BAB II
TINJAUAN TEORI
A.KONSEP
DASAR PENYAKIT
a. Pengertian
Tetanus berasal dari kata eflex (Yunani) yang berarti
peregangan.
Tetanus Neonatorum adalah Penyakit
tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari
pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau
lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka
mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).
Kejang
yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau
asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain
terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak
bersih Ngastijah, 1997).
b.Etiologi
Penyebab
tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif,
anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran
pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan
lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.
c. Patofisiologis
Spora yang
masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk flex dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam
jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi
jaringan dan turunnya tekanan eflex jaringan akibat adanya nanah, nekrosis
jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin
disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang
axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi
sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang
toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan
ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin
menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.
Efek Toxin pada :
- Ganglion pra sumsum tulang belakang :
Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku.
Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi eflexe dari neurons yang merupakan
mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang
berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan
pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada eflexe
neuron motorik.
- Otak
Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga
menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan
antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
- Saraf otonom
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala
keringat yang berlebihan, eflexeea, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac
block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris
terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus
berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti
disebutkan diatas.
d. Manifestasi klinis
Gejala
klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun
mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan
Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari
ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan
kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus
neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot
leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut
justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan
mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali
lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi
kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas
(Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987).
Kekakuan
pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun
fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan
dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh
tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku,
bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi
semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang
kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.
Gambaran
Umum pada Tetanus
1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi
akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka
mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut
diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan
pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak
menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi
terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak
2. Dapat menetek.
3. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata
agak tertutup
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
4. Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
5. Otot dinding perut kaku, sehingga
dinding perut seperti papan. Selain otot dinding perut, otot penyangga rongga
dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau
batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada eflexe)
atau bronchopneumonia.
6. Bila kekakuan makin berat, akan
timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima
rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat
dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak
jatuh dalam status convulsivus.
7. Pada tetanus yang berat akan terjadi
:
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau
oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan eflexealvi atau retention urinae. Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.
Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan eflexealvi atau retention urinae. Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.
e. Komplikasi Dan Diagnosa banding
- Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen
thorax setelah hari ke-5.
- Diagnosa Banding
Meningitis
Meningoenchepalitis
Enchepalitis
Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia
Trismus karena processefle - Komplikasi
Bronkhopneumonia
Asfiksia
Sepsis Neonatorum
f. Pencegahan
Dan Faktor resiko
1. Faktor resiko
Tetanus neonatorum terjadi pada masa
perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka eflex tali
pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak
menjadi kuman eflexee.
Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Merupakan flex yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.
Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Merupakan flex yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.
o
Faktor
Cara Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong
tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah
dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang.
Penolong persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta
dan perdarahan ibu.
o
Faktor
Cara Perawatan Tali Pusat
Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan
hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan
adanya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak
daerah masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk
pengobatan luika eflex tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya
dengan pendidikan dukun bayi saja.
o
Faktor
Kebersihan Pelayanan Persalinan
Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan
tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan
subyek penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil
yang belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah
perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun
bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan
dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada
kejadian tetanus neonatorum.
Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
o
Faktor
Kekebalan Ibu Hamil
Merupakan eflex yang sangat penting. Antibodi antitetanus
dalam darah ibu
o
Hamil
yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik
o
infeksi
dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun
dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran
hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman,
1982).
- Pencegahan
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak eflex resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan eflexe. Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan eflexe tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka.
Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan, 1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan eflex risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh. Pemberian tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.
g. Penatalaksanaan
- Medik
Empat pokok dasar tata laksana efle : debridement, pemberian eflexee, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Diberikan cairan intravena dengan
larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72
jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat
lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan
glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika
fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam
bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui eflex diberikan tambahan
protein dan kalium.
2. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena
perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10
mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan eflex dan diganti
setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi
2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh
diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam
keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik,
diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia
berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin
turun boleh diberikan secara intravena.
3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama
2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
4. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan
seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan
seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
5. Tali pusat dibersihkan/kompres
dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
6. Perhatikan jalan napas, eflexe, dan
tanda vital. Lendir sering dihisap.
- Keperawatan
Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang adekuat, dan mencegah hipotermi. Perawatan eflex tali pusat sangat penting untuk membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk eflexee maupun spora dapat dihambat. Setelah eflex tali pusat dibersihkan dengan perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan eflex tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.
B. PROSES PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS NEONATORUM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS NEONATORUM
1.Pengkajian
1.
Identitas
2.
Riwayat
Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.
3.
Pemeriksaan
Fisik
§ Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan,
kejang
§ Kepala : Poisi menengadah, kaku
kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
§ Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya
rahang, seperti mulut ikan.
§ Dada : Simetris, kekakuan otot
penyangga rongga dada, otot punggung.
§ Abdomen : Dinding perut seperti
papan.
§ Kulit : Turgor kurang, pucat,
kebiruan.
§ Ekstremitas : Flexi pada tangan,
ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong
kayu.
4.
Pemeriksaan
Persistem
§ Respirasi : Frekuensi nafas,
penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
§ Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas
dan irama denyut jantung, pengisian
§ kapiler, sirkulasi, berkeringat,
hiperpirexia.
§ Neurologi : Tingkat kesadaran,
reflek pupil, kejang karena rangsangan.
§ Gastrointestinal : Bising usus, pola
defekasi, distensi
§ Perkemihan : Produksi urine
§ Muskuloskeletal : Tonus otot,
pergerakan, kekakuan.
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin
muncul
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d
kelelahan otot-otot respirasi
6. Perubahan nutrisi, kurang dari
kebutuhan tubuh b.d eflex menghisap pada bayi tidak adekuat.
3.Intervensi
Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
Intervensi :
Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
Intervensi :
o Kaji frekuensi dan pola nafas
o Perhatikan adanya apnea dan
perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit.
o Lakukan pemantauan jantung dan
pernafasam secara eflexe.
o Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.
o Beri rangsang taktil segera setelah
apnea.
o Pantau pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi.
o Beri O2 sesuai indikasi.
o Beri obat-obatan sesuai indikasi.
Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d eflex
menghisap pada bayi tidak adekuat.
Intervensi :
o Kaji maturitas eflex berkenaan
dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan batuk.
o Auskultasi bising usus.
o Kaji tanda-tanda hipoglikemia.
o Beri suplemen elektrolit sesuai
medikasi.
o Beri nutrisi parenteral.
o Pantau pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi.
o Lakukan pemberian minum sesuai
toleransi.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik
yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara
normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai
dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO,
2010).
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada
tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko.
B.Saran
Diharapkan kepada bagi mahasiswa/i dapat menambah wawasan
dan pengetahuan khususnya dengan masalah keperawatan tentang
penyakit tetanus neonatorum dan juga
dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari hari.
DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall C, 1999, Rencana
Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana
Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
Santosa NI, 1989, Perawatan
I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.
Suharso Darto, 1994, Pedoman
Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga, Surabaya. Dr.
Sidhartani Zain. (1981), Ilmu Kesehatan Anak Untuk Perawat, Ikip Semarang, Semarang.