BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Tetanus yang juga dikenal dengan,
merupakan penyakit yang
disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis
neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot
menjadi kaku (rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil
mengisolasi organisme dari
korban manusia yang terkena
tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus
diambil dari bahasa Yunani
yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit
ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal,
kejang, dan paralisis pernapasan.
Penyakit
tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,
bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot
seluruh badan. Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot
yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan
pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus.
( Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh
melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar
serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).
B. Tujuan
a. Tujuan
Umum
1. Tujuan
Umum
Mahasiswa
mampu membuat asuhan keperawatan pada
anak TBC
2. Tjuan
Khusus
Mahasiswa mampu membuat pengkajian pada anak
Tetanus
Mamhasiswa mampu menegakkan diagnose pada anak
Tetanus
Mahasiswa mampu mengimplementasi pada anak
Tetanus
Mahasiswa mampu mengevaluasi pada anak Tetanus
Mahasiswa mengetahui konsep Tetanus pada anak
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
DEFENISI
Tetanus yang juga dikenal dengan,
merupakan penyakit yang
disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis
neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot
menjadi kaku (rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil
mengisolasi organisme dari
korban manusia yang terkena
tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus
diambil dari bahasa Yunani
yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit
ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal,
kejang, dan paralisis pernapasan.
Penyakit
tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium
tetani, bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan
otot seluruh badan. Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot
yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan
pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari
tetanus. ( Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh
melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar
serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).
Angka
kematian bayi (AKB) di Indonesia hinggasaat ini masih relatif tinggi dibandingkan
dengan negara-negara tetangga. Meskipun menurut hasil Survey Kesehatan Rumah
Tangga selama dua dekade terakhir bayi baru lahir yang meninggal akibat tetanus
neonatorum (TN) menunjukkan penurunan yang sangat berarti. Hal ini seiring
dengan upaya jajaran kesehatan yang selalu memberikan imunisasi kepada ibu
hamil dan Wanita Usia Subur (WUS) yang dibarengi pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan.
Hal itu dikemukakan Sekertaris Jenderal Departemen Kesehatan Dr Dadi S Argadireja di sela-sela penyerahan bantuan vaksin tetanus dan peralatan imunisasi dari pemerintah Jepang kepada Indonesia senilai 140 juta Yen atau Rp 11,2 miliar yang diserahkan Wakil Duta besar Jepang untuk Indonesia Mr Hideki Domichi di Jakarta.
“Bantuan berupa 736.540 vial vaksin Tetanus Toxoid (TT), 5.891.800 buah autodisable syringe dan 59.000 disposable boks untuk program imunisasi TT bagi 2.945.900 orang wanita usia subur (WUS) di 12 propinsi, yaitu Sumateran Utara, Tiau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tangah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat ini dimaksudkan untuk mengurangi masih tingginya angka kematian bayi akibat tetanus, karena persalinan yang kurang higienis,”kata Dadi.
Ditambahkannya, sejauh ini 9,8 persen dari sekitar 184.000 bayi baru lahir yang meninggal setiap tahunnya disebabkan oleh tetanus neonatorum karena 60 persen persalinan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, tetapi oleh dukun bayi yang belum mendapat pelatihan.
Untuk mempercepat pencapaian Eliminasi Tatatus Neonaturum (ETN) di Indonesia, Kata Sesjen Depkes, telah dilakukan imunisasi TT kepada WUS di saerah risiko tinggi yang dimulai sejak tahun 1996. Dengan pemberian imunisasi TT sebanyak tiga dosis kepada semua WUS di daerah risiko tinnggi tersegbut diperoleh kekebalan terhadap tetanus sekitar 10 tahun.
B.
ETIOLOGI
Clostridium
tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5
milimikro yang berbentuk spora selama diluar tubuh manusia, tersebar luas di
tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik.Termasuk golongan gram
positif dan hidupnya anaerob. Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat
neurotoksik. Toksin ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot
dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 C
akan hancur dalam lima menit. Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang
hemolisis, yang peranannya kurang berarti dalam proses penyakit.
C. PATOGENESE
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Tobin
menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti
strichmine ) terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di
spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan
pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari
Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang
fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine
dalam urine
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia
mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron
spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan
mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari
neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot
masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.
Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi
juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot
yang khas .
Ada
dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf
motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf
pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan
limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan
syaraf pusat.
D. PATHOLOGI
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf
perifer secara ascending bermigrasi secara sentripetal atau secara retrogard
mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari sarung parineural.
Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui darah
(hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic.
E. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa
lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu ).
Ada
tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1.
Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
2.
Cephalic Tetanus
3.
Generalized tetanus (Tctanus umum)
Selain
itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus
Kharekteristik
dari tetanus
• Kejang bertambah berat selama 3 hari
pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang
frekwensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan
otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian
timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme.
Otot
masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (
opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot
muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke
bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan
kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
• Eksistensi, lengan kaku dengan
mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat
kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi
fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Ad
1. tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya
kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis,
antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal.
Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan
kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik
tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah
pemberian profilaksis antitoksin.
Ad.2. Cephalic tetanus
Cephalic
tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.
Ad.3 Generalized Tetanus
Bentuk
ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan
oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (
kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa
terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam
otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Ad.4. Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani,
yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang
masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik
oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan
persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama
dalam terjadinya neonatal tetanus.
Menurut
penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada
tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya
ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth
Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan
selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Berikut ini tabel. Yang
memperlihatkan instrument Untuk memotong tali pusat.
F. DIAGNOSIS
Diagnosis
tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa
:
1.Gejala
klinik
Kejang
tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile).
2.
Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3.
Kultur: C. tetani (+).
4.
Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.
G. DIAGNOSA BANDING
Untuk
membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sular sekali dijumpati
dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal
dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK
dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta
riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran
yang tetap normal.
H. PROGNOSIS
Prognosis
tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
1.
Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2.
Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3.
Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Masa
inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya
masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa
tetanus neonatal jelek bila:
1.
Umur bayi kurang dari 7 hari
2.
Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3.
Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam
4.
Dijumpai muscular spasm.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi
pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot pematasan
atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta
kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa
terjadi rhabdomyolisis dan renal failure.
J. PENGKAJIAN
1. Umum
Tujuan
terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan
tersebut dapat diperinci sbb :
1.
Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda
asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian
Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk
makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus,
makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar
seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan
trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit.
2. Obat
– obatan
2.1.
Antibiotika :
Diberikan
parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti
dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi
dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila
tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/
24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh
bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila
dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2.2.
Antitoksin
Antitoksin
dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U,
satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena
karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ",
yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila
TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal
dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan
secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.(1.8.9)
2.3.Tetanus Toksoid
Pemberian
Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi
dasar terhadap tetanus selesai.
K. PENCEGAHAN
Seorang penderita yang terkena tetanus
tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama
untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak
pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya
sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk
merangsang pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan
toksisitasnya bisa sangat cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang
mana hal ini tidak dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan
kekebalan).
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai
natural imunitas. Hal ini diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja
manusia. Mungkin organisme yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic
quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada serum
seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya
peninggian titer antibodi dalam serum yang karakteristik merupakan reaksi
secondary imune response pada beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan
tetanus toksoid untuk pertama kali.
Dengan dijumpai natural imunitas ini,
hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti
yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tidak
lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.
Sampai
pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam
pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah
dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi
aktif( DPT atau DT ).
L. ASUHAN
KEPERAWATAN
I.
Pengkajian
1. Pengkajian Umum
1. Pengkajian Umum
a. Riwayat penyakit sekarang;
adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat.
b. Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot pernafasan
c. Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C
d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak ada/oliguria)
f. Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.
g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
b. Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot pernafasan
c. Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C
d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak ada/oliguria)
f. Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.
g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
2. Setelah dianalisa dari data
yang ada maka timbul beberapa masalah keperawtan atau amasalah kolaboratif.
a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
e. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
f. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang
g. Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria
h. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
i. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
j. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang
a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
e. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
f. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang
g. Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria
h. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
i. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
j. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang
II. Rencana Keperawatan
a. Kebersihan jalan nafas tidak
efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot
pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif
disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa
Darah abnormal (Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria :
- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria :
- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Intervensi dan Rasional
1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
2. Pemeriksaan fisik dengan cara
auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3. Bersihkan mulut dan saluran
nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction
R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi.
R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi.
4. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital
tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6. Observasi timbulnya gagal
nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7. Kolaborasi dalam pemberian
obat pengencer sekresi(mukolitik)
R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.
R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.
b. Gangguan pola nafas
berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan,
yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya
lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
- Tidak sianosis.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
- Tidak sianosis.
Intervensi dan raasional.
1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate
R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2. Atur posisi luruskan jalan nafas.
R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate
R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2. Atur posisi luruskan jalan nafas.
R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.
3. Observasi tanda dan gejala
sianosis
R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
4. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital
tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6. Observasi timbulnya gagal
nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa
gas darah.
R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat
R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat
c. Peningkatan suhu tubuh
(hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai
dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000
/mm3
Tujuan Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
Tujuan Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
1. Atur suhu lingkungan yang
nyaman
R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
3. Berikan hidrasi atau minum
ysng cukup adequat
R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam.
R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam.
4. Lakukan tindakan teknik
aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.
5. Berikan kompres dingin bila
tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
6. Laksanakan program pengobatan
antibiotik dan antipieretik.
R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7. Kolaboratif dalam pemeriksaan
lab leukosit.
R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.
R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan
intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui
hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin
kurang dari 3,5 mg%.
Tujuan kebutuhan nutrisi
terpenuhi.
Kriteria :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi dan rasional
1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh
Kriteria :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi dan rasional
1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh
R/ Dampak dari tetanus adalah
adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan
dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang
adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program
diit.
2. Kolaboratif :
a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
2. Kolaboratif :
a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.
b. Pemberian carian per IV line
R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Pemasangan NGT bila perlu
R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.
R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar