Definisi
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik
dan buruk dalam hubungan dengan orang lain.
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif
yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua
orang.
Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik
memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan
terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau
dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan
kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola
atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar
seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat
telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik
merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya
manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang
lain.
Nilai-nilai moral yang ada dalam kode etik keperawatan
Indonesia (2000), diantaranya:
1.Menghargai
hak klien sebagai individu yg bermartabat dan unik
2.Menghormati
nilai-nilai yang diyakini klien
3.Bertanggung
jawab terhadap klien
4.confidentiality
Metoda Pendekatan Pembahasan Masalah Etika
Dari
Ladd J (1978), dikutip oleh Freld(1990) menyatakan ada empat metoda utama
membahas masalah etika:
1.Otoritas
2.Consensum
hominum
3.Pendekatan
intuisi atau self evidence
4.Metode
argumentasi
TIPE-TIPE
ETIK
a. Bioetik
b.
Clinical ethics/Etik klinik
c. Nursing ethics/Etik Perawatan
Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih
memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada klien.
Contoh clinical ethics : adanya persetujuan atau penolakan,
dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang
bermanfaat (sia-sia).
PELAKSANAAN ETIK DAN MORAL DALAM
PELAYANAN KLINIS KEPERAWATAN
Aplikasi dalam
praktek klinis bagi perawat diperlukan untuk menempatkan nilai-nilai dan
perilaku kesehatan pada posisinya. Perawat bisa menjadi sangat frustrasi bila
membimbing atau memberikan konsultasi kepada pasen yang mempunyai nilai-nilai
dan perilaku kesehatan yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena pasen
kurang memperhatikan status kesehatannya. Pertama-tama yang dilakukan oleh
perawat adalah berusaha membantu pasen untuk mengidentifikasi nilai-nilai dasar
kehidupannya sendiri.
Sebagai
ilustrasi dapat dicontohkan kasus sebagai berikut: Seorang pengusaha yang
sangat sukses dan mempunyai akses di luar dan dalam negeri sehingga dia menjadi
sibuk sekali dalam mengelola usahanya. Akibat kesibukannya dia sering lupa
makan sehingga terjadi perdarahan lambung yang menyebabkan dia perlu dirawat di
rumah sakit. Selain itu dia juga perokok berat sebelumnya. Ketika kondisinya
telah mulai pulih perawat berusaha mengadakan pendekatan untuk mempersiapkannya
untuk pulang. Namun perawat menjadi kecewa, karena pembicaraan akhirnya
mengarah pada keberhasilan serta kesuksesannya dalam bisnis. Kendati demikian
upaya tersebut harus selalu dilakukan dan kali ini perawat menyusun list
pertanyaan dan mengajukannya kepada pasen tersebut. Pertanyaannya, “Apakah tiga
hal yang paling penting dalam kehidupan bapak dari daftar dibawah ini ?” Pasen
diminta untuk memilih atas pertanyaan berikut:
1. Bersenang-senang dalam
kesendirian (berpikir, mendengarkan musik atau membaca).
2. Meluangkan waktu bersama
keluarga.
3. Melakukan aktifitas seperti:
mendaki gunung, main bola atau berenang.
4. Menonton televisi.
5. Membantu dengan sukarela untuk
kepentingan orang lain.
6. Menggunakan waktunya untuk
bekerja.
Langkah
berikutnya adalah mengajaknya untuk mendiskusikan prioritas yang dibuat berdasarkan
nilai-nilai yang dianutnya, dengan mengikuti klarifikasi nilai-nilai sebagai
berikut:
1.
Memilih: Setelah menggali aspek-aspek
berdampak terhadap kesehatan pasen, misalnya stress yang berkepanjangan dapat
mengganggu kesehatan dan mengganggu aktifitasnya, maka sarankan kepadanya
memilih secara bebas nilai-nilai kunci yang dianutnya. Bila dia memilih masalah
kesehatannya, maka hal ini menunjukkan tanda positif.
2.
Penghargaan: Berikan dukungan untuk
memperkuat keinginan pasen dan promosikan nilai-nilai tersebut dan bila
memungkinkan dapatkan dukungan dari keluarganya. Contoh: istri dan anak anda
pasti akan merasa senang bila anda memutuskan untuk berhenti merokok serta
mengurangi kegiatan bisnis anda, karena dia sangat menghargai kesehatan anda.
3.
Tindakan: Berikan bantuan kepada pasen
untuk merencanakan kebiasaan baru yang konsisten setelah memahami nilai-nilai
pilihannya. Minta kepada pasen untuk memikirkan suatu cara bagaimana nilai
tersebut dapat masuk dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata yang perlu
diucapkan perawat/bidan kepada pasennya: “Bila anda pulang, anda akan menemukan
cara kehidupan yang berbeda, dan anda menyatakan ingin mulai menggunakan waktu
demi kesehatan anda”.
Masalah etika dalam uji klinik obat
di Indonesia
Mengapa
harus dilakukan uji klinik obat ?
Uji klinik obat -selanjutnya disingkat “uji klinik”-
dimaksudkan untuk menguji efektivitas suatu obat/pengobatan pada sekelompok
manusia sehat/penderita dalam jumlah terbatas supaya hasilnya dapat diterapkan
pada penderita lain dikemudian hari secara rutin. Menggunakan manusia sehat
atau sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan
bermanfaat bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga
dapat digunakan pada masyarakat luas dengan lebih yakin tentang efektivitas dan
keamanannya. Bila skrining seperti ini tidak dilakukan maka dapat terjadi
malapetaka pada banyak orang bila langsung dipakai secara umum seperti pernah
terjadi dengan talidomid (1959-1962) dan obat kontrasepsi pria (gosipol)di
Cina.
Setiap obat yang ditemukan melalui eksperimen in vitro atau
hewan coba tidak terjamin bahwa khasiatnya benar-benar akan terlihat pada
penderita. Pengujian pada manusia sendirilah yang dapat “menjamin” apakah hasil
in vitro atau hewan sama dengan manusia. Penapisan efektivitas terakhir ini
dibuktikan melalui uji klinik obat.
Efektivitas dan toksisitas mungkin dapat berbeda dalam 4
jenis kombinasi bila hasil in vitro/hewan dibandingkan dengan manusia:
1.
Hasil
in vitro/hewan positif ---- hasil pada manusia positif.
Situasi ini ideal dan makna penelitian hewan lebih terasa kebutuhannya.
Situasi ini ideal dan makna penelitian hewan lebih terasa kebutuhannya.
Contohnya : salbutamol, propanolol, penisilin,
dsb.
2.
Hasil
in vitro/hewan negatif ---- hasil pada manusia negatif.
Situasi
ini juga baik, namun tidak dapat dijamin sepenuhnya karena suatu percobaan yang
berhasil negatif lebih sulit dibuktikan. Zat kimia seperti ini biasanya tidak
akan menjadi obat.
3.
Hasil
in vitro/hewan positif ---- hasil pada manusia negatif.
Keadaan ini sering terjadi pada zat kimia yang diharapkan menjadi obat tetapi tidak dapat diteruskan dalam pengembang-annya sebagai obat baru, karena uji klinisnya gagal membuktikan manfaatnya.
Keadaan ini sering terjadi pada zat kimia yang diharapkan menjadi obat tetapi tidak dapat diteruskan dalam pengembang-annya sebagai obat baru, karena uji klinisnya gagal membuktikan manfaatnya.
4.
Hasil
in vitro/hewan negatif ---- hasil pada manusia positif.
Bila fenomen ini mengenai efek samping, situasi ini bisa berbahaya karena manusia belum mengantisipasi sifat buruk ini, sedangkan bila efeknya bersifat baik maka hal ini merupakan suatu indikasi baru yang didasarkan kebetulan (‘serendipity’). Contoh yang paling baru ialah sildenafil yang dimaksudkan untuk menjadi obat kardiovaskuler tetapi kebetulan menjadi obat male erectile dysfunction.
Etika dalam uji klinik
Uji klinik penuh dengan masalah etika
karena berhubungan erat sekali(1,5) dengan eksperimentasi pada manusia sakit
maupun sehat. Suatu pelanggaran etik yang kasar telah diceritakan Angell(2)
dalam sebuah editorial yang terkenal dengan “The Tuskegee study of untreated
syphilis”. Studi ini telah disponsori oleh the US Public Health Service dan berjalan
dari 1932-1972. 412 orang kulit hitam di A.S. yang menderita sifilis tidak
diobati dan dibandingkan dengan 204 orang yang tidak berpenyakit sifilis untuk
menentukan jalannya penyakit “singa” itu. Waktu studi dimulai belum terdapat
pengobatan yang ampuh (Salvarsan telah digunakan sebagai standard pengobatan),
dan penelitian ini diteruskan hingga 1972, walaupun penisilin sudah dipasarkan
dan telah diketahui sangat efektif untuk sifilis. Studi ini berjalan terus
sampai seorang wartawan mengetahuinya dan membuat laporan yang menghebohkan
Presiden Nixon. Studi ini kemudian dihentikan. Berbagai masalah etik telah
dilanggar karena orang percobaan tidak dimintakan consent, subyek telah
dibohongi, dan mereka tidak diberikan pengobatan penilisin yang ampuh. Bulan
Mei 1997 hal ini menyebabkan Presiden Clinton membuat pernyataan maaf kepada
masyarakat Amerika secara resmi.
Suatu cerita lain dalam editorial di atas ialah adanya uji klinik profilaksis dengan berbagai regimen pengobatan terhadap tuberkulosis pada penderita HIV positif di Uganda. Banyak di antara penderita ini mempunyai tes tuberkulin positif. Hal ini tidak mungkin dilakukan di A.S. sendiri karena semua penderita HIV positif yang mempunyai tes tuberkulin positif diprofilaksis terhadap tuberkulosis.
Etika dalam uji klinik dapat dibedakan procedural dan substantive ethics (3); keduanya harus dipenuhi sebelum suatu uji klinik dianggap etis untuk dilaksanakannya. Procedural ethics (etika yang menyangkut prosedur pelaksanaan uji klinik) pada umumnya berkisar pada hak azasi manusia, Deklarasi Helsinki, Good Clinical (trial) Practice (GCP), dan consent. Ia berhubungan dengan “bagaimana” suatu controlled trial dilakukan, sedangkan etika substantif mempertanyakan apakah studi itu layak dikerjakan atau tidak.
Suatu cerita lain dalam editorial di atas ialah adanya uji klinik profilaksis dengan berbagai regimen pengobatan terhadap tuberkulosis pada penderita HIV positif di Uganda. Banyak di antara penderita ini mempunyai tes tuberkulin positif. Hal ini tidak mungkin dilakukan di A.S. sendiri karena semua penderita HIV positif yang mempunyai tes tuberkulin positif diprofilaksis terhadap tuberkulosis.
Etika dalam uji klinik dapat dibedakan procedural dan substantive ethics (3); keduanya harus dipenuhi sebelum suatu uji klinik dianggap etis untuk dilaksanakannya. Procedural ethics (etika yang menyangkut prosedur pelaksanaan uji klinik) pada umumnya berkisar pada hak azasi manusia, Deklarasi Helsinki, Good Clinical (trial) Practice (GCP), dan consent. Ia berhubungan dengan “bagaimana” suatu controlled trial dilakukan, sedangkan etika substantif mempertanyakan apakah studi itu layak dikerjakan atau tidak.
DAFTAR
PUSTAKA
Carol Taylor,Carol
Lillies, Priscilla Le Mone, 1997, Fundamental Of Nursing Care, Third Edition,
by Lippicot Philadelpia, New York.
Shirley R.Jones,1994,
Ethics In Midwifery , by Mosby – Year Book Europe Ltd.
Oon Chong-Jin. Quo vadis in medical research and writing:
scientific honesty and misconduct. JAMA SEA, 1997 (May):5-6.
Angell M. The ethics of clinical trials in the third world
(editorial). New Engl J Med 1997;337:847-9.
Lilford RJ. The substantive ethics of clinical trials. Clin
Obstet Gynecol 1992;35(4):837-45.
Newman AM. Drug trials, doctors, and developing countries :
toward a legal definition of informed consent. Cambridge Quarterly of
Healthcare Ethics 1996;5:387-99.
Lock S, Wells F. Fraud and misconduct in medical research.
London : BMJ Publishing Group, 1993.
London : BMJ Publishing Group, 1993.
Craig WA. Once daily versus multiple-daily dosing of
aminoglyco-sides. J Chemother 1995;7(Suppl 2):47-52.
Leal del Rosal P. The efficacy and safety of isepamicin
compared to amikacin in the treatment of intra-abdominal infections. J
Chemother 1995;7 (Suppl 2):43-8.
Karlberg J. Poor quality Asian clinical trials must end.
Asian Medical News, July 1997.
Darmansjah I, Muchtar A. Dose-response variation among
different populations. J Clin Pharmacol Ther 1992;52:449-57.
Darmansjah I. Clinical trials in Indonesia. GCP Journal
1995;2:4-6.
WHO. Guidelines for good clinical practice (GCP) for trials
on pharmaceutical products. WHO Technical Report Series, 1995, No.850:
97-137.
97-137.
Listyorini. Suara Pembaruan 1997 Sept 29:13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar