Sindroma
Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch,
1998 )
SGB
mempunyai banyak sinonim, antara lain :
- polineuritis akut pasca infeksi
- polineuritis akut toksik
- polineuritis febril
- poliradikulopati,dan
- acute ascending paralysis.
Sejarah
Pada tahun
1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis
tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan
tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal
(CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi
sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut
Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada
pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan
kecepatan hantar saraf pada EMG.
Epidemiologi
Penyakit ini
terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan
frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi
peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa
penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun,
sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober
yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000
orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7%
kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak
spesifik.
Data di
Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi
Etiologi SGB
sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
- Infeksi
- Vaksinasi
- Pembedahan
- Penyakit sistematik:
o keganasan
o systemic
lupus erythematosus
o tiroiditis
o penyakit
Addison
- Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal
Salah satu
hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut
yang berhubungan dengan SGB
Infeksi
|
Definite
|
Probable
|
Possible
|
Virus
|
CMVEBV
|
HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox
|
InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
|
Bakteri
|
CampylobacterJejeniMycoplasma
Pneumonia
|
Typhoid
|
Borrelia
BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
|
Patogenesa
Mekanisme
bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi
pada sindroma ini adalah:
- didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
- adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
- didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses
demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus.
Peran
imunitas seluler
Dalam sistem
kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran
makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam
cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan
peredaran.
Sebelum
respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan
pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain
akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell =
APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah
itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E
selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial
akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit
T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Patologi
Pada
pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk
mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel
limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural.
Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat
akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel
schwan dan akson.
Klasifikasi
Beberapa
varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute
motor axonal neuropathy
4. Acute
motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s
syndrome
6. Acute
pandysautonomia
Gambaran
Klinis
Penyakit
infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 %
penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau
saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti
berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada
kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi
influensa .
Masa laten
Waktu antara
terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya
gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari,
rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan
utama
Keluhan
utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan
ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja
atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala
Klinis
1.Kelumpuhan
Manifestasi
klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara
serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan
otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya
derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal,
tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian
proksimal (2,4).
2.Gangguan
sensibilitas
Parestesi
biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan
sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa
nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3.Saraf
Kranialis
Saraf
kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka
sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai
kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau
N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar
menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan
karena paralisis n. laringeus.
4.Gangguan
fungsi otonom
Gangguan
fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa
sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang
dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua
minggu.
5.Kegagalan
pernafasan
Kegagalan
pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita .
6.Papiledema
Kadang-kadang
dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena
peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi
arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
7.Perjalanan
penyakit
Perjalan
penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai
dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai
mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang
yang melebihi 8 minggu .
Segera
setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah
mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling
sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .
Fase
rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Gambar 1.
Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara
berbagai penderita SGB .
1.Variasi
klinis
Di samping
penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis
seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of
Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981
adalah sebagai berikut :
- Sindroma Miller-Fisher
- Defisit sensoris kranialis
- Pandisautonomia murni
- Chronic acquired demyyelinative neuropathy
2.Pemeriksaan
laboratorium
Gambaran
laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak :
> 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal
ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan
otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya
setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian
pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam
cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
3.Pemeriksaan
elektrofisiologi (EMG)
Gambaran
elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
- Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
- Distal motor retensi memanjang
- Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
- Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
Terapi
Sindroma
Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di
unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan
ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada
sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus
adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan
penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai
nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis
atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa
perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan
imunosupresan:
1.
Imunoglobulin IV
Pengobatan
dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat
sitotoksik
Pemberian
obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- Azathioprine
- cyclophosphamid
Efek samping
dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Prognosa
Pada umumnya
penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita
dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa
gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lian:
-
pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
-
mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
-
progresifitas penyakit lambat dan pendek
-
pada penderita berusia 30-60 tahun
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data subjektif:
- Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
- Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
- Tidak mampu menelan air liurnya
- Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
- Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
- Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
- Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis
Analisa Data
Data
|
Masalah
|
Etiologi
|
DS:
DO:
|
Pola napas dan pertukaran gas
tidak efektif
|
Kelemahan otot-otot bantu
pernapasan
|
DS:
DO:
1 1
1 1
|
imobilisasi
|
Paralisis
|
2. Diagnosa Keperawatan
1). Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d
Kelemahan otot-otot pernapasan
2). Kerusakan Mobilitas fusik b.d kerusakan
neuromuskuler 3. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana asuhan
keperawatan
1. Pola napas dan pertukaran gas
tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan
Tujuan :
¢ Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator
Kriteria Hasil :
¢ Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang normal
Tindakan keperawatan
¢ Selidiki Etiologi gagal pernapasan
R/ Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting
untuk perawatan pasien
¢ Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan
, jarak antara pernafasan spontan dan napas ventilator
R/ Pasien pada ventilator dapat mengalami
hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara dan berupaya memperbaiki
kekurangan dengan bernapas berlebihan
¢ Auskultasi dada secara periodik catat adanya /
tak adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi napas tambahan , juga simetrisitas
gerakan dada
R/ Memberikan informasi tentang aliran udara
melalui trakeobronkial dan adanya /tidak adanya cairan
¢ Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh
terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran
ke pasien atau kembali kedalam wadah
R/ Lipatan selang mencegah penerimaan volume
adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi gas dan
pencetus pertumbuhan bakteri
¢ Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan
alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor
perawat
R/ Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda
distres pernafasan atau henti napas
¢ Pertahankan tas resusitasi disamping tempat
tidur dan ventilasi manual kapanpun diindikasikan
R/ Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila
pasien atau masalah menuntut pasien sementara dilepas dari ventilator
Kolaborasi
¢ Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan
sesuai indikasi
R/ Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan
penyakit utama pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk mempertahankan
parameter dalam batas benar
¢ Cbservasi persentasi konsentrasi oksigen ,
yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan
analisa oksigen periodik
R/ Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen
yang dapat diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) .
Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat digunakan untuk
memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang diinginkan
¢ Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan
fungsi spirometer baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca
pada komputer
R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi .
Perubahan dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau kebocoran melalui mesin.
2. Diagnosa keperawatan :
Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan Neuromuskuler
Tujuan
¢ Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak
ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus )
Kriteria Hasil ;
¢ Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi
bagian yang sakit
Tindakan keperawatan
¢ Kaji kekuatan motorik /
kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
R/ Menentukan perkembangan/
munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien
¢ Berikan posisi pasien yang
menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur
sesuai kebutuhan secara individual
R/ Menurunkan kelelahan ,
meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada
kulit
¢ Sokong ekstrimitas dan
persendian dengan bantal
R/ Mempertahankan ekstrimitas
dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
¢ Lakkukan latihan rentang gerak
pasif . Hindari latihan aktif selama fase akut
R/ Menstimulasi sirkulasi.,
meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi
¢ Koordinasikan asuhan yang
diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan
R/Penggunaan otot secara
berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi ,
arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan
¢ Anjurkan untuk melakukan
latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual
R/ Kegiatan latihan pada bagian
tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap / terprogram ,
meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang
positif
¢ Berikan lubrikasi / minyak
artifisial sesui kebutuhan
R/ Mencegah dari kekeringan tubub
klien.
Kolaborasi
¢ Konfirmasikan dengan / rujuk
kebagian terapi fisik / terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan
kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program latihan
berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian
dalam melakukan aktivitas sehari- hari