemberi asuhan. Perkembangan tekhnologi dan ilmu pengetahuan telah memberikan dampak yang luas terhadap pola fikir dan perilaku dalam masyarakat yang terkadang menjadi dilemma dalam pengambilan sebuah keputusan terhadap pemberian asuhan keperawatan. Dilema diartikan sebagai sebuah persoalan yang menghadapkan seseorang kepada pilihan yang tidak menyenangkan dalam hal ini dapat terjadi konfrontasi antara dokter, orang tua dan keluarga pasien, bagaimanapu hal ini harus menjadi perhatian para perawat (para spesialis) karena keluarga seringkali meminta bantuan dan rasa nyaman kepada perawat (lachman,2006).
Menurut Efendi,2009 perawat berada dalam berbagai situasi yang mengharuskan untuk membuat keputusan. Pada penyelesaian dilema etik kita kenal prinsip DECIDE, yaitu:
D = Define the Problems
E = Ethical Review
C = Consider the Options
I = Investigates outcomes
D= Decide on action
E = Evaluate Results

Saat menghadapi dilema etik, kita dapat menanggapi dengan cara yang berbeda menurut Huber,2000, tahapannya sebagai berikut, yaitu:
1.                     Menunjukan maksud baik
2.                     Mengidentifikasi semua orang penting
3.                     Mengumpulkan informasi yang relevan
4.                     Mengidentifikasi prinsif etis yang penting
5.                     Mengusulkan tindakan alternative
6.                      Melakukan tindakan

Prinsip keperawatan yang menjadi landasan dalam pengambilan keputusan etik, yaitu:
a.                      Respek terhadap otonomi
b.                     Nonmaleficence
c.                      Beneficence
d.                     Justice

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan, yaitu
a. Agama
b. Sosial
c. Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
d. Legislasi dan keputusan yuridis
e. Dana atau keuangan
f. Pekerjaan
g. Kode etik keperawatan
h. Hak-hak pasien

Teori dasar pembuatan keputusan etik:
a. Teleologi
Doktrin yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat terjadi
b. Deontologi (Formalisme)
Menurut Kanle, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil atau konsekuensi
dari suatu tindakan melainkandari nilai moralnya.
5 Prinsip penting dalam teori deontology, yaitu:
1. Kemurahan hati (beneficence)
2. Keadilan (Justice)
3. Otonomi
4. Kejujuran (Veracity)
5. Ketaatan (fidelity)

2.   Prinsip – prinsip keputusan etik
Dalam memutuskan ssebuah keputusan etik tidak bisa terlepa dari prinsip-prinsip etik yang  berlaku. Terdapat 4 prinsip dasar etik yang mendasari dalam mengambil keputusan etik, yaitu, (Ashcroft, Dawson, Draper, & McMillan, 2007):
a.       Otonomi
Otonomi harus diikuti oleh hak seseorang untuk memahami keputusannya dengan mendapatkan informasi yang cukup dari tenaga profesional dalam pelayanan. Dalam otonomi seseorang harus terbebas dari intervensi atau campur tangan orang lain, bebas dari paksaan dan memiliki kapasitas mental yang baik dalam memahami danmengambil keputusan.
b.      Non Maleficence (tidak membahayakan)
Prinsip non maleficence berarti tidak melakukan kekerasan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Prinsip Non Maleficence dilaksanakan dengan tetap menjunjung hak otonomi pasien. Prinsip non meleficence terkadang dapat berbenturan denganaturan-aturan moral yang ada dalam masyarakat.
c.       Beneficence (Berbuat baik)
Beneficence merupakan nilai paling fundamental dalam etika pelayanan kesehatan, dimana berbuat baik menjadi landasan dalam tingkah laku seseorang dalam memberikan pelayanan. Prinsip beneficence didasarkan pada kewajiban moral untuk memberikan kebaikan bagi orang lain dengan memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian bagi pasien.
d.      Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada pasien sesuaidengan kebutuhan mereka, pasien dengan kebutuhan terapi yang besar harus mendapatkan terapi yang sesuai dengan kondisinya demikian juga sebaliknya. Kontroversi yang terjadi pada prinsip keadilan adalah tentang pertimbangan yang relevant dalam penggolongan karakteristik pasien yang membutuhkan terapi.

3.         Perbandingan standar keperawatan di indonesia dan di luar negeri :
a.       Standar keperawatan Indonesia (PPNI, 2005)
·         Standar praktik merupakan salah satu perangkat yang diperlukan oleh setiap tenaga profesional. Standar praktik keperawatan adalah harapan – harapan minimal dalam memberikan asuhan keperawatn yang aman, efektif dan etis
·         Standar praktik keperawatan merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap praktik yang dilakukan oleh anggota profesi
               Lingkup standar praktik keperawatan Indonesia meliputi :
1)      Standar praktik Profesional, yang terdiri dari :
a.       Standar I    : Pengkajian
b.      Standar II   : Diagnosa keperawatan
c.       Standar III  : Perencanaan
d.      Standar IV  : Pelaksanaan Tindakan / implementasi
e.       Standar V   : Evaluasi

2)      Standar kinerja Profesional
a.       Standar I      : Jaminan mutu
b.      Standar II     : Pendidikan
c.       Standar III    : Penilaian kinerja
d.      Standar IV    : Kesejawatan ( collegial )
e.       Standar V     : Etik
f.       Tandar VI     : Kolaborasi                   
g.      Standar VII   : Riset
h.      Standar VIII  : Pemanfaatan sumber - sumber

b.      StandarProfesional ( ANA,2010a ) American Nurses Association
Lingkup standar profesional menurut ANA,2010a.meliputi :
1)      Standar praktik keperawatan,meliputi :
a.       Standar I    : Pengkajian
b.      Standar II   : Diagnosa keperawatan
c.       Standar III  : Identifikasi hasil
d.      Standar IV  : Planning
e.       Standar V   : Implementasi
                                                         VA  : Koordinasi dalam pelayanan kesehatan
                                                         VB  : Bimbingan dan promosi kesehatan                                                        
         VC  : Konsultasi
                                             VD : Prescriptive Authority and Treatmen
f.       Standar VI  : Evaluasi    

2)      Standar Profesional perfformance, meliputi :
a.       Standar 7   : Etik
b.      Standar 8   : Pendidikan
c.       Standar 9   : Evidence- Based practice dan riset
d.      Standar 10 : Quality nursing practice
e.       Standar 11 : Komunikasi
f.       Standar 12 : kepemimpinan
g.      Standar 13 : kolaborasi
h.      Standar 14 : Profesional practice evaluation
i.        Standar 15 : Resource utilization
j.        Standar 16 : Kesehatan lingkungan
Menurut kelompok standar praktik keperawatan yang saat ini dilakukan di rumah sakit sudah perpaduan antara menurut PPNI dan ANA yaitu pada standar praktik profesional yang standar Implementasi yaitu perawat yang sudah spesialis atau teregistrasi atau advance dapat melakukan implementasi keperawatan antara lain : bekerjasama dengan team kesehatan lain,melakukan bimbingan dan promosi kesehatan, berkonsultasi dan menerima konsultasi terkait pelayanan keperawatan serta dapat melakukan praktik secara mandiri sesuai peraturan perundangan – undangan yang berlaku di Indonesia.

4.            Pelaksanaan keputusan etik dan standar keperawatan di Indonesia
Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan.
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Komponen yang masuk dalam proses pengambilan keputusan :
a.       Fakta situasi
b.      Teori dan prinsip etik
c.       Kode etik keperawatan
d.      Hak-hak klien
e.       Nilai personal
f.       Faktor yang menggangu seseorang untuk membuat suatu keputusan.
Suatu keputusan yang baik adalah keputusan yang berpihak pada kepentingan klien dan pada waktu yang sama juga melindungi integritas semua pihak yang terlibat.
Langkah pertama dalam pengambilan keputusan etik adalah  memastikan bahwa masalah memiliki muatan etik atau moral. Kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah terdapat situasi moral (Fry, 1989) :
a.       Terdapat  kebutuhan untuk memilih antara tindakan alternatif yang menimbulkan konflik dengan kebutuhan manusiadalahkesejahteraan orang lain.
b.      Pilihan apa yang akan dibuat dipandu oleh prinsip/teori moral universal, yang dapat digunakan untuk memberikan beberapa pembenaran tindakan.
c.       Pilihan dipandu oleh suatu proses penimbangan alasan
d.      Pilihan dipengaruhi oleh perasaan personal dan oleh konteks tertentu dari situasi.
Dalam beberapa kasus, pertanyaan yang paling penting adalah siapa yang seharusnya mengambil keputusan.  Pertanyaan di bawah ini dapat membantu perawat menentukan siapa yang memiliki masalah :
   1.         Untuk siapa keputusan dibuat?
   2.         Siapa yang akan terlibat dalam pengambilan keputusan dan mengapa?
   3.         Kriteria apa (sosial, ekonomi, psikologi, fisiologi atau legal) yang seharusnya digunakan dalam memutuskan siapa yang akan mengambil keputusan.
   4.         Persetujuan semacam apa yang diperlukan oleh subyek.          
Penanganan Masalah Isu-Isu Dalam Keperawatan
a.       Pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan pemikiran kritis dan analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek.
b.      Pemecahan masalah termasuk dalam langkah proses pengambilan keputusan, yang difokuskan untuk mencoba memecahkan masalah secepatnya. Masalah dapat digambarkan sebagai kesenjangan diantara “apa yang ada dan apa yang seharusnya ada”.
c.       Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang efektif diprediksi bahwa individu harus memiliki kemampuan berfikir kritis dan mengembangkan dirinya dengan adanya bimbingan dan role model di lingkungan kerjanya.
d.      Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas
e.       Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar masalah.Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Ia dapat berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya oranganisasi, sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.
f.       Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root cause analisis),untuk menetapkan arah pemecahannya.
g.      Menetapkan beberapa alternatif untuk pemecahan akar masalah.
h.      Memilih alternatif yang situasional terbaik untuk pemecahan masalah itu dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan yang sudah dilaksanakan.
i.        Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika manusia sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah sakit.



BAB   III
PEMBAHASAN

A.    Analisa terhadap dasar pembentukan etik dan moral dan etika kepedulian
Etika adalah suatu nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi  bagi setiap kelompok maupun perorangan dalam mengatur tingkah lakunya baik atau buruk. Teori etika terdiri dari dua kategori yakni teori normative dan teori metaetika. Teori normatif merupakan perumusan standar perilaku moral dan adanya prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Sedangkanteori meta etika merumuskanbagaimana pernyataan etis telah diverifikasi yang berarti teori normative ditinjau dan dikomentari.Perbandingan dua teori ini dapat kami kelompok sebagai berikut:
No
Teori Normatif
Teori Metaetika
1
Perumusan standar perilaku moral, menentukan tentang kebenaran dan kesalahan dari suatu tindakan sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah
Studi tentang metode, bahasa, logika, struktur, dan penalaran yang digunakan  dalam membenarkan penilaian moral
2
Mengartikulasikan prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku
Menyelidiki makna istilah seperti baik buruk, pernyataan etis telah diverifikasi
3
Menentukan nilai moral dari hasil suatu tindakan, menilai tingkah laku itu sendiri
Mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang dipercayai dan dibenarkan terutama oleh teori normatif
4
Moralitas suatu tindakan didasarkan pada moralitas konsekuensinya
Sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan evaluator
5
Contohnya, hak untuk berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan
Contohnya, Evaluasi hak untuk berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan







Perkembangan etik dan moral dapat kami simpulkan dari zaman ke zaman berikutnya sebagai berikut :
 Abad / Ahli filsafat  
Hasilnya
Yunani
a.       Sokrates
·         Sebuah hidup yang tanpa diuji/dicaritahu adalah hidup yang tidak bernilai
·         Pertanyaan secara umum tentang pengetahuan, character, dan diskusi khusus tentang sifat alami seperti kebaikan, keberanian dan kesederhanaan
·         Supaya masyarakat  bisa hidup kembali pada sifat alami  atau kebajikan
b.      Plato
·         Menciptakan istilah ide
·         Tersirat uraian-uraian tetang etika
·         Seorang individu akan melaksanakan hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal budi) terorganisasi secara terpadu dan laras
·         Hidup yang baik itu memperlihatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk didalamnya kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan
c.       Aristoteles
·         Menyebutkan istilah etika yang tertuang di dalam bukunya, yaitu The Nochomachean ethic
·         Kebenaran merupakan tujuan yang hendak kita raih melalui berbagai kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang kepentingannya bertahap-tahap
·         Sifat naturalistik dan rasional sepanjang abad, alam pikiran klasik stadar moral dan etika itu bersifat objektif, keberadaanya merupakan pula bagian dari dunia alami
Pertengahan
·         Menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad pertengahan yang berorientasi rohaniah dan objektifistik
·         Manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan penalaran itu semua berada dalam kesatuan ilahi
Modern
·         Akal budi mengungguli iman, akal budi suatu peranan yang terbatas dalam rangka pengetahuan tentang dunia yang natural
·         Kebenaran rasional dibawah kebenaran empiris
·         Etika dan moral pada masa ini didasari pada suatu pembuktian yang bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif

Tahap perkembangan moral yang ditetapkan oleh Kohlberg lebih menekankan pada perspektif keadilan, sedangkan menurut Gilligan lebih menekankan pada perspektif tanggung jawab dan kepedulian.Perspektif keadilan tersebut bermakna suatu tindakan dilakukan untuk menghindari hukuman.Bukan berarti bahwa perspektif keadilan tidak menekankan saling menghargai. Perspektif tanggung jawab dan kepedulian bermakna menerapkan etik dan moral sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian untuk saling menghargai, memperhatikan, merawat, melindungi, menyembuhkan, dan saling memberikan dukungan. Kaitan caring ethis dengan tanggung jawab yaitu bahwa kepedulian dilakukan dan diberikan tempat sentral dalam praktik keperawatan, namun untuk setiap tindakan yang dilakukan ada tanggung jawab yang menyertai. Sehingga dua perspektif ini diperlukan perawat dalam memberikan asuhan keperawatannya.
Berdasarkan masa ke masa perkembangan etik dan moral, adanya proses identifikasi pemahaman tentang etik dan moral yang saling bertentangan dan melengkapi. Hal ini bisa terjadi kemungkinan pengaruh perkembangan budaya, system pendidikan, berkembangnya keagamaan, perekonomian. Sehingga setiap masa perkembangan etik dan moral tersebut memampukan setiap individu memiliki sudut pandang yang berbeda dan saling melengkapi. Tidak ada satu pun dari ahli filsafat tersebut membenarkan hasil pikirnya tetapi saling mengembangkan dan menetapkan pemahaman yang lebih terstruktur agar mempermudah individu ataupun kelompok menerapkan dalam hidup.
Etik dan moral sebagai pegangan bagi setiap individu  maupun perorangan bermakna bahwa setiap individu maupun harus mempunyai pemahaman tentang etik. Perlunya pemahaman tentang etik tersebut akan membantu individu tersebut menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Karena jika tidak memiliki pemahaman etik maka dapat berakibat tidak adanya pendirian, kehilangan orientasi, tidak sanggup menghadapi ideologi-ideologi baru, dasar iman kepercayaannya tidak kokoh.
B.     Analisa Keperawatan  sebagai profesi
Pemahaman tentang etika dapat membantu seorang perawat mendapatkan pandangan yang lebih jelas dalam kasus-kasus sulit dari masalah atau dilema etik dalam praktek keperawatan.  Dilema etik didefinisikan sebagai masalah yang dihadapi seorang perawat antara pilihan yang tampak atau pilihan yang  tidak menguntungkan akan tetapi dinilai lebih baik (James H & Husted, 2008).
Kasus : seorang pasien dalam keadaan vegetative, dokter menanyakan kepada istri pasien ( inform consent) tentang  prosedur CPR,  dengan kondisi jika perawatan tetap dilanjutkan tidak akan membawa pemulihan secara keilmuwan dan keluarga akan keberatan secara finansial. Akan tetapi jika CPR bukan pilihan, sama dengan membiarkan pasien tersebut meninggal. Dilema ini jelas akan dihadapi dokter, orang tua, dan orang-orang terkasih lainnya dari pasien seperti itu. Namun akan lebih banyak menjadi perhatian perawat, karena keluarga cederung lebih sering bertanya terlebih dahulu kepada perawat untuk meminta pertimbangan atau saran bagaimana seharusnya. Untuk itu perawat haruslah berkompeten atau professional, sehingga mampu memberikan informasi yang akurat, memberikan pertimbangan mengenai manfaat dan beban pilihan dalam perawatan pasien, serta memberikan dukungan emosional yang diperlukan (Lachman, 2006).
C.    Analisa etik dalam keperawatan
Menurut American Nurses Association (ANA) (2001), Tujuan pengembangan Kode Etik Keperawatan adalah sebagai panduan dan kebijakan dalam membuat keputusan etik. Akan tetapi kode etik ini tidak menjadi mutlak dalam pengambilan keputusan, tetapi harus tetap disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada.  Kode etik dipakai sebagai kerangka kerja untuk analisis dan keputusan etis (Lachman, 2006).
Terkait kasus diatas : Klien tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan, maka pembuat keputusan adalah anggota keluarga terdekat, atau ditunjuk/dipilih oleh keluarga atau bahkan pengadilan yang akan menunjuk wali pasien jika keluarga tidak ada kata sepakat atau pasien memang sebatang kara. Dalam kasus ini istri pasienlah yang mewakili pasien. Istri pasien harus terlibat semaksimal mungkin dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan kesehatan pasien. Istri pasien atau keluarga punya hak moral untuk menentukan apa yang akan dilakukan terhadap pasien dan memutuskan antara menerima, menolak, atau menghentikan pengobatan tanpa paksaan (Lachman, 2006).
D.    Keputusan etik dan standart keperawatan
Etika dalam perawatan terminal meliputi beberapa dimensi. Menurut Jonsen, Siegler, dan Winslade (2002), keputusan etik yang terintegrasi meliputi empat dimesi, yaitu :  indikasi medis, pilihan pasien, kualitas hidup, and konsep masa depan. Indikasi medis merupakan hal yang mendasari dari setiap tidakan yang diberikan kepada pasien. Tetapi indikasi medis tidak boleh mengabaikan pilihan pasien/keluarga karena pasien memiliki hak otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Untuk membuat keputusan pasien dipastikan (James H & Husted, 2008) :
·         mengetahui mereka mempunyai berapa pilihan ,
·         memahami situasi medis,
·         memperoleh rekomendasi tentang  pengobatan, risiko dan manfaat dan kemungkinan konsekuensi.
Terkait kasus diatas : indikasi dan kontraindikasi untuk CPR sudah sangat jelas.  Memberikan pendidikan kesehatan tentang CPR sebelum masa kritis  sangat diperlukan, karena dalam keadaan henti nafas dan henti jantung, perawat dan dokter tidak lagi punya banyak waktu untuk  menanyakan boleh atau tidaknya CPR ( sudah ada inform consent sebelumnya). Diskusikan dengan istri pasien/keluarga  mengenai tujuan perawatan dan apa saja yang akan kita kerjakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tetapi ketika harapan/ kualitas hidup tidak dapat tercapai atau prognosis pasien buruk, sampaikan juga tentang pilihan DNR ( Do Not Resuscitation ) (James H & Husted, 2008).
Tentunya bukan hal yang mudah diterima bagi istri pasien dan keluarga untuk memilih DNR, tetapi kondisi pasien yang dinyatakan vegetative menjadi dasar pertimbangan. Persisten vegetatif state (PVS) adalah kondisi kerusakan otak (baik dari kejadian akut atau akibat progresif demensia) menghasilkan koma ireversibel, hanya menyisakan fungsi otonom utuh. Pasien dalam PVS tidak akan memiliki kesadaran tapi siklus tidur / bangun dan respons otonom lainnya seperti gerakan mata, menelan, meringis dan perubahan papiler dalam menanggapi cahaya mungkin tetap ada. Kehadiran dari refleks ini mungkin membingungkan dan mengganggu siapapun yang melihat, yang kemudian ditafsirkan mereka sebagai bukti bahwa pasien bisa merespon dan akan sembuh. Pertimbangan etis umumnya berpusat pada apakah akan melanjutkan dukungan jangka panjang atau tidak intervensi. Timbul pertanyaannya apakah ini adalah "kehidupan yang layak dijalani." Ketika informasi sudah disampaikan dengan asertif, lalu berikan waktu bagi istri pasien untuk memikirkannya. Dampingi selalu, karena dalam prosesnya pasti ada pertanyaan-pertanyaan lain hingga istri pasien mampu memutuskan atau hanya sebagai pendengar, wujud caring perawat pada istri pasien. Perawat juga dapat melakukan advokasi pada istri pasien yaitu dengan mengkoordinasikan pertemuan tim kode etik untuk membantu istri pasien dalam membuat keputusan. Selain itu perawat juga dapat membantu istri dan keluarga dalam persiapan menghadapi kehilangan orang yang dicintai. Hingga pada saat istri dan keluarga hendak memutuskan, apapun pilihannya, mereka dalam keadaan siap untuk kehilangan. Sampai pada akhirnya, istri pasien dan keluarga memilih untuk DNR dan juga telah disepakati oleh semua tim kode etik, bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi maka tidak akan melakukan CPR dan menghentikan perawatan. Istri pasien menginginkan suaminya meninggal dengan tenang, dan harapannya itu juga menjadi pilihan suaminya (Lachman, 2006) .



BAB IV
KESIMPULAN

Etik adalah nilai-nilai (sistem nilai) dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens, 2002). Kode etik adalah kumpulan dari nilai-nilai dan standar perilaku profesi. Kode etik memberikan kerangka kerja dalam pengambilan keputusan untuk profesi dalam praktik sehari-hari. Kode etik harus direvisi secara berkala untuk mencerminkan perubahan dalam profesi dan masyarakat sebagai satu kesatuan. Meskipun kode etik tidak dapat ditegakkan secara hukum sebagai undang-undang, pelanggaran kode etik profesional menunjukkan bahwa seseorang tidak berperilaku secara profesional, yang akan mendapat sanksi disipliner mulai dari teguran, denda penangguhan, dan pecabutan lisensi/ijin (Aiken, 2004).
Perawat sebagai suatu profesi dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan kode etik keperawatan yang telah dibuat majelis pertimbangan kode etik PPNI. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia (PMK) no.49 tahun 2013 bahwa untuk meningkatkan profesionalisme, pembinaan etik, dan disiplin tenaga keperawatan, serta menjamin mutu pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan pasien perlu dibentuk komite keperawatan di rumah sakit. Komite keperawatan adalah wadah non struktural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, pemeliharaan etika,dan disiplin profesi.
Keperawatan adalah suatu kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no 38 tahun 2014). Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan kesehatan yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Praktek keperawatan adalah tindakan keperawatan profesional untuk masyarakat menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai dasar untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnosa, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
Ketika tuntutan masyarakat terhadap suatu profesi semakin tinggi maka itu akan memberi peluang kepada profesi tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Ketika profesi tersebut mampu memenuhi tuntutan masyarakat maka dengan sendirinya profesi itu akan semakin diakui. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kontrol sosial berupa tuntutan dari masyarakat dapat meningkatkan pengembangan profesi.
Dalam memutuskan sebuah keputusan etik tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip etik yang  berlaku. Terdapat 4 prinsip dasar etik yang mendasari dalam mengambil keputusan etik, yaitu, (Ashcroft, Dawson, Draper, & McMillan, 2007) yaitu Otonomi, Beneficemce, Maleficence, Justice. Pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan pemikiran kritis dan analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek. Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi ke dalam komponen-komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar masalah. Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Dapat berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya oranganisasi, sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas.




DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. (2014). Nursing theorist and their work (8th Edition). Missouri: Elsevier.
American Nurses Association (2010). Nursing: Scope and standards of practice (2nd Edition). Silver Spring, MD: Nursesbooks.org
Bell, D. (1978). The cultural contradiction of capitalism. New York: Basic Book, Inc.
Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Brent, Nancy.J.(2001). Nurses and the Low: Aguide to principles and          applications (2ndEd). Philadelphia:Saunder.
Darwis. (2016). Nursing behavior towards our satisfaction patients in hospital general city ofMakassar, Indonesia. International Journal of Emerging Trends in Science and Technology, 3(12), 4902–4909. https://doi.org/DOI: https://dx.doi.org/10.18535/ijetst/v3i12.16.
Eraut, M. (2002). Developing professional knowledge and competence. London: Routledge Falmer.
Gilligan, C. (2003). In a different voice: Phsycological theory and women’s development (Vol 53). Cambridge: Harvard University Press.
Held, V. (2007). The ethics of core. Oxford: Oxford University Press.
Huber, D.L. (2000). Leadership and nursing care management. Philadelphia: Pennsylvania.
International Council of Nurses.(2012). The ICN code of ethics for nurses. Diakses melalui www.icn.ch
Jena, Y. (2014). Etika kepedulian: Welas asih dalam tindakan moral. Kanz Philosophia, 1-14.
Kohlberg, L. (1995). Tahap-tahap perkembangan moral(A. Santod, John de dan Cremers, Ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
Kozier. (2004). Fundamental og nursing: Concept, process and practice. New Jersey: Person Prectice Hall.
Kurtines,W.M. & Gerwitz,J.L. (1992). Moralitas, perilaku,moral dan perkembangan moral (edisi pertama), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Kusnanto. (2004). Pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional. Jakarta: EGC.
Lachman, V.D. (2005). Applied ethics in nursing. Berlin: Springer Publishing Company
Makhsin, M. (2007). Sains Pemikira & Etika. Kuala Lumpur: PTS Proffesional.
Manurung, S., & Hutasoit, M. L. C. (2013). Persepsi pasien terhadap perilaku caring perawat di ruang rawat inap rumah sakit. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,8(3), 104–108. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v8i3.351.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Peraturan meneteri kersehatan republik Indonesia nomor 49 tahun 2013 tentang komite keperawatan rumah sakit.Diaksesmelalui www.bprs.kemenkes.go.id
Nursalam. (2014). Caring sebagai dasar peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan keselamatan pasien. Disampaikan, Pidato Jabatan, Pengukuhan Besar, Guru Keperawatan, Bidang Ilmu Keperawatan, Fakultas Airlangga, Universitas Sabtu, Hari. Retrieved from http://ners.unair.ac.id/materikuliah/Nursalam-Orasi-18 Januari-2014.pdf.
Nodding, N. (1984). Caring a feminine approach to ethics and moral educator. Berkeley: University of California Press.
Poedjawiyatna. (2003).Etika, filsafat, tingkah laku (edisi ke-9). Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Poespoprodjo,W.(1999).Filsafat moral. Bandung:Pustika Grafika.
Potter, P. A. &Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing (6th edn).St Louis: Mosby.
Potter, P. A. &Perry, A.G. (2007). Basic nursingessensial for practice(6th edn).St Louis: Mosby.
PPNI. (2016). Kode etik keperawatan lambang panji PPNI dan ikrar keperawatan. Jakarta: Sekretariat  DPP PPNI.
Prabowo, B. S., Ardiana, A., & Wijaya, D. (2014). Hubungan tingkat kognitif perawat tentang caring dengan aplikasi praktek caring di Ruang Rawat Inap RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso. Jurnal Pustaka Kesehatan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember, 2(1), 148–153.
Praptianingnisih,S. (2006). Kedudukan hukum perawat dalam upaya pelayanan      kesehatan di rumah sakit. Jakarta: PT. Raja Cerafindo Persada.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak (Edisi 11). Jakarta: Airlangga.
Scott, A.P. (2017). Key concept and issues in nursing ethics. Switzerland: Springer International Publishing.
Souryal, S.S. (2011). Ethic in criminal justice in search of the truth. USA:Anderson Publishing.
Suseno,F.M. 1987. Etika Belajar: Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Kanisius
Sukesi, N. (2013). Upaya peningkatan caring perawat terhadap kepuasan RS Permata Medika. Jurnal Managemen Keperawatan, 1(1), 15–24.
Tussaleha, M., & Kadrianti, E. (2014). Hubungan penerapan metode tim dengan kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap interna di RSUD Daya Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 5(3), 278–284.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Wilensky, H. L. (1956). Intellectuals in labor unions: organizational pressures on professional roles. New York: Free Press.

Tidak ada komentar: