1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawat sebagai salah
satu tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum
yang tugas utamanya adalah memberikan asuhan atau pelayanan keperawatan sesuai
dengan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya.. Jika kita membicarakan
tugas dan fungsi dari perawat maka kita tidak akan lepas untuk membicarakan
peranan perawat dalam pelayanan kesehatan.
Pertama peran perawat
adalah sebagai pelaksana, dalam menjalankan tugasnya sebagi pelaksana perawat
menggunakan metode-metode untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi
pasiennya. Kedua peran perawat adalah sebagai pendidik, yang memberikan
penyuluhan kepada klien atau pasien yang berada dibawah tanggung jawabnya.
Ketiga peran perawat adalah sebagai pengelola, dengan jabatan struktural yang
dimiliki guna memantau dan menjamin kualitas asuhan keperawatan. Keempat adalah
sebagai peneliti, dalam upayanya untuk mengembangkan body of knowledge
keperawatan maka perawat harus memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian
dibidangnya.
Dalam menjalankan
profesinya sebagai tenaga perawat professional senantiasa memperhatikan etika
keperawatan yang mencakup tanggung jawab perawat terhadap klien ( individu,
keluarga, dan masyarakat ).selain itu , dalam memberikan pelayanan keperawatan
yang berkualitas tentunya mengacu pada standar praktek keperawatan yang
merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap
praktek yang dilakukan oleh anggota profesi dalam hal ini perawat. Dalam
menjalankan tugas keprofesiannya, perawat bisa saja melakukan kesalahan yang
dapat merugikan klien sebagai penerima asuhan keperawatan,bahkan bisa
mengakibatkan kecacatan dan lebih parah lagi mengakibatkan kematian, terutama
bila pemberian asuhan keperawatan tidak sesuai dengan standar praktek
keperawatan.kejadian ini di kenal dengan malpraktek.
Dalam profesi tenaga
kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul
dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari
sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut
ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma
etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat
domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan
hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas,
tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya
ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
1.2 Tujuan
1.2.1
Mengetahui Konsep Malpraktik Perawat
1.2.2
Mendeskripsikan Kasus Malpraktik Perawat
1.2.3
Menganalisa Kasus Malpraktik Perawat
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Malpraktik
Jika dilihat dari beberapa
definisi, malpraktek memiliki arti yang lebih luas dibanding dengan kelalaian.
Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup
tindakan-tindakan yang disengaja dan melanggar undang-undang. Didalam arti
kesengajaan tersirat ada motifnya. Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak
peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang
bukanlah menjadi tujuannya. Harus diakui bahwa kasus malpraktek murni yang
berintikan kesengajaan dan yang sampai terungkap ke pengadilan memang tidak
banyak (Guwandi, 1994). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktek dalam
arti luas dapat dibedakan antara tindakan yang dilakukan:
1. Dengan
sengaja, yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, atau malpraktek dalam
arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus provocatus tanpa
indikasi medik, melakukan euthanasia, memberi keterangan medik yang isinya
tidak benar, dan sebagainya.
2. Tidak
dengan sengaja atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien
karena lupa atau sembarangan sehingga pasien penyakitnya bertambah berat atau
meninggal.
Lazaro (2004) mengatakan bahwa untuk mengatakan
secara pasti malpraktik, apabila penggugat dapat menunujukkan hal-hal dibawah
ini.
a.
Duty
Pada saat
terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan
segala ilmu fan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya
meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi. Hubungan
perawat-klien menunjukkan, bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar
keperawatan.
b.
Breach
of the duty
Pelanggaran
terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang
seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang
terjadi terhadap pasien antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar
keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c.
Injury
Seseorang
mengalami cedera (injury) atau kemsakan (damage) yang dapat dituntut secara
hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Kelalalian
nyeri, adanya penderitaan atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai,
akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
d.
Proximate
caused
Pelanggaran terhadap
kewajibannya menyebabkan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang
terjadi secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat
terhadap pasien).
Proximate
caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya
menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang
terjadi secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat
terhadap pasien).
Bidang Pekerjaan Perawat Yang
Berisiko Melakukan Kesalahan:
Caffee (1991) dalam Sampurno (2005) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Caffee (1991) dalam Sampurno (2005) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Assessment
errors
Assessment
errors ini berupa kegagalan mengumpulkan data
atau informasi tentang pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi
informasi yang diperlukan, seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda
vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam
pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan
lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan.
Untuk menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data
dasar secara komprehensif dan mendasar.
b.
Planning
errors
1.
Kegagalan mencatat
masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam rencana keperawatan.
2.
Kegagalan
mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat, misalnya
menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan yang tidak dimahami perawat lain
dengan pasti.
3.
Kegagalan memberikan
asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya informasi
yang diperoleh dari rencana keperawatan.
4.
Kegagalan memberikan
instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
Untuk mencegah kesalahan tersebut,
jangan hanva menggunakan perkiraan dalam membuat rencana keperawatan tanpa
mempertimbangkannya dengan baik. Seharusnya, dalam penulisan harus memakai
pertimbangan yang jelas berdasarkan masalah pasien. Bila dianggap perlu,
lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana harus
realistis berdasarkan standar yang telah ditetapkan, termasuk pertimbangan yang
diberikan oleh pasien. Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun
dengan tulisan. Lakukan tindakan berdasarkan rencana dan lakukan secara
hati-hati instruksi yang ada. Setiap pendapat perlu divalidasi dengan teliti.
c.
Intervention
errors
Intervention
errors ini berupa kegagalan
menginteipretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan
asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/pesan
dari dokter atau dari penyelia. Kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering
terjadi adalah kesalahan dalam membaca pesan/order, mengidentifikasi pasien
sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan terapi pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh
kegiatan ini yang paling berbahaya tampaknya pada tindakan pemberian obat. Oleh
karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik di antara anggota tim kesehatan
maupun terhadap pasien dan keluarganya. melaksanakan program pendidikan
berkelanjutan (Continuing Nursing
Education).
Redjeki (2005) Untuk
malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang
dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana,yaitu
:
1.
Perbuatan tersebut (positive act maupun negative
act) merupakan perbuatan tercela.
2.
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens
rea) yang berupa kesengajaan (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal
344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Kecerobohan (reklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan
pasien informed consent. Atau kealpaan (negligence) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam
perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada
criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu
tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan yang memberikan
sarana pelayanan jasa tempatnya bernaung.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan
disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga jasa yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggungjawaban civil malpractice dapat bersifat
individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan
principle ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan
sarana jasa dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya selama
orang tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan
telah melakukan administrative
malpractice apabila orang tersebut telah melanggar hukum administrasi.
Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di
bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk
menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek),
batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar
hukum administrasi.
2.2 Kasus Malpraktik yang Melibatkan Perawat
Dugaan Malpraktik Balita
Lamuel
Kasus
Malpraktik Balita Lamuel, Mungkinkah Akan
Seret Seorang Perawat?
BORNEONEWS, Palangka Raya - Kasus dugaan
malpraktik terhadap Lamuel (1,11 tahun) di RSUD Doris Sylvanus Palangka Raya
masih terus berlanjut di Satuan Reskrim Polres Palangka Raya. Polisi terus
melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Termasuk baru saja memeriksa saksi
ahli dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kota Palangka Raya.
Ada kabar baru dari
hasil pemeriksaan tersebut. Dugaan campur tangan perawat tanpa sepengetahuan
dokter. Dalam hal ini, perawat berinisial KT telah memberikan obat melalui
suntikan ke tubuh Lamuel selama 17 hari masing-masing satu kali dalam sehari. Mungkinkah
kasus ini juga akan menyeret seorang perawat itu?
"Menurut
keterangan ahli dari PPNI, yang tidak bisa mengelak adalah masalah pemberian
obat tanpa resep dokter," kata Kasat Reskrim Polres Palangka Raya AKP
Erwin T H Situmorang mewakili Kapolres AKBP LiliWarli, Senin(25/7/2016).
"Menurut keterangan dari perawat Agustina itu, dia (perawat berinisial KT) melanggar Pasal 30 UU Keperawatan. Karena memberikan obat tanpa ada instruksi dari dokter," imbuhnya.
"Menurut keterangan dari perawat Agustina itu, dia (perawat berinisial KT) melanggar Pasal 30 UU Keperawatan. Karena memberikan obat tanpa ada instruksi dari dokter," imbuhnya.
Erwin menuturkan,
pemberikan obat suntikan terhadap Lamuel dilakukan ketika Lamuel sudah berada
di kediaman kakeknya, Badun Isat, Jalan Tjilik Riwut Km 13. Artinya pemberian
itu dilakukan ketika Lamuel sudah dalam kondisi lumpuh.
"Yang diperbolehkan adalah kalau perawat itu datang ke rumah. Dalam artian itu praktik mandiri. Jadi diperbolehkan seorang perawat datang ke rumah sendiri. Itu mengutip keterangan ahli lo ya," jelasnya.
"Yang diperbolehkan adalah kalau perawat itu datang ke rumah. Dalam artian itu praktik mandiri. Jadi diperbolehkan seorang perawat datang ke rumah sendiri. Itu mengutip keterangan ahli lo ya," jelasnya.
Penyidik akan terus
mendalami kasus ini. Apakah benar-benar melibatkan perawat atau dia cuma
menjadi kambing hitam dalam kasus tersebut.
"Makanya kita
tunggu dari IDI Kalteng, nih. Dijadwalkan hari Rabu kita lakukan
pemeriksaan," tuturnya. (BUDI YULIANTO/m)
3. PEMBAHASAN
3.1 Analisa Kasus
Berdasarkan analisa kelompok kami sebagai
saksi ahli adalah kejadian yang terjadi di dalam kasus pemberian obat melalui
suntikan tanpa instruksi dokter ini merupakan bentuk malpraktek yang dilakukan
oleh seorang perawat berinisial KT. Menurut Guwandi (1994) malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
menerapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan
pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam
mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Dari
kasus tersebut tidak sesuai dengan UU no. 38 tahun 2014 terkait dengan hak dan
kewajiban klien dalam mendapatkan informasi secara benar, jelas dan jujur
tentang tindakan yang dilakukan, serta mendapatkan pelayanan keperawatan sesuai
dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan dan standar prosedur operasional.
Dari
kasus tersebut bisa dikenakan kategori criminal
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni sikap
batin, perlakuan medis dan mengenai hal akibat. Pada dasaranya tindakan medis
yang dilakukan oleh perawat KT memang bukan kewajibannya karena melakukan pemberian
obat suntikan disaat pasien sudah dirumah dan tidak ada perintah dari dokter
yang merawat. Dalam keadaan normal, setiap orang memiliki kemampuan,
mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam perbuatan – perbuatan tertentu
yang dilarang, namun apabila kemampuan berpikir, berperasaan dan berkehendak
itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal melakukan sesuatu perbuatan
yang pada kenyataannya di larang.
Apabila
dilihat dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan
pidana. Apabila jenis kerugian mengakibatkan luka berat masuk dalam pasal 360
KUHP, sehingga pasal ini masuk dalam kategori malpraktik pidana, perlakuan
medis yang melanggar pasal 360 berarti melanggar pada pasal 1365 KUH perdata
tentang perbuatan melawan hukum yang dapat pula dituntut penggantian kerugian.
a.
Berdasarkan
konsep malpraktik
Kasus diatas merupakan salah satu
bentuk malparktik dalam keperawatan, karena telah memenuhi 4 kriteria
malpraktik yaitu:
1.
Perawat KT berkewajiban
melakukan tugasnya sesuai kewenangannya. Perawat KT melakukan hal diluar
kewenangannya sebagai seorang perawat dan melakukan kewenangan profesi lain
(dokter)
2.
Perawat KT gagal
melakukan tanggung jawabnya sesuai standar profesi perawat dimana dimana
kewajiban seorang perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan yang holistic
3.
Perawat KT membuat
pasien mengalami kelumpuhan.
4.
Tindakan pemberian obat
suntikan yang dilakukan oleh perawat ini tanpa instruksi dari diokter membuat
pasien menjadi lumpuh.
b. Berdasarkan
Kajian Hukum
1. UU
RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, BAB III Hak dan Kewajiban dalam pasal 4
bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Dalam hal ini klien berhak
mendapatkan pengobatan guna mendapatkan kesehatan dan setiap orang mempunyai
hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, serta terjangkau.
Pada kasus An. L klien tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu
dan terjangkau karena klien mengalami kelemahan anggota badan (lumpuh).
2. UU
RI No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
a)
Pasal 30 ayat 1 menjelaskan
bahwa dalam memberikan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan dibidang upaya
kesehatan perorangan, tugas perawat salah satunya adalah melakukan
penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga medis
atau obat bebas dan obat bebas terbatas. Berdasarkan kasus diatas perawat KT
melakukan penatalaksanaan pemberian obat tidak sesuai dengan resep tenaga
medis. Perawat memberikan obat suntikan ketika pasien sudah berada dirumah.
b)
Pasal 32 ayat 2
menjelaskan bahwa pelimpahan wewenang tindakan medis kepada perawat dapat
dilakukan secara delegatif dan mandate. Selanjutnya, pada penjelasan ayat 4
dapat diketahui bahwa tindakan medis yang dapat dilimpahkan secara delegatif
adalah menyuntik, memasang infus, dan memberikan imunisasi sedangkan secara
mandat yaitu pemberian terapi parenteral dan penjahitan luka. Berdasarkan kasus
diatas, Perawat KT telah melakukan pemberian obat suntikan tanpa sepengetahuan
dokter.
c)
Pasal 37 poin (f)
menjelaskan bahwa perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berkewajiban
melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang
sesuai dengan kompetensi perawat. Pelayanan keperawatan berdasarkan standar
kompetensi perawat Indonesia merupakan rangkaian tindakan yang dilandasi aspek
etik legal dan peka budaya untuk memenuhi kebutuhan klien. Kegiatan tersebut
meliputi kegiatan procedural, pengambilan keputusan klinik yang memerlukan
analisa kritis serta kegiatan advokasi dengan menunjukkan perilaku caring
(PPNI, 2005). Berdasarkan kasus diatas, perawat tidak melakukan pelayanan
keperawatan sesuai raanah kompetensi praktik professional, etis, legal, dan
peka budaya.
Malpraktek yang
dilakukan oleh perawat KT akan memberikan dampak yang luas, tidak saja kepada
pasien dan keluarganya, juga kepada institusi pemberi pelayanan keperawatan,
individu perawat pelaku malpraktek dan terhadap profesi. Secara hukum perawat
KT dapat dikenakan gugatan hukum pidana dan perdata, sedangkan secara profesi
perawat KT dapat dikenakan sanksi disiplin profesi perawat yang akan
dikeluarkan oleh Konsil Keperawatan.
4. PENUTUP
4.1
Kesimpulan
a.
Malpraktek dapat
terjadi karena kesengajaan (melanggar undang-undang dan etika profesi) dan karena
ketidaksengajaan (kelalaian).
b.
Caffee (1991) dalam
Sampurno (2005) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko
melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors).
c.
Redjeki (2005) Untuk malpraktek hukum atau
yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yaitu : Criminal Malpractice,
Civil Malpractice, Administrative Malpractice.
d.
Kasus Perawat KT yang
memberikan suntikkan pada An. L, termasuk dalam Criminal Malpractice, karena perawat KT memberikan tindakan
pemberian obat melalui injeksi tanpa instruksi dari dokter.
e.
Berdasarkan UU RI No.
38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Perawat KT telah melanggar Pasal 30 ayat 1, Pasal
32 ayat 2, dan Pasal 37 poin (f).
f.
Secara hukum perawat KT
dapat dikenakan gugatan hukum pidana dan perdata, sedangkan secara profesi
perawat KT dapat dikenakan sanksi disiplin profesi perawat yang akan
dikeluarkan oleh Konsil Keperawatan.
4.2
Saran
a.
Tenaga kesehatan, khususnya
perawat harus mengetahui dan memahami segala peraturan perundang-undangan
maupun kode etik profesi, sehingga dalam melakukan tugas dan wewenangnya,
perawat mampu untuk melaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku.
b.
Masih perlu diadakannya
sosialisasi tentang peraturan perundangan yang behubungan dengan sistem
kesehatan di Indonesia, sehingga semua tenaga kesehatan maupun masyarakat bisa mengetahui
hak dan kewajibannya
5.
REFERENSI
Guwandi, J.,SH. (1994). Kelalaian
Medik (Medical Negligence). Jakarta: FK-UI.
Lazaro, R.T. (2004). Ethical and
legal analysis of a patient case. The
Interest Journal of Allied Health Sciences and Practice, 2(1), 1-6.
Persatuan Perawat Nasional
Indonesia (PPNI). (2005). Kode Etik keperawatan. http://www.inna-ppni.or.id.
Diakses pada tanggal 3 November 2016.
Redjeki, S. (2005). Etika
keperawatan ditinjau dari segi hukum. Materi seminar tidak diterbitkan.
Sampurno, B.
(2005). Malpraktek dalam pelayanan kedokteran. Materi
seminar tidak diterbitkan.
Undang Undang Republik Indonesia
nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Borneo news. (2016). http://www.borneonews.co.id/berita/37133-kasus-malpraktik-balita-lamuel-mungkinkah-akan-seret-seorang-perawat.
Diakses pada tanggal 3 November 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar