BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Etika
merupakan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta nilai
moral yang baik. Etika yang baik akan menampilkan perilaku yang baik. Begitu
pula sebaliknya, etika yang buruk akan menampilkan perilaku yang buruk pula.
Etika dapat membuat seseorang menjadi bertanggung jawab, responsif dan adil
dalam lingkungan sosial nya.
Dalam
lingkungan sosial keperawatan dikenal adanya caring ethics (etika kepedulian).
Menurut Joan
Tronto (1993) dalam Sherwin (2007) etika kepedulian merupakan tanggung
jawab untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan pertimbangan moral. Dalam melaksanakan tugas
professional yang berdaya guna dan berhasil guna, para perawat harus mampu dan ikhlas memberikan
pelayanan yang bermutu dengan memelihara dan meningkatkan integritas pribadi
yang luhur dengan ilmu dan keterampilan yang memenuhi standar serta dengan
kesadaran bahwa pelayanan yang diberikan merupakan bagian dari upaya kesehatan
secara menyeluruh (Suhaemi, 2004).
Menurut
Nursalam (2014) , permasalahan mendasar pada profesi
keperawatan di Indonesia saat ini adalah perawat masih belum melaksanakan peran
caring (peduli)
secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien (Nursalam,
2014). Penelitian
Marliany (2010) menemukan sebesar 52,7 % perawat pelaksana memiliki sikap yang
kurang etis terhadap pasien dan 47,3% perawat pelaksana memiliki sikap yang
etis terhadap pasien.
1
|
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah
ini adalah untuk menganalisa dan menelaah materi etika dalam keperawatan,
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari pembuatan
makalah ini adalah unutk menelaah dam menganalisa tentang :
a. Dasar
pembentukan etik dan moral
b. Etika
kepedulian
c. Keperawatan
sebagai profesi
d. Etik
dalam keperawatan
e. Keputusan
etik dan standar keperawatan
|
TELAAH
PUSTAKA
2.1 Dasar Pembentukan Etik dan Moral
2.1.1
Konsep Etik
2.1.1.1 Pengertian Etik
Etik
berasal dari kata Yunani kuno ethos
dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti
yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak ( ta
etha) artinya adat kebiasaan. Arti kata etika ( ta etha) menjadi latar belakang
terbentuknya istilah etika yang oleh
filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322
SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral ( Bertens, 2002).
Menurut
Bertens (2002) etika adalah :
a) Nilai-nilai
(sistem nilai) dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya etika Yunani, etika agama Budha. Jadi etika Yunani yang
berarti sistem nilai yang berlaku di Yunani dimana sistem nilai yang berlaku
tiap individu maupun kelompok.
b) Kumpulan
asas atau nilai moral ( yang dimaksud adalah kode etik). Misalnya Kode Etik
Keperawatan.
c) Ilmu
tentang yang baik buruk, filsafat moral.
Ada
beberapa alasan mengapa etika perlu menurut Franz Magnis-Suseno :
a)
Etika diperlukan untuk mencapai suatu
pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral.
b)
Etika membantu agar tidak kehilangan
orientasi di tengah gelombang modernisasi
c)
3
|
d)
Etika diperlukan oleh kaum agama
menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka.
2.1.1.2 Teori etika
Teori
etikaterbagi menjadi dua kategori utama yaitu teori normatif dan teori
metaetika.Teori normatif merupakan kategori yang lebih besar dan lebih
substantif. Ini melibatkan perumusan standar perilaku moral dan
mengartikulasikan prinsip dan sanksi yang mengatur perilaku tersebut. Teori
meta etika, di sisi lain, adalah kategori yang lebih kompleks yang menyelidiki
makna istilah dan kritik etika bagaimana pernyataan etis telah diverifikasi ini
adalah kategori sekunder dimana teori normatif ditinjau dan dikomentari.
Dalam
kapasitas ini, methaetika berfungsi sebagai kekuatan intelektual di balik layar
yang menawarkan kritik ketika normatif etis terlalu jauh, atau ketika mereka
gagal untuk menjelaskan prinsip-prinsip moral. Mengingat hubungan ini, etika
normatif dapat dibandingkan dengan pengadilan yurisdiksi primer, sedangkan
methaethics dapat dibandingkan dengan pengadilan banding. Setiap
tingkat memberikan manfaat dari kontribusi pada yang lainnya.
2.1.1.2.1 Teori Metaetika
Istilah meta
berarti "setelah" atau 'di luar' dan umum di antara filsuf ilustratif
yang terbiasa membuat komentari filosofis tentang semua aspek
pengetahuan.metaetik dapat didefinisikan sebagai studi tentang metode, bahasa,
logika, struktur, dan penalaran yang digunakan dalam tiba di, atau dalam
membenarkan penilaian moral.
Perannya
adalah untuk mengevaluasi komentar tentang bagaimana sebuah prinsip dibenarkan.
Metaetik lebih langsung berkaitan dengan menganalisis arti istilah seperti baik
dan buruk dibandingkan dengan menilai tingkah laku itu sendiri. Metaetik
menghindari usaha untuk mendefinisikan standar perilaku moral, perhatian utama
mereka adalah mengevaluasi kualitas dan validitas klaim oleh teori normatif dan
memeriksa cara klaim semacam itu dipertimbangkan. Dalam
kontras dengan tingkat pertama, menilai teoretikus normatif, methaetik masuk
dalam tingkat kedua. Dengan demikian, hubungan antara etika normatif dan
metaetika mirip dengan antara pengadilan negeri dan pengadilan banding dalam
sistem peradilan
Teori
metaetika pada gilirannya dibagi dalam dua subkategori, berdasarkanPada apakah
seseorang percaya bahwa penilaian moral dilakukan atau tidak ada sebagai
kenyataan. Akhirnya, perlu ditekankan bahwa bidang etika normatif dan
methaethic saling terkait erat karena masing-masing berkontribusi terhadap
perkembangan yang lain. Akibatnya, kebanyakan filsuf filsuf saat ini tampaknya
mengejar filsafat jalur ganda, menggabungkan kedua pendekatan dengan berbagai
cara, dengan penekanan, pada satu pendekatan atau pendekatan lainnya(Souryal,
2011)
Dari
teori metaetik, penulis menyimpulkan bahwa filsafat dalam teori ini lebih
dianggap sebagai komentator, pemerhati, pengamat, dan evaluator. Teori ini
berperan dalam mengkritisi dan menilai suatu prinsip yang dipercayai dan
dibenarkan terutama oleh teori normatif. Para filsuf dalam teori ini akan
melakukan penalaran pada standar ataupun istilah yang diakui baik dan benar
oleh teori normatif. Secara tidak langsung teori ini membantu dalam perbaikan
dan pembenahan kembali tentang prinsip-prinsip yang diakui tersebut.
2.1.1.2.1 Normatif
Bidang
etika normatif terbagi menjadi dua sub kategori yang cukup dapat dibedakan .
Pembagian ini didasarkan pada apakah penekanan moral diletakan diujung depan
tindakan itu sendiri atau bagian belakang konsekuensi aksi. Yang pertama di
kenal teori deontologis dan yang terakhir sebagai teori teleologis.
a. Teori
dentologi
Teori
deontologi dikenal juga dengan teori kewajiban. Karena bahasa deontologi
berasal dar bahasa yunani ‘duty’ yang
berarti kewajiban. Teori deontologi menentukan tentang kebenaran dan kesalahan
dari suatu tindakan sebagai dasar dari sebuah kewajiban yang alamiah. Suatu tindakan
dinyatakan benar apabila tidak ada maksud di belakangnya atau ada konsekuensi
lain, maka itu adalah benar. Contohnya membantu orang lain dianggap etika yang
benar. Fakta bahwa lebih baik melakukan kebaikan daripada melakukan kesalahan. Kenyataan bahwa
bantuan nantinya bisa terbukti berbahaya tidak membuat perbedaan dalam
persamaan moral. Tindakan yang benar, tetap benar bahkan jika hasilnya buruk
atau jika dilakukan karena alasan yang salah. Dengan tepat, mengatakan yang
sebenarnya adalah mengutuk dengan baik tanpa mempertimbangkan konsekuensi buruk
yang mungkin ditimbulkannya. Selanjutnya, tindakan yang dianggap benar harus
bersifat universal di mana saja dan kapanpun.
Teori
deontologis dibagi dalam dua kategori: monistik atau multipel. Dalam kategori
pertama, pertimbangan moralitas didasarkan pada nilai tunggal kebaikan. Contoh
kategori ini mencakup teori hedonisme, yang menganggap bahwa kesenangan adalah
satu-satunya yang baik dan total kebaikan, dan teori kant berkewajiban sebagai
satu-satunya kewajiban dalam kehidupan. Pada subkategori kedua, teori
deontologis dapat berupa dualistik atau pluralistik, dalam kasus mana mereka
didasarkan pada dua atau lebih nilai kebaikan. Seperti pasangan yang menikah
terdiri dari tampan/cantik dan kaya,atau pluralisme yaitu kaya, cantik, dan
bependidikan. Oleh karena itu disimpulkan bahwa teori deontologi
menilai nilai moral secara ketat atas dasar tindakan itu sendiri, terlepas dari
apa konsekuensi dari tindakan itu yang mungkin terjadi. Dengan demikian, mereka
merupakan sanksi yang tegas, material, universal atau setidaknya memiliki efek
yang menentukan pilihan manusia. (Souryal, 2011)
Dari
teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa teori deontologi menilai sesuatu yang
dikatakan bermoral atau tidak adalah dari tindakan itu sendiri. Tindakan
tersebut harus secara umum diakui bermoral dimanapun atau kapanpun. Apabila
secara universal atau umum sebuah tindakan yang sudah diwajibkan untuk
dilakukan, meskipun hasil dari tinadakn tersebut tidak baik dan berbahaya, tidak
diperhitungkan oleh teori ini. Tindakan tersebut tetap dikatakan bermoral oleh
teori ini.
b. Teori
teleological
Kata
teleologikal berasal dari bahasa yunani ‘ teleois’ yang berarti konsekuensi
atau membawa masalah sampai akhir tujuan atau tujuan.Teori teleologis
menentukan nilai moral dari hasil suatu tindakan. Di sana, konsekuensi tindakan
tersebut ditentukan tindakan benar. Jika hasilnya bagus maka tindakannya benar
jika hasilnya buruk dari tindakan yang salah. Dengan demikian, dalam contoh
sebelumnya, kebenaran memukul pantat seorang anak adalah dalam mereformasi
tingkah lakunya, hak untuk berperang adalah memulihkan perdamaian dan kebaikan,
memenjarakan seorang penjahat adalah menghalangi orang lain melakukan
kejahatan.
Diantara
dua teoretik teleologis yang paling dikenal adalah utilitarianisme dan keadilan
sosial. Menurut teori utilitarian, sebuah tindakan atau kebijakan mungkin
bersifat moral atau tidak bermoral hanya dalam hal kapasitasnya untuk mencapai
kebaikan terbesar bagi banyak orang. Oleh karena itu, kebijakan yang menaikkan
upah minimum atau meningkatkan manfaat jaminan sosial sangat bermanfaat, karena
dapat menguntungkan segmen populasi yang lebih besar. Dengan cara yang sama,
teori keadilan sosial menegaskan bahwa moralitas utama ada pada masyarakat mana
saja yang mampu memaksimalkan kebebasan bagi semua warga tanpa mengorbankan
kebutuhan orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu.
Teori
teleologi juga dibagi menjadi dua subkategori kualitas kebaikan dan
kedudukan/tempat kebaikan. Pada subkategori
pertama, teleologi memberi peringkat pada tingkat kebaikan dalam hal hirarki
berdasarkan kualitasnya. Sebagai contoh, seperti kebaikan keadilan lebih tinggi
daripada kebaikan kesenangan. Dengan cara yang sama, kebaikan intrinsik
kesenangan adalah kualitas yang lebih tinggi daripada kekayaan non-intrinsik
kekayaan. Dengan demikian, tindakan yang meningkatkan nilai keadilan dan
kebahagiaan secara moral lebih unggul daripada yang memaksimalkan keuntungan
ekonomi.
Pada
subkategori kedua, kedudukan kebaikan, teleologi menentukan kebaikan suatu
tindakan dalam hal lokasinya. Di mana ia paling diuntungkan. Misalnya,
sementara teori egoisme dan utilitarianisme bersifat teleologis, keduanya
berbeda dalam hal jumlah penerima manfaat. Seorang egois akan menghargai
tindakan dalam hal jumlah kebahagiaan yang akan menimpanya. Sebaliknya, seorang
utilitiranists akan menghargai tindakan yang sama dalam hal jumlah orang yang
akan mendapatkan keuntungan darinya.
Secara
ringkas teori teleologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan didasarkan
pada moralitas konsekuensinya. Oleh karena itu, sebuah salam yang menghasilkan
konsekuensi yang tidak menyenangkan adalah 'tidak bermoral' dan perbuatan
biasa-biasa saja yang menghasilkan konsekuensi bahagia adalah 'moral'.
Selanjutnya, teori teleologis menekankan bahwa pertimbangan moral harus
ditafsirkan dalam hal kepentingan masyarakat secara keseluruhan, karena
moralitas adalah agen kebahagiaan universal.(Souryal, 2011)
Penulis menyimpulkan bahwa teori telologika
lebih menekankan pada tujuan dan akhir dari sutu tindakan. Apapun jenis
tindakan yang dilakukan, tidak diperhatikan ataupun dinilai. Tetapi tujuan
maupun hasil dari tindakan itulah yang akan diniliai. Suatu tindakan yang
dianggap mempunyai sebuah tujuan/maksud yang baik, walaupun tindakan itu berupa
suatu tindakan kekerasan dan tidak bermoral, akan tetap dianggap baik apabila
tujuan dari tindakan itu adalah untuk kebaikan. Teori ini juga menekankan pada
hasil dari tindakan yang baik adalah untuk kepentingan dan kebaikan secara
universal atau untuk kepentingan masyarakat luas.
2.1.1.3
Pembagian
Etika
2.1.1.3.1
Etika
deskriptif
Etika
deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu,
dalam kebudayaan atau subkultural tertentu, dalam suatu periode sejarah karena
etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberikan penilaian.
2.1.1.3.1
Etika
normatif
Etika normatif meninggalkan sikap
netral dengan mendasarkan pendiriannya terhadap norma etika. Etika normatif
dibagi menjadi:
a)
Etika umum: memandang tema-tema umum
b)
Etika khusus: berusaha menerapkan
prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus.
c)
Meta etika : Mempelajari logika khusus
dari ucapan-ucapan etis.
Setelah
mempelajari tiga cara untuk
mempraktekkan etika ini, bisa kita simpulkan bahwa dalam studi tentang
moralitas dapat dibedakan pedekatan non filosofis dan pendekatan filosofis.
Pendekatan non filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan
filosofis bisa sebagai etika formatif dan sebagai metaetika atau etika analitis.
Dari sudut pandang lain
etika dapat dibagikan juga ke dalam pendekatan normative dan pendekatan non
normative. Dalam pendekatan normatif si peneliti mengambil mengambil suatu
posisi atau standpoint moral: hal itu
terjadi dalam etika normatif (bisa etika umum dan bisa juga etika khusus).
2.1.2
Konsep
Moral
2.1.2.1 Pengertian Moral
Kata
moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak
: mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Menurut Bertens (2002),
moralitas adalah ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada
makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran
tentang baik dan buruk, tentang yang
boleh dilakukan dan tidak pantas dilakukan.
Etik dan moral
tampil dalam tindakan manusia. Manusia itu dinilai oleh manusia lainnya dalam
tindakannya. Tindakan manusia dapat dinilai dari berbagai aspek, misalnya
penilaian sehat atau sakit, penilaian indah atau tidak indah, penilaian baik
atau buruk. Tindakan manusia dilakukan secara sengaja dimana adanya pilihan dan
tidak sengaja dimana situasinya tidak memungkinkan
untuk memilih, misalnya seseorang yang tidur mendengkur merupakan tindakan yang
tidak sengaja. Sasaran pandangan etik khusus pada tindakan-tindakan manusia
yang dilakukan dengan sengaja (Poedjawiyatna, 2003).
2.1.2.2 Yang Mempengaruhi nilai
moral
2.1.2.2.1
Nilai Moral dengan Agama
Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi
pegangan bagi para pengikutnya..Bila agama berbicara tentang topik-topik etis, pada
umumnya ia berkhotbah, artinya, ia berusaha memberi motivasi serta inspirasi,
supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diterimanya
berdasarkan iman. Bila filsafat berbicara tentang topik-topik etis, ia
beragumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan
tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan aasan-alasan
rasional. Demikian juga ada perbedaan tentang kesalahan moral. Dalam konteks
agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang beragama merasa bersalah
dihadapan Tuhan, karena melanggar perintahNya. Dari sudut filsafat moral,
kesalahan moral adalah, pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi.
Karena itu di sini kesalahan moral pada dasarnya adalah sebuah inkonsekuensi
rasional.
2.1.2.2.2Nilai
Moral dengan Hukum
Moral
akan mengawang-mengawang saja, kalua tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat seperti terjadi hokum, khususnya hukum pidana. Contoh: jangan
mencuri, jangan membunu, tidak saja merupakan larangan moral tapi
perbuatan-perbuatan itu dilarang menurut hokum.Baik hukum maupun moral mengatur
tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah
saja, sedangkan moral moral juga menyangkut juga sikap batin seseorang.Hukum
didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga
kalua hokum tidak secara langsung berasal dari negara, seperti halnya dengan
hukum adat, maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai
hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu
dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain masyarakat dapat
mengubah hukukm, tidak pernah masyarakat dapat
mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak bisa
diputuskan dengan suara terbanyak. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
2.1.3 Sejarah Pembentukan
Moral dan Etika
Terbentuknya etika dan
moral di masyarkat, tidak terlepas dari perjalanan sejarah dari tokoh-tokoh
filsafat mulai dari abad Yunani purba sampai pada abad moderen. oleh karena
itu, untuk mengetahui dasar pembentukannya, perlu diikuti riwayat dan
perjalanan dari tokoh-tokoh filsafat tersebut.
2.1.3.1 Abad Yunani
Secara historis Etika sebagai usaha Filsafat lahir dari keambrukan
tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena
pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para
filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia (Franz
Magnis Suseno (1987: 14).
Pergaulan yang sering dilakukan di luar yunani dengan para
pedagang dan para koloni membuat mereka mengenal banyak budaya di luar yunani
seperti, tentang hukum, tata kehidupan dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai
bertanya: Apakah miliknya, hasil pembudayaan Negara tersebut benar- benar lebih
tinggi? Karena tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya,
maka kemudian diajukanlah pertanyaan, “Mengapa begitu?” kemudian diselidikinya
semua perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni
filsafat moral (filsafat kesusilaan) atau etika (W. Poespoproddjo,1999: 18).
a)
Socrates
Socrates adalah ahli
pikir pertama pada zaman keemasan dunia filsafat (470-399 SM).Socrates tidak
meninggalkan ajaran tertulis, sedang alam pikirannya terutama diketahui melalui
karya muridnya Plato. sokrates tidak menjelaskan secara langsung tentang etika.
Tetapi ajarnny MENJdi tonggak utama bagi
ahli filsafat berikunya untuk menengembagkan ajaran filsafat terutama
etika dan moral. Socrates hidup pada masa dimana sedang berkembangnya paham
sofisme, yaitu paham yang merelativkan segala sesuaitu. mereka berpendapat
bahwa hukum alam adalah hukum yang kuat. mereka juga tidak mengakui adanya
pengetahuan. bagi kaum saofis, manusia menjadi ukuran segalanya, kebenaran
mutlak tidak ada, kebenaran hanya berlaku sementara. hal ini bertentangan
dengan pemikiran socrates. socrates melihat bahwa kebenaran itu bersifat
obiektf dan bisa bersifat mutlak serta bersumber pada manusia itu sendrii
(kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Dari situlah, socrates mulai menerapkan
metoda dialectik-kritis yaitu dialog antar dua pandangan yang saling
bertentangan dan tidak mau menerima suatu pengertian begitu saja tanpa
mengujinya terlebih dahulu. bagi
socrates sebuah hidup yang tanpa diuji/dicaritahu adalah hidup yang tidak
bernilai. dalam ajaran filsafatnya socrates mendiskusiaknpertanyaan secara umum
tentang pengetahuan, character, dan diskusi khusus tentang sifat alami seperti
kebaikan, keberanian dan kesederhanaan. Tujuan dari socrates adalah supaya masyarakat bisa hidup kembali pada sifat alami atau kebajikan (Souryal, 2011).
b)
Plato
Plato adalah tokoh
filsuf besar kedua di zaman filsafat yunani. plato tidak secara gamblang
menulis etika. plato menciptakan istilah ide. tetapi di dalam ajaranya,
tersirat uraian-uraian tetang etika. salah satu pernyataan plato yang paling
jelas berkaitan dengan etika dan moral adalah seorang individu akan melaksanakan
hidup yang baik manakala unsur kejiwaan (nafsu, semangat dan akal budi)
terorganisasi secara terpadu dan laras. menurut pluto hidup yang baik itu
memperliatkan kepedulian terhadap seperangkat kebijakan, termasuk didalamnya
kebijakan perangai, keberanian dan lebih-lebih lagi adalah kearifan.
c) Aristoteles
Aristoteles adalah tokoh ketiga dari deretan filsuf2 besar dari
zaman keemasan filsafat yunani. Karya aristoteles mulai terkenal pada abad XII
dan XIII. aristotees dikenal sebagai salah seorang ahli pikir yang terkenal
pada masa itu dan Yg mnnyebtkan istilah etika yang tertuang di dalam bukunya,
yaitu The Nochomachean ethic.dalm
buku itu aristoteles menyebutkan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang hendak
kita raih melalui berbagai kegiatan kita dan ada banyak jenis kebenaran yang kepentingannya
bertahap- tahap (kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992). Pada zaman ini, konsep
etika dan moral didasarkan pada sifat naturalistik dan rasional sepanjang abad.
Bagi alam pikiran klasik stadar moral dan etika itu bersifat objektif, akan
tetapi kebera daanya merupakan pula bagian dari dunia alami yang dapat
diketahui melalui proses penalaran akal budi.
2.1.3.2 Abad pertengahan
Pada abad pertengahan ini disebut sebagai abad kepercayaan atau
abad keselarasan rohaniah. pada abad ini etika dipadukan oleh suatu kepercayaan
yang kokoh, suatu penerimaan akan kebenaran yang hampir universal dari wahyu
kristiani. Dua filsuf pada zaman ini
yaitu agustinus dan aquinas menandai alam pikiran tentang moral dan etika abad
pertengahan yang berorientasi rohaniah dan objektifistik. menurut agustinus
pengetahuan tetntang kebenaran yg mutlak dan objektif dapat dicapai melalui
pengalaman mistik tentang kebenaran ilahi yang diterima secara langsun. menurut
tomas, tiada suatu hal atau peristiwa manapun dari yang paling kerdil hingga
paling besar dan dahsyat, yang bertiada makna atau tujuan, sebab setiap hal dan
peristwa itu merupakan bagian dari rencan agng Tuhan dalam menciptakan
segalanya.manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan penalaran itu
semua berada dalam kesatuan ilahi. pada masa ini, konsep etika dan moral
dibentuk berdasarkan pandangan yang bersifat spiritual dan terpusat pada dunia
kelak (kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992)
2.1.3.3 Abad modern
Pada abad moderen, merupakan awal jatuhnya abad pertengahan. pada
abad ini menegaskan bahwa akab budi mengungguli iman. pda masa ini lahirlah
ilmu pengetahuan moderen dan sains moderen yang memantapakn dirinya sebagai
pemeran utma dlam alur pemikiran barat. Pada masa ini, segala sesuatu dikecam
dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai melihat
segala sesuatu dengan pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan ukuran
yang baru. jadi sains moderen memberikan kepada akal budi suatu peranan yang
terbatas dalam rangka pengetahuan tentang dunia yang natural. segala sesuatu
didunia elalu dilakukan penalaran dan
uji secara empiris. pada masa ini, mereka menempatkan kebenaran rasional
dibawah kebenaran empiris. status kebenaran yang relatif dari setiap hipotesa
saintifik selalu tergantung pada data empiris yang ditemukan. dalam kasus sains
psikologi moderen, bagi seorang sains mungkin saja untuk mengkakaji setiap
variabel hasil yang dependen (seperti moral,etika, ) dengan berpegang pada
penalaran dan asumsinya sendiritanpa menggunakan asumsi yang menyangkut
eksistensi standar moral yang obyektif.
jadi disimpulkan bahwa, etika dan moral pada masa ini didasari pada
suatu pembuktian yang bersifat empiris dan kebenarannya bisa bersifat relatif,
sehingga bisa dikatakan bahwa pada masa ini menjadi masa yang sangat sulit bagi
keberadaan etika dan moral (kurtines W.M dan Gerwitz.J.L., 1992).
2.1.4 Tahap Perkembangan Etik Dan Moral
Menurut Kohlberg (1995)
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi
menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan
pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap
(Kohlberg, 1995).
2.1.4.1 Tingkat
Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan
ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah. Akan
tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau untuk mendapatkan
hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10 tahun. Terdapat dua
tahap pada tingkat ini.
Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan.Akibat-akibat
fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan
nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan
hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal
yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap
tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumentalPerbuatan
yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan
antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran
tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan
secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau
menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan
karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
2.1.4.2 Tingkat
Konvensional
Individu pada tingkat konvensional menemukan
pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari
dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan
bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri,
karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu,
kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok
sosialnya. Kalau pada tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah takut,
pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar usia 10
sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.
Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi
/ orientasi ”Anak Manis”. Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan
membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas
terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau alamiah.
Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan dia bermaksud baik untuk pertama
kalinyamenjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi baik.
Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal.
Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu
dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika
melanggar aturan sosial.
Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban. Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara
keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk,
melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah
hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap
hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan
harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang
baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan
menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya
sendiri.
2.1.4.3 Tingkat
Pasca-konvensional
Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled
morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan
nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan
terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip
itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok
tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan
pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini
sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat
ini.
Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial
legalistis. Pada umumnya tahap ini amat bermakna
semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka
hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah
disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai
relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu
penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa
yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal
nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan
legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum
berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan
hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4).
Tahap 6) : Orientasi prinsip etika
universal. Hak ditentukan oleh keputusan suara
batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu
pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis(Kohlberg, 1995).
2.2
Etika
Kepedulian
2.2.1
Defenisi
Caring Ethics (Etika Kepedulian)
Menurut Joan Tronto (1993) dalam
Sherwin 2007 etika kepedulian merupakan tanggung jawab untuk memperhatikan
kebutuhan manusia dengan pertimbangan moral. Etika Kepedulian didefinisikan
sebagai komitmen moral untuk merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi
dukungan, tetapi sekaligus juga memperjuangkan tata sosial yang adil (Held 2007
dalam Jena 2014). Jadi, etika kepedulian adalah komitmen moral untuk
memperhatikan kebutuhan manusia dengan cara merawat, melindungi, menyembuhkan,
memberi dukungan secara adil pada setiap manusia
2.2.1
Perspektif
Etika Kepedulian
Carol Gilligan (1982) mengemukakan
etika kepedulian sebagai aspek relasi yang erat kaitannya dengan sisi feminis.
Penalaran moral dibatasi dengan dua perspektif yang mengoordinasikan pikiran
dengan cara yang berbeda. Pada laki-laki defenisi moral terkait dengan istilah
keadilan. Sedangkan perempuan, moral didefinisikan bukan dalam istilah hak
namun lebih pada tanggung jawab dan kepedulian. Hal ini kemudian memunculkan
pertanyaan dari filsuf lain terkait dengan perawat. Perawat yang secara gender
memang didominasi oleh wanita, namun bagaimana etika kepedulian perawat
laki-laki? Apakah perawat laki-laki memiliki caring ethics yang lebih baik dari
pada laki-laki yang bukan perawat?
Held (2007) dalam Jena (2014)
mengatakan etika Kepedulian
menawarkan pendekatan komitmen moral, untuk merawat, melindungi, menyembuhkan,
memberi dukungan sekaligus menjadi tata sosial yang adil.Watson (1999)
menggambarkan hubungan caring transpersonal adalah hubungan manusia yang
bersifat bersatu dengan orang lain dengan menghargai seseorang itu sepenuhnya
termasuk dengan keberadaannya di dunia. Watson memberikan penekanan pada aspek
kualitas interpersonal dan transpersonal yang meliputi empati, keselarasan dan
kehangatan.
Berdasarkan perspektif ahli diatas
maka etika kepedulian merupakan komitmen moral yang menekankan pada aspek
interpersonal maupun transpersonal yang diwujudkan dalam bentuk memperhatikan,
merawat, melindungi, menyembuhkan, dan memberi dukungan. Perbedaannya, pendekatan
carol Gilligan lebih menekankan pada aspek feminis dari beberapa perspektif
lainnya
2.2.2
Kaitan
Caring Ethics dengan Kebebasan dan Tanggung Jawab
Menurut Bertens (2013) bertanggung
jawab berarti dapat menjawab bila dipertanyakan tentang perbuatan-perbuatan
yang dilakukan. Tanggung jawab ada dua jenis yaitu retrospektif dan prospektif.
Retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan
segala konsekuensinya. Prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang
akan datang.
Kaitan caring ethics dengan
tanggung jawab adalah kepedulian yang dilakukan dan diberikan tempat sentral
dalam praktik keperawatan dan bentuk setiap tindakan yang dilakukan disertai
dengan tanggung jawab.
2.2.3
Sejarah
Perkembangan Caring Ethics
Konsep etika kepedulian digagas
pertama kali oleh Carol Gilligan selama tahun 1960an. Carol melihat etik dari
perspektif feminisme. Lalu sejak saat itu, etika kepedulian telah digunakan
dalam berbagai bidang profesional seperti : keperawatan, kesehatan, pendidikan,
hubungan internasional, hukum dan politik (Held, 2005).
Pada awal karirnya Carol Gilligan
bekerja dengan psikolog Lawrence Kohlberg. Saat itu Kohlberg meneliti teori
tentang perkembangan moral. Gilligan mulai meneliti mengenai perkembangan moral
perempuan sebagai respon terhadap hasil penelitian Kohlberg yang berbasis
laki-laki. Gilligan berpendapat bahwa teori yang berkembang saat itu hanya
menekankan pada pandangan keadilan saja dan ini merupakan pandangan yang
dimiliki oleh laki-laki. Sementara itu menurut Gilligan wanita memiliki
pandangan moral yang berbeda dimana menekankan pada solidaritas, komunitas, dan
kepedulian tentang orang lain atau adanya hubungan ketergantungan satu dengan
lainnya. Pandangan wanita ini mengenai moral telah diabaikan atau diremehkan
karena secara tradisional wanita berada pada posisi terbatas akan kekuasaan dan
pengaruhnya.
Pandangan moral keadilan/ etik
keadilan berfokus pada hal yang benar yang harus dilakukan. Sedangkan pandangan
moral kepedulian/ etik kepedulian mengatakan bahwa kita dapat dan harus
mengutamakan kepentingan orang yang dekat dengan kita dan kita harus
menumbuhkan kemampuan alami kita untuk merawat orang lain dan diri kita sendiri
(Gilligan, 2003).
Teori etika kepedulian menurut
Carol Gilligan berkisar pada pegangan bahwa manusia tidak patut disakiti.
Gilligan banyak menulis tentang perasaan, tanggung jawab dan hubungan manusia
terutama dari sudut pandang wanita. Teori ini menyatakan adanya tanggung jawab
membantu, tidak membebankan dan menyakiti orang lain (Makhsin, 2007).
Teori Giligan menyatakan tahap
perkembangan moral sebagai berikut(Makhsin, 2007) :
a. Prakonvensional
: melihat kepentingan diri sendiri. Peralihan yang terjadi yaitu kesadaran
antara kepentingan diri dan tanggung jawab pada orang lain
b. Konvensional
: kepentingan orang lain. Peralihan yang terjadi menyelesaikan perselisihan
antara kepentingan orang lain dan diri sendiri.
c. Pasca
konvensional : akur dengan prinsip “ jangan menyakiti”
Dalam perkembangannya Carol Gilligan menghasilkan
karya dalam sebuah buku dengan judul “ “In A different Voice” (1982). Mengikuti
karya Carol Gilligan tersebut pada tahun 1984, Nel Nodding’s mengembangkan
teori “Relation Ethics in her Caring : A Feminine Approach to Ethics and moral
education. Nodding mengatakan kunci memahami etika kepedulian adalah memahami
gagasan kepedulian dan etik kepedulian secara khusus. Nodding mengatakan
kepedulian berakar pada penerimaan, ketergantungan satu sama lain dan
responsif.
2.2.3 Pelaksanaan
Caring Ethics di Indonesia
Permasalahan mendasar pada profesi
keperawatan di Indonesia saat ini adalah perawat masih belum melaksanakan peran
caring secara profesional dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
(Nursalam, 2014).Berdasarkan kajian Nursalam (2005) perawat Indonesia belum
mampu berperan profesional karena 4 faktor yaitu:
a. Kualitas
sumber daya Ners yang masih rendah
b. Batang
tubuh ilmu pengetahuan dan kewenangan perawat yang belum jelas
c. Model
praktik keperawatan yang tidak tertata dengan baik
d. Fokus
pendidikan keperawatan hanya berorientasi menyediakan lulusan untuk bekerja
memberikan layanan, kurang mendapat soft skill membangun karakter yang
diperlukan.
Poin
2 dan 3 sudah ada perkembangan di tingkat peraturan dan undang-undang. Saat
ini, telah ada pengkategorian kewenangan klinis perawat yaitu perawat klinik
(PK) tingkat I sampai PK 5. Sedangkan terkait UU, baru saja pemerintah
mengesahkan UU praktik keperawatan yang dijadikan acuan bagi perawat dalam
memberikan layanan keperawatan. PPNI sebagai organisasi keperawatan di
Indonesia sudah membuat kode etik keperawatan yang berisi gambaran standar
kompetensi dan standar praktik keperawatan yang bermutu.
Darwis
(2016) mengungkapkan bahwa kualitas perawat di rumah sakit masih membutuhkan
bimbingan dan pengawasan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya komplain pasien
terkait pelayanan keperawatan. Hasil penelitian Purba, Suza, Erniyati (2015)
merekomendasikan perlunya evaluasi terhadap penerapan caring oleh perawat di
rumah sakit serta memfasilitasi perawat dalam mengaplikasikan caring dalam asuhan
keperawatan.Namun, Erienti, Setiawan, Wahyuni (2015) telah melakukan riset
terkait caring di ICU da memperoleh hasil perawat menunjukkan perilaku caring
dan menunjukkan rasa peduli yang tinggi terhadap pasien dalam perawatan kritis.
Untuk
itu, perlu dilakukan kajian berkala tentang perkembangan penerapan caring
ethics di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Dewi, Syan, dan Daulay (2015)
bahwa RS perlu mengoptimalkan kinerja perawat untuk menerapkan prinsip etik
dengan meningkatkan budaya perilaku caring, memperhatikan prinsip etik di rumah
sakit dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien, perlu dibuat aturan baku
pelaksanaan perilaku caring, prinsip etik bagi perawat, pelaksanaan supervisi
berkala dan pelatihan perilaku caring.
2.3
Keperawatan
Sebagai Profesi (Kontrol Sosial, Dimensi, Ciri Profesi)
2.3.1
Keperawatan
sebagai Profesi
Profesi
adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepetingan masyarakat dan bukan
untuk kepentingan golongan atau orang tertentu (Kusnanto, 2003). Sedangkan
menurut Wilensky (1964), profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan
dukungan body of knowledge sebagai dasar untuk pengembangan teori yang
sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan
pelatihan yang lama serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan
(altruism). Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan
suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan pelatihan yang terus menerus
berdasarkan body of knowledge yg spesifik, memiliki kode etik dan standar
praktek dan berfokus pada pelayanan untuk masyarakat.
Keperawatan
adalah suatu kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau
masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat (Undang-undang Keperawatan no
38 tahun 2014). Berdasarkan Lokakarya Nasional (1983), keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan kegiatan integral dari pelayanan
kesehatan yang didarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentukpelayanan
bio-psioko-sosio-spiritual yang komprehensifserta ditujukan pada individu,
keluarga dan masyarakat baik yang sehat maupun sakit yang mencakup seluruh
siklus hidup manusia.
Praktek
keperawatan adalah tindakan keperawatan profesional untuk masyarakat
menggunakan pengetahuan teoritis yang mantap dan kukuh dari berbagai ilmu dasar
dan ilmu keperawatan sebagai dasar untuk melakukan pengkajian, menegakkan
diagnosa, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan
mengevaluasi hasil tindakan keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana
keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan
intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi
yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan
bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan
dan mengatur dirinya sendiri (Nursalam, 2014).
Melihat
defenisi dari beberapa ahli diatas maka dpt disimpulkan: keperawatan merupakan
suatu bentuk pelayanan asuhan keperawatan yang profesional berdasarkan ilmu dan
seni pada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit.
2.3.2
Kontrol
Sosial
Bagaimana cara
profesi (keperawatan) mempertahankan eksistensinya sebagai tenaga profesional
dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada individu, keluarga, kelompok,
dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit, sehingga pada akhirnya diakui
oleh masyarakat (penerima layanan)?
Merupakan satu tugas berat bagi profesi perawat, dimana keperawatan
dituntut untuk terus mengembangkan riset-risetnya, meningkatkan jenjang
pendidikannya, dan menerapkan hasil risetnya dalam praktek keperawatan sehingga
memberikan pelayanan yang berkualitas karena berbasis bukti.
Keperawatan
sebagai profesi berkomitmen pada kemampuan, integritas, moral, kepentingan
orang lain dan mengembangkan kebaikan publik dalam keberadaannya. Komitmen ini
membentuk dasar kontrol sosial antara profesi dan masyarakat. Sebaliknya,
masyarakat memberikan pada profesi otonomi dalam praktek dan hak dalam pengaturan
diri. Dengan demikian, suatu profesi memerlukan kontrol sosial untuk mengawasi
dan mengontrol perilaku anggota profesi dan memberikan pengakuan terhadap
eksistensi suatu profesi.
Status
profesional tidak merupakan hak yang melekat hanya dengan kualifikasi, tapi
juga diberikan kepercayaan oleh masyarakat. Publik melihat bagaimanasuatu
profesi bekerja. Untuk dapat dipercaya, para profesional harus memenuhi
kewajibanyang diharapkan oleh masyarakat. Kegagalan untuk memenuhi kepercayaan,
tingkah laku dan standar profesional akan mengakibatkan kehilangan status
profesi tersebut.
Kelompok
berpendapat bahwa masyarakat penerima layanan suatu profesi berperan penting
dalam mengontrol eksistensi profesi tersebut. Karena merekalah yang dapat
memberikan penilaian terhadap pelayanan suatu profesi dan perilaku anggota
profesi. Jika perilaku anggota profesi tidak atau kurang menyenangkan, tidak
professional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka dengan
sendirinya masyarakat akan memberikan teguran dan mempertanyakan keberadaan
profesi tersebut.
2.3.3
Dimensi
Profesi
a. Dimensi
disiplin ilmu, penerapannya :
1) Digunakan
sebagai dasar dalam membuat keputusan dan melakaukan tindakan keperawatan
2) Menetapkan
standar dan SPO untuk semaua tindakan keperawatan
3) Dilakukan
dengan pengujian dan validasi serta pengembangan melalui penelitian
4) Melaksanakan
evidence based practised
b. Dimensi
etik, penerapannya :
1) Menetapkan
prinsip etik dalam berinteraksi dan memberikan asuhan keperawatan
2) Ditetapkan
kode etik profesi
3) Melaksanakan
kdoe etik profesi
c. Dimensi
hukum, penerapannya :
1) Peraturan
perundang-undangan dijadikan dasar dalam melaksanakan pelayanan dan asuhan
keperawatan
2) Pertauran
perundang-undangan dijadikan landasan pelaksanaan berbagai kewajiban dan hak
perawat
d. Sedangkan
dimensi kualitas pelayanan profesi keperawatan sebagai berikut :
1) Responsibility
atau tanggung jawab, mencakup ketepatan dan kecepatan pelayanan serta
keakuratan dalam memberikan informasi
2) Responsiveness
atau kepekaan ; peka terhadap kebutuhan pasien didiringi tindakan yang tepat
sesuai kebutuhan tersebut
3) Assurance
atau kepastian pelayanan
4) Empati
; kemampuan memahami dan memperhatikan kondisi psikologis pasien
2.3.4
Ciri-Ciri Profesi Keperawatan (Nursalam, 2014)
a. Mempunyai
body of knowledge
b. Pendidikan
berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
c. Memberi
pelayanan kepada masyarakat melalui praktek dalam bidang profesi melalui
praktek profesional yang spesifik
d. Memiliki
perhimpunan organisasi profesi
e. Pemberlakuan
kode etik keperawatan
f. Otonomi
g. Bertanggung
jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan
h. Merupakan
karier seumur hidup
i.
Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi
Profesi
keperawatan berbeda dari profesi yang lain, sehingga memiliki ciri-ciri profesi
yang spesifik untuk membedakan dari profesi yang lain dalam hal pelayanan,
prosedur, fokus penerima pelayanan, dan kode etik.
2.4
Etik
Dalam Keperawatan (Perangkat Komite Etik, Kode Etik, Prinsip Etik)
2.4.1
Perangkat
Komite Etik
Komite etik merupakan merupakan
kelompok dari praktisi yang berusaha meyakinkan masyarakat melalui kode etik
yang berisi standar pelayanan agar masyarakat dapat menilai sikap dan perilaku
dari individu praktisi tersebut (Thompson, 2006).
Peran komite etik adalah mendukung
pendidikan dalam bidang etik dan meningkatkan pengambilan keputusan etik di
institusi pelayanan. Peran komite etik dapat dicapai dengan mendidik staf,
berpartisipasi dalam kebijakan pengembangan terkait kasus etik, program
pengembangan pendidikan masyarakat, dan mendukung pasien dan keluarga saat
menghadapi masalah etik terkait perawatan pasien (Lachman, 2006).
Majelis Kode Etik Keperawatan
Tingkat Pusat, akan bertanggung jawab menangani masalah - masalah etik.
Sedangkan komite keperawatan rumah sakit mempunyai tugas pokok menyelesaikan
masalah-masalah etik yang terjadi bagi tenaga keperawatan (anggota profesi) dan
melakukan pembinaan etika profesi perawat di rumah sakit. (PP PPNI, 2000).
Didalam PMK No. 49 Tahun 2013
mengenai komite keperawatan dibahas tentang subkomite etik dan disiplin
profesi. Subkomite etik ini bertujuan menerapkan prinsip etik, melindungi
pasien, dan meningkatkan profesionalisme. Tugas subkomite etik ini melakukan
sosialisasi kode etik keperawatan, melakukan pembinaan, penegakan disiplin,
merekomendasikan penyelesaian masalah disiplin dan etik, merekomendasikan
pencabutan wewenang klinis, memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan
etis terkait asuhan keperawatan.
Berikut adalah bagan kedudukan
komite keperawatan di rumah sakit berdasarkan PMK No. 49 Tahun 2013 :
Direktur RS
|
Komite medik
|
Komite Keperawatan
|
Direktur
|
Direktur
|
Direktur
|
Sub komite kredensial
|
Sub komite mutu & profesi
|
Sub komite etik & disiplin
|
Di
puskesmas sendiri berdasarkan PMK nomor 75 tahun 2014 tentang pusat kesehatan
masyarakat, struktur organisasi puskesmas terdiri dari kepala puskesmas; kepala
sub bagian tata usaha; penanggung jawab UKM dan keperawatan kesehatan
masyarakat; penanggung jawab UKP, kefarmasian, dan laboratorium; penanggung
jawab jaringan pelayanan puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan.
Berdasarkan PMK di atas diketahui bahwa di puskesmas tidak terdapat komite
keperawatan yang salah satu tugas pokoknya adalah menyelesaikan masalah-masalah
etik yang terjadi bagi tenaga perawat dan melakukan pembinaan etika profesi di
rumah sakit. Dengan demikian, penyelesaian masalah-masalah etik yang terjadi di
puskesmas dapat langsung diawasi dan difasilitasi oleh majelis kode etik
keperawatan di PPNI cabang kota/daerah setempat. Hal yang serupa juga berlaku
pada perawat di komunitas.
2.4.2
Kode
Etik
Aiken (2004) menyatakan kode etik
merupakan daftar tertulis tentang nilai
dan standar perilaku profesi dan memberikan kerangka pengambilan keputusan.
Kozier dan Erb’s (2016) memberikan kode etik adalah pernyataan formal tentang
cita-cita dan nilai kelompok dan perawat bertanggung jawab dengan kode etik
tersebut. Dapat diambil kesimpulan bahwa kode merupakan suatu deklarasi
tertulis dari profesi yang mengatur sikap dan perilaku suatu profesi.
ICN (2012) merumuskan kode etik
keperawatan menjadi empat unsur atau bagian, yaitu perawat dan klien, perawat
dan praktik, perawat dan profesi, serta perawat dan rekan kerja. ANA merumuskan
kode etik menjadi sembilan ketentuan yaitu, perawat memberikan pelayanan dengan
rasa menghormati martabat dan keunikan setiap individu, PPNI (2016) merumuskan
kode etik keperawatan menjadi lima bagian yaitu perawat dan klien, perawat dan
praktik, perawat dan masyarakat, perawat dan teman sejawat, serta perawat dan
profesi.
Kode etik keperawatan memiliki
tujuan yaitu menginformasikan tentang standar minimum profesi dan membantu
publik memahami profesi keperawatan, memberikan tanda komitmen melayani
masyarakat sebagai garis besar pertimbangan etik profesi, memberikan standar
etika untuk perilaku profesi, panduan profesi dalam pengaturan diri, dan
mengingatkan perawat mengenai tanggung jawab merawat pasien (Kozier & Erb’s
2016). Kode etik keperawatan di Indonesia sudah memenuhi tujuan tersebut, hal
ini dapat dilihat dari penjabaran kode etik keperawatan dari PPNI.
Kode Etik
Keperawatan Berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional VI PPNI N0 09/Munas
VI/PPNI/2000 yaitu :
Perawat dan
Klien
1) Perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia,
keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan,
warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta
kedudukan social.
2) Perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan
yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup
beragama dari klien.
3) Tanggung
jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan.
4) Perawat
wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang
dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Perawat dan Praktik
1)
Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang
keperawatan melalui belajar terus menerus.
2)
Perawat
senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan klien.
3)
Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada
informasi yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi
seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi
kepada orang lain.
4)
Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku professional.
Perawat dan Masyarakat
Perawat
mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan mendukung
berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
Perawat dan Teman Sejawat
1) Perawat
senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga
kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja
maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
2) Perawat
bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
Perawat dan Profesi
1) Perawat
mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan
keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan
keperawatan.
2) Perawat
berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan.
3) Perawat
berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi
kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.
Kode Etik Menurut ANA (Martha, D Fowler, 2010) :
a. Ketentuan
1 : Perawat memberikan pelayanan dengan rasa menghormati martabat dan keunikan
setiap individu.
b. Ketentuan
2 : Perawat bertanggung jawab kepada pasien baik individu, keluarga, kelompok,
komunitas maupun populasi.
c. Ketentuan
3 : Perawat mempromosikan, menganjurkan, dan melindungi hak, kesehatan, dan
keamanan pasien.
d. Ketentuan
4 : Perawat memiliki tanggung jawab dalam tugasnya membuat keputusan dan
mengambil tindakan yang konsisten.
e. Ketentuan
5 : Perawat bertanggung
jawab untuk mempromosikan kesehatan dan keselamatan, tidak membeda – bedakan
individu, meningkatkan kompetensi personal dan profesional
f. Ketentuan
6 : Perawat baik secara individu
maupun bersama - sama, menetapkan, mempertahankan, dan memperbaiki lingkungan
guna menciptakan kondisi kerja yang kondusif untuk memberikan perawatan
kesehatan yang aman dan berkualitas.
g.
Ketentuan
7 : Perawat dalam tatanan apapu memajukan profesi keperawatan baik
melalui penelitian, mengumpulkan bukti ilmiah, pengembangan standar profesi
baik keperawatan maupun kesehatan
h. Ketentuan
8 : Perawat bekerja sama dengan profesional
kesehatan lainnya dan masyarakat umum untuk melindungi hak asasi manusia,
mempromosikan kesehatan, dan mengurangi perbedaan pelayanan kesehatan
i.
Ketentuan 9 : Profesi keperawatan baik secara kolektif melalui organisasi
profesi harus mengartikulasikan nilai
keperawatan, menjaga integritas profesi, dan mengintegrasikan prinsip keadilan
sosial ke dalam keperawatan dan kebijakan kesehatan
Kode
Etik menurut ICN (International Council of Nursing, 2012) :
a. Perawat
dengan individu
Perawat bertanggung jawab kepada
individu yang menuntut pelayanan keperawatan, menyediakan lingkungan yang
menjaga hak asasi, nilai, kepercayaan individu, keluarga, dan komunitas.
b. Perawat
dan praktik
Perawat memiliki tanggung jawab dan
akuntabilitas terhadap praktik keperawatan dan meningkatkan kompetensi dengan
cara belajar secara terus-menerus.
c. Perawat
dan profesi
Perawat memikul peran utama dalam
menentukan dan melaksanakan standar praktik keperawatan.
d. Perawat
dengan tenaga lainnya
Perawat memungkinkan untuk
kolaborasi dan menghargai hubungan dengan disiplin ilmu lainnya.
2.4.3
Prinsip
Etik
Prinsip etik merupakan pendekatan
populer dalam layanan kesehatan, melibatkan penggunaan prinsip etik yang
disusun dari konsep moral yang umum dan luas (Rich & Butt, 2014). Pakar
keperawatan telah menetapkan prinsip-prinsip etik keperawatan. Prinsip-prinsip
tersebut yaitu :
a. Autonomy,
dalam pengaturan kesehatan melibatkan kesedian penyedia layanan kesehatan untuk
menghormati hak pasien dalam membuat keputusan sendiri (Aiken, 2004). Autonomy mengacu pada hak pasien untuk
membuat keputusan sendiri (Kozier & Erb’s, 2016).
b. Justice, merupakan
kewajiban untuk bersikap adil kepada semua orang (Aiken, 2004). Perawat perlu
menimbang dengan hati-hati untuk membagi waktu bersama pasien (Kozier &
Erb’s, 2016).
c. Fidelity, dalam
keperawatan mencakup kesetiaan terhadap profesi dan kesetiaan terhadap tanggung
jawab, Kozier & Erb’s (2016) menyatakan kesetiaan berarti setia terhadap
kesepakatan atau janji.
d. Beneficence, merupakan
persyaratan bagi penyedia layanan kesehatan yang melihat tujuan utama
keperawatan sebagai hal yang baik bagi pasien (Aiken, 2004).
e. Nonmaleficence,
bahwa penyedia layanan kesehatan tidak membahayakan klien, disamping itu juga
melindungi klien yang tidak mampu melindungi diri sendiri (Aiken, 2004).
f. Veracity,
mengharuskan perawat mengatakan hal yang sebenarnya dan tidak menipu pasien
(Aiken, 2004). Kejujuran juga mengacu pada mengatakan hal yang sebenarnya
(Kozier & Erb’s, 2016).
g. Accountability, bertanggung
jawab terhadap diri sendiri dan orang lain demi kepentingan tindakan
keperawatan. Perawat mampu menjelaskan alasan tindakan dan mengenali standar
yang dilakukan (Kozier & Erb’s, 2016).
h. Paternalisme,
mengacu pada praktik yang membatasi kebebasan individu tanpa meminta
persetujuan pasien. Sikap paternalistik tidak memprioritaskan pilihan atau
keinginan individu. Pemberi pelayanan kesehatan beranggapan bahwa mereka lebih
tahu apa yang baik untuk pasien (Aiken, 2004).
i. Rasionalisme,
dasar dalam mengambil keputusan. Rasionalisme berfokus pada urutan logis
(Aiken, 2004).
j. Pragmatisme,
profesi mengklarifikasi ide atau gagasan secara objektif melalui pemecahan
masalah (Aiken, 2004).
2.5
Keputusan
Etik danStandar Keperawatan
2.5.1
Masalah dan Dilema Etik
Keperawatan
merupakan suatu bentuk asuhan yang ditujukan untuk kehidupan orang lain. Semua
aspek keperawatan mempunyai komponen etika. Pada saat ini permasalahan yang
berkaitan dengan etika telah meenjadi permasalahan disampingmasalah hukum,baik
bagi pasien, masyarakat maupun pemberi asuhan. Perkembangan tekhnologi dan ilmu
pengetahuan telah memberikan dampak yang luas terhadap pola fikir dan perilaku
dalam masyarakat yang terkadang menjadi dilemma dalam pengambilan sebuah
keputusan terhadap pemberian asuhan keperawatan. Dilema diartikan sebagai
sebuah persoalan yang menghadapkan seseorang kepada pilihan yang tidak
menyenangkan dalam hal ini dapat terjadi konfrontasi antara dokter, orang tua
dan keluarga pasien, bagaimanapu hal ini harus menjadi perhatian para perawat (para
spesialis) karena keluarga seringkali meminta bantuan dan rasa nyaman kepada
perawat (Lachman,2006).
Menurut
Efendi (2009) perawat
berada dalam berbagai situasi yang mengharuskan untuk membuat keputusan. Pada
penyelesaian dilemma etik kita kenal prinsip DECIDE, yaitu, D = Define the
Problems, E =
Ethical Review, C =
Consider the Options, I
= Investigates outcomes, D=
Decide on action, E
= Evaluate Results.
Saat
menghadapi dilema etik, kita dapat menanggapi dengan cara yang berbeda menurut
Huber (2000) tahapannya sebagai berikut, yaitu:
a.
Menunjukan
maksud baik
b.
Mengidentifikasi
semua orang penting
c.
Mengumpulkan
informasi yang relevan
d.
Mengidentifikasi
prinsif etis yang penting
e.
Mengusulkan
tindakan alternative
f.
Melakukan
tindakan
2.5.2
Perbandingan
Standar Keperawatan di Indonesia dan Diluar Negeri
2.5.2.1 Standar keperawatan Indonesia
(PPNI, 2005)
Standar
praktik keperawatan Indonesia :
1) Standar
praktik merupakan salah satu perangkat yang diperlukan oleh setiap tenaga
profesional. Standar praktik keperawatan adalah harapan-harapan minimal dalam
memberikan asuhan keperawatn yang aman, efektif dan etis
2) Standar
praktik keperawatan merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi
masyarakat terhadap praktik yang dilakukan oleh anggota profesi
3) Lingkup
standar praktik keperawatan Indonesia meliputi standar praktik profesional,
yang terdiri dari :
a) Standar
I : Pengkajian
b) Standar
II : Diagnosa keperawatan
c) Standar
III : Perencanaan
d) Standar
IV : Pelaksanaan Tindakan / implementasi
e) Standar
V : EvaluasiStandar kinerja Profesional
4) Standar
kinerja Profesional
a) Standar
I : Jaminan mutu
b) Standar
II : Pendidikan
c) Standar
III : Penilaian kinerja
d) Standar
IV : Kesejawatan ( collegial )
e) Standar
V : Etik
f) Tandar
VI : Kolaborasi
g) Standar
VII : Riset
h) Standar
VIII : Pemanfaatan sumber - sumber
2.5.2.2 Standar ProfesionalAmerican Nurses Association ( ANA, 2010)
Lingkup standar profesional menurut
ANA (2010) meliputi :
1) Standar
praktik keperawatan,meliputi :
a) Standar
I : Pengkajian
b) Standar
II : Diagnosa keperawatan
c) Standar
III : Identifikasi hasil
d) Standar
IV : Planning
e) Standar
V : Implementasi
VA
: Koordinasi dalam pelayanan kesehatan
VB
: Bimbingan dan promosi kesehatan
VC
: Konsultasi
VD : Prescriptive Authority and Treatmen
f) Standar
VI : Evaluasi
2) Standar
Profesional performance, meliputi :
a) Standar
7 : Etik
b) Standar
8 : Pendidikan
c) Standar
9 : Evidence- Based practice dan
riset
d) Standar
10 : Quality nursing practice
e) Standar
11 : Komunikasi
f) Standar
12 : kepemimpinan
g) Standar
13 : kolaborasi
h) Standar
14 : Profesional practice evaluation
i)Standar
15 : Resource utilization
j)Standar
16 : Kesehatan lingkungan
Menurut
kelompok standar praktik keperawatan yang saat ini dilakukan di rumah sakit
sudah perpaduan antara menurut PPNI dan ANA yaitu pada standar praktik
profesional yang standar Implementasi yaitu perawat yang sudah spesialis atau
teregistrasi atau advance dapat melakukan implementasi keperawatan antara lain
: bekerjasama dengan team kesehatan lain,melakukan bimbingan dan promosi
kesehatan, berkonsultasi dan menerima konsultasi terkait pelayanan keperawatan
serta dapat melakukan praktik secara mandiri sesuai peraturan perundangan –
undangan yang berlaku di Indonesia.
2.5.3
Pengambilan
Keputusan Etik di Indonesia
Permasalahan
etik keperawatan di Indonesia menjadi lebih terarah dengan adanya Undang-Undang
Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 yang menjadi landasan dalam pengambilan
keputusan etik dan dilema etik yang terjadi di Indonesia. Kesenjangan sering
terjadi dalam isu kolaborasi dan kemitraan interdisiplin, dimana status yuridis seiring
perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat
kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan
atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada
kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab
hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga
harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi
perubahan.
Perawat perlu mengantisipasi
konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi profesional, arah
kebijakan yang diperlukan yakni ketersediaan perawat demi memperkuat promotif
dan preventif. Lulusan perawat berpendidikan diploma 3 (D-3) lebih banyak
dibanding ners (berpendidikan strata 1 dan profesi). Kini 500-an institusi
pendidikan vokasional keperawatan menghasilkan lulusan D-3 dan 200-an institusi
menghasilkan S1-Ners.Pemenuhan kebutuhan perawat di daerah tak cukup dengan
perawat D-3 karena belum punya kemampuan komprehensif menuntaskan masalah.
Pemerintah perlu menempatkan spesialis keperawatan keahlian di atas ners di
kabupaten atau kota.
|
PEMBAHASAN
3.1 Dasar Pembentukan Etik dan Moral
Kohlberg
melakukan penelitian terhadap anak laki-laki yang dihadapkan 10 dilema, dan
anak laki-laki disuruh menjawab pertanyaan-pertanyaan dari hasil wawancara.
Dari hasil penelitian bahwa jawaban dari anak laki-laki tersebut cenderung
berubah seiring dengan pertumbuhan usia anak. Dia
mengidentifikasi tiga tingkat penalaran moral yang berbeda masing-masing dengan
dua sub tahap. Orang hanya bisa melewati level ini sesuai urutan yang tertera.
Setiap tahap baru menggantikan penalaran yang khas dari tahap awal. Tidak semua
orang mencapai semua tahapan.
Tingkat
terakhir dari perkembangan moral Kohlberg, individu sadar akan perannya.
Perkembangan moral berdasarkan pengalaman hubungan individu terhadap keluarga,
masyarakat dan lingkup lebih luas yaitu kehidupan bernegara. Penilaian individu
didasarkan pada prinsip-prinsip yang dipilih sendiri, dan penalaran moral
didasarkan pada hak dan keadilan individu. Adakalanya seseorang sudah tahu peraturan hukum dan
undang-undang yang berlaku untuk kebaikan bagi sejumlah besar masyarakat namun
seseorang bertindak berlawanan terhadap kepentingan individu tertentu. Misalnya. hak asasi manusia, keadilan dan persamaan. Orang
tersebut akan siap untuk bertindak untuk mempertahankan prinsip-prinsip ini
meskipun itu berarti bertentangan dengan masyarakat lainnya dalam prosesnya dan
harus membayar konsekuensi ketidaksetujuan dan atau pemenjaraan.
Masalah dengan metode
Kohlberg yaitu :
a) Dilema bersifat artifisial (yaitu kurangnya validitas ekologis)
38
|
b) Sampelnya bias
Menurut Gilligan (1977), karena teori Kohlberg didasarkan pada
sampel semua laki-laki, tahapan tersebut mencerminkan definisi moral laki-laki.
Moralitas Mens didasarkan pada
prinsip-prinsip abstrak hukum dan keadilan, sementara womens didasarkan pada prinsip-prinsip belas kasih dan perhatian.
c)
Dilema bersifat hipotetis
(yaitu tidak nyata)
Fakta bahwa teori Kohlberg sangat bergantung pada respons
individu terhadap dilema buatan membawa pertanyaan keabsahan hasil yang
diperoleh melalui penelitian ini. Orang mungkin merespons dengan sangat berbeda
dengan situasi kehidupan nyata yang mereka temukan sendiri daripada yang mereka
lakukan dengan dilema buatan yang disajikan kepada mereka dalam kenyamanan
lingkungan penelitian
d)
Desain penelitian yang lemah
Penelitian menggunakan cross-sectionalyang berarti bahwa dia mewawancarai anak-anak dari berbagai usia
untuk melihat tingkat perkembangan moral mereka.Cara yang lebih baik untuk
melihat apakah semua anak mengikuti urutan yang sama melalui tahapannya adalah
melakukan penelitian longitudinal pada anak yang sama
Anak perempuan sering ditemukan berada di tahap 3 dalam sistem
Kohlberg, sementara anak laki-laki lebih sering ditemukan di tahap 4.
Gilligan mengatakan
"Sifat-sifat yang secara tradisional mendefinisikan
kebaikan wanita, perhatian dan kepekaan mereka terhadap kebutuhan orang lain,
adalah hal-hal yang menandai mereka sebagai kekurangan dalam pembangunan
moral".
Dengan kata lain Gilligan mengklaim bahwa ada bias seks dalam
teori Kohlberg. Dia mengabaikan suara feminin belas kasihan, cinta dan
non-kekerasan, yang dikaitkan dengan sosialisasi anak perempuan.Gilligan sampai
pada kesimpulan bahwa teori Kohlberg tidak menjelaskan fakta bahwa wanita
mendekati masalah moral dari 'etika perawatan', dan bukan perspektif 'etika
peradilan', yang menantang beberapa asumsi mendasar teori Kohlberg.
3.2 Etika Kepedulian
Etika
kepedulian pertama kali di gagas oleh seorang psikolog dan penganut paham
feminimisme yaitu Carol Gilligan (Held, 2005). Etika kepedulian menurut Carol
Gilligan yang dilihat dari perspektif wanita adalah pandangan moral yang
menekankan pada solidaritas, komunitas dan kepedulian tentang orang lain atau
adanya hubungan ketergantungan satu dengan lainnya. Etika kepedulian menurut
Carol Gilligan banyak membahas mengenai perasaan, tanggung jawab dan hubungan
manusia terutama dari sudut pandang wanita (Gilligan, 2003). Sejalan dengan
pendapat Gilligan, psikolog lain Nel Nodding mengatakan etika kepedulian
berakar pada penerimaan, ketergantungan satu sama lain dan responsif. Nel
Nodding juga melihat etika kepedulian dengan pendekatan feminimisme.
Beberapa
ahli berpendapat etika kepedulian yang dikemukakan oleh Carol Gilligan adalah
konsep mengenai etika yang paling cocok digunakan dalam area keperawatan.
Namun, beberapa ahli lainnya berpendapat berbeda dengan mengatakan pendapat
Gilligan ini terlalu subjektif dan problematis. Pertanyaan- pertanyaan muncul
saat konsep etika kepedulian menurut Gilligan di gunakan dalam keperawatan
terkait kemampuan perawat pria untuk peduli atau merawat (Lachman, 2006).
Menurut
Hanford (2005) fokus etika kepedulian adalah bagaimana kita berhubungan dengan
orang lain secara moral. Jena (2014) mengatakan etika kepedulian merupakan
emosi yang kita rasakan sebagai tanggapan terhadap penderitaan orang lain yang
mendorong kita untuk meringankan penderitaan orang lain. Etika
kepedulian adalah komitmen moral untuk memperhatikan kebutuhan manusia dengan
cara merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi dukungan secara adil pada
setiap manusia.
RS perlu mengoptimalkan kinerja perawat
untuk menerapkan prinsip etik dengan meningkatkan budaya perilaku caring,
memperhatikan prinsip etik di rumah sakit dalam pemberian asuhan keperawatan
kepada klien, perlu dibuat aturan baku pelaksanaan perilaku caring, prinsip
etik bagi perawat, pelaksanaan supervisi berkala dan pelatihan perilaku caring.
3.3 Keperawatan Sebagai Profesi
(Kontrol Sosial, Dimensi, Ciri Profesi)
Profesi keperawatan merupakan
profesi yang memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan
masyarakat baik yang sehat maupun sakit
berbentuk pelayanan bio psiko sosio dan spiritual yang dalam pelaksanaannya
diawasi dan dikontrol oleh masyarakat. Ketika tuntutan masyarakat terhadap
suatu profesi semakin tinggi maka itu akan memberi peluang kepada profesi
tersebut untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Ketika profesi
tersebut mampu memenuhi tuntutan masyarakat maka dengan sendirinya profesi itu
akan semakin diakui.
Untuk mengontrol perilaku anggota
profesinya, keperawatan mempunyai organisasi profesi yaitu Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) yang berfungsi menyusun kode etik dan standar praktek
bagi anggotanya. Kode etik berisi aturan-aturan untuk menjaga sikap dan
perilaku para perawat, sedangkan standar praktek untuk memberi arah dan acuan
bagi para perawat dalam melakukan prakteknya. Para perawat diharapkan patuh dan
tunduk pada kode etik profesi dan standar praktek yang ada demi mempertahankan
kepercayaan dan pengakuan masyarakat terhadap profesionalisme perawat.
Dari hal diatas dapat dikatakan bahwa
kontrol sosial sangat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pelayanan yang diberikan kemasyarakat. Perawat wajib memegang teguh kode etik
yang berlaku agar pelayanan yang diberikan konsisten dan terstandar, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kepuasan masyarakat yang tentunya akan meningkatkan
kepuasan batin perawat yang sangat bernilai dan tidak dapat dinilai dengan
materi. Hal tersebut akan memotivasi perawat terus memberikan yang terbaik
untuk masyarakat, ibarat mata rantai yang tidak terputus antara kontrol sosial,
peningkatan kualitas, kepuasan
masyarakat dan kepuasan perawat.
Berdasarkan ciri-ciri profesi
keperawatan menurut Nursalam (2004) terdapat beberapa kesenjangan dengan yang
terjadi di Indonesia saat ini antara lain :
a) Mempunyai
body of knowledge ;
Profesi
keperawatan di Indonesia memegang body of
knowledge, namun belum semua perawat di Indonesia menguasai ilmu
pengetahuan keperawatan yang setara.
b) Pendidikan
berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi
Belum semua perawat indonesia
mengenyam pendidikan profesional yang sama. Dimana masih banyak ditemukan
perawat dengan latar belakang pendidikan diploma (vokasional) bahkan masih ada yang latar
belakang pendidikan SPK terutama di daerah
c)
Memberi pelayanan kepada masyarakat
melalui praktek dalam bidang profesi melalui praktek profesional yang
berdasarkan standar asuhan keperawatan dan etika profesi namun masih ditemukan
perawat terutama didaerah yang melaksanakan praktek medis, contohnya melakukan
tindakan khitanan dan pemberian
obat-obatan
d)
Memiliki perhimpunan organisasi profesi
Perawat di
Indonesia telah memiliki organisasi profesi yaitu PPNI yang sangat berperan
dalam pengembangan citra keperawatan sebagai profesi serta mampu berperan
secara aktif dalam upaya membangun keperawatan professional namun masih ada
perawat yang belum bergabung menjadi anggota organisasi profesi.
e) Pemberlakuan
kode etik keperawatan
Perawat Indonesia
memiliki kode etik keperawatan yang berfungsi untuk mengontrol sikap dan
tingkah laku perawat, namun dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan
pelanggaran, contohnya dalam menjaga kerahasiaan pasien seperti mengupload foto
kondisi pasien (kondisi luka). Dalam menghadapi pelanggaran etik tersebut,
belum ada tindakan tegas dari organisasi profesi.
f) Otonomi
Didalam bekerja perawat
mempunyai otonomi sendiri artinya perawat bekerja sesuai dengan keilmuannya
sendiri dalam merawat pasien, tidak bergantung pada instruksi dokter namun
sampai saat ini pelayanan keperawatan di rumah sakit yang kita temukan belum
mencerminkan praktik keperawatan profesional dengan otonominya, dimana metode
pemberian asuhan keperawatan yang dilaksanakan belum sepenuhnya berorientasi
pada upaya pemenuhan kebutuhan klien secara bio psiko sosio dan spiritual
melainkan lebih berorientasi pada pelaksaanaan tugas limpahan wewenang dari
dokter.
3.4 Etik Dalam Keperawatan (Perangkat
Komite Etik, Kode Etik, Prinsip Etik)
Etik dalam keperawatan
di Indonesia belum sepenuhnya diterapkan dengan baik, hal ini sudah didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Safithri (2009) tentang penerapan Kode etik
keperawatan di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang dari 66 perawat
terdapat 23 orang atau 34,8% dari jumlah sampel perawat mempunyai sikap sedang
dalam menerapkan kode etik keperawatan. Hal ini ditunjukkan dengan sikap
perawat yang tidak mengikuti perkembangan ilmu keperawatan melalui media
elektronik misalnya internet. Mereka lebih banyak disibukkan dengan pekerjaan
rutinitas sehari-hari. Dalam penelitian juga menunjukkan hasil yang signifikan
bahwa 31 orang atau 47% perawat dari jumlah sampel dinyatakan mempunyai sikap
yang sedang dalam menerapkan kode etik keperawatan. Sikap tersebut ditunjukkan
dengan pernyataan perawat yang tidak setuju apabila SIP harus diperbaharui
setiap 5 tahun. Sebagian dari mereka menyatakan keberatannya untuk membayar
biaya registrasi yang semakin meningkat.Penelitian Adhikari et al (2016)
menyatakan perawat memiliki pengetahuan etika kesehatan yang signifikan namun
pengetahuan tentang kode etik inti pada praktik klinik perawat masih rendah.
Hal ini disebabkan oleh responden kurang mengenal kode etik yang digunakan.
Perawat merupakan salah satu pemberi pelayanan dalam sistem
kesehatan yang memiliki tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien
berdasarkan isu etik. Mereka memerlukan pengetahuan untuk menjadi pedoman dalam
memberikan perawatan yang aman dan sesuai dengan etik legal saat ini (Shahriari
et all, 2013).Safithri (2009)
menyatakan bahwa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerapan etik
dalam keperawatan antara lain mengadakan pelatihan service exellent bagi
perawat untuk meningkatkan pengetahuan perawat dalam memberikan pelayanan prima
dan untuk meningkatkan BOR. Selain itu perawat disarankan untuk selalu
mengikuti perkembangan ilmu keperawatan dengan cara browsing internet
atau membaca buku-buku ilmu keperawatan terbaru. Marliany (2010) juga menyatakan bahwa penerapan kode etik
keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan perlu lebih diaplikasikan dengan
sikap menghargai dan bertanggung jawab terhadap klie, memelihara suasana
lingkungan yang menghormati budaya dan agama klien, dan menjaga kerahasiaan
klien.
Berdasarkan
pandangan kelompok kode etik dan prinsip etik merupakan sesuatu yang urgent di
profesi keperawatan. Kode etik dan prinsip etik yang tidak diterapkan oleh
anggota profesi akan merugikan klien, perawat, maupun organisasi profesi itu
sendiri. Sebaliknya, perawat yang menerapkan kode etik dan prinsip etik akan
terhindar dari malpraktik, terwujudnya keselamatan pasien, dan mutu pelayanan keperawatan
akan meningkat.
3.5 Keputusan Etik dan Standar
Keperawatan
Standar asuhan keperawatan
merupakan urutan yang harus dilakukan oleh perawat sehingga asuhan keperawatan
dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak perawat yang melaksanakan proses asuhan
keperawatan secara maksimal. Hasil penelitian Hagos et all (2014) menyatakan
90% responden sangat setuju bahwa pelaksanaan proses keperawatan itu mempunyai
tujuan yang sangat baik, tetapi 43% perawat menyatakan bahwa pelaksaan asuhan
keperawatan merupakan pemborosan waktu, 75% perawat menyatakan bahwa proses
keperawatan sudah dikerjakan dengan baik dipelayanan, lebih dari 50% perawat
menyatakan menyatakan bahwa kekurangan waktu dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan.Penelititian Indrajati (2011) tentang pendokumentasian tentang
perencanaan dan pelaksanaan asuhan keperawatan menyatakan 60% pendokumentasian
asuhan keperawatan cukup dan 40% masih kurang.
Berdasarkan Ulrich et al (2010)
masalah etika yang paling sering terjadi dan paling berbahaya adalah melindungi
hak pasien, otonomi dan inform consent, pengelolaan
pegawai, perencanaan perawatan lanjutan dan membuat alternatif suatu keputusan.
Kejadian kesalahan etik yang lainnya adalah praktik profesional keperawatan
yang tidak etis seperti pelanggaran kerahasiaan pasien atau hak atas privasi,
dan pengambilan keputusan untuk mengakhiri hidup pasien.
Perawat
yang profesional wajib mengetahui fungsi dan perannya sebagai seorang perawat
dan juga mengenal etika dan konsep hukum dan perannya. Pengetahuan ini bertujuan
untuk menghindari perawat dari tindakan-tindakan yang menyalahi etika
profesinya yang dapat berujung kepada tindakan malpraktik atau kelalaian yang
dapat merugikan klien, perawat itu sendiri, dan profesi keperawatan.
|
KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah Etika dalam
Keperawata yaitu :
1. Dasar
pembentukan etik dan moral berkaitan dengan perkembangan usia, semakin matang
usia seseorang maka perkeembangan etik dan moralnya semakin baik.
2. Etika
kepedulian merupakan prinsip dan komitmen moral yang dapat digunakan dalam area
keperawatan. Etika kepedulian merupakan komitmen moral untuk memperhatikan
kebutuhan manusia dengan cara merawat, melindungi, menyembuhkan, memberi
dukungan secara adil dan bertanggung jawab kepada setiap manusia.
3. Keperawatan
telah diakui sebagai suatu profesi karena telah memenuhi syarat sebagai profesi
karena memiliki kontrol sosial, dimensi, dan ciri-ciri profesi itu sendiri.
4. Etika
keperawatan digariskan dalam kode etik yang bersumber dari martabat dan hak
manusia yang memiliki sikap menerima dan kepercayaan profesi. Profesi menyusun
kode etik berdasarkan penghormatan atas nilai dan nilai dan situasi individu
yang dilayani. Perawatdihadapkan pada situasi yang memerlukan keputusan yang
tepat dalam pengambilan tindakan.
5. Dalam
pelayanan keperawatan akan sering ditemukan dilema etik, namun profesi
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman harus menerapkan
standar asuhan keperawatan yang dapat menghindari perawat dari keputusan etik
yang kurang tepat.
46
|
|
Aiken, TD. (2004). Legal, ethical, and political issues in nursing.
Bertens,K. (2002). Etika. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Adhikari, S., Paudel, K., Aro, A. R.,
Adhikari, T. B., Adhikari,B., Mishra, S. R. (2016). Knowledge, attitude and
practice of healthcare ethics among resident doctors and ward nurses from a
resource poor setting, Nepal. BMC Medical Ethics Journal. Diakses pada
16 Januari 2017 dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5100232/pdf/12910_2016_Article_154.pdf
Fowler, Martha D.M (2010). Code of ethics for nurse, interpretation, and appliation. American
Nurse Association.
Gilligan, C. (2003). In a different voice : Psychological
theory and women's development. Cambridge: Harvard University Press.
Hagos.F, Alemseged.F, Balcha.F, Berhe.S, Aregay.A
(2014). Application of nursing process and its affecting factors among nurses
working in mekelle zone hospitals, northern ethiopia. Nursing Research and Practice Volume 2014, page 1-9
Hanford, L. (2005). Ethical issues in nursing. New
York: Roulledge.
Held, V. (2005). The ethics of care. Oxford: Oxford
University Press.
Indrajati I., Al Ummah M., Sumarsih T. (2011). Pendokumentasian
tentang perencanaan & pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang barokah rs
pku muhammadiyah gombong. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan. Volume 7 No. 3
Jena, Y. (2014). Etika kepedulian : Welas asih dalam tindakan
moral . Kanz Philosophia, 1-14.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan No. 49 Tahun
2013 tentang Komite Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan No.75 Tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta
47
|
Kohlberg, L. (1995). Tahap
- tahap perkembangan moral. (A. Santod, John de dan Cremers, Ed.).
Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
Kurtines,W.M. & Gerwitz,J.L. (1992). Moralitas, perilaku,moral dan perkembangan
moral (edisi pertama). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Lachman, V. D. (2006). Applied ethics in nursing. New
York: Springer Publishing Company.
Marliany, H. (2010). Hubungan peran kepala ruangan dengan sikap etis perawat yang dipersepsikan
oleh perawat pelaksana di rsud kota tasikmalaya. Tesis. Universitas
Indonesia
Nursalam. (2014). Orasi ilmiah
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2006). Kode etik keperawatan. Diambil 06
September 2017. Dari https://inna-ppni.or.id/public-announcements/
PP
PPNI (2000). Kode etik keperawatan
lambang, panji PPNI dan ikrar keperawatan. Jakarta.
Poedjawiyatna.
(2003). Etika, filsafat, tingkah laku
(edisi ke-9). Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Poespoprodjo,W.(1999).Filsafat moral. Bandung:Pustika Grafika.
Rich K. & Butt J. (2014). Foundation of ethical nursing practice, role development in
porfessional nursing practice
Thompson, Ian E. Et all. (2006). Nursing ethics 6th edition. United
Kingdom. Elsevier
Safithri, M. K. (2009). Penerapan kode etik keperawatan di rumah sakit bhakti wira tamtama
semarang.
Shahriari,
M., Mohammadi, E., Abbasadeh, A., Bahrami, M.(2013). Nursing ethical values and
definitions: A literature review. Iranian Journal of Nursing Midwifery Research.
Diakses pada 1 November 2016 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23983720
Sherwin, S. (2007). Principles
of health care ethics: Feminist approaches to health care ethics. London:
John Willey & Sons. Ltd.
Souryal, S.S. (2011). Ethic in criminal justice in search of the truth.USA:Anderson
Publishing.
Suhaemi, M. E. (2004). Etika keperawatan : Aplikasi pada
praktik.. Jakarta: EGC.
Suseno,F.M. (1987). Etika belajar:Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta:
Kanisius
Ulrich,C.M, Taylor,C. Soeken,K. O’Donnel,P.
Ferrar,A. Danis,M. Grady,C. (2010). Everyday
ethics: Ethical issues and stress in nursing practice. J Adv Nurs 60 (11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar