A.
Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi
akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun
efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan
kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari.
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan TIK.
B.
patofisiologi
Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah,
kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan
tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi,
kontisio, laserasi atau avulsi.
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang
tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan
otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang
kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka
maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial
menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat
tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar
tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi
tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari
hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur
dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
Cidera
otak
Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan
otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat
tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus
untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati
dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit
saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah
kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan
otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh
dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.
Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami
memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak
sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,
pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Hemoragi cranial
Hematoma ( pengumpulan
darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius
dari cedera kepala. Ada
3 macam hematoma :
- Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di
dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini
sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara
dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal,
hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
- hematoma subdural
hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara
dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub
dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh
darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi
akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena
dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan
cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut:
sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk
menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat
terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang
diperkirakan akibat proses penuaan.
- Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam
substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan
mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi
dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal,
penyebab sistemik gangguan perdarahan.
Trauma otak
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :
-
Gangguan kesadaran
-
Konfusi
-
Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
-
Tiba-tiba defisit neurologik
-
Perubahan TTV
-
Gangguan penglihatan
-
Disfungsi sensorik
-
lemah otak
C.
|
D.
TANDA DAN GEJALA
·
Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma
langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa
hipoventilasi alveolar, dangkal.
·
Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
·
Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan
peningkatan TIK
·
Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang
sama sekali
·
Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan
disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.
E.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
·
CT Scan
·
Ventrikulografi udara
·
Angiogram
·
Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
·
Ultrasonografi
F.
penatalaksanaan
1.
Air dan Breathing
-
Perhatian adanya apnoe
-
Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi
endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh
AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
-
Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk
mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil
yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2.
Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang
cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang
dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk
mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
3.
disability (pemeriksaan neurologis)
-
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak
dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan
respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan
darahnya normal
-
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan
reflek cahaya pupil
G.
pengkajian primer
a.
Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b.
Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan
tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c.
Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi
urin.
d.
Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e.
Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
H.
pengkajian skunder
-
Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan
membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
-
Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
-
Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
-
Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung,
pemantauan EKG
-
Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
-
Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan
cedera yang lain
I.
diagnoasa keperawatan yang muncul
1.
Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran
darah ke serebral, edema serebral
2.
Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler
(cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
3.
Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control
volunteer terhadap otot pernafasan
4.
Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi,
obstruksi jalan nafas
5.
Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat
pernafasan
6.
Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan b.d penurunan kesadaran
7.
Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
8.
Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control
volunteer pada kandung kemih
J.
rencana keperawatan
1.
Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d
penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan
sensorik
Intervensi :
-
Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan
peningkatan TIK
-
Monitor status neurologis
-
Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
-
Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
-
Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih
tinggi untuk mencegah peningkatan TIK
-
Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi,
pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi
2.
Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro
muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Tujuan : pola nafas pasien efektif
Intervensi :
-
Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat
adanya otot bantu nafas
-
Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan
nafas
-
Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu
perubahan posisi secara berkala
-
Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih
dari 10-15 detik
-
Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang
hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)
-
Catat pengembangan dada
-
Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan
melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi
-
Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti
sedatif
-
Lakukan program medik
3.
Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya
control volunteer terhadap otot pernafasan
tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat
intervensi :
-
Kaji irama atau pola nafas
-
Kaji bunyi nafas
-
Evaluasi nilai AGD
-
Pantau saturasi oksigen
4.
Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi
sekret, obstruksi jalan nafas
Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas
intervensi :
-
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal
krekels, mengi, ronchi
-
Kaji frekuensi pernafasan
-
Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan
indikasi
-
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna
lendir yang keluar
-
Kolaburasi : monitor AGD
5.
Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu
postur refleksif
intervensi :
-
Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau
wajah
-
Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan
penghalang tempat tidur
-
Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
-
Pasang pagar tempat tidur
-
Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan
tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten
tapi jangan memaksa membuka rahang
-
Pertahankan tirah baring
6.
Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi
Intervensi :
-
Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi
pipa lambung setiap akan memberikan makanan
-
Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30
derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi
-
Catat makanan yang masuk
-
Kaji cairan gaster, muntahan
-
Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang
sesuai dengan kondisi pasien
-
Laksanakan program medik
7.
Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya
control volunter pada kandung kemih
tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi :
-
Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan
berat jenis
-
Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
-
Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik
steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar