Peritonsillar abscess (PTA) merupakan suatu infeksi
akut yang diikuti dengan pembentukan nanah pada jaringan ikat longgar antara m.
konstriktor pharing dengan tonsil pada fossa tonsilaris, dan dimulai dari fossa
supra tonsilaris karena disini tedapat kripta magna8. Nyeri
tenggorok dan demam yang disertai terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher,
harus dicurgai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terbentuk didalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat
perjalanan infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa
nyeri dan pembengkakan di diruang leher dalam yang terlibat6,11.
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60
tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan
obstruksi jalan napas yang signifikan. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama
antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik yang
mengalami eksaserbasi akut atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral
untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsiler10. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu
dari abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses
retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici6.
Abses peritonsil adalah suatu infeksi leher dalam yang
cukup sering terjadi di bagian leher dan kepala terutama pada orang dewasa.
Seringkali pasien datang dengan keluhan yang berat, namun penatalaksanaannya
tidaklah terlalu rumit jika kita sebagai dokter tanggap dan mengetahui dengan
benar anatomi, patofisiologi, dan gejala dari penyakit ini. Diharapkan dari
makalah ini kelak kita sebagai dokter dapat memahami penyakit ini dan
memberikan terapi dengan tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Anatomi Tonsil Palatina dan Ruang Peritonsil
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang
terletak didalam fosa tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil
palatina merupakan bagian dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang
mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von
Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid
(tonsil pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding
faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s)9.
Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan
laringofaring. Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak diatas
pallatum molle, orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum molle dan
tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari
tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke
rongga mulut pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri
dari serat otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa.
Penonjolan di median membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang
terletak disentral disebut uvula4.
Tonsil palatina terdiri dari8:
Korteks : Didalamnya terdapat germinating folikel,
tempat pembentukan limfosit, plasma sel.
Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan
kerangka penyokong tonsil & berhubungan dengan kripta.
Batas-batas tonsil palatina8:
Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia
pharingo-basilaris yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke
dalam parenkim tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan
saraf.
Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis
gepeng, kripta, dan mikrokripta.
Posterior : pilar posterior yang dibentuk oleh
palatopharingeus yang berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis
palatum molle.
Anterior : pilar anterior yang dibentuk oleh
palatoglossus yang berjalan dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis
palatum molle.
Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan
oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus
merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole,
tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding
atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus
diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar
bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah
dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring9.
Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan
mukosa yang tipis, yang menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior
tonsil. Plika semilunaris (supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa
yang mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang
ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan
posterior. Celah atau ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh
fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain,
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, Permukaan sebelah dalam tertutup oleh
membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Permukaan lateral-nya
ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Kripta
tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan
tonsil yang mengandung jaringan limfoid dan disekelilingnya terdapat jaringan
ikat. Ditengah kripta terdapat muara kelenjar mukus. Permukaan kripta ditutupi
oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Umumnya berjumlah
8-20 buah untuk masing-masing tonsil, kebanyakan terjadi penyatuan beberapa
kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas. Secara klinik
kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat
terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman9.
Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor
faringeus superior, sehingga tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan
m. palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari
kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah
lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran dan bentuk,
tergantung dari jumlah adanya jaringan limphoid4.
Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan
dari m.konstriktor faring superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina
externa berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini,
untuk bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap
m.konstriktor faring superior terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis.
A. Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsilla7.
Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus
tonsillaris yang merupakan cabang dari arteri facialis, cabang – cabang a.
lingualis, a. palatina ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya
diperoleh dari n. glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk
dalam nl. cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah
nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae9.
Ruang Peritonsiler2,12
Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial
dengan kapsul tonsil palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor
faring superior, sebelah anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior
dengan pilar posterior.
Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil
palatinus dan otot-otot konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior,
torus tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk
batas-batas potential peritonsillar space.
Etiologi
Infeksi tonsil berlanjut menjadi selulitis difusa dari
daerah tonsil meluas sampai palatum molle. Kelanjutan proses ini menyebabkan
abses peritonsil. Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan onset awal dari
tonsillitis atau akhir dari perjalanan penyakit tonsilitis akut. Biasanya
unilateral dan kuman penyebab sama dengan tonsillitis, dapat ditemukan kuman
aerob dan anaerob6. Kemungkinan abses peritonsil disebabkan oleh
infeksi pada kripta difusa supra tonsil, dimana ukurannya besar, merupakan
suatu kavitas seperti celah dengan tepi tak teratur dan berhubungan erat dengan
bagian posterior dan bagian luar tonsil11. Abses peritonsil juga
terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil6. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan
lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang
bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A
Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium.
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara
organisme aerobik dan anaerobik. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses
peritonsil antara lain eipsten-barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes
simplex, dan parainfluenza.
Patofisiologi
Patofisiologi abses peritonsiler belum diketahui
sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kelanjutan episode
tonsillitis eksudatif menjadi peritonsillitis dan diikuti pembentukan abses.
Berikut ini adalah tiga teori patogenesa terjadinya abses peritonsiler8
:
· Teori Parkinson (1970)
Penyebaran abses ke ruang peritonsil oleh karena di dalam
ruang peritonsil terdapat kelompok kelenjar yang terletak di permukaan superior
dari kapsul tonsil di pool atas. Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan
infeksi dari tonsil. Bila kelompok ini terinfeksi mudah terjadi abses di dalam
ruangan yang terisi jaringan ikat longgar8.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan
jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial
peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun
jarang6.
· Teori Ballenger(1977)
Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari
kripte yang besar di pole atas yang merupakan celah yang berhubungan erat
dengan bagian luar tonsil, sehingga infeksi yang terjadi pada kripte mudah
menjalar ke atas belakang (superior posterior) dari ruangan peritonsil8.
· Teori Paparella (1980)
Terjadinya abses oleh karena infeksi yang berasal dari
proses akut tonsil dan menembus kapsul, sampai ke ruangan peritonsil tetapi
masih dalam batas otot konstriktor faring8.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut,
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke
tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus6. Abses
dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, PTA
terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau
berulang sebelumnya2. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran dari
infeksi virus Epstein-Barr12.
Abses peritonsil yang timbul sebagai kelanjutan
tonsilitis akut biasanya timbul pada hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut.
Sumber infeksi berasal dari salah satu kripta yang mengalami peradangan,
biasanya kripta fossa supratonsil, dimana ukurannya besar, merupakan kavitas
seperti celah dengan tepi tidak teratur, dan berhubungan erat dengan bagian
posterior dan bagian luar tonsil10. Muara dari kripta yang mengalami
infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang terbentuk di dalam saluran kripta
akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul pada tonsil “bed”. Pus yang
berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan menimbulkan penonjolan,
pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga tonsil akan terdorong kearah
medial bawah. Walaupun sangat jarang abses peritonsil dapat terbentuk di
inferior1.
Abses peritonsiler juga bisa sebagai kelanjutan dari
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber. Kelenjar ini berhubungan
dengan permukaan atas tonsil lewat duktus dan kelenjar ini membersihkan area
tonsil dari debris dan sisa makanan yang terperangkap di kripta tonsil.
Inflamasi pada kelenjar weber dapat menyebabkan selulitis. Infeksi ini
menyebabkan duktus sampai permukaan tonsil menjadi lebih terobstruksi akibat
inflamasi sekitarnya. Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan pembentukan pus
yang menghasilkan tanda dan gejala abses peritonsil14.
Gejala dan Tanda Klinis
Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil
ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan
di palatum molle. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak
nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Keparahan
dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien menderita
nyeri hebat14.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub
febris, disfagia dan odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”,
mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri
telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena
hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena
udem palatum molle (udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua
dan epiglotis = udem perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka
rongga mulut) yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas
penyakit, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m.
Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat
limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan
terbatasnya gerakan leher (torticolis)8,11.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut
dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan
nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat
eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula
kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi.
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang
mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan
supraglotis 5,11.
PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior
dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan
supratonsillar tampak pucat dan bahkan seperti bintil – bintil kecil12.
Palpasi daerah palatum mole terdapat fluktuasi. Nasofaringoskopi dan
laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami gangguan
pernafasan14.
Prosedur diagnosis yaitu dengan melakukan aspirasi
jarum. Tempat yang akan dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan
lidokain dan epinephrine dengan menggunakan jarum besar (berukuran 16–18) yang
biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang purulen
merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan untuk
mengetahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika5,10.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan
laboratorium berupa hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan
kultur darah. Karena pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan
sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak
tercukupinya asupan makanan. Usap dan kultur tenggorok (throat swab and
culture). Untuk membantu dalam indentifikasi organisme penyebab infeksi.
Hasilnya dapat digunakan dalam pemilihan antibiotik yang tepat serta efektif,
dan untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu
pada terapi abses peritonsil yang tidak mengalami perbaikan setelah dilakukan
inspirasi dan drainase atau terdapat perburukan edema pada selulitis peritonsil
yang telah diterapi. Pada kasus tertentu dimana ternyata absesnya terdapat di
tonsil itu sendiri dan atau sebagian abses tersembunyi pada inferior atau
posterior tonsil. Foto polos dapat berupa pandangan jaringan lunak lateral dari
nasofaring dan orofaring dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis
abses retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan lunak, tapi
tidak begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.
Pada pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat
dilakukan dengan CT scan pada rongga mulut dan leher menggunakan kontras
intravena. Ditemukan gambaran kumpulan cairan hipodens di apex tonsil yang
terkena, dengan penyengatan pada perifer. Gambaran lainnya termasuk pembesaran
asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya. Ultrasonography Intraoral
ultrasonography merupakan teknik pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat
membedakan selulitis dan abses.
Komplikasi
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring
akibat tertutupnya rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang
ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan
napas. Abses yang pecah secara spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan
aspirasi pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari
pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga
dapat terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke
mediastinum menimbulkan mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah
intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan
abses otak. Sekuele poststreptokokus (glomerulonefritis, demam rhematik)
apabila bakteri penyebab infeksi adalah streptococcus Grup A. Kematian,
walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke
selubung karotis atau carotid sheath. Dapat juga terjadi peritonsilitis
kronis dengan aliran pus yang berjeda. Komplikasi juga terjadi akibat
tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada arteri
supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika
diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
Diferensial Diagnosa
Abses peritonsil harus dibedakan infiltrat peritonsil.
Untuk membedakannya, pada stadium infiltrasi belum terdapat trismus, dan
kejadiaanya baru berlangsung 1-3 hari. Untuk membedakannya dilakukan punksi
percobaan dan hasil pungsi tidak didapatkan pus8.
Karsinoma tonsil dicurigai bila permukaan tonsil tidak
rata atau permukaan bunga kubis dan ada jaringan nekrotik atau ulkus8.
Diagnosis banding adalah abses leher dalam lainnya yaitu abses retrofaring dan,
abses parafaring6 .
Gambaran infeksi ruang submaksila juga bisa seperti
abses peritonsil. Infeksi ini biasanya terjadi akibat karies atau infeksi pada
gigi molar. Pus dapat mendorong otot-otot dalam ke arah konstriktor superior
sehingga tonsil terdorong ke medial, seperti pada quinsy10.
Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis
tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan
kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin
600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau
sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg5.
Irigasi dengan larutan NaCl 0,85% hangat (110-1150F)
atau glukosa 5% tiap 2-3 jam dapat memberikan perbaikan simtomatis dari rasa
sakit pada abses peritonsiler. Kompres hangat di leher dan rahang akan
mengendurkan ketegangan otot10.
Terapi Operasi
Bila telah terjadi fluktuasi dan terapi konservatif
tidak menolong, maka tindakan aspirasi pus cukup memadai, tetapi lebih sering
harus diikuti dengan insisi. Drainase terbaik adalah tonsilektomi ‘quinsy’,
yang dilakukan dengan anastesi umum dan perlindungan antibiotika. Yang
mengherankan, tonsil tidak mengalami perdarahan hebat, dan sebenarnya tindakan
ini lebih mudah dibandingkan pengangkatan tonsil beberapa minggu kemudian,
sewaktu ruangan peritonsil yang sebelumnya terisi pus terah terobliterasi
dengan jaringan parut dan fibrosis, dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali10.
Bila tidak terdapat ahli dan fasilitas untuk melakukan
tonsilektomi ‘quinsy’, maka terapi yang sesuai adalah insisi dan drainase
melalui mulut. Drainase di tempat praktek membutuhkan lampu kepala dan alat
penyedot faring yang baik, harus dilakukan di lokasi yang tepat, dan harus
dilakukan tindakan untuk menghindarkan aspirasi pus ke paru. Teknik insisi dan
drainase membutuhkan anastesi lokal. Faring disemprot dengan anastesi topikal.
Kemudian 2 cc Xilocain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan di regio insisi.
Pisau tonsila no. 12 atau no.11 dengan plester atau dengan kasa di bagian
proksimal pisau dan gagang pisau untuk mencegah penetrasi yang dalam, insisi
dibuat melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris. Hemostat
tumpul dimasukkan melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan
tonsila sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dilkeluarkan.
Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat, pembedahan
drainase untuk abses peritonsiler mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan
kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis untuk mencapai n. palatina descenden. Anak-anak yang lebih muda
membutuhkan anastesi umum5. Tempat insisi ialah di daerah yang
paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir6. Bila dilakukan dengan tepat,
hanya akan terjadi sedikit perlukaan. Kesalahan tersering karena tidak membuat
lubang yang cukup panjang atau cukup dalam. Biasanya evakuasi pus akan diikuti
perbaikan segera gejala-gejala pasien1.
Karena abses peritonsil merupakan komplikasi
tonsilitis akut yang berulang-ulang, maka dianjurkan pada penderita abses
peritonsil dilakukan tonsilektomi, supaya tidak timbul abses yang berulang.
Dapat dilakukan tindakan operasi tonsilektomi a chaud (immediate tonsilektomi),
yaitu tonsilektomi segera mungkin setelah drainase abses. A tiede, yaitu
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses. A froid (interval
tonsilektomi), yaitu tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase abses8.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses6. Abses peritonsil
mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian
penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian karena mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi sesegera mungkin. Indikasi-indikasi untuk
tonsilektomi segera pada abses peritonsil, jika terdapat obstruksi jalan napas
atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses ke leher bagian dalam,
riwayat abses peritonsiler sebelumnya, dan riwayat faringitis eksudatifa
berulang1.
Gambar tonsilektomi.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian
terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis
tunggal intravena dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti
secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized),
nyeri tenggorokan, demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya
diberi antibiotik parenteral14.
KESIMPULAN
Abses peritonsiler adalah infeksi leher dalam yang
seringkali terjadi sebagai komplikasi dari tonsillitis akut. Pasien dengan
abses peritonsiler sering datang dengan keluhan yang berat dan salah satu
gejala yang sering membuat pasien datang ke dokter adalah trismus karena
peradangan pada m.pterigoid interna. Akan tetapi tindakan yang dapat dilakukan
untuk menangani abses peritonsiler ini, tidaklah serumit yang dibayangkan,
yaitu berupa insisi dan drainase abses dengan anestesi. namun apabila tidak
dilakukan tindakan yang cepat, tepat dan efektif maka dapat menimbulkan
komplikasi yang cukup berarti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Andrianto P. Penyakit Telinga Hidung dan
Tenggorokan, Edisi V, EGC, Jakarta, 1993. Hal 308-09
2. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali
Abses Peritonsil. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248
3. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy,
and Adenoidectomy. In : Head and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition.
Lippincott_Raven Publisher. Philadelphia. P :1224, 1233-34
4. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy
and physiology mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat
Disease, a pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307
-315.
5. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan
Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta,
1997. Hal 333
Tidak ada komentar:
Posting Komentar