BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyalahgunaan
dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini
makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media
elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak
masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak
remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan
remaja (DepKes, 2001).
Penyebab
banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan
masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk
mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang
rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan
faktor lingkungan.
Faktor
individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga
lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga
terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada
kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya
ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000).
Dampak
yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan
penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin
banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan
ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.
Peran
penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan
NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak
disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes,
2001).
Berdasarkan
permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya
tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu
perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan
NAPZA (sindrom putus zat.
B. Tujuan
2. Tujua Khusus
a) Perawat dapat mengetahui pengertian klien
penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA.
b) Perawat dapat mengetahui proses terjadinya masalah klien
NAPZA.
c) Perawat dapat melakukan asuhan keperawatan klien NAPZA.
BAB II
Timjaua Teoritis
A. Defenisi
Penyalahgunaan zat
adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi
masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang
berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena
kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk
memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda
ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).
Rehabilitasi adalah
upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non
medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita
sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan
spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan
sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).
Sesudah klien
penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan
komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program
pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan
dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).
Lama rawat di unit
rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah
dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang
tersedia di rumah sakit.
Menurut Hawari (2000)
bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program
terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien
tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan
unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi
berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun,
mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).
Berdasarkan pengertian
dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas
dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan
bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan
mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving)
terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi
diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak
menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan
NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa
rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah
perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau
bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri
dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.
B. Proses Terjadinya Masalah
Proses terjadinya
masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada zat yang sering
disalahgunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.
1) Rentang
Respons Kimiawi
Perlu diingat bahwa
pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat akan menjadi
penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat
berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.
Penyalahgunaan zat
merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi
masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap
obat. Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk
memperoleh efek yang diharapkan (Stuart dan Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia,
1998).
2) Perilaku
3) Faktor penyebab.
Faktor
penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:
a. Faktor biologic
Kecenderungan keluarga, terutama
penyalahgunaan alcohol
Perubahan metabolisme alkohol yang
mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman
b. Faktor psikologik
Tipe kepribadian ketergantungan
Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan
waktu masa kanak kanak
Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan
Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit
Sifat keluarga, termasuk tidak stabil,
tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri, tidak mampu
memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi
c. Faktor sosiokultural
Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat
Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai
zat seperti tembakau, alkohol dan mariyuana
Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural
Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan
kesempatan
4) Diagnosis medis
DSM-III-R
(American Psychiatric Association, 1987) membagi menjadi dua katagori yaitu psikoaktif
zat yang menyebabkan gangguan mental organik dan gangguan psikoaktif pengguna
zat. Psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik mengakibatkan
intoksikasi, withdrawal, delirium, halusinasi dan gangguan delusi, dan lainnya.
Gangguan psikoaktif pengguna zat mengakibatkan ketergantungan atau
penyalahgunaan (Wilson dan Kneisl, 1992).
Sedangkan
DepKes (2001) menyatakan bahwa gejala psikiatri yang timbul adalah cemas,
depresi dan halusinasi. Penelitian yang dilakukan di USA menunjukkan > 50%
penyalahgunaan NAPZA non alkohol mengidap paling tidak satu gangguan psikiatri
antara lain:
1) 26%
mengalami gangguan alam perasaan seperti depresi, mania
2) 26%
gangguan ansietas
3) 18%
gangguan kepribadian antisocial
4) 7%
skizofrenia
Mereka
dengan penyalahgunaan alkohol sebanyak 37% mengalami komorbiditas psikiatri.
Diagnosis
medis dan keperawatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan penggunaan zat. Kurang dari 27 diagnosa
keperawatan yang umumnya digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan yang dibagi
menjadi 4 katagori yaitu: biologik, kognitif, psikososial dan spiritual.
(Stuart dan Laraia, 1998).
Diagnosis
NANDA(berhubungan dengan diagnosis
keperawatan) yang utama adalah perubahan sensori persepsi, perubahan
proses pikir, koping individu tidak efektif dan perubahan proses keluarga
(Stuart dan Sundeen, 1995).
Gangguan
yang berhubungan penyalahgunaan zat yang termasuk DSM-III ada 2 cara. Pertama,
diagnosis utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol atau obat
dikatagorikan juga sebagai gangguan yang berhubungan dengan zat. Klien gangguan
yang berhubungan dengan zat juga didiagnosis sebagai gangguan psikiatrik axis I
yang disebut dual diagnosis. Kedua, intoksikasi atau withdrawal penggunaan zat
sangat berhubungan dengan salah satu tipe gangguan mental, dimana diagnosis
tergantung pada katagori yang menjadi lokasi penyalahgunaan zat.
Contoh:
seseorang yang mengalami depresi berhubungan dengan withdrawal alkohol,
diagnosis medik adalah gangguan mood karena penggunaan (withdarawal) zat.
Katagori yang termasuk dalam diagnosis karena penggunaan zat adalah delirium,
demensia, psikotik, mood, kecemasan, sex dan tidur (Stuart dan Laraia, 1998).
D. Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan Ketergantungan
NAPZA
1. Pengkajian
Prinsip pengkajian yang
dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai
dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan
rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang
dilakukan meliputi :
a. Perilaku
b. Faktor penyebab dan faktor
pencetus
c. Mekanisme koping yang digunakan
oleh penyalahguna zat meliputi:
penyangkalan (denial) terhadap masalah
rasionalisasi
memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya
mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya
d. Sumber-sumber koping (support
system) yang digunakan oleh klien
2. Diagnosa Keperawatan
Perlu diingat bahwa
diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi
karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu
penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak
melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan
timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu
mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.
Masalah keperawatan
yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan
yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:
a. Koping individu tidak efektif:
ketidakmampuan menahan sugesti
b. Gangguan konsep diri: harga diri
rendah
c. Risiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan, dan seterusnya
Sedangkan masalah
keperawatan di ruang rehabilitasi bisa sama dengan di ruang detoksifikasi, maka
fokus utama diagnosa keperawatan NANDA di ruang rehabilitasi adalah:
a. Koping keluarga tidak efektif:
ketidakmampuan
b. Kurang aktivitas hiburan, dan
seterusnya
Contoh pohon masalah:
Risiko mencederai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
Perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) secara jelas dapat
dilihat pada lampiran. Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada
perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan prioritas masalah klien.
Berikut ini beberapa bentuk implementasi yang dilakukan pada klien dengan
penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu (Wilson dan Kneisl, 1992):
a. Program intervensi.
Peran perawat adalah menentukan program yang cocok untuk klien sesuai
dengan tingkat ketergantungan klien terhadap sakit dan gejala yang tampak.
Untuk program di ruang rehabilitasi dibagi menjadi 2 yaitu: 1) rehabilitasi
sewaktu-waktu dimana perawat berperan sebagai fasilitator bukan melakukan
penanganan masalah fisik maupun psikiatri tetapi pada perawatan diri klien.
Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri
secara mandiri; 2) perawatan lanjutan, bertujuan untuk memberikan pemulihan
kembali bagi klien yang mengalami ketergantungan alkohol dan zat atau penolakan
keluarga terhadap klien.
b. Individu
Pendidikan untuk klien, misalnya menganjurkan klien untuk mengikuti
sesi-sesi yang diadakan perawat secara individu sesuai kebutuhan klien,
tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan klien dalam membantu memulihkan ketergantungan
akan zat.
Perubahan
gaya hidup, yaitu mengajarkan klien dengan cara mendiskusikan koping yang biasa
digunakan. Diharapkan klien dapat mengubah penggunaan koping dari destruktif
menjadi koping yang konstruktif.
Meningkatkan kesadaran diri klien, dengan cara mengidentifikasi
hal-hal positif yang dimiliki klien dan bisa dikembangkan secara positif serta
mengurangi hal-hal yang negatif dalam diri klien.
c. Keluarga
Pendidikan kesehatan bagi keluarga yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga
yang mengalami penyalahgunaan dan ketergantungan zat.
d. Kelompok
Program twelve step : AA dan NA
Terapi modalitas disesuaikan dengan kriteria dan kondisi klien
yang akan diikutkan dalam terapi tersebut.
3. Intervensi Keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan
keseimbangan. Kriteria hasil:
mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk
tidak mengalami cedera fisik
Intervensi:
Mandiri
1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol,
misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala hiperaktivitas (misalnya
tremor, tidak dapat beristirahat, mual/muntah,diaforesis, takhikardi,
hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas
ditambah dengan halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas
autonomik yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia,
demam.
2) Pantau aktivitas
kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan
misalnya bantalan pada pagar tempat tidur.
3) Periksa refleks tenton
dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan
4) Bantu dengan ambulasi
dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
Kolaborasi
1) Berikan
cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk
2) Berikan obat-obat sesuai petunjuk: benzodiazepin, oksazepam, fenobarbital,
magnesium sulfat.
Rasional:
1) Pengenalan
dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan
mempercepat kesembuhan. Selain itu perkembangan gejala mengindikasikan perlunya
perubahan pada terapi obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian.
2) kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana
kadar Mg, hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang.
3) Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi
terutama pada pasien neuropati
4) mencegah jatuh dengan cedera
5) mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi
tangan/mata.
6) Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan
pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi.
4. Evaluasi
Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan
yang dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang
ingin dicapai. Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi
terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan
untuk dilakukan selanjutnya.
Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan
evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian
masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien.
Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan
pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan
kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan
zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang
diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan
ke arah perencanaan pencegahan relaps.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito,
L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman
penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
3. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di
tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat
Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
4. (2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas)
mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat.
5. Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA
(narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
6. Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental
health-psychiatric nursing a holistic life-cycle approach. Third edition. St.
Louis: Mosby Year Book.
7. Stuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice
of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
8. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice
of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
9. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan
jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.