Aanalisis Middle Range Theory Keperawatan : Eakes, Burke & Hainsworth “Chronic sorrow”




BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Teori middle range merupakan level kedua dari teori keperawatan, abstraknya pada level pertengahan, inklusif, memiliki sejumlah variable terbatas, dapat diuji secara langsung. Teori middle range memiliki hubungan yang lebih kuat dengan penelitian dan praktik. Teori penderitaan kronik (Chronic sorrow) merupakan salah satu teori middle range keperawatan yang berfokus pada stress dan adaptasi yang berhubungan dengan penderitaan kronik yang dialami individu sehingga timbul kesedihan dan rasa berduka yang berkepanjangan (Alligood, 2014).
Prevalensi penyakit kronik, termasuk masalah perkembangan dan perilaku anak-anak, terus berlangsung hingga terjadi peningkatan lebih dari 30 tahun ini (Halfon 2010).  Beberapa waktu belakangan ini, terjadi peningkatan jumlah penyakit kronis dengan confidence interval (CI) 95%, yaitu dari 25.1% pada tahun 1988 yang meningkat menjadi 51.5%% pada tahun 2006 (Van Cleave 2010)
Penyakit kronis dapat didefinisikan sebagai kondisi sakit yang menimbulkan berkurangnya atau hilangnya fungsi sehari-hari lebih dari 3 bulan dalam 1 tahun atau mengamali hospitalisasi lebih dari 1 bulan dalam 1 tahun (Hockenberry, 2007). Hal ini menyebabkan individu dengan penyakit kronik mengalami berbagai masalah keterbatasan sehingga individu tersebut mempunyai kebutuhan akan perawatan khusus, komprehensif dan berkelanjutan. Penyakit kronik mempunyai efek besar terhadap fungsi keluarga. Salah satunya adalah efek substansial fungsi keluarga dimana keluarga akan mendapatkan tugas keluarga yang lebih kompleks, tanggungjawab yang lebih besar, perhatian yang lebih besar, pembiayaan, ketidakpastian masa depan, keterbatsan atas kecukupan ekonomi, kehilangan secara emosional, reaksi terhadap persepsi dalam masyarakat, isolasi sosial, dan kehilangan kesempatan dalam bermasyarakat secara norma, sehingga bisa dikatakan bahwa keluraga adalah faktor pendukung yang sangat berpengaruh terhadap kondisi yang terjadi pada salah satu anggota keluarganya (Alligood, 2014).

Peran utama dari perawat menurut teori ini mencakup bersikap empati, menjadi pendidik yang baik, memberi perhatian dan bersikap professional. Penerapan teori ini dalam pemberian asuhan keperawatan dapat membantu klien yang menderita penyakit kronik maupun keluarga serta orang di sekitarnya untuk meningkatkan kemampuan mekanisme koping eksternal dalam menghadapi proses kehilangan yang terjadi (Peterson and Bredow 2013).  Dari pernyataan diatas, kami bermaksud merumuskan makalah tentang bagaimana analisis middle range theory dari teori penderitaan kronik (chronic sorrow) pada klien amputasi.

I.2 Tujuan
Tujuan umum
Menganalisis middle range theory Chronic sorrow dengan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan aplikatif dalam kasus pada asuhan keperawatan

Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari makalah ini adalah:
1.      Menganalisa middle range theory Chronic sorrow
2.      Menganalisa kerangka asuhan keperawatan dan konsep terkait pengembangan keilmuan berdasarkan middle range theory Chronic sorrow
3.      Merancang aplikasi middle range theory Chronic sorrowdalam setting pelayanan keperawatan berupa role play




BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profil Eakes, Burke & Hainsworth

Georgene Gaskill Eakes lahir di New Bern, North Carolina. Ia seorang Profesor Emeritus di East Carolina University College of Nursing. Eakes menyelesaikan pendidikan magister keperawatan dan doktoralnya di University of North Carolina. Pada awal karirnya, Eakes bekerja di tatanan pelayanan kesehatan jiwa komunitas. Eakes bergabung di East Carolina University School of Nursing di Greenville, North Carolina. Eakes tertarik dengan isu kematian, dying, respon berduka dan kehilangan saat ia mengalami cidera parah yang mengancam nyawanya karena kecelakaan mobil. Pengalaman menegangkan tersebut melatarbelakangi pemikirannya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan perawatan pada pasien yang kritis dan menanggapi reaksi berduka. Mulai sejak saat itu, Eakes melakukan banyak penelitian dan praktik terkait kondisi pasien terminal, dying, respon berduka dan respon kehilangan (Coughlin & Sethares, 2017; Alligood, 2014).
Mary Lermann Burke lahir Sandusky, Ohio. Riwayat pendidikan Burke di bidang keperawatan anak menjadikannya mendapat penghargaan Certificate in Parent-Child Nursing and Interdisciplinary Training in Developmental Disabilities. Pada tahun 1998, ia mendapatkan penghargaan ia mendapatkan penghargaan atas karyanya dalam mengembangkan instrumen dalam penelitian chronic sorrow. Pada awalnya, Burke bekerja di pelayanan keperawatan anak kemudian bergabung sebagai staf pengajar hingga menjadi profesor pada tahun 1996 di Nursing Faculty Rhode Island College. Inovasinya dalam penelitian terkait konsep chronic sorrow yang meliputi perawatan pada anak dengan spina bifida, Burke mengamati respon berduka pada orang tua. Selanjutnya Burke mengembangkan instrumen Burke Chronic Sorrow Questionnaire dalam penelitian anak dengan myelomeningocele. Penelitian Burke juga dilakukan pada pasangan infertil dan pada individu dewasa dengan orangtua yang memiliki penyakit kronis. Artikelnya yang berjudul “Middle Range Theory of Chronic Sorrow” mendapatkan penghargaan Best of Image Award pada tahun 1999 (Alligood, 2014).
Margaret A. Hainsworth lahir di Brockville, Ontario, Kanada. Ia menyelesaikan studi magister dan doktoralnya di bidang keperawatan jiwa. Pada tahun 1988, ia menjadi perawat spesialis jiwa. Hainsworth tertarik pada topik penyakit kronis dan chronic sorrow sejak ia menjadi fasilitator pada kelompok dukungan untuk pasien wanita dengan multipel sklerosis. Selanjutnya Hainsworth bergabung dengan Burke dalam penelitian chronic sorrow NCRCS pada tahun 1989 hingga pada tahun 1999 mereka mendapatkan penghargaan Best of Image Award in Theory dari Sigma Theta Tau International (Alligood, 2014).

2.2. Landasan Teoritis

Konsep chronic sorrow berasal dari karya Olshansky pada tahun 1962 yang selanjutnya dikembangkan oleh tim Eakes, Burke dan Hainsworth dalam NCRCS. Karya Olshansky terkait chronic sorrow sebagai hasil observasi pada orangtua yang memiliki anak dengan retardasi mental dan orangtua tersebut menunjukkan respon kesedihan yang mendalam dan terus-menerus dan disebut dengan terminologi chronic sorrow. chronic sorrow digambarkan sebagai respon psikologis terhadap situasi tragis. Penelitian terkait chronic sorrow berkembang sekitar tahun 1980 dengan temuan reaksi kesedihan berkepanjangan pada orangtua dan pengalaman berduka dalam berhubungan dengan kondisi anak dengan disabilitas fisik dan mental (Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998 ; Alligood, 2014).
 Berduka dikonseptualisasikan sebagai proses yang berlangsung secara terus-menerus dan apabila tidak terselesaikan maka termasuk dalam kondisi abnormal. Burke dalam penelitiannya pada orangtua dengan anak spina bifida mendefinisikan chronic sorrow sebagai kesedihan mendalam yang bersifat permanen, periodik dan meningkat secara alamiah. Tim NCRCS berfokus pada respon berduka yang dihubungkan dengan penelitian Lazarus dan Folkman tentang stres dan adaptasi yang dilakukan pada tahun 1984. Strategi koping internal meliputi orientasi tindakan, pendekatan aspek kognitif dan perilaku interpersonal. Middle Range Theory Chronic Sorrow tidak hanya menjelaskan pengalaman chronic sorrow pada situasi tertentu melainkan respon koping terhadap fenomena (Alligood, 2014; Vitale & Falco, 2014; Eakes et al., 1998).
Chronic sorrow merupakan respon normal manusia yang berhubungan dengan disparitas berkelanjutan sebagai akibat dari situasi kehilangan. Kondisi ini merupakan siklus yang terjadi secara alamiah. Dalam kondisi tersebut terdapat pencetus yang memperberat respon berduka, bersifat internal maupun eksternal yang dapat diprediksi. Manusia memiliki strategi koping yang efektif dalam mencapai keseimbangan saat mengalami chronic sorrow. Pada dasarnya, chronic sorrow disebabkan oleh disparitas antara kondisi harapan dan kenyataan (Eakes et al., 1998; Alligood, 2014).

2.3. Konsep Utama dan Definisi

Middle Range Theory Chronic Sorrow merupakan teori yang menjelaskan penerimaan keluarga dalam disparitas yang terjadi secara terus menerus, teori ini dapat menjadi panduan bagi tenaga kesehatan dalam menghadapi kondisi tersebut (Coughlin & Sethares, 2017; Vitale & Falco, 2014). Dalam Middle Range Theory Chronic Sorrow terdapat beberapa konsep utama dan definisi yaitu sebagai berikut:
a.       Chronic Sorrow
Disparitas secara terus menerus sebagai akibat dari proses kehilangan, ditandai dengan duka mendalam dan terus menerus. Gejala dari peristiwa berduka terjadi secara periodik dan gejala ini mungkin terus berkembang/meningkat.
b.      Loss
Kehilangan terjadi sebagai akibat dari disparitas antara situasi ideal yang diinginkan dengan situasi nyata yang terjadi. Sebagai contoh orang tua berharap untuk memiliki anak yang sempurna dan situasi nyata yang dialami adalah orang tua memiliki anak dengan disabilitas.
c.       Trigger Events
Yaitu situasi, kondisi yang berlangsung dan kondisi yang menjadi fokus dari pengalaman atau perasaan kehilangan dan dapat mencetuskan atau mengeksaserbasi (memunculkan kembali) reaksi perasaan berduka.
d.      Management Methods
Hal ini berkaitan dengan respon individu untuk berdamai dengan dukacita yang ia rasakan atau perasaan chronic sorrow yang dialami. Respon ini dapat bersifat internal yaitu strategi koping yang individu susun atau bersifat eksternal yaitu dengan melibatkan intervensi dari tenaga kesehatan profesional.
e.       Ineffective Management
Manajemen ini merupakan hasil dari strategi yang meningkatkan ketidaknyamanan individual atau yang memperberat perasaan chronic sorrow yang dialami individu tersebut.
f.       Effective Management
Hal ini dihasilkan dari strategi yang meningkatkan kenyamanan dan mempengaruhi individu.

2.4. Asumsi Utama

Dalam Middle Range Theory Chronic Sorrow terdapat beberapa asumsi utama yaitu sebagai berikut (Alligood, 2014; Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998):
a.       Keperawatan
Hal terkait menegakkan diagnosa chronic sorrow dan menyediakan intervensinya termasuk dalam lingkup praktik keperawatan. Perawat dapat menyediakan bimbingan antisipatif (anticipatory guidance) pada individu yang berisiko. Tugas utama dari perawat adalah menunjukkan empati, keahlian, sikap caring dan menunjukkan performa sebagai pemberi layanan yang kompeten.
b.      Manusia
Dalam teori ini, manusia memiliki persepsi idealis dari proses hidup dan kesehatan. Manusia akan membandingkan pengalamannya dengan pengalaman yang ia harapkan (kondisi ideal) dan dengan pengalaman orang lain di sekitarnya. Meskipun pengalaman setiap individu terkait kehilangan merupakan respon yang unik akan tetapi masih terdapat kesamaan dan respon yang diperkirakan dari proses kehilangan tersebut.
c.       Kesehatan
Menurut teori ini, kesehatan adalah fungsi normal. Kesehatan individu bergantung pada adaptasi terhadap respon kehilangan. Koping efektif dihasilkan dari respon normal terhadap peristiwa kehilangan.
d.      Lingkungan
Interaksi yang terjadi berhubungan dengan konteks sosial. Dalam hal ini termasuk keluarga, sosial, pekerjaan, norma sosial dan lingkungan pelayanan kesehatan.

2.5. Model Teoritis Chronic Sorrow

Pada teori ini digambarkan model teoritis dari chronic sorrow yang menunjukkan bahwa respon tersebut merupakan siklus alamiah, dapat menetap ataupun meningkat. Chronic sorrow disebabkan oleh pengalaman kehilangan yang bersifat kejadian tunggal atau kejadian yang terjadi berulang dan menimbulkan disparitas yang diperburuk dengan adanya kejadian pencetus hingga individu berada pada kondisi chronic sorrow. Disparitas yang dimaksud adalah ketidaksesuaian antara kejadian harapan dengan kenyataan yang terjadi berhubungan dengan proses kehilangan. Dalam bagan tersebut juga menggambarkan adanya manajemen pengelolaan kondisi chronic sorrow yang dapat bersifat internal (strategi koping individu tersebut) maupun eksternal (memanfaatkan intervensi dari tenaga kesehatan). Manajemen pengelolaan ini akan menuju pada kondisi efektif maupun inefektif. Kemampuan orang tua dalam meningkatkan strategi koping dan mengatur perasaan terkait chronic sorrow sangat bergantung pada kemampuan keluarga dalam menerima dan beradaptasi terhadap sakit yang dialami anak (Neilsen, 2013). Apabila pengelolaan kondisi chronic sorrow bersifat efektif maka akan meningkatkan kenyamanan dan sebaliknya apabila manajemen bersifat inefektif akan meningkatkan ketidaknyamanan (Alligood, 2014; Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998).







BAB III

PEMBAHASAN

 
Chronic Sorrow adalah keadaan berupa kesenjangan yang terjadi terus menerus yang diakibatkan oleh proses kehilangan. Chronic Sorrow dapat terjadi secara berkala dan bisa kambuh lagi secara berkala pula serta berpotensi menjadi progresif. Bagaimana suatu proses kehilangan dapat memicu terjadinya dukacita, ada andil persitiwa pemicu yang menghubungkan kedua hal ini (Alligood, 2014). Menurut Bredow&Peterson (2013) Chronic Sorrow adalah kejadian periodik yang bisa disebabkan oleh dua hal. Hal tersebut adalah kesedihan yang bersifat permanen dan pervasif atau munculnya perbedaan (gap) yang didapat karena akibat dari proses kehilangan atau disebut juga disparitas. Proses kehilangan yang actual atau simbolik yang mungkin disertai dengan ketidakpastian kapan kejadian kehilangan ini akan berakhir adalah penyebab fenomena Chronic Sorrow ini. Seeorang dapat memunculkan gejala Cronic Sorrow-nya jika ada pemicu serta dapat meredam jika mampu melaksanakan managemen pada fenomena Chronic Sorrow yang dialami.
Pada kasus An. NG, proses kehilangan An. NG ia rasakan karena dua kaki serta satu tangan kanannya hilang karena diamputasi. Respon keluarga khususnya ayah An. NG yang maladaptif semakin membuat An. NG merasa tertekan sehingga mengalami proses Chronic Sorrow. An. NG sudah enggan untuk melanjutkan sekolah bahkan tidak ada semangat hidup sesaat setelah kaki dan tangannya diamputasi. Disaat An. NG mengalami kesedihan karena amputasi, ayahnya masih berpikir An.NG adalah anak normal yang mempunyai anggota badan lengkap. Ketika An. NG memiliki keterbatasan melakukan rentang gerak dan masih sesekali merasa sakit, ayahnya mengira itu hanya keluhan An. NG saja untuk menarik perhatian keluarga dan mencoba bersikap tidak mandiri lagi seperti sebelumnya. Karena ini lah ayahnya sering marah-marah bahkan memaki An. NG. Respon dari ayah merupakan bentuk dari pemicu yang semakin membuat An. NG merasa kehilangan dan berkembang menjadi proses yang progresif. Sikap ayah An. NG ini merupakan bentuk pemicu munculnya Chronic Sorrow dan merupakan  suatu penanganan yang tidak efektif.
Chronic Sorow suatu respon normal yang ketika seseorang mengalami kehilangan atau disabilitas karena penyakit, (Isaksson & Ahlström, 2008). Pada kasus ini yang mengalami Chronic Sorrow adalah An. NG. Chronic sorrow paling umum ditemukan pada individu yang mengalami  masalah kronik yang berbeda dengan hal yang lumrah seperti perkembangan, personal, dan sosial, (Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998). Pada kasus di atas, yang menjadi pemicu ternjadinya chronic sorrow pada An. NG adalah perkembangan dan sosial. Dengan dilakukan amputasi, An. NG akan merasa tidak lagi memiliki harapan untuk berkembang dan melakukan kegiatan dan merasa lingkungan sosial tidak akan mampu menerimanya (ditunjukan dengan pernyataan tidak ingin sekolah). Hal ini sesuai dengan pernyataan Eakes, at all bahwa orang yang merasakan Chronic sorrow enggan bersosialisasi akibat kehilangan yang dia miliki karena merasa tidak mampu mengikuti standar dari lingkungan.
Keluarga sebagai caregiver dapat menjadi pemicu terjadinya Chronic Sorrow. Seorang individu tidak akan mengalami Chronis Sorrow jika dapat mengolah perasaannya secara efektif. Dalam proses pengelolaan perasaan ini diperlukan strategi baik internal maupun eksternal. Strategi perawatan diri berupa tindakan, kognitif, interpersonal, dan emosional merupakan strategi internal. Salah satu bentuk strategi yang dapat mencegah munculnya Chronic Sorrow yang diakibatkan karena proses kehilangan adalah dengan menyibukkan diri dan melakukan kegiatan yang menyenangkan. Berusaha berpikir positif dan tidak mencoba untuk melawan kondisi yang ada adalah koping kognitif yang paling sering digunakan. Hal ini dikemukanan oleh para ahli di The Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow (NCRCS) yang merupakan projek penelitian Georgene Gaskill Eakes dan Mary Lermann Burke. Sedangkan strategi eksternal dalam penanganan Chronic Sorrow adalah tindakan intervensi yang diberikan oleh professional kesehatan. Tenaga professional keperawatan membantu klien dengan meningkatkan kenyamanan melalui kehadiran dan perasaan empati, guru-ahli, serta caring dan kompetensi (Alligood, 2014).
Menurut Alligood (2014) Chronic Sorrow ini adalah bentuk dari suatu siklus maka pemicu internal dan eksternal akan bisa muncul sewaktu-waktu dan harus diantisipasi. An. NG sebagai seorang anak sudah mempunyai riwayat koping  yang ia bangun dalam waktu yang telah lalu terkait dengan masalah yang ia hadapi. Namun dalam kasus kali ini, kehilangan kaki dan tangan merupakan proses kehilangan yang besar baginya. Perasaan ingin menhentikan hidup juga muncul berkali-kali di benak An. NG. dikarenaka proses kehilangan yang besar ini, sangat diperlukan intervensi dari profesi kesehatan dalam membantu An. NG mendapatkan kembali keseimbangan hidupnya. Ketidakseimbangan dapat saja muncul kembali dalam hidup An.NG karena persepsi dirinya akan bentuk tubuhnya sekarang merupakan suatu yang jauh dari ideal jika ia bandingkan dengan kondisi anak-anak yang masih sehat dan mempunyai ekstremitas yang utuh.
Pada penanganan kasus An. NG perawat di klinik luka bertugas melaksanakan perannya dalam memberikan bimbingan antisipatif kepada An. Ng sebagai individu yang beresiko. Pemeberian tindakan perawatan luka yang didasari oleh prinsip caring membuat An. NG diharapkan perlahan-lahan dapat membangun strategi internal An. NG dalam menanggapi Chronic Sorrow yang telah dialaminya. An. NG sebagai manusia yang merupakan bagian dari asumsi utama dalam teori Chronic Sorrow ini, dapat membandingkan pengalamannya dengan pengalaman sesama pasien lain ketika mendapat tindakan keperawatan luka. Proses yang An. NG alami ini membangun kembali normalitas fungsi kesehatannya. Kondisi kesehatan seorang individu adalah perwujudan dari proses adaptasi terhadap kesenjangan yang dikaitkan dengan perisiwa kehilangannya. Koping yang efektif dapat terjadi sebagai respons yang normal terhadap suatu kehilangan dalam hidup. Lingkungan khususnya keluarga sebagaian elemen didalamnya juga berpengaruh dalam membangun starategi akan dukacita kronik yang dialami An. NG. interaksi dalam suatu konteks sosial yang meliputi kelurga, sosial, pekerjaan dan perawatan kesehatan bersinergi membangun koping pada diri klien untuk menjadi adaptif.
Intervensi yang bisa diberikan oleh tenaga kesehatan professional bertujuan untuk membangun metode managemen eksternal klien agar menjadi optimal. Ketika memulai intervensi, perawat harus mengubah cara pandang klien akan Chronic Sorrow. Chronic Sorrow bukan merupakan respon yang normal melainkan adalah situasi yang siginifikan disebabkan oleh kehilangan, sehingga kondisi ini membutuhkan intervensi. Prawat juga harus mengkaji apakah klien pernah mengalami proses kehilangan di waktu yang lampau. Seorang klien yang pernah mengalami proses kehilangan di masa lampau tentunya mempunyai pengalaman bagaimana dulunya ia mengatasi rasa kehilangannya. Disini peran perawat mengembangkan kemampuan yang ada atau yang sudah ada di klien dalam menguatkan manajemn internal klien untuk menanggulangi Chronic Sorrow yang dialami. Menurut Bredow&Peterson (2013) bahwa mekanisme koping personal yang merupakan manajemen internal dapat dikaji, dikuatkan dan didukung. Tindakan yang dilakukan perawat adalah menghadirkan empati yang dicirikan dengan beberapa tindakan yakni memberikan waktu untuk mendengarkan, menawarkan bantuan, berfokus pada perasaan, dan mengakui setiap individu memiliki keunikan tersendiri yang tentunya membantu seorang caregiver dalam merawat klien.
Keberhasilan perawat dalam mengatasi Chronic Sorrow pada klien juga didukung oleh keluarga. Menurut Nielsin (2013) keluarga terutama orang tua bertugas menelusuri makna baru akan kondisi anaknya didalam ketidakpastian kapan proses kehilangan itu akan berakhir. Makna baru yang dapat ditemukan ini membangun konsep koping dan adaptasi keluarga. Jika keluarga sudah memahami dan memiliki koping yang adaptif maka keluarga khususnya orang tua akan bisa merespon dengan baik proses kehilangan yang dialami anak serta membantu anak dalam mengatur reaksi emosional akan perubahan yang terjadi.  Pada kasus An. NG , ayah An. NG sering berkata kasar kepada anaknya ketika anaknya memunculkan respon stress terhadap kondisinya yang sekarang. Hal ini jika dikaitkan dengan penelitian Nielsin (2013) menyatakan bahwa komunikasi yang buruk dan dukungan yang minim dari orang tua ke klien merupakan perwujudan dari koping orang tua sebagai keluarga terdekat tidak adaptif. Padah sesungguhnya koping orang tua sangat mempengaruhi perubahan status kesehatan anak. Koping orang tua harusnya diupayakan menjadi adaptif karena dengan adanya koping yang adaptif makan orang tua akan mampu menyeimbangkan pandangan anak ketika ia mengalami periode krisis di masa kehilangannya.


BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1   Kesimpulan

Chronic sorrow merupakan salah satu middle range theory yang konsep awalnya berasal dari teori yang dicetuskan oleh Olshansky pada tahun 1962. Kemudian dikembangkan oleh pusat study The Nursing Consortium for Reasearch on Chronic Sorrow (NCRCS) yang di prakarsai oleh Eakes, Burke dan Hainsworth. Burke mendefinisikan duka cita kronis sebagai suatu kesedihan yang meresap dan merupakan pengalaman permanen, periodik dan berpotensi menjadi lebih berat (Eakes, Burke, Hainsworth, et al., 1993). Chronic sorrow merupakan respon normal manusia yang berhubungan dengan disparitas berkelanjutan sebagai akibat dari situasi kehilangan. Kondisi ini merupakan siklus yang terjadi secara alamiah. Dalam kondisi tersebut terdapat pencetus yang memperberat respon berduka, bersifat internal maupun eksternal yang dapat diprediksi. Manusia memiliki strategi koping yang efektif dalam mencapai keseimbangan saat mengalami chronic sorrow. Pada dasarnya, chronic sorrow disebabkan oleh disparitas antara kondisi harapan dan kenyataan (Eakes et al., 1998; Alligood, 2014).
Pendiagnosaan chronic sorrow dapat membuat seseorang jatuh pada keadaan sedih yg mendalam, karena harapan atau keinginan tidak sesuai dengan realita.  Kesedihan kronis merupakan kesenjangan yang berlangsung akibat kerugian dari suatu fungsi dan bersifat permanen. Gejala kesedihan akan berulang secara berkala dan gejala-gejala ini berpotensi progresif (Alligood, 2014). Peran perawat dalam teori ini adalah menunjukkan rasa empati dan memberikan support system agar klien tidak jatuh dalam keadaan depresi, sehingga klien mampu melakukan manajemen koping baik manajemen koping internal maupun eksternal yang melibatkan klien, perawat, dokter, psikolog atau tenaga kesehatan lainnya serta dukungan dari orang-orang terdekat.


4.2   Saran

Peran perawat sebagai pemberi support system sebaiknya dilakukan dengan sungguh-sungguh, karena klien mungkin akan mengalami chronic sorrow  berulang sehingga klien beresiko untuk jatuh dalam keadaan depresi.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M.R. (2014). Nursing theories and their work. 8th edition. Singapore. Elsevier Singapore Pte Ltd
Alligood, M.T. (2014). Inroduction to nursing theory : Its history significance and analysis. In A.M. Tomey & M. R. Alligood (Eds), Nursing theorist and their work (8th ed, pp. 3-15). St. Louis : Elsevier
Coughlin, M. B., & Sethares, K. A. (2017). Chronic Sorrow in Parents of Children with a Chronic Illness or Disability : An Integrative Literature Review. Journal of Pediatric Nursing, 37, 108–116. doi:10.1016/j.pedn.2017.06.011
Eakes, G. G., Burke, M. L., & Hainsworth, M. A. (1998). Middle-Range Theory. Journal of Nursing Scholarship, 30(2), 179–184.
Halfon, Neal. 2010. “Evolving Notions of Childhood Chronic Illness.” Jama 303(7): 665. http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?doi=10.1001/jama.2010.130.
Isaksson, A., & Ahlström, G. (2008). Managing chronic sorrow: experiences of patients with multiple sclerosis. Journal of Neuroscience Nursing, 40(3), 180–191.
Neilsen, C. M. (2013). Chronic Sorrow and Illness Ambiguity in Caregivers of Children with Sickle Cell Disease. Michigan State University.
Peterson, S. J, and T. S Bredow. 2013. Middle Range Theories Application to Nursing Research. third. ed. J Clay. Cina: Lippincott Williams & Wilkins.
Van Cleave, Jeanne. 2010. “Dynamics of Obesity and Chronic Health Conditions Among Children and Youth.” Jama 303(7): 623. http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?doi=10.1001/jama.2010.104.
Vitale, S. A., & Falco, C. (2014). Children Born Prematurely : Risk of Parental Chronic Sorrow. Journal of Pediatric Nursing, 29, 248–251. doi:10.1016/j.pedn.2013.10.012

Tidak ada komentar: