1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Human
Right Watch (HRW) melaporkan
fenomena frekuensi fenomena pasung terhadap orang yang mengalami gangguan mental semakin meningkat. Berdasarkan data HRW di Indonesia, ada 57.000 orang dengan kelainan mental
yang hidup dalam pasungan ataupun kerangkeng. Namun
menurut pemerintah angka pasung tercatat hanya
18.000 orang. Sejak 1977 sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan larangan
pemasungan orang tetapi nyatanya hingga saat ini masih saja berlangsung meski
dengan alasan pengobatan tradisional maupun agama (Human Right Watch, 2016).
Tindakan pemasungan dianggap sebagai tindakan yang
melanggar nilai, melanggar etik, tidak manusiawi, merupakan tindakan
diskriminasi dan juga melanggar Undang-undang Nomor 34 tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar
harus mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan.
Max Scheler seorang tokoh etik asal Jerman menyatakan
bahwa sesuatu hal yang melanggar nilai itu adalah tidak baik. Filsuf yang
terkenal dari aliran fenomenologi ini dalam teorinya memandang bahwa manusia merupakan bagian dari
fenomena-fenomena yang perlu ditelaah. Manusia dalam kehidupannya perlu
mewujudkan nilai-nilai agar setiap orang mengerti makna dari kehidupan itu
sendiri (Nasution, 2001).
Melihat adanya keterkaitan antara fenomena pasung, teori
Max Scheler dan Problema Etik, untuk itu kelompok akan membahas lebih jauh
tentang implikasi teori Max Scheler terhadap fenomena di bidang kesehatan jiwa
tersebut.
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1
Tujuan Umum
Mahasiswa
mampu mengenal dan memahami tokoh etik Max Scheler dan teori-teorinya.
1.2.2
Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mahasiswa mampu memahami teori Etika Fenomenologi
1.2.2.2 Mahasiswa mampu memahami tentang teori stratifikasi emosi
1.2.2.3 Mahasiswa mampu menganalisa implikasi teori dalam keperawatan
jiwa
1.2.2.4 Mahasiswa mampu menganalisa keterkaitan teori dengan fenomena
pasung dalam keperawatan jiwa di Indonesia.
1.2.2.5 Mahasiswa mampu menjeleskan fenomena yang ada dan
dikaitkan dengan aturan-aturan yang ada di Indonesia dan negara lain.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biografi Max Scheler
Max Scheler adalah tokoh etika dari aliran
fenomenologis yang kemudian dikembangkan lagi oleh Nicolia Hartmann
(1882-1950), Dietrich Von Hildebrand (1889-1977), Hans Reiner (1896-1991)
dll.Max Scheler lahir di Munchen, Jerman Selatan, pada tanggal 22 Agustus 1874
sebagai anak seorang ayah Protestan dan ibu Yahudi. Setelah belajar
Ilmu Kedokteran di Munchen, pada tahun 1896 Max Scheler pindah ke Berlin dan
Jena untuk belajar filsafat dan sosiologi (Suseno, 2000).
Max Scheler sangat terpengaruh oleh guru dan promotornya
di Jena, Rudolf Euken, dan memiliki perhatian
besar bagi nilai-nilai, budaya dan
sejarah. Pusat filsafat Max Scheler adalah etika. Dari etika ia mengembangkan
filsafatnya tentang manusia dan persona, tentang agama, tentang Tuhan. Etika
Scheler itu sendiri berakar dalam sebuah pengalaman dasar yaitu pengalaman
akan nilai (Suseno, 2000).
2.2 Teori-teori Max Scheler
tentang Fenomenologi dan Nilai
Max Scheler adalah seorang fenomenologis yang sangat realistis. Ia memusatkan
pemikirannya pada kenyataan dan hidup yang konkrit. Menurut Hadiwijono (1980)
metode fenomenologis tentang “penilikan hakekat” banyak diterapkan di bidang
teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan, keagamaan serta bidang nilai. Scheler sangat
memberi kontribusi dalam hal nilai. Menurut scheler nilai bukanlah sesuatu ide atau cita, nilai adalah sesuatu yang
konkrit yang dapat dialami dengan jiwa dan emosi.
Nilai bersifat mutlak, yang membuat terjadinya perbedaan nilai adalah pengenalan
individu terhadap nilai tersebut. Nilai juga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu nilai menurut
bendanya dan nilai menurut pribadinya.Nilai menurut benda yaitu nilai yang
dikaitkan dengan benda-benda kebudayaan atau benda
lainnya.
Nilai menurut pribadi adalah nilai yang dikaitkan dengan pribadi itu sendiri
atau dengan kebajikan-kebajikan.
Scheler mendefinisikan individu sebagai suatu pribadi, yaitu yang memiliki kepenuhan
arti dari seluruh inderanya yang dewasa
dan cakap untuk memilih, terkandung unsur rohaniah di dalamnya. Manusia
dikaitkan dengan Tuhan yang transenden, dari sinilah
mendasari ajarannya tentang cinta dan kasih. Kasih sejati mengarah pada suatu
individu dapat berupa orang lain maupun dirinya sendiri. Puncak kasih adalah
kasih kepada Allah,dimana Allah adalah pusat kasih tertinggi (Hadiwijono, 1980)
Menurut Scheler, apabila kita memperhatikan sekian banyak nilai yang kita
rasakan, akan terlihat bahwa nilai-nilai itu masuk ke dalam empat modalitas
atau tingkatan nilai. Masing-masing mempunyai kualitas atau kekhasan dimensi
sendiri. Masing-masing tingkatan nilai itu mandiri dan apriori. Tingkatan
nilai tersebut sebagai berikut:
1.
Tingkatan
nilai pertama dan paling rendah adalah segala nilai dalam dimensi yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Nilai-nilai ini dirasakan secara fisik dan
menghasilkan perasaan nikmat dan sakit.
2.
Tingkatan
kedua adalah nilai-nilai disekitar “perasaan vital’, yang berkaitan bukan
dengan fungsi-fungsi inderawi tertentu, melainkan dengan kehidupan dalam keutuhannya.
Nilai-nilai ini tersebar di sekitar
“yang luhur” dan “yang kasar”.
3.
Tingkatan
ketiga, nilai-nilai rohani. Nilai-nilai itu tidak lagi tergantung dari dimensi
kebutuhan. Scheler mencatat bahwa orang bersedia mengorbankan nilai-nilai
dimensi kebutuhan demi nilai-nilai rohani. Nilai rohani sendiri ada tiga yaitu
nilai estetis, nilai benar dan tidak benar, serta nilai-nilai pengetahuan
murni.
4.
Tingkatan ke empat dan
tertinggi adalah nilai-nilai sekitar yang kudus dan yang profan. Disini
termasuk kebahagiaan dan keputusasaan.
(Suseno, 2000)
Menurut
Max Scheler tinggi-rendahnya nilai dapat dimengerti jika manusia bertindak dengan etis dan merealisasikan nilai
kebaikan moral, apabila ia selalu memilih nilai yang lebih tinggi terhadap yang
lebih rendah (Suseno, 2000).
2.3 Fenomena Pasung Dalam
Kesehatan Jiwa di Indonesia
Pemasungan
terhadap penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, sekitar 20.000 hingga
30.000 penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia mendapat perlakuan tidak
manusiawi dengan cara dipasung (Purwoko, 2010 dalam Lestari & Wardhani,
2014). Pada tahun 2011
Menteri Kesehatan RI mencanangkan Program Indonesia Bebas Pasung dicapai pada
tahun 2014. Namun kenyataannya sampai saat ini belum terlihat penanganan yang signifikan dan komprehensif
untuk ini.
Program Indonesia Bebas Pasung 2014 akhirnya direvisi menjadi Program Indonesia Bebas Pasung 2019,
sehingga Indonesia masih terus
berupaya untuk menentukan
ketercapaian target dalam 3 tahun ke depan dan proses ini masih berlangsung berkesinambungan dengan kerjasama baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi dan kota/kabupaten (Yud, 2014
dalam Lestari & Wardhani, 2014).
Data Riskesdes
2013 menunjukkan data persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah
tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat yang pernah dipasung di Indonesia
sebesar 14,3 persen. Terdapat 1.655
rumah tangga (RT) yang memiliki keluarga yang menderita gangguan jiwa berat. Tindakan pemasungan
yang dilakukan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional dengan
menggunakan kayu atau rantai pada kaki, tetapi juga tindakan pengekangan yang
membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung dan penelantaran, yang
menyertai salah satu metode pemasungan.Adapun provinsi tertinggi yang memiliki
Anggota rumah tangga yang pernah dipasung adalah Papua, Maluku, Sulawesi, DKI
Jakarta, Jambi (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
2.4 Undang Undang Kesehatan
Jiwa Terkait Fenomena Pasung
1.
Dasar Negara Republik Indonesia Pancasila Sila ke 2 yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”
2.
Undang Undang No 39 Tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia
2.1
Pasal 1 ayat 3 “Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok,golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
2.2
Pasal 1 ayat 6 “Pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang
2.3
Pasal 9 ayat 3 “Setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
2.4
Pasal 33 ayat 1 “Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.”
2.5
Pasal 42 “Setiap warga negara yang
berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh
perawatan,pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk
menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
2.6
Pasal 69 ayat 1 “Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
3.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Jiwa
3.1
Pasal 2 Upaya
Kesehatan Jiwa berasaskan: keadilan;perikemanusiaan; manfaat; transparansi; akuntabilitas;
komprehensif; pelindungan; dan
nondiskriminasi.
3.2
Pasal 20 ayat
1 “Penatalaksanaan
kondisi kejiwaan pada ODGJ dilakukan di fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan
Jiwa”
3.3
Pasal 22 “Dalam hal
ODGJ menunjukkan pikiran dan/atau perilaku yang dapat membahayakan dirinya,
orang lain, atau sekitarnya, maka tenaga kesehatan yang berwenang dapat
melakukan tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap ODGJ sesuai
standar pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk mengendalikan perilaku
berbahaya.”
3.4
Pasal 70 ayat
1 ODGJ berhak:
a.
mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di
fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;
b.
mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai
dengan standar pelayanan Kesehatan Jiwa;
c.
mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat
psikofarmaka sesuai dengan kebutuhannya;
d.
memberikan persetujuan atas tindakan medis
yang dilakukan terhadapnya;
e.
mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap
tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang
Kesehatan Jiwa;
f.
mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk
penelantaran, kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi;
g.
mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan
tingkat gangguan jiwa; dan
h.
mengelola sendiri harta benda miliknya
dan/atau yang diserahkan kepadanya.
3.5 Pasal 77 Ayat 1, ayat 2, dan ayat 3
3.6 Pasal 80 Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab melakukan penatalaksanaan terhadap ODGJ yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/atau keamanan umum.
4.
Undang Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
4.1
Pasal 6 Setiap orang berhak
mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan
4.2
Pasal 10 Setiap orang berkewajiban
menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik
fisik, biologi, maupun sosial.
4.3
Pasal 12 Setiap orang berkewajiban
menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi
tanggung jawabnya
4.4
Pasal 144 Upaya kesehatan jiwa
ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang
sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu
kesehatan jiwa
2.5 Jurnal-jurnal Pendukung
1.
Berdasarkan artikel yang berjudul “Stigma And Management On People With Severe
Mental Disorders With “Pasung” (Physical Restraint)” (Lestari & Wardhani, 2014) Menunjukkan penderita yang diduga menderita
gangguan jiwa yang dipasung lebih banyak dilakukan oleh keluarga sebagai
alternatif terakhir untuk penanganan gangguan jiwa, setelah segala upaya
pengobatan medis dilakukan keluarga. Ketidaktahuan keluarga dan masyarakat sekitar atas
deteksi dini dan penanganan paska pengobatan di Rumah Sakit Jiwa menyebabkan
penderita tidak tertangani dengan baik.
2.
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Aceh Free Pasung: Releasing The
Mentally Ill From Physical Restraint” (Puteh, dkk) yang menggunakan
59 responden, alasan untuk melakukan pasung pada 47 pasien (79,7%)
adalah karena perilaku agresi
kemudian 12 pasien (20,3%) karena ada
kekhawatiran tentang keselamatan dan kesejahteraan orang yang menderita
gangguan jiwa ini. Keputusan untuk menerapkan pasung 86,4% dibuat oleh keluarga yang
mempunyai anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa dan 13,6% keputusan untuk menerapkan
pasung dibuat oleh para pemimpin masyarakat.
3.
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif Persepsi Masyarakat
Tentang Pasung Pada Klien Gangguan Jiwa Berdasarkan Karakteristik Demografi Di
Desa Sungai Arpat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar” (Syarniah, dkk
2014) menyatakan persepsi masyarakat tentang
pasung pada klien gangguan jiwa umumnya masih kurang mendukung, (64,6% ) Sebanyak 38,8% masyarakat menganggap bahwa pasung adalah
penanganan utama pada klien gangguan jiwa karena alasan keamanan dan pemberian
efek jera. Sebanyak
55,1% masyarakat setuju untuk melakukan pemasungan pada klien gangguan jiwa
4. Berdasarkan artikel yang berjudul
“Budaya Pasung dan Dampak Yuridis Sosiologis (Studi Tentang Upaya Pelepasan
Pasung dan Pencegahan Tindakan Pemasungan di Kabupaten Wonogiri)” (Suharto, 2014) alasan keluarga melakukan pemasungan cukup beraneka ragam
diantaranya untuk mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap
membahayakan bagi dirinya atau orang lain,mencegah klien meninggalkan rumah dan
mengganggu orang lain, mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri, karen
ketidaktahuan serta ketidakmampuan keluaga menangani klien apabila sedang
kambuh. Faktor kemiskinan
serta rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan jiwa
berat hidup terpasung.
3.
PEMBAHASAN
3.1 Implikasi
Teori Scheler dalam Keperawatan
Teori
Max Scheler dalam keperawatan memegang peranan penting, dimana
teori ini mengajarkan perawat untuk mengetahui dan membedakan nilai – nilai
yang dianut oleh pasien sehingga memudahkan perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai nilai yang dianut pasien. Menurut scheler nilai bersifat
mutlak, yang membuat terjadinya perbedaan nilai adalah pengenalan individu
terhadap nilai tersebut. Nilai juga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu nilai
menurut bendanya dan nilai menurut pribadinya. Nilai menurut benda yaitu nilai
yang dikaitkan dengan benda-benda kebudayaan atau benda benda lainnya.
Max
Scheler mengatakan individu merupakan
suatu pribadi, yang memiliki kepenuhan arti seluruh inderanya yang dewasa dan cakap untuk memilih, serta
terkandung unsur rohaniah di dalamnya (Hadiwijono,
1980). Sejalan dengan keperawatan yang memandang manusia sebagai
makhluk yang holistik, terdiri dari komponen fisik, jiwa, didukung spiritual,
dipengaruhi sosial dan budaya. Menurut Scheler, manusia memiliki otonomi untuk
menentukan keputusan. Ke ranah kekhususan, pada keperawatan jiwa, pendapat
Scheler juga diaplikasikan, hal ini dibuktikan dengan perawat melakukan asuhan
agar klien meraih kondisi jiwa sehat yang optimal, sehingga mampu melakukan
perannya dalam membuat keputusan. Klien dengan gangguan jiwa pun dilibatkan
dalam menentukan terapi yang akan dilakukan.
3.2 Fenomena
Pasung Dikaitkan Dengan Teori Scheler
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Studi Deskriptif Persepsi Masyarakat Tentang Pasung Pada Klien
Gangguan Jiwa Berdasarkan Karakteristik Demografi Di Desa Sungai Arpat
Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar” (Syarniah, dkk 2014) menyatakan persepsi masyarakat tentang
pasung pada klien gangguan jiwa umumnya masih kurang mendukung, (64,6% ). Sebanyak 38,8% masyarakat menganggap bahwa pasung adalah
penanganan utama pada klien gangguan jiwa karena alasan keamanan dan pemberian
efek jera.
Pasung pada penderita gangguan
jiwa sangat bertentangan dengan teori yang dikemukan
oleh scheler dimana scheler mengajarkan cinta dan kasih. Cinta dan kasih disini
dimaksud bagaimana cara kita memperlakukan seseorang dengan Cinta dan kasih,
termasuk dalam memperlakukan orang dengan gangguan jiwa Tindakan pasung ini tentunya terletak pada
dimensi yang tidak menyenangkan dan menimbulkan rasa sakit pada pasien tersebut
ini sesuai dengan pernyataan Scheler pada tingkatan pertama. Sedangkan pada
tingkatan kedua yang menyatakan nilai itu dimensi dari yang luhur dan kasar,
pasung ini termasuk tindakan yang kasar. Pada tingkatan ketiga adalah nilai
rohani sendiri ada tiga yaitu nilai estetis, nilai benar dan tidak benar, serta
nilai-nilai pengetahuan murni. Pemasungan sendiri merupakan tindakan yang
melanggar nilai rohani, nilai estetis dan merupakan nilai yang tidak benar dan
nantinya tindakan ini bisa mengakibatkan keputusasaan pada pasien ini,
keputusasaan ini sesuai dengan tingkatan ke empat yang diungkapkan oleh Max
Scheler yang merupakan tingkatan tertinggi yang termasuk kebahagiaan dan
keputusasaan (Suseno, 2000).
Fenomena
pasung di Indonesia bertentangan dengan teori Scheler, yakni karena dengan
memasung, terjadi pembatasan baik fisik maupun sosial seseorang, orang tersebut
akan kehilangan otonomi dirinya sebagai pribadi bebas yang utuh dan berarti. Pengekangan
menimbulkan konflik di dalam diri seseorang, selain itu pasung juga mengabaikan
nilai dan tingkatan nilai seseorang.
3.3 Fenomena
Pasung Dikaitkan Dengan Hukum Yang Berlaku Di Indonesia Dan Internasional
Pasung
melanggar Sila ke dua Pancasila, UU Hak Asasi Manusia,
UU Kesehatan dan UU Kesehatan Jiwa.
Keluarga yang melakukan pemasungan bagi anggota keluarganya yang
menderita gangguan jiwa melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Namun
demikian, mirisnya hal ini dilakukan karena ketidaktahuan atau pun
ketidakmampuan keluarga dalam menangani anggota keluarganya yang sakit. Peran
pemerintah juga bisa dituntut dalam UU No 18 tahun 2014 pasal 77 pada ketiga
ayatnya. Oleh karena itu, jarang terdengar pemasung anggota keluarganya
ditindak hukum, melainkan diberikan edukasi dan bantuan dalam menangani klien
yang sakit. Fenomena pasung jelas melanggar Etik dan hukum yang berlaku. ODGJ
dalam UU No 18 Th 2014 pasal 70 berhak atas perlindungan terhadap diskriminasi
yang tidak lain adalah pasung itu sendiri.
Angka pemasungan yang tinggi di Indonesia juga membuat
Indonesia dicap oleh dunia internasional sebagai negara pelanggar hak asasi
manusia (HAM). "Cap ini diberikan setelah ada salah satu media besar luar
negeri yang memberitakan pemasungan di panti sosial di kawasan Bekasi beberapa
tahun yang lalu. Sedangkan hukuman untuk yang melakukan tindakan
restrain/seclusion diluar negeri belum ada hukuman khusus tetapi mereka
diberikan program edukasi dan pelatihan yang tujuannya untuk meningkatkan
keamanan dan pengalaman manusia secara keseluruhan agar care giver bisa merawat
ODGJ dengan baik dan bermoral serta memiliki nilai yang baik (Blank, 2004).
3.4 Solusi
Fenomena Pasung Terkait Etik Dan Terkait Hukum
Perhatian
pemerintah telah makin membaik, hal ini dibuktikan dengan disahkannya UU
Kesehatan Jiwa, dan realisasi nyata dari pelayanan kesehatan lini pertama
hingga tersedianya Rumah Sakit Jiwa, sarana prasarana di beberapa daerah maupun
Sumber Daya Manusia yang mulai dipersiapkan meski belum maksimal. Namun hal ini
masih belum cukup, sosialisasi kesehatan jiwa di masyarakat akan berdampak
lebih baik karena dapat memperbaiki cara pandang masyarakat tentang gangguan jiwa.
Sama seperti penyakit fisik lainnya ODGJ perlu mendapatkan perlakuan yang sama
dan bebas diskriminasi.
Dari
segi etik, perlu terus dilakukan evaluasi terhadap adanya kasus-kasus di
masyarakat. Peran pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati Hak Asasi
Manusia akan sangat besar di sini. Organisasi profesi sebagai penentu etika
profesi keperawatan juga sangat diperlukan. Setiap perawat perlu memiliki
kompetensi yang sesuai agar menjadi pelopor bebas diskriminasi untuk ODGJ.
Berkaitan dengan aliran fenomenologi dan nilai dari Scheler, perhatian yang
besar terhadap Hak Asasi Manusia khusunya pada ODGJ membuat ia dihargai sebagai
makhluk yang mulia dan bermartabat. Perilaku yang membahayakan tentunya perlu pengontrolan,
oleh karena itu terapi medik dan keperawatan tidak boleh lepas dari penderita,
agar hidupnya mampu kembali optimal.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Menurut Max Scheler individu merupakan suatu pribadi, yang
memiliki kepenuhan arti seluruh inderanya
yang dewasa dan cakap untuk memilih, serta terkandung unsur rohaniah di
dalamnya. Sejalan dengan keperawatan
yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik, teridi dari komponen
fisik, jiwa, didukung spiritual, dipengaruhi sosial dan budaya. Menurut
Scheler, manusia memiliki otonomi untuk menentukan keputusan.
4.1.2
Fenomena pasung di Indonesia bertentangan dengan teori
Scheler, yakni karena dengan memasung, terjadi pembatasan baik fisik maupun
sosial seseorang, orang tersebut akan kehilangan otonomi dirinya sebagai
pribadi bebas yang utuh dan berarti. Pengekangan
menimbulkan konflik di dalam diri seseorang, selain itu pasung juga mengabaikan
nilai dan tingkatan nilai seseorang.
4.1.3
Dari segi hukum, walaupun telah disahkannya Undang-undang tentang kesehatan
jiwa, hal ini belum cukup untuk meminimalisir tindakan pemasungan. Dari segi
etik, berkaitan dengan aliran fenomenologi dan nilai dari
Scheler, tenaga kesehatan maupun keluarga dan
masyarakat seharusnya memberikan
perhatian yang besar terhadap Hak Asasi Manusia khusunya pada ODGJ
sehingga membuat ia dihargai sebagai makhluk yang mulia
dan bermartabat.
4.2 Saran
4.2.1
Berdasarkan Teori Max Scheler ada empat tingkatan nilai manusia sebaiknya lebih
dipahami oleh setiap manusia khususnya tenaga kesehatan, sehingga dalam
melaksanakan tugas dan wewenang, perawat lebih peka tentang nilai-nilai yang dianut
klien. Dimana hal ini bisa mengarahkan perawat untuk melaksanakan tindakan
keperawatan yang lebih beretika dan bertanggungjawab.
DAFTAR
REFERENSI
Blank, F.S.J, et.al. (2004). A humane ED seclusion/restraint:
legal requirements, a new policy, procedure, “psychiatric advocate”role. Journal of Emergency Nursing, 30 (1),
42-46.
Hadiwijono, H. (1980). Sari Sejarah
Filsafat Barat.Yogyakarta: Kanisius.
Human Right Watch
(HRW).(2016). Abuses against People with
Psychosocial Disabilities in Indonesia.November 15, 2016 https://www.hrw.org/report/2016/03/21/living-hell/abuses-against-people-psychosocial-disabilities-indonesia.
Kementrian Kesehatan RI. (2013).
Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
Lestari, W & Wardhani, Y.F. (2014).Stigma dan penanganan penderita
gangguan jiwa berat yang dipasung.Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, 17 (2), 157-166.
Nasution, H.B. (2001). Falsafah Umum.
Jakarta: Gaya Media Pertama.
Puteh, I, Marthoenis, M & Minas, H. (2011). Aceh Free Pasung: Releasing
the mentally ill from physical restraint. International Journal of Mental
Health Systems. International Journal of
Mental Health, 5 (10), 1-5.
Suharto, B. (2014). Budaya Pasung dan Dampak Yuridis Sosiologis (Studi
Tentang Upaya Pelepasan Pasung dan Pencegahan Tindakan Pemasungan di Kabupaten
Wonogiri. Indonsian Journal on Medical
Science. 1 (2), 1-10.
Suseno, F.M. (2000). 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta:
Kanisius.
Syarniah, Rizani, A & Sirait, E. (2014). Studi Deskriptif Persepsi Masyarakat Tentang
Pasung Pada Klien Gangguan Jiwa Berdasarkan Karakteristik Demografi Di Desa
Sungai Arpat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar. Jurnal Skala Kesehatan. 5 (2).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.
Undang Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar